Oleh Anwari WMK
Pelan tapi pasti, kian tersingkap fakta dan kenyataan. Betapa sesungguhnya, realitas hidup kolektif di Indonesia mulai kehilangan otentisitasnya. Kalau pun masih tersisa otentisitas, maka otentisitas itu pun mulai digerus oleh gelombang kepunahan secara sangat dahsyat. Sementara tragisnya, punahnya otentistas merupakan akibat logis dari sikap hidup, perilaku dan tindakan yang terlampau pragmatik-komersialistik. Akibat lebih lanjut dari kenyataan ini, ruang publik gagal mencetuskan inspirasi-inspirasi baru nan memukau. Para aktor politik dan ekonomi yang nyemplung ke dalam ruang publik pun tak membawa serta dramaturgi yang inspiratif. Justru, para aktor itu tiba-tiba tampak sebagai monster pemburu rente yang tiada taranya.
Tragedi demi tragedi lalu mengkristal sebagai atmosfer memilukan bagi Indonesia. Politik lantas kehilangan kedigdayaannya memperjuangkan kehendak umum (public interest). Sementara perekonomian, lumpuh saat diharapkan mampu mewujudkan keunggulan kompetitif bangsa. Apa boleh buat, amanat penderitaan rakyat tersingkirkan dari arena pergumulan politik dan ekonomi. Tak pelak lagi, begitulah potret Indonesia pada abad XXI kini. Maka, hanya ada satu jalan yang mungkin ditempuh Indonesia sebagai bangsa, yaitu sungguh-sungguh menghidupkan kembali sukma otentisitas.
Penting dicatat, bahwa dengan otentisitas berarti, ada upaya saksama mempertahankan kesejatian diri yang agung. Dengan otentisitas, manusia merambah menuju puncak kesempuraan hidup melampaui binatang-binatang. Segala sesuatu yang manusiawi sungguh-sungguh diupayakan berdimensi transenden. Dengan otentisitas, timbul progresivitas demi meraih kebenaran hakiki. Dengan otentisitas, Indonesia bukanlah sekadar wilayah tempat berhimpunnya sekumpulan manusia dari berbagai macam puak. Lebih dari itu, melalui otentisitas terbentuk format kolektivitas manusia yang menjungjung tinggi sportivitas, kejujuran dan integritas. Otentisitas inilah yang meneguhkan timbulnya pandangan dunia desa mawa cara, negara mawa tata, sabrang damar panuluh.
Ketiadaan Otentisitas
Manakala saksama menelisik pesan-pesan filosofis yang termaktub di balik teks Pembukaan UUD 1945, maka serta-merta kita menemukan hakikat otentisitas Indonesia sebagai sebuah bangsa. Masalahnya kemudian, anak-anak bangsa di negeri ini terseret ke dalam arus besar punahnya otentisitas. Tragisnya lagi, punahnya otentisitas menemukan episentrumnya di lembaga-lembaga pendidikan tinggi. Maka, semakin terkuak ke permukaan, betapa sesungguhnya lembaga-lembaga pendidikan tinggi yang pada dasarnya terhormat itu justru diharu-biru oleh hadirnya dosen, profesor dan calon profesor yang tak lain dan tak bukan hanyalah plagiator. Tanpa bisa dielakkan, perguruan tinggi menjadi ladang subur tumbuhnya plagiarisme.
Sesuatu yang kemudian penting dikatakan adalah ini: muncul sekumpulan dosen, profesor dan calon profesor yang kehilangan rasa malu menjiplak dan mengklaim karya-karya akademis orang lain sebagai miliknya. Bahkan, karya-karya mahasiswa mereka sendiri sengaja dibajak untuk keperluan kum akademik. Demi meraih posisi guru besar, misalnya, banyak dosen memilih jalan yang mudah, serta menampik jalan yang benar. Kita lalu melihat keanehan yang tiada taranya pada bangsa ini. Guru besar yang plagiator tak memberi kontribusi signifikan terhadap kemajuan ilmu pengetahuan. Besarnya populasi guru besar tak berbanding lurus dengan apa yang pernah disinggung Soedjatmoko sebagai “penambahan cadangan ilmu”.
Pertanyaan yang kemudian mencuat ke permukaan terkait dengan hakikat dan logika pencapaian akademis di perguruan tinggi. Apa sesungguhnya yang mendasari keberadaan seseorang sehingga patut menyandang status profesor atau guru besar? Adakah takaran obyektif untuk bisa menyimpulkan bahwa seseorang memang layak menyandang status guru besar? Dalam okasionalitas apa seseorang dipandang patut mempertontonkan gelar guru besar? Ternyata, pertanyaan-pertanyaan ini memiliki kaitan makna dengan beberapa dimensi.
Pertama, upaya meraih status guru besar kini memang rentan terjerembab ke dalam plagiarisme. Dalam headline-nya pada edisi 18 Februari 2010, harian Kompas mengungkap penjiplakan yang kian merebak pada berbagai perguruan tinggi di Tanah Air. Dengan beragam modus, maka dosen, guru besar dan calon guru besar menjiplak karya-karya akademik orang lain. Headline ini menegaskan satu hal: bukan saja mahasiswa yang terpilin ke dalam tindakan jiplak-menjiplak, tetapi juga dosen, guru besar dan calon guru besar. Semuanya bermula dari berlakunya aturan main. Bahwa karya ilmiah ditetapkan sebagai faktor determinan pengurusan kenaikan jabatan dosen di perguruan tinggi, hingga mencapai derajat guru besar.
Kedua, karya-karya ilmiah yang dijadikan dasar kenaikan jabatan dosen di perguruan tinggi merupakan karya-karya ilmiah yang tak terpublikasikan secara luas. Sehingga dengan demikian, tak ada supervisi yang bersifat kritis terhadap seluruh karya ilmiah tersebut. Sebuah kesaksian menyebutkan, penjiplakan karya-karya ilmiah di Indonesia telah berlangsung sejak lama. Bahkan, penjiplakan itu telah sedemikian rupa bermetamorfosis menjadi habit dalam totalitas dinamika perguruan tinggi. Tak pelak lagi, inilah instanisme yang begitu terang benderang. Ibarat narkoba, penjiplakan merupakan tindakan haram yang dirasakan nikmat untuk dilakukan. Bahkan, dilakukan secara berulang-ulang.
Ketiga, plagiarisme mengambil titik tolak dari upaya eksploitasi kalangan mahasiswa oleh kalangan dosen, guru besar dan calon guru besar. Para mahasiswa dalam konteks ini, dikondisikan untuk melaksanakan agenda-agenda penelitian. Hasil-hasil penelitian itulah yang kemudian diklaim sebagai karya akademis dosen, guru besar dan calon guru besar di perguruan tinggi. Apa yang bisa kita simpulkan dari kenyataan ini ialah terbentuknya pola relasi subyek-obyek. Dosen, guru besar dan calon guru besar memosisikan dirinya sebagai subyek, sementara mahasiswa disudutkan semata sebagai obyek.
Jelas kiranya, ketiadaan otentisitas itu merupakan tantangan besar bagi Indonesia dalam memasuki pergumulan abad XXI. Ketiadaan otensitas yang sedemikian rupa itu justru telah melumpuhkan kelembagaan pendidikan tinggi untuk sepenuhnya berperan sebagai center of excellence dalam kehidupan masyarakat. Karena itu, mutlak ditemukan sebuah jalan keluar demi memecahkan masalah ketiadaan otentisitas.
Jalan Keluar
Tantangan besar abad XXI memperhadapkan Indonesia pada pilihan sulit. Tatkala bangsa-bangsa lain telah melakukan lompatan kuantum demi mencapai kemajuan, Indonesia masih berputar-putar pada persoalan elementer ketahanan pangan, ketidaktercukupan energi dan buruknya infrastruktur. Mau tak mau, Indonesia harus menyelesaikan dua persoalan kembar. Indonesia harus dengan segera menyelesaikan problema-problema elementer, serta sekaligus mengejar ketertinggalan dari bangsa-bangsa lain. Mengacu pada kemampuan mencetak lapisan sumber daya manusia yang bermutu, pendidikan tinggi berdiri di garda depan dalam hal menyelesaikan persoalan kembar itu.
Pada titik ini kita lantas diperhadapkan dengan keharusan untuk mereformulasi pendidikan tinggi. Hal yang niscaya dilakukan adalah mempurifikasi kedudukan guru besar dari noda hitam plagiarisme. Caranya, setiap guru besar diharuskan menulis minimal satu buku ilmiah setiap tahun. Setelah terbit, substansi buku ilmiah itu dibentangkan untuk diperdebatkan di ruang publik demi mempertimbangkan tingkat kesahihan dan kualitasnya. Sebagai konsekuensinya, status guru besar mutlak dicabut manakala syarat ini tak dipenuhi. Inilah cara paling beradab mengeleminasi plagiarisme. Bahkan, inilah cara paling masuk akal merawat otentisitas.
Moral dari tulisan ini sangatlah sederhana: keharusan menyimak mara bahaya punahnya otentisitas. Tanpa otensitas, Indonesia bakal diperhadapkan dengan kemerosotan untuk sekadar menjadi bangsa abal-abal dalam pergaulan global.[]
Kamis, 18 Februari 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar