Oleh Anwari WMK
Kedaulatan kata-kata (the sovereignty of words) dalam jagat narasi kebangsaan, pada akhirnya memasuki fase kepunahan. Setelah sejak Orde Baru ruang publik di Indonesia dibombardir oleh kuasa kata otoriter, pada akhirnya ruang publik diharu-biru oleh tamatnya kedaulatan kata-kata. Fakta tentang hal itu sepenuhnya tercermin pada hilangnya ayat tembakau dalam Pasal 113 Undang-Undang Kesehatan. Inilah undang-udang yang keabsahannya telah ditetapkan Dewan Perwkilan Rakyat (DPR) bersama pemerintah melalui Rapat Paripurna tanggal 14 September 2009. Pada 28 September 2009, dokumen undang-undang tersebut dikirimkan ke Sekretariat Negara dengan disertai surat pengantar Ketua DPR periode 2004-2009. Dengan dikirim ke Sekretariat Negara berarti, undang-undang tersebut memasuki proses selanjutnya untuk diumumkan pada Lembaran Negara. Namun, heboh yang lantas mencuat ke permukaan berjalin kelindan dengan hilangnya Ayat (2) pada Pasal 113 Undang-Undang Kesehatan. Maka, dengan sangat gamblang dipertontonkan, bahwa kata-kata telah kehilangan kedaulatannya.
Apa yang dimaksud dengan “kedaulatan kata-kata” di sini bermula dari lahirnya konsensus politik di parlemen. Sejalan dengan prinsip konstitusionalisme, konsensus politik itu kemudian dituangkan menjadi narasi yang “utuh” ke dalam sebuah undang-udang. Sementara, konsensus itu sendiri merupakan kelanjutan logis dari kehendak dan aspirasi rakyat yang dikelola oleh para politikus melalui kelembagaan parlemen. Secara demikian berarti, setiap kata yang termaktub ke dalam undang-undang tak lagi bersifat equivokal. Kata demi kata dalam undang-undang telah tertransformasi menjadi univokal. Itulah mengapa, pada setiap undang-undang terdapat lampiran yang menjelaskan maksud setiap bab, pasal dan ayat. Lantaran telah berdimensi univokal, setiap kata dalam undang-undang memiliki kedaulatan yang tak terbantahkan. Maka, tak mungkin kata-kata itu diubah setelah disepakati melalui Rapat Paripurna. Dan lebih tidak mungkin lagi jika dihilangkan sama sekali. Anehnya, itulah yang terjadi pada ayat tembakau dalam Undang-Undang Kesehatan.
Substansi yang Hilang
Ayat (2) yang hilang dari Pasal 113 Undang-Undang Kesehatan itu mengandung substansi sebagai berikut. “Zat adiktif sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) meliputi tembakau, produk yang mengandung tembakau, produk cairan dan gas yang bersifat adiktif yang penggunaannya dapat menimbulkan kerugian bagi dirinya dan/atau masyarakat sekelilingnya.” Bagaimana memahami hilangnya ayat tembakau ini? Tangan siapakah yang usil sehingga menghilangkan ayat tembakau dan sekaligus menggusur kedaulatan kata-kata?
Berkenaan dengan hilangnya ayat tembakau itu, harian Kompas edisi 14 Oktober 2009 (hlm. 6) sampai merasa perlu menurunkan sebuah editorial dengan judul menggelegar: “Skandal Politik Tembakau”. Editorial ini menggarisbawahi munculnya apa yang disebut “kudeta redaksional” melalui hilangnya Ayat (2) pada Pasal 113 Undang-Undang Kesehatan. Dalam editorialnya Kompas lalu membentangkan perspektif kritis seperti ini: “Kita memandang hilangnya “ayat tembakau” dalam UU Kesehatan bukanlah semata-mata masalah teknis. Kita sependapat dengan pengamat kesehatan Kartono Mohammad bahwa hilangnya “ayat tembakau” harus diusut tuntas oleh Badan Kehormatan DPR, termasuk kemudian ditangani kepolisian. Hilangnya “ayat tembakau” memunculkan kecurigaan adanya intervensi pihak luar, yang keberatan dengan pencantuman ayat soal tembakau dalam UU Kesehatan”.
Dengan editorialnya itu Kompas berbicara secara asertif kepada publik luas, bahwa hilangnya ayat tembakau bukanlah kesalahan yang bersifat aksidental, tetapi justru kesalahan yang bersifat substansial. Hilangnya ayat tembakau itu bukan sekadar akibat dari salah ketik, dan bukan pula kekeliruan di seputar copy dan paste pada program pengolah kata di komputer. Itulah mengapa, pada bagian lain editorialnya Kompas menulis seperti ini: “Perilaku gerilya politik seperti menyelundupkan ayat—menghilangkan atau menambahkan ayat di luar kesepakatan DPR dan pemerintah—adalah sebuah kejahatan politik yang tidak bisa ditoleransi”. Makna yang dengan serta-merta bisa ditangkap dari narasi editorial ini ialah munculnya kekuatan besar di balik hilangnya ayat tembakau dalam Undang-Undang Kesehatan. Dan sebagaimana kemudian dilansir oleh sejumlah radio penyiaran di Jakarta melalui berita dan wawancara selama Rabu pagi 14 Oktober 2009, kekuatan besar dimaksud tak lain dan tak bukan adalah industri rokok dan para kompradornya.
Namun hal yang kemudian penting dicatat adalah ini. Peristiwa hilangnya ayat tembakau dalam Undang-Undang Kesehatan jelas takkan berada dalam pelukan abadi pemberitaan media massa. Sejalan dengan begitu beragamnya isu yang terus bergulir, peristiwa hilangnya ayat tembakau bakal berlalu bersama angin. Sungguh pun begitu, peristiwa tersebut merefleksinya beratnya problema konstitusionalisme di negeri ini. Hal yang bisa kita simpulkan ialah proses terciptanya sebuah undang-udang melalui kelembagaan DPR dengan mudahnya diporak-porandakan oleh kepentingan bercokol (vested interest). Sudah dalam keadaan demikian, kaum vested interest telah sejak lama mendeterminasi keberadaan DPR serta mempengaruhi agenda legislasi parlemen.
Dari kenyataan buruk ini maka bahaya besar dalam jangka panjang terkait erat dengan keberlanjutan eksistensi Indonesia sebagai sebuah bangsa. Editorial Kompas lalu mengusung narasi kalimat yang sepenuhnya berisikan peringatan menghadapi bahaya besar di masa depan. Tulis editorial Kompas: “Cara kasar seperti itu, jika dibiarkan, bakal mengancam eksistensi negara hukum dan sistem demokrasi deliberatif yang sedang mau kita bangun. Hilangnya atau ditambahkannya sebuah ayat—di luar kesepakatan politik DPR dan pemerintah—jelas akan mempengaruhi nasib seluruh bangsa ini, termasuk pemerintah, DPR dan seluruh rakyat.” Pesan paling penting dari narasi kalimat editorial ini ialah mengakhiri seluruh kecenderungan punahnya kedaulatan kata-kata.
Parlemen yang Profan
Menteri Sekretaris Negara Hatta Radjasa memberikan kesaksian, bahwa ayat yang hilang setelah persetujaun Rapat Paripurna DPR pernah terjadi pada dokumen Rancangan Undang-Undang (RUU) Perkeretaapian dan RUU Tata Ruang. Dengan demikian berarti, hilangnya ayat tembakau dalam Undang-Undang Kesehatan bukanlah absurditas politik yang terjadi untuk pertama kalinya. Artinya, ada preseden buruk menjelang atau sebelum hilangnya ayat tembakau dalam Undang-Undang Kesehatan. Dari pengalaman buruk ini Hatta Radjasa lalu menarik sebuah konklusi. Bahwa hilangnya ayat dalam RUU yang sudah disetujui Rapat Paripurna DPR merupakan persoalan yang sangat mendasar. Itulah mengapa, perlu ada shock therapy untuk mencegahnya agar tak menjadi habitus hingga ke masa depan. Terlebih lagi, satu ayat dalam sebuah undang-undang dihasilkan melalui proses legislasi selama berbulan-bulan.
Tak bisa tidak, pada akhirnya, sorotan harus diarahkan ke parlemen. Sebab, parlemen merupakan institusi politik yang amat profan. Jika di masa Orde Baru berfungsi sebagai stempel karet kekuasaan otoriter, pada era Orde Reformasi parlemen jusrtu berubah menjadi mesin yang terus-menerus mereproduksi berbagai skandal korupsi. Jajak pendapat publik lalu menunjukkan, bahwa bersama kejaksaan dan kepolisian parlemen merupakan lembaga negara terkorup di Indonesia. Bukan saja kemudian banalitas politik tumbuh subur di parlemen, lebih dari itu profanitas merasuk ke dalam totalitas eksistensial parlemen.
Dengan profanitas berarti, para politikus di parlemen sama sekali tak merasa bersalah sekali pun tak habis-habisnya menista rakyat. Pengusuran ayat dalam RUU yang sudah final jelas “hanyalah” hal kecil bagi parlemen. Tak mengherankan jika Sekjen DPR Nining Indra Saleh mengangap biasa-biasa saja raibnya satu ayat dalam Undang-Undang Kesehatan (Media Indonesia, 14 Oktober 2009, hlm. 1). Tak berlebihan jika kemudian disimpulan, parlemen Indonesia di masa kini merupakan kekuatan besar yang berada di balik tamatnya kedaulatan kata-kata. Maka, terhadap parlemen, waspadalah..... waspadalah, ... waspadalah ....!
Jakarta, 14 Oktober 2009
Rabu, 14 Oktober 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar