Oleh Anwari WMK
Pelan tapi pasti, akhirnya tersingkapkan ke permukaan mengapa begitu banyak elemen negara yang menghendaki lumpuhnya institusi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Tak tanggung-tanggung, elemen negara yang begitu ambisius meluluh lantakkan keberadaan KPK adalah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Kejaksaan Agung dan Kepolisian Republik Indonesia (Polri). Dengan demikian, KPK sesungguhnya tengah terkepung untuk kemudian dijerembabkan ke dalam jurang kehancuran yang dalam. Untuk beberapa waktu ke depan bangsa ini benar-benar diperhadapkan dengan tantangan besar kehancuran KPK. Dan tatkala KPK sudah tamat riwayatnya, maka Indonesia sebagai sebuah bangsa benar-benar terpilin ke dalam ideologi dan praksis korupsi yang tiada taranya. Benar belaka tesis Bung Hatta, korupsi dalam realitas Indonesia bermetamorfosis menjadi kebudayaan.
Dengan cara dan upayanya masing-masing, DPR, Kejaksaan Agung dan Polri mengondisikan terjadinya jalan buntu pemberantasan korupsi. Mengingat KPK merupakan ikon pemberantasan korupsi di Indonesia, maka langkah yang dipandang “tepat” adalah menghancurkan eksistensi KPK. Kewenangan KPK lalu diupayakan untuk diamputasi. Sehingga, KPK hanya melakukan penyidikan dan tidak melakukan penuntutan. KPK sungguh-sungguh diposisikan sebagai obyek di tengah tarian kematian yang pelakon-pelakonnya mencakup DPR, Kejaksaan Agung dan Polri.
Logika Negativitas
DPR merupakan elemen negara yang begitu artikulatif mengedepankan logika negativitas terhadap keberadaan KPK. Di dalam kelembagaan DPR muncul suara-suara yang pada dasarnya menyesalkan terlampau luas dan besarnya kewenangan KPK dalam proses eradikasi korupsi di Indonesia. Dari sejak penyelidikan, penyidikan hingga penuntutan, KPK benar-benar tampil sebagai lembaga super body di Indonesia. Juga karena posisinya yang super body itulah KPK dengan mudah menjadikan DPR sebagai sasaran tembak pemberantasan korupsi. Bukan hal aneh jika kemudian sejumlah anggota DPR dijebloskan ke penjara oleh KPK atas tindak pidana korupsi.
Logika negativitas terhadap KPK di lingkungan DPR menegaskan bahwa kehadiran KPK hanya mencetuskan timbulnya dualisme dalam penuntutan kasus korupsi. Menurut logika ini, seharusnya hanya ada satu lembaga yang berwenang menuntut kasus-kasus hukum, termasuk penuntutan korupsi. Karena itu, merupakan kecelakaan sejarah tatkala KPK diberi wewenang untuk melakukan penuntutan. Sejatinya, penuntutan hanya berada di tangan Kejaksaan, persis sebagaimana diimperatifkan ke dalam Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan. Apalagi, jelas dinyatakan dalam undang-undang tersebut bahwa jaksa merupakan satu kesatuan. Sehingga dengan demikian, jaksa yang berada di KPK tak terpisahkan dari pengawasan dan kewenangan penuntutan Kejaksaan Agung.
Dengan menggugat dualisme penuntutan itu, maka, dengan sendirinya, mencuat pula logika negativitas terhadap kewenangan KPK melakukan penyadapan. Dalam konteks negativitas DPR itu, kita menyaksikan betapa “penuntutan” dan “penyadapan” merupakan dua kata kunci yang menegaskan posisi KPK sebagai lembaga super body dalam proses eradikasi korupsi di Indonesia. Rekayasa politik yang bergulir dari kelembagaan DPR kini adalah mencerabut dua kewenangan tersebut melalui Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi.
Korupsi, Lanjutkan!
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada 19 Desember 2006 mengharuskan adanya undang-undang tentang Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi. Putusan MK ini mendukung upaya-upaya besar KPK memberantas anasir korupsi dalam tubuh bangsa Indonesia. Putusan MK, dengan sendirinya, merupakan upaya saksama untuk memperkuat kewenangan KPK secara total, termasuk dalam hal penuntutan dan penyadapan. Tetapi oleh DPR, putusan MK itu dipelintir—melalui proses legislasi—justru untuk mengebiri kewenangan KPK dalam hal melakukan penuntutan dan penyadapan. DPR telah mempermainkan hak legislasi yang digenggamnya justru untuk mengerdilkan kelembagaan KPK. Tanpa bisa dielakkan, di DPR tengah berlangsung sebuah rekayasa politik ke arah berlanjutnya korupsi. DPR seakan berada dalam satu aksentuasi yang teramat kuat untuk mengatakan “korupsi, lanjutkan!”.
Diakui atau tidak, DPR kini merupakan faktor krusial bagi masa depan pemberantasan korupsi di Indonesia. Logika instrumental yang berkembang dalam lingkungan DPR justru membawa proses pemberantasan korupsi ke dalam sebuah jalan buntu. Dualisme penuntutan yang dipersoalkan hanyalah sebuah pintu masuk menuju jalan buntu pemberantasan korupsi. Kian luasnya penentangan masyarakat terhadap RUU Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi merupakan respons secara lugas terhadap kehendak besar DPR yang tak terbendung untuk menciptakan jalan buntu pemberantasan korupsi.
Apa yang dapat dimengerti dari rekayasa DPR menciptakan jalan buntu pemberantasan korupsi terkait dengan watak politik Indonesia yang sejauh ini memang korup. Usaha-usaha meraih kekuasaan politik di Indonesia merupakan usaha yang bertali-temali dengan sogok, suap dan money politics. Secara demikian, domain kekuasaan politik di Indonesia merupakan ladang bagi tumbuh suburnya korupsi. Sejalan dengan terjadinya pergeseran pendulum kekuasaan di mana parlemen berada dalam posisi yang sangat kuat berhadadapan dengan pemerintah, maka muncul dispersi atau penyebaran perilaku korup. Baik pengawasan badan legislatif terhadap badan eksekutif, penyusunan anggaran negara maupun berbagai proses dalam kaitannya dengan program legislasi nasional (Prolegnas) memungkinkan DPR untuk berkembang menjadi ladang subur tumbuhnya korupsi.
Sejak pasca-Pemilu 1999, DPR menjadi magnet baru ke arah bergeloranya tindakan korupsi. Setiap elemen pemerintahan yang berhubungan dengan DPR harus juga dengan saksama melakukan sharing korupsi bersama DPR. Realitas inilah yang mampu menjelaskan, mengapa DPR yang tampak galak di atas permukaan tak lebih hanyalah sandiwara untuk mencapai tujuan yang lebih besar: menikmati kue korupsi secara kolektif dengan aktor-aktor penggerak roda pemerintahan. Inilah korupsi berjamaah dengan dampaknya yang tak terperikan pada luluh lantaknya daya saing bangsa pada berbagai aspek kehidupan.
Perilaku korup DPR yang ugal-ugalan itu kemudian terhalang oleh pemberantasan korupsi di bawah orkestrasi KPK. DPR yang turut serta membidani lahirnya KPK melalui Prolegnas 2002, pada akhirnya merasa sedang memelihara anak macan. Setelah KPK benar-benar memiliki taring untuk melakukan penyidikan, penyadapan, penangkapan dan penuntutan kasus-kasus korupsi, maka serta-merta anggota DPR menjadi sasaran bidik KPK. Ambisi DPR untuk menggergaji kewenangan KPK kini merupakan tamparan balik terhadap “anak macan” yang telah “menerkam” kaum koruptor itu.
Dualisme penuntutan yang dipersoalkan DPR sesungguhnya tak memiliki kesahihan argumentasi. Dalam sistem hukum nasional, dualisme penuntutan bukanlah hal yang salah. Itulah mengapa, dualisme juga mewarnai proses-proses penyidikan, yakni melibatkan Polri dan Kejaksaan. Sehingga, Polri dan Kejaksaan sama-sama mendapatkan keabsahan sebagai pihak yang berwenang melakukan penyidikan. Dualisme yang haram dalam sistem hukum nasional bertali-temali dengan putusan pengadilan. Artinya, tak boleh ada putusan pengadilan yang bersifat dualistik. Sementara dalam penyidikan dan penuntutan sesungguhnya tak dikenal dualisme.
Logika instrumental yang berkembang dalam lingkungan DPR dengan memberi titik tekan pada “dualisme penuntutan”, jelas hanyalah argumen yang bercorak parsial partikular. Hal mendasar yang hendak dicapai melalui argumen tersebut adalah menciptakan jalan buntu bagi pemberntasan korupsi. DPR kini berada dalam situasi time of no return untuk menisbikan secara total kelembagaan KPK. Maka, sesuatu yang kemudian mendesak dilakukan terkait dengan dua hal.
Pertama, memperkuat barisan civil society untuk melakukan penentangan terhadap DPR. Kedua, mendorong presiden agar mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) demi menyelamatkan KPK. Jika dua hal ini juga gagal diwujudkan, maka “korupsi, lanjutkan!”.
Jakarta, 14 September 2009
Rabu, 16 September 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar