Kamis, 27 Maret 2008

Otoritas Kepemimpinan Politik

Anwari WMK
anwari_wmk@plasa.com

Dalam rapat dengar pendapat umum ahli-ahli politik dengan Pansus RUU Pilpres di DPR-RI (26 Maret 2008), muncul wacana akademis, bahwa pasangan calon presiden pada 2009 sejatinya dilengkapi oleh daftar nama-nama tokoh atau figur yang nantinya duduk sebagai anggota kabinet. Inilah kabinet bayangan (shadow cabinet) yang melengkapi kehadiran pasangan calon presiden dan wakil presiden. Di tengah kancah kampanye pemilihan presiden (Pilpres) 2009, keberadaan kabinet bayangan itu diinformasikan secara gamblang. Tesis pokok yang melandasi wacana ini ialah keniscayaan, bahwa sudah saatnya bagi Indonesia berpijak pada konsep kenegaraan spesifik, tanpa perlu menjadi epigon terhadap tradisi dan atau praktik demokrasi di negara-negara lain. Atas dasar ini pula, kabinet bayangan masuk ke dalam struktur tim kampanye pasangan calon presiden 2009 (lihat “Capres Diminta Susun Kabinet”, Seputar Indonesia, 27 Maret 2008, hlm. 3). Dari sini, ada keterbukaan informasi yang memosisikan publik konstituen tak membeli kucing dalam karung. Kampanye Pilpres 2009 betul-betul memiliki ciri super spesifik: Diwarnai oleh munculnya selebaran kabinet bayangan.

Namun pertanyaannya kemudian, seberapa relevan sesungguhnya kabinet bayangan usulan para pakar politik itu manakala dikait-hubungkan dengan keperluan yang sangat mendasar tegaknya otoritas kepemimpinan politik pasca-Pilpres 2009? Terus terang, pertanyaan ini memiliki titik singgung secara sangat kuat dengan keberadaan rezim pemilu bebas hasil Pilpres 2004. Pasangan calon presiden yang memenangkan pertarungan Pilpres 2004, ternyata bukanlah figur dengan otoritas kepemimpinan politik yang mumpuni. Di berbagai forum kajian, sosok kepemimpinan nasional pasca-Pilpres 2004 justru terlampau sering disindir secara nyinyir sebagai kepandiran di atas singgasana kekuasaan. Semacam kepandiran kepemimpinan dalam cerita klasik Don Quixote karya penulis Spanyol Miguel de Cervantes Saavedra (1547-1616). Mengapa begitu?

Pertama, kehadiran rezim pemilu bebas pasca-Pilpres 2004 justru menggiring pemerintahan tersudut ke dalam kebuntuan peran untuk sekadar memberikan harapan kepada rakyat (lihat “Semangat Gagal Dibangun”, Kompas, 27 Maret 2008, hlm. 15). Sangat bisa dimengerti jika kemudian rezim pemilu bebas pasca-Pilpres 2004 gagal membendung gelombang kenaikan harga bahan pokok serta hanya mampu mendesakkan kebijakan konversi energi yang kosong dari upaya social marketing secara cerdas—karena itu menyengsarakan masyarakat. Sudah dalam keadaan demikian, rezim pemilu bebas pasca-Pilpres 2004 tak habis-habisnya menjadikan statistik sebaga apologia saat harus berbicara tentang fakta kemiskinan. Dengan gegap gempita, rezim pemilu bebas pasca-Pilpres 2004 menolak kenyataan betapa sesungguhnya telah terjadi peningkatan jumlah kaum miskin di negeri ini.

Kedua, rezim pemilu bebas yang tengah berkuasa kini menjadi cermin buram dalam menakar kebermaknaan saling hubungan antara kepemimpinan nasional dan pemahaman terhadap masalah-masalah fundamental kenegaraan. Pada satu sisi, muncul ketidakjelasan Weltanschauung rezim pemilu bebas menghadapi rangsakan korporasi nasional dan asing yang meluluhlantakkan kedaulatan bangsa dalam bidang ekonomi. Ini merupakan konsekuensi logis dari ketidakjelasan pemahaman terhadap masalah-masalah fundamental kenegaraan. Pada lain sisi, ketidakjelasan pemahaman akan masalah-masalah fundamental kenegaraan justru memosisikan kepemimpinan nasional berada di tengah sorotan kritis ketidakmampuan mewujudkan kemandirian bangsa. Inilah yang dapat menjelaskan, mengapa pembicaraan tentang pertarungan politik 2009 diseret masuk ke dalam problema kejelasan konsepsi para capres terhadap berbagai aspek dan dimensi kenegaraan (lihat “Capres Perlu Kuasai Masalah Kenegaraan” Kompas, 27 Maret 2008, hlm. 3).

Ketiga, dinamika kekuasaan yang bergulir di bawah orkestrasi rezim pemilu bebas pasca-Pilpres 2004 justru mencetuskan gelombang titik balik dalam konteks kesadaran berbangsa dan bernegara. Keterpurukan masyarakat dalam bidang sosial dan ekonomi merupakan realisme yang muncul sebagai akibat lemahnya kepemimpinan nasional. Padahal, kepemimpinan nasional dimaksud lahir sebagai resultante pemilihan presiden secara langsung yang untuk pertama kalinya mewarnai sejarah perpolitikan bangsa ini. Tanpa bisa dielakkan, inilah situasi krusial yang justru mempertegas tuntutan akan pentingnya peningkatan mutu kontrak sosial (social contract) antara negara dan masyarakat (lihat “Calon Pemimpin dan Rakyat Perlu Buat Perjanjian Politik” Republika, 27 Maret 2008, hlm. 3).

Dengan menilik tiga persoalan itu, maka tak terhindarkan munculnya kesimpulan betapa sesungguhnya tidaklah sederhana persoalan capres dan cawapres 2009. Munculnya imperatif “kabinet bayangan”, seperti dikumandangkan para pakar politik itu, tak serta-merta memampukan bangsa ini menemukan pemimpin nasional tanpa berlepotan masalah seperti dibentangkan di atas. Maka, pertanyaan kritikalnya kemudian: Apakah kabinet bayangan usulan para pakar politik itu merupakan cure bagi cause persoalan yang teramat rumit, persis sebagaimana dijelaskan di atas? Benarkah kabinet bayangan itu merupakan preskripsi yang secara faktual memang dibutuhkan bangsa ini? Ataukah itu hanyalah kegenitan gaya baru dalam arena pemilihan presiden secara langsung pada tahun 2009?

Dari dulu hingga kini, bangsa ini terjerembab ke dalam problema subyektif kepemimpinan nasional dan terpasung ke dalam masalah obyektif kepemimpinan nasional. Problema subyektif dalam kepemimpinan nasional bersangkut paut dengan hilangnya spirit pengorbanan, terlampau kuatnya pengaruh pandangan dunia feodalistik, dan peran kepemimpinan nasional semata dimaknai secara terbatas sebagai karir dalam dunia politik. Inilah problema persepsi diri kepemimpinan nasional. Secara demikian, kepemimpinan nasional tak pernah sepi dari rekayasa terciptanya privelise untuk kepemimpinan nasional itu sendiri. Nepotisme, kolusi dan korupsi, dengan sendirinya menemukan persemaian subur dari adanya pola yang berjalan dalam kepemimpinan nasional.

Masalah obyektif kepemimpinan nasional berjalin kelindan dengan relasi kuasa antara kepemimpinan nasional dengan kaum elite yang berdiri di luar garis demarkasi kekuasaan. Jika kepemimpinan nasional berada di tengah pusaran kekuasaan politik sebagai kekuatan pengendali pemerintahan, kaum elite berdiri sebagai kekuatan kritis untuk mengoreksi cacat dan cela pemerintahan. Puspa ragam masalah yang muncul di sini ialah oposisi dengan kebencian, pertarungan bercorak primordialistik dan upaya delegitimasi kekuasaan tanpa kejelasan konsepsi. Sebagai akibatnya, suara oposisi yang mencuat mewarnai relasi kuasa politik ini tak ada kaitan makna dengan kesejahteraan umum. Kritik para elite politik terhadap rezim yang tengah berkuasa tak sepenuhnya berlandaskan pada keikhlasan otentik serta juga bias dari kebenaran obyektif. Motif di balik kritik kaum elite itu tak lain dan tak bukan hanyalah pencitraan demi merebut simpati publik. Kritik, dengan demikian, didistorsi oleh terlampau kuatnya pamrih, hasrat dan libido kekuasaan.

Perlunya menimang kembali otoritas politik dimaksudkan untuk memecahkan jalan buntu lemahnya kepemimpinan nasional. Apa yang baru saja dijelaskan adalah sebab pokok sakitnya bangsa ini bersumber dari disorientasi pada totalitas pergumulan dalam kepemimpinan nasional. Sejatinya, kepemimpinan nasional pasca-Pilpres 2009 memiliki ciri dalam hal: (1) Ketegasan mendiferensiasi ruang publik dan ruang privat, serta (2) Kemampuan menciptakan persenyawaan antara dimensi sakral dan profan demi mengelak dari patologi pragmatisme politik. Maka, kabinet bayangan seperti diusulkan para pakar politik itu necessary but not sufficient, penting tapi sama sekali tak memadai. Kepemimpinan nasional membutuhkan lebih dari sekadar itu. Tak Cuma itu.[]

Banjir di Negeri Lumpuh

Anwari WMK
anwari_wmk@plasa.com

Seandainya negara berada dalam posisi sangat kuat, mungkinkah bencana banjir di Indonesia tak tertanggulangi seperti sekarang ini? Apakah banjir yang terus merendam berbagai kawasan di seantero Nusantara sejak penghujung 2007 merupakan sinyal yang teramat kuat betapa sesungguhnya negara kini berada dalam posisi yang benar-benar lumpuh? Apa yang sejatinya dilakukan demi mengakhiri patologi kelumpuhan negara dalam hal pengatasan banjir? Bagaimana memahami moralitas pejabat negara jika ternyata banjir kian tak tertangani? Mungkinkah hati sanubari pejabat negara tergetar tatkala bencana banjir mencuat sebagai berita besar?

Banjir dan air surut yang terjadi sejak Desember 2007 telah menganggu perekonomian masyarakat Bojonegoro, Tuban dan Lamongan di Jawa Timur. Bukan saja ribuan hektar padi (berusia 40 hari) dan tambak terendam air, lebih dari itu masyarakat kehilangan pekerjaan (Kompas, 23 Maret 2008, hlm. 1, 15). Bencana banjir telah sedemikian rupa merangsak sebagai destroyer, yang meluluhlantakkan perekonomian masyarakat. Sudah dalam keadaan demikian, tak ada penyelesaian yang bersifat terobosan dan sengaja ditawarkan pemerintah lokal sebagai solusi. Apa yang dapat diidentifikasi sebagai dampak banjir di Jawa Timur adalah hancurnya garda produksi padi justru di tengah situasi kian meningkatnya ancaman krisis beras akibat tingginya harga pangan di pasar global. Tak kalah tragisnya dibandingkan Jawa Timur, banjir yang kian meluas di Provinsi Riau sejak medio Maret 2008 menjadikan beberapa titik di Kabupaten Kampar, Rokan Hulu, Pelalawan, Indragiri Hulu, Kuantan Singingi dan sebagian kota Pekanbaru terendam. Di Kabupaten Indragiri Hulu, banjir melanda 38 desa yang tersebar di 8 kecamatan dan mengakibatkan terendamnya sekitar 3.300 rumah. Di Kabupaten Kuantan Singingi, banjir melanda 53 desa yang tersebar di 9 kecamatan serta merendam 5.500 rumah. Di Kabupaten Rokan Hulu 2.722 rumah terendam banjir dan di Kabupaten Kampar 523 rumah terendam banjir. Di Kabupaten Indragiri Hulu, banjir juga merusak jaringan transportasi. Jalan di Desa Danau Baru, Kecamatan Rengat Barat dan jalan di Desa Kuantan Tenang, Kecamatan Rakit Kulim, terputus akibat banjir.

Barangkali klise jika dikatakan, bahwa setiap terjadi bencana banjir selalu ada keniscayaan untuk melakukan pengendalian, bahkan pengendalian yang mencakup agenda jangka panjang menghadapi pancaroba. Hanya saja, di negeri yang pemerintahannya lumpuh seperti Indonesia, pengendalian banjir menjadi perkara super pelik. Seruan untuk melakukan pengendalian bencana banjir harus selalu dimulai dari sesuatu yang elementer. Negara dan pemerintah mengulang upaya permulaan demi menemukan teknikalitas pengendalian banjir. Ibarat menulis buku, pengendalian banjir dari waktu ke waktu tak pernah beranjak dari “bab pendahuluan” dan hampir mustahil sampai ke “bab penutup”.

Dalam maknanya yang sederhana, pengendalian terhadap bencana banjir berarti penggunaan segenap metode untuk mereduksi atau mengurangi dampak detrimental banjir. Secara kategoris, apa yang ditengarai sebagai penanggulangan bencana banjir berada dalam spektrum pemahaman akan sebab dan akibat banjir serta regulasi negara yang dibutuhkan demi mempertegas upaya pengendalian banjir. Dengan demikian, pengendalian terhadap kemungkinan timbulnya bencana banjir merupakan teknikalitas pemecahan masalah yang bersifat kalkulatif.

Air dalam kategori run off—berlari di atas permukaan tanah—selama musim penghujan merupakan sebab fundamental terjadinya bencana banjir. Dengan kuantita yang sangat besar, run off tak sepenuhnya dapat dicerap ke dalam tanah. Ketika run off ini kemudian tak tertampung oleh sungai-sungai, maka banjir yang tak terelakkan muncul sejalan dengan ketiadaan atau tak berfungsinya dam. Secara demikian, sebab-sebab fundamental banjir bukanlah sesuatu yang abstrak. Itulah mengapa, pengendalian pada sisi penyebab banjir bergantung pada kemampuan pemerintah dalam hal: (1) Revitalisasi peran sungai agar tak terus-menerus terdegradasikan, (2) Penguatan fungsi dam atau bendungan sebagai garda depan distribusi air, dan (3) Reforestrasi hutan-hutan gundul. Pola pengendalian inilah yang kemudian masuk ke dalam cakupan adaptasi bencana alam.

Pada pelataran lain, dampak serius bencana banjir terpatri ke dalam punahnya binatang dan tumbuhan serta erosi lahan. Inilah kehancuran habitat mahluk hidup yang muncul secara tiba-tiba sebagai nestapa yang tak terperikan dari timbulnya bencana banjir. Musnahnya nilai komersial tanah serta keterputusan jaringan transportasi, listrik dan telekomunikasi merupakan problema sosial dan ekonomi yang muncul secara serta-merta akibat terjangan banjir. Apa yang kemudian diistilahkan sebagai mitigasi bencana alam sesungguhnya mengambil titik tolak dari hancurnya habitat mahluk hidup serta munculnya persoalan baru dalam bidang sosial dan ekonomi setelah datangnya banjir. Lagi-lagi, dampak banjir yang sedemikian rupa itu pun merupakan sesuatu yang kalkulatif sifatnya, bukan gugusan persoalan yang serba abstrak. Seperti halnya penanganan penyebab banjir, penanganan dampak banjir mempersyaratkan adanya teknikalitas. Di sinilah lalu dibutuhkan penguatan negara untuk dapat melihat secara obyektif kausalitas atau sebab-akibat banjir.

Sejak munculnya peradaban di zaman purba, gagasan tentang pengendalian banjir sesungguhnya telah muncul ke permukaan mewarnai kesadaran umat manusia. Upaya seksama pengatasan banjir di masa kini dapat mengambil titik tolak dari khazanah masa lalu. Apalagi, pengendalian banjir dalam khazanah masa lalu terpatri abadi sebagai kearifan tradisional. Hal fundamental yang menarik diperhatikan dari masa lalu adalah pengendalian banjir yang berjalan paralel dengan upaya penguatan negara. Dalam konteks ini, berlaku aksioma bahwa hanya negara dengan segenap instrumentasinya yang mampu menentukan titik temu antara sebab dan akibat banjir. Tanpa adanya upaya penguatan kembali negara, maka banjir kian tak tertanggulangi oleh ketiadaan pertanggungjawaban politik.

Dalam beberapa tahun terakhir, banjir yang datang secara repetitif di Indonesia jutsru kian mendesak untuk direspons dengan politik legislasi. Revitalisasi sungai dan penghutanan kembali lahan-lahan luas yang gundul hanya mungkin dilakukan jika penguatan negara ke arah pengatasan banjir ditopang oleh kejelasan politik legislasi. Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dituntut memiliki kesamaan visi demi mengelak dari kemungkinan terjadinya banjir yang terus berulang. Apa yang kemudian penting ditetapkan sebagai agenda dalam politik legislasi adalah merumuskan tiga hal. Pertama, pengendalian banjir yang terintegrasi ke dalam rencana menyeluruh pembangunan ekonomi, sosial dan politik. Kedua, penentuan model mitigasi secara tepat saat harus berhadapan dengan bencana banjir. Ketiga, penetapan berbagai imperatif yang harus dipikul pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam konteks penanganan sebab dan akibat banjir.

Jika penguatan kembali peran negara berhasil digulirkan, maka partisipasi masyarakat dan korporasi ke arah penanggulangan sebab-akibat banjir lebih mudah dilakukan. Tidak seperti sekarang, negara bingung akan peran yang harus dijalankan. Bahkan, tragedi yang bergulir dari banjir ke banjir hanya mempertontonkan sosok Indonesia sebagi sebuah negeri lumpuh tanpa negara, stateless.[]

Senin, 24 Maret 2008

Tokoh Ormas dalam Pilkada

Anwari WMK
anwari_wmk@plasa.com

Tatkala pada Januari 2008 Ketua Umum Pengurus Besar (PB) Nahdlatul Ulama (NU) K.H. Hasyim Muzadi berbicara tentang bahaya jangka panjang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara langsung, maka kita sesungguhnya diingatkan pada persoalan peliknya keterseretan tokoh Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) ke dalam hingar-bingar Pilkada. Sulit memungkiri kenyataan, bahwa praktik politik yang inherent ke dalam pelaksanaan Pilkada tiba-tiba mengubah posisi Ormas menjadi pemangku kepentingan politik yang tiada taranya. Eksistensi Ormas lalu begitu determinatif bagi pelaksanaan Pilkada langsung di daerah. Ormas keagamaan seperti halnya NU dan Muhammadiyah, bukan saja dipersepsi sebagai institusi dengan jaringan sosial yang bisa dimanfaatkan demi memenangkan Pilkada. Lebih dari itu, para tokoh yang sudah sejak lama mengukir nama besarnya di kedua Ormas itu dengan begitu mudahnya digadang-gadang menjadi kandidat walikota, bupati dan atau gubernur. Tak pelak lagi, kader-kader Ormas lalu meramaikan kancah pertarungan dalam Pilkada. Mengingat tak ada jaminan bahwa kandidat yang bertarung sungguh-sungguh mengedepankan rasionalitas substansial, ruang publik dalam konteks Pilkada serta-merta diwarnai pertarungan bercorak primordialistik.

Realisme politik inilah yang mencetuskan gundah gulana pada diri seorang Hasyim Muzadi. NU, menurut Hasyim Muzadi, mencemaskan ekses Pilkada secara langsung. Secara kasat mata, masing-masing kandidat mendatangi para kiai dan santri untuk memperoleh dukungan. Santri dan kiai kemudian dikristalisasikan. Masalahnya, setelah Pilkada usai, kristalisasi tak kembali mencair. Kata Muzadi, “Bupati sudah dipilih, tapi kiai dan santrinya masih ribut” (Republika, 26 Januari 2008, hlm. 12). Tak bisa tidak, Pilkada langsung menimbulkan polarisasi di masyarakat, sumber konflik horizontal dan membuang-buang uang. Atas dasar ini, NU menyarankan agar Pilkada dihapuskan (Kompas, 26 Januari 2008, hlm. 3).

Penting untuk terlebih dahulu dicatat, bahwa dalam tilikan filosofis mustahil menghapuskan Pilkada. Penghapusan Pilkada sama dan sebangun maknanya dengan menarik mundur proses penciptaan konstruksi politik berlandaskan demokrasi. Pilkada dengan segala kelemahannya justru harus dimengerti sebagai sebuah sekuen dalam bentangan panjang evolusi demokrasi di Tanah Air. Aneka kelemahan yang inherent di dalamnya mutlak untuk dimengerti sebagai tantangan besar yang sejatinya dipecahkan oleh bangsa ini. Perjalanan waktu selama kurang lebih satu dekade sejak berakhirnya kekuasan otoriter Orde Baru Soeharto jangan sampai kemudian ditimpali oleh penghapusan segenap trase dan pencapaian demokrasi dalam format Pilkada. Ini berarti, buruk rupa janganlah cermin dibelah. Sungguh pun demikian, “penghapusan Pilkada” dalam artikulasi Hasyim Muzadi mendesak untuk dielaborasi lebih jauh hakikat masalahnya. Pertanyaan hipotetik yang niscaya dikedepankan ialah, di mana letak kelemahan dan kekurangan Pilkada? Dapatkah segenap kelemahan dan kekurangan itu diberikan sebuah jalan keluar? Inilah serangkaian pertanyaan yang memiliki kaitan makna dengan potret persoalan berikut ini.

Pertama, Pilkada memperluas, memperdalam serta menumbuh suburkan praktik politik uang (money politics) dalam berbagai bentuknya. Terhadap publik konstituen, politik uang menemukan manifestasinya pada pembelian suara menjelang dan atau pada saat pelaksanaan Pilkada. Terhadap partai politik, money politics menemukan manifestasinya ke dalam apa yang disebut “gizi” atau “mahar politik”. Tampilnya seorang kandidat melalui kelembagaan partai, telah mencuatkan transaksi jual-beli dukungan pada level institusi (baca: partai politik). Seorang kandidat harus menyerahkan uang dalam jumlah besar agar partai politik bersedia mengusungnya sebagai kandidat. Maka, Pilkada bergeser menjadi praksis demokrasi yang membuka ruang secara sangat lebar terhadap para pemilik kapital untuk merebut kepemimpinan politik. Terbentuknya sebuah formasi kepemimpinan politik pada tingkat lokal melalui mekanisme demokrasi tak lebih dan tak kurang hanyalah sebuah proses semu. Political pattern ini tak sepenuhnya mampu berfungsi sebagai rekrutmen kepempinan politik dalam maknanya yang genuine.

Kedua, Pilkada mengkristalisasi kecenderungan politisasi agama. Di kantong-kantong NU, sebagaimana disinggung Hasyim Muzadi, politisasi agama berlangsung secara sangat serius. Bahkan, dari politisasi agama itu kemudian bergulir polarisasi masyarakat. Para tokoh agama saling berhadapan secara vis-à-vis satu sama lain, sejalan dengan perbedaan kandidat yang mereka gadang. Tokoh agama pada pelataran ini kehilangan misi profetiknya. Lantaran sedemikian jauh terseret ke dalam kancah pertarungan memperebutkan kuasa politik, tokoh-tokoh agama lalu terbentur persoalan reduksi makna, yaitu hanya berpijak pada kesadaran pikir kalah-menang di atas panggung pertaruhan politik. Dalam konteks ini, agama tanpa kesalehan sosial kian menemukan aksentuasinya.

Ketiga, proses Pilkada yang berjalan hingga dewasa ini membawa serta transmutasi politik secara sangat pelik. Kepemimpinan politik, pada dasarnya, merupakan domain pengabdian bagi seseorang untuk mencapai derajat negarawan. Tragisnya, Pilkada telah menggeser orientasi, sehingga kepemimpinan politik diturunkan derajatnya sekadar sebagai karir. Implikasi serius yang ditimbulkan oleh kenyataan ini berhubungan erat dengan buruknya penghayatan terhadap politik sebagai nilai (values). Apa boleh buat, politik lalu terpenjara ke dalam struktur makna yang begitu miopik. Itulah mengapa, kepemimpinan politik dimengerti sebagai sesuatu yang sama dan sebangun dengan peluang atau kesempatan mengakumulasi kekayaan dalam jumlah besar. Kepemimpinan politik lantas kehilangan dimensi pengorbanan. Padahal, seperti diperlihatkan oleh para founding fathers negeri ini, pengorbanan merupakan elan vital atau sukma yang memberikan daya hidup pada kepemimpinan politik. Pilkada, dengan sendirinya, telah mencetuskan apa yang disebut the poverty of sacrifice pada ranah kepemiminan politik.

Keempat, Pilkada mengutuhkan dirinya sebagai panggung yang mengakomodasi kehadiran para petarung politik. Kita kini dapat mencatat, bahwa politik yang telah kehilangan dimensi transendentalnya mengambil titik tolak dari punahnya pandangan-pandangan obyektif di kalangan pemimpin politik. Dalam maknanya yang transendental, politik adalah values yang mampu melihat problema kenegaraan dan kemasyarakatan dari berbagai dimensinya. Di antara tumpukan dan hamparan berbagai macam problema itu, sang pemimpin politik mampu meneropongnya dari ketinggian. Sehingga, segenap dimensi yang berjalin kelindan dengan tumpukan dan hamparan berbagai masalah dapat ditangkap hakikatnya. Pada titik inilah terjadi obyektivikasi permasalahan. Celakanya, kemampuan melakukan obyektivikasi masalah itu muskil diharapkan datang dari para petarung politik. Kemampuan obyektivikasi masalah hanya mungkin dilakukan oleh para pemimpin politik dalam kategori [meminjam istilah filsuf Plato]philosopher-king atau pemimpin politik nan bijaksana. Para petarung politik adalah seseorang dengan pandangan dunia parsial-partikular. Ia takkan pernah bisa untuk sepenuhnya mampu berdiri tegak sebagai philosopher-king.

Dengan seluruh tilikan ini menjadi jelas duduk perkara pencopotan Ali Maschan Moesa sebagai Ketua Pengurus Wilayah (PW) NU Jawa Timur. Tokoh ini dianggap telah melanggar kontrak jam’iyah lantaran tampil sebagai kandidat wakil gubernur demi menghadapi pergumulan politik dalam kancah Pilkada langsung di Jawa Timur, mendampingi Soenarjo yang dijagokan Partai Golkar. Tak tanggung-tanggung, pencopotan itu dilakukan oleh Rais Syuriah PWNU Jawa Timur (Seputar Indonesia, 23 Maret 2008, hlm. 8). Seandinya empat persoalan yang dibentangkan di atas tak pernah ada, maka kerja-kerja partai politik dalam Pilkada benar-benar untuk menghadirkan negarawan, dan tak perlu ada pencopotan seperti menimpa Ali Maschan Moesa. Tapi, ini seandainya ….., seandainya dan seandainya.[]

Rabu, 19 Maret 2008

Kultur Korupsi Pejabat Negara

Anwari WMK
anwari_wmk@analisis-berita.com

Jaksa Agung Hendarman Supandji menyulut “ledakan besar” (big bang) tatkala mencopot dua pejabat penting dari kedudukannya di Kejaksaan Agung RI. Pertama, Kemas Yahya Rahman yang dicopot dari jabatannya sebagai Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (JAM Pidsus), dan kedua, M. Salim yang dipecat dari posisinya sebagai Direktur Penyidikan di Kejaksaan Agung. Tak tanggung-tanggung, pemecatan dua pejabat teras itu disambut gegap gempita kalangan media massa. Pada edisi 18 Maret 2008, di halaman depan Republika termaktub berita utama bertajuk “Kemas dan Salim Dicopot”. Halaman depan Kompas tampil dengan berita utama “Kemas Yahya dan Salim Dicopot”, Seputar Indonesia dengan judul “Jaksa Agung Copot Jampidsus”, Koran Tempo dengan berita “Kemas Yahya Dicopot”, serta Jurnal Nasional dengan berita “Kemas dan Salim Dicopot”. Sementara dengan judul yang agak jenaka, Indo Pos tampil dengan berita utama “Bos Jaksa BLBI Dicopot”. Namun, sunguhpun terkesan sebagai big bang, sebuah pertanyaan bergulir: mungkinkah pencopotan ini benar-benar memiliki resonansi hingga ke masa depan demi terciptanya sistem peradilan yang bersih di Indonesia? Ataukah, lagi-lagi, keputusan ini hanyalah sebuah torehan sesaat yang bakal berlalu bersama angin?

Cerita ini tak lepas dari rententan peristiwa yang muncul sejak penghujung Februari 2008. Pada 29 Februari 2008, Kemas Yahya Rahman memberikan penjelasan ke hadapan publik. Bahwa, Kejaksaan Agung menghentikan pengusutan Kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang melibatkan konglomerat Anthoni Salim dan Sjamsul Nursalim. Penghentian pengusutan BLBI ini menyita perhatian publik lantaran tak disertai kejelasan argumentasi. Dalam pernyataannya, Kemas Yahya Rahman bahkan cenderung untuk hanya mengeksplisitkan dirinya sebagai pembela Anthoni Salim dan Sjamsul Nursalim. Kata Kemas Yahya Rahman pada 29 Februari 2008, “Tidak ada rekayasa. Kewajiban obligor sudah dilaksanakan sesuai ketentuan.” Dari sinilah, argumentasi serba sumir berkenaan dengan pembebasan dua obligor itu pada akhirnya memancing timbulnya pandangan kritis media massa. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pun terdorong untuk memasang kuda-kuda demi menggebrak dengan hak angket.

Di tengah besarnya sorotan publik yang sedemikian rupa, muncul peristiwa yang tak kalah menggelegarnya. Pada 2 Maret 2008, jaksa BLBI Urip Tri Gunawan ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ia disangka menerima suap sebesar US$ 660 ribu dari orang dekat Sjamsul Nursalim. Seperti kemudian terungkap berdasarkan informasi KPK, orang dekat Sjamsul Nursalim dimaksud adalah Artalyta Suryani, seorang pelobi kelas atas. Publik, sekali lagi, dibuat tersentak oleh kenyataan ini. Semakin tersebar desas-desus, bahwa penghentian pengusutan skandal BLBI tak berpijak pada kebenaran obyektif. Kemas Yahya Rahman lantas menjadi fokus sorotan publik dan media massa, mengingat Urip Tri Gunawan merupakan satu dari 35 jaksa “terbaik” yang berada di bawah komando Kemas Yahya Rahman. Pertanyaan dengan narasi “mungkinkah Kemas Yahya Rahman terlibat kasus penyuapan oleh Artalyta Suryani” lalu menjadi tak terelakkan kemunculannya. Sebagai akibatnya, pada 10 Maret 2008 Kemas Yahya Rahman diperiksa selama 10 jam. Dalam konteks ini, Kemas membantah pernah datang ke pulau milik Artalyta. Pada 12 Maret 2008, Kemas Yahya Rahman diperiksa KPK. Dan pada 17 Maret 2008, ia dicopot dari jabatannya.

Hal mendasar apa sesungguhnya yang penting digarisbawahi dari semua cerita ini? Mungkinkah sebuah momentum baru telah hadir mewarnai eksistensi Kejaksaan Agung untuk kemudian benar-benar berfungsi sebagai benteng keadilan di negeri ini?

Tajuk Republika edisi 18 Maret 2008 tampil dengan judul “Momentum Kejaksaan”. Tajuk ini menghablurkan harapan, bahwa sudah saatnya bagi Kejaksaan Agung kini bersih dari mafia peradilan. Sejatinya, pencopotan Kemas Yahya Rahman, dan juga M. Salim, diberlakukan sebagai prolog untuk menyikat habis jaksa-jaksa nakal yang bersarang bak penyamun di gedung bundar Kejaksaan Agung. Itulah mengapa, kalimat pembuka tajuk Republika menyerupai analisis semiotika terhadap tetesan air mata Jaksa Agung Hendarman Supandji. Proposisi awal tajuk itu bahkan sebuah kalimat dengan narasi: “Siapa bisa membaca air mata?” Narasi kalimat ini memiliki kaitan makna dengan kenyataan bahwa jaksa andalan yang menangani skandal BLBI tertangkap tangan menerima suap. Jaksa Agung menangis di hadapan wartawan, sambil mengucapkan kata-kata: “Saya sedih, marah, kecewa”.

Pencopotan Kemas Yahya Rahman, menurut tajuk Republika, adalah bukti bahwa Jaksa Agung tak sekadar meluapkan perasaan saat meneteskan air mata. Dari sejak terjadinya tetesan air mata hingga berujung pada pencopotan Kemas Yahya Rahman, sebuah momentum perubahan telah bergulir dan sekaligus mencetuskan harapan-harapan besar. Republika, dalam tajuknya itu, lalu menulis seperti berikut: “Inilah saatnya ia mendapat dukungan amat luas untuk membentuk kejaksaan yang benar-benar baru, yang terbebas dari jaring-jaring korup di masa lalu.” Bahkan, tajuk Republika dengan begitu yakinnya berbicara tentang implikasi positif ke depan dari adanya pencopotan Kemas Yahya Rahman. Tulis Republika lagi, “Kejaksaan yang bersih adalah kunci penting gerbang pemberantasan kejahatan, termasuk korupsi di masa depan”.

Namun demikian, apa yang dibentangkan tajuk Republika adalah harapan yang terlampau berlebihan. Benar Jaksa Agung telah mencopot bawahannya demi menjawab kegalauan terhadap pengusutan skandal BLBI yang lantas diwarnai suap terhadap jaksa pengusutnya. Masalahnya, pencopotan ini hanyalah bersentuhan dengan sesuatu yang bersifat esensial, tidak eksistensial. Pencopotan ini hanya memiliki kaitan makna dengan upaya saksama menjaga citra dan krebilitas Kejaksaan Agung (lihat berita bertajuk “Jaga Kredibilitas, JAM-Pidsus Diganti”, Media Indonesia, 18 Maret 2008, hlm. 1). Sehingga dengan demikian, pencopotan ini tak menjanjikan bergulirnya tranformasi kultural dalam tata kelola kekuasaan yudikatif untuk kemudian benar-benar bersih dari bias dan penyimpangan.

Dengan hanya dimaksudkan menjaga kredibilitas Kejaksaan Agung, pencopotan Kemas Yahya Rahman dan M. Salim berada dalam spektrum persoalan ketidakcocokan secara personal dua pejabat Kejaksaan Agung dengan pencitraan yang dibutuhkan di ruang publik. Sejalan dengan imperatif yang muncul selama musim semi demokrasi kini, Jaksa Agung tak mungkin lagi mengadopsi pola yang berjalan seperti di masa lalu, yakni melindungi anak buah yang berbuat salah (lihat tajuk “Apresiasi untuk Hendarman”, Seputar Indonesia, 18 Maret 2008, hlm. 6). Dibandingkan dengan besarnya kebutuhan untuk menjaga citra di ruang publik, pembelaan terhadap bawahan yang berbuat salah kini menjadi sesuatu yang sama sekali tak relevan, bahkan terkesan sangat ganjil. Ini berarti, ketegasan Hendarman Supandji mencopot bawahannya memang patut diacungi jempol. Tetapi, kenyataan ini tak mungkin secara serta-merta direspons dengan kesimpulan bahwa telah hadir mementum baru.

Apa yang penting dikatakan lebih lanjut adalah seperti berikut. Korupsi yang disemaikan secara sangat subur oleh para pejabat negara, sesungguhnya kini telah sampai pada fase yang sangat sistemik. Perilaku korup dengan berbagai ramifikasinya, seperti suap, sogok, pemerasan dan sebagainya, telah sedemikian rupa menelusup masuk menjadi sukma dalam pengelolaan negara pada berbagai lini. Korupsi benar-benar bermetamorfosis menjadi kebudayaan. Sehingga, transformasi kultural menuju eradikasi korupsi mutlak disertai oleh perubahan pandangan dunia (Weltanschauung). Para pejabat negara harus mulai mencerap nilai-nilai baru, bahwa mengurus negara tak boleh sedikit pun mengambil keuntungan dari negara. Jika pandangan dunia semacam ini gagal diwujudkan, maka selamanya pejabat negara hidup dalam kultur korupsi. Dan pencopotan seperti terjadi di Kejaksaan Agung, tak lebih dan tak kurang hanyalah pencitraan.[]

Politik yang Post-Positivistik


Anwari WMK
anwari_wmk@analisis-berita.com

Kamis, 13 Maret 2008. Surat-surat kabar nasional menurunkan headline dengan tema serupa, yaitu permasalahan di seputar proses dan hasil seleksi calon Gubernur Bank Indonesia (BI) di Komisi XI (Keuangan dan Perbankan) DPR-RI. Secara substansial, resultante dari seleksi ini merupakan sesuatu yang aneh bin ajaib. Bagaimana tidak? Pemerintah dan DPR terperangkap ke dalam jalan buntu (deadlock) demi menjalin kesepakatan politik menetapkan seorang figur untuk kemudian menduduki kursi Gubernur BI. Dari dua calon yang diajukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, ternyata semuanya—Agus D.W. Martowardojo dan Raden Pardede—terpental dari fit and proper test DPR. Apa boleh buat, keduanya dinyatakan tak lolos seleksi. Jika dalam voting Agus D.W. Martowardojo meraih 21 suara, maka Raden Pardede sama sekali tak mendapatkan dukungan suara. Sementara, penolakan terhadap dua kandidat Gubernur BI itu mencapai 29 suara. Voting itu sendiri diikuti oleh 50 orang dari jumlah total anggota Komisi XI yang mencapai 51 orang. Peristiwa yang tak ada presedennya ini serta-merta menyentak jagat pemberitaan media massa.

Kompas lalu menurunkan headline bertajuk: “DPR Tolak Agus dan Pardede”. Koran Tempo tampil dengan headline “Dewan Tolak Kedua Calon”, Media Indonesia dengan headline “Komisi XI Tolak Agus dan Pardede”, Republika dengan judul “DPR Tolak Agus dan Raden” dan Seputar Indonesia dengan kepala berita “DPR Tolak Calon Gubernur BI”. Pendek cerita, tak ada yang lebih penting bagi surat-surat kabar nasional pada edisi 13 Maret 2008, selain mengedepankan headline berkenaan dengan kedigdayaan DPR menolak semua calon Gubernur BI yang diajukan presiden. Pertanyaannya kemudian, apa ini merupakan sesuatu yang positif bagi demokrasi? Adakah peristiwa ini memiliki kaitan makna dengan tendensi munculnya apa yang disebut “politik post-positivistik”? Dengan ucapan dan teknikalitas kata-kata, penolakan DPR sesungguhnya ditimpali oleh ketidakjelasan rasionalitas. Apa yang kemudian penting digarisbawahi adalah ini. Penolakan DPR terhadap dua calon Gubernur BI tak hanya bertitik-tolak dari pertimbangan kompetensi, tetapi juga berdasarkan pertimbangan politik. Apa makna argumen ini?

Sulit dibantah, DPR mengedepankan subyektifitasnya saat tengah melakukan fit and proper test. Agar tak tampak sebagai sesuatu yang janggal, seleksi kandidat Gubernur BI dibahasakan sebagai sebuah proses politik yang niscaya. Sebagaimana juga berlaku sebagai aksioma dalam proses seleksi calon pejabat publik yang lain (Hakim Agung, Anggota KPU, Hakim Konstitusi, Ketua KPK, Anggota Komnas HAM, Panglima TNI dan Kepala Polri), fit and proper test benar-benar berkembang menjadi ritual politik di parlemen. Tetapi apa yang disebut sebagai “proses politik” dalam konteks seleksi Gubernur BI tak memiliki kejelasan parameter. Justru, apa yang disebut “proses politik” cenderung melingkar-lingkar semata sebagai gumpalan spekulasi. Maka, apa yang kemudian ditengarai sebagai “akseptabilitas” bagi setiap calon Gubernur BI sesungguhnya sama dan sebangun maknanya dengan “kedekatan politik” dan “kepentingan politik jangka pendek”. Inilah yang dapat menjelaskan, mengapa muncul desas-desus sogok dan politik uang di DPR menjelang pelaksanaan fit and proper test Agus dan Pardede. Bahkan, fit and proper test pun diplesetkan menjadi fee and property (lihat tajuk “Uji Kelayakan di DPR”, Kompas, 13 Maret 2008, hlm. 6).

Terhitung sejak era pasca-Orde Baru, fit and proper test telah sedemikian rupa menelusup masuk ke dalam leksikologi politik di Indonesia. Fit and proper test merupakan terminologi berkenaan dengan adanya nisbah antara era Orde Baru dan era pasca-Orde Baru. Makna substantif dari penyelenggaraan fit and proper test ialah talent scouting atau pencarian bakat-bakat mumpuni di antara anak-anak bangsa—untuk menduduki jabatan-jabatan publik. Dengan demikian, fit and proper test berada dalam setting reformasi politik demi mengedepankan kehadiran pejabat publik yang bersih dari hipokritas. Dahsyatnya lagi, fit and proper test diimplementasikan melalui pola kerja yang berjalan di kelembagaan DPR.

Masalahnya, realisme yang lantas mencuat ke permukaan adalah ambigu. Pada satu sisi, DPR pasca-Orde Baru mendapatkan mandat dan kewenangan legal melakukan fit and proper test terhadap siapa pun yang bakal menduduki jabatan publik tingkat tinggi. Pada lain sisi, DPR menghasilkan sesuatu yang mengecewakan publik. Figur-figur yang dinyatakan lolos fit and proper test, ternyata, tak seperti yang diidealisasikan sebagai tokoh berintegritas dan sekaligus mumpuni. Irawady Joenoes yang tersandung kasus suap, misalnya, merupakan salah seorang anggota Komisi Yudisial yang lolos dari fit and proper test. Dari sini lantas tak terelakkan munculnya pertanyaan bernada kritikal. Bagaimana mungkin DPR meloloskan figur korup semacam itu? Ada apa sesungguhnya dengan uji kepatutan dan kelayakan DPR?

Pertama, terlampau obsesifnya DPR melakukan fit and proper test berada dalam spektrum pencarian format relasi kuasa secara ekuivalen, eksekutif-legislatif. Pada zaman Orde Baru, kekuasaan legislatif sekadar hadir sebagai stempel karet bagi kekuasaan eksekutif. Realisme inilah yang mengondisikan parlemen pada era Orde Baru kosong dari ketegasan kritisisme terhadap kekuasaan eksekutif. Padahal, kekuasaan eksekutif itu sendiri begitu pongahnya manakala harus berhadapan dengan tuntutan-tuntutan aspiratif publik. Tatkala Orde Baru tumbang, tuntutan ke arah penguatan posisi kekuasaan legislatif mengemuka sedemikian dahsyatnya. Tanpa bisa dielakkan, meletup keinginan ke arah terjadinya pergeseran pendulum kekuasaan. Executive heavy diupayakan agar tak terus-menerus mewarnai perpolitikan Indonesia. Sayangnya, pergeseran pendulum itu tak melahirkan tata kelola politik yang holistik, tetapi justru mencetuskan ekstremitas yang lain. Jika di masa Orde Baru muncul executive heavy, pada era pasca-Orde Baru justru mencuat legislative heavy. Dengan dilandasi kehendak untuk melakukan balas dendam (lihat editorial “DPR sebagai Lembaga Seleksi”, Media Indonesia, 12 Maret 2008, hlm. 1), pendulum hanya mampu bergerak dari satu ekstremitas ke ekstremitas lain. Inilah yang dapat menjelaskan, mengapa fit and proper test diskenariokan agar parlemen berada dalam posisi lebih tinggi dibandingkan pemerintah.

Kedua, DPR diperhadapkan dengan problema kelemahan metodologi saat harus melakukan seleksi pejabat publik. DPR hanya mampu fokus pada aspek-aspek empirik-positivistik dari kandidat pejabat publik yang tengah mengikuti proses fit and proper test. Sudah dalam keadaan demikian, basis argumentasi yang diusung dalam format kalimat tanya merupakan argumentasi yang bercorak semantik, yaitu pokrol bambu dan akrobat kata-kata. Hampir tidak ada argumentasi yang bersifat logis, apalagi literer. Dengan segala permintaan maaf harus dikatakan, fit and proper test tak disertai oleh besarnya kapasitas untuk bertanya pada tataran analisis wacana (discourse analysis), hermeneutik dan semiotika. DPR lalu bekerja secara terbatas menyingkap esensi, namun gagal menyelami eksistensi kandidat pejabat publik. Jangan heran jika kandidat pejabat publik dalam proses fit and proper test leluasa tampil innocent. Padahal, sang kandidat sesungguhnya korup.

Pada titik ini, ada kebutuhan agar DPR mulai memperhatikan hakikat politik post-positivistik. Realitas tak mungkin hanya dilihat secara apa adanya. Realitas membutuhkan penafsiran secara sangat cerdas untuk dapat dimengerti segenap hakikatnya. Maka, tanpa bisa dielakkan, harus ada kerendahan hati menerapkan metode analisis wacana, hermeneutik dan semiotika dalam proses fit and proper test. Penolakan secara total terhadap seluruh kandidat Gubernur BI sejatinya disertai oleh terbitnya risalah yang dikonstruksi secara komprehensif dan di dalamnya mengandung aspek moral intelektual. Namun sejauh ini, risalah penolakan semacam itu tak pernah ada, akibat tidak jelasnya pemahaman anggota dewan yang terhormat terhadap politik post-positivistik.[]