Oleh Anwari WMK
Pada akhirnya, hukuman mati bagi para koruptor benar-benar mencuat ke permukaan sebagai isu super seksi. Suara-suara segelintir orang yang menghendaki agar penghukuman jangan sampai sama dan sebangun dengan pembunuhan, ternyata kalah nyaring dibandingkan dengan suara-suara yang menyerukan diberlakukannya hukuman mati bagi para koruptor. Bahkan, suara-suara yang mengusung anti-hukuman mati itu mendadak sontak dirasakan sebagai sebuah anomali manakala disimak berdasarkan teropong sosiologi korupsi. Kalau pun suara-suara anti-hukuman mati berlandaskan pandangan-pandangan filosofis, tetap saja suara-suara ini dirasakan sebagai “romantisme-humanistik”, yang telah kehilangan pesona misi profetiknya. Inilah suara-suara yang ditahbiskan sebagai sesuatu yang sama sekali tak relevan manakala dikait-hubungkan dengan kecamuk korupsi yang sungguh-sungguh destruktif.
Apa yang kemudian menarik untuk kita catat adalah ini. Isu super seksi hukuman mati merupakan semiotika yang bergerak di atas permukaan kesadaran publik berkenaan dengan batas-batas demarkasi kecamuk korupsi. Sudah barang pasti dapat diprediksikan dari sejak sekarang, bahwa hukuman mati mustahil diberlakukan dalam waktu cepat sebagai sebuah hukum positif. Baik pemerintah, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) maupun lembaga-lembaga penegak hukum berada dalam satu titik konvergens untuk menampik hukuman mati. Sebab jika benar diberlakukan, hukuman mati bergulir sebagai bumerang yang bakal menggilas aktor-aktor pemerintahan, DPR dan aparat hukum. Bukankah mereka yang sejauh ini terpilin ke dalam orkestrasi korupsi?
Pada titik ini lantas bisa dimengerti, mengapa hanya Prof. Dr. Mahfud MD yang asertif berbicara tentang hukuman mati bagi para koruptor. Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) ini seakan bertindak sebagai muadzin ke arah pelaksanaan hukuman mati, dengan koruptor sebagai sasarannya. Ia seakan membunyikan lonceng peringatan, bahwa tanpa hukuman mati mustahil korupsi di negeri ini bisa disikat habis. Di tengah munculnya keraguan dan kegamangan kalangan penegak hukum, Mahfud MD justru mempertontonkan argumentasi tentang hukuman mati sebagai metode paling solutif membabat habis korupsi.
Tentu saja, wacana hukuman mati yang berhenti sebatas isu super seksi ini merupakan manifestasi secara subtil batas-batas demarkasi kecamuk korupsi. Inilah wacana yang menghablur ke ruang publik dan serasa sedap didiskusikan. Tetapi di balik itu, mengejawantah tiga gugusan persoalan yang sungguh-sungguh merefleksikan terbetuknya batas-batas demarkasi kecamuk korupsi.
"Kecamuk korupsi memang terus terjadi. Sungguh pun demikian, mulai tampak tanda-tanda, bahwa kecamuk korupsi itu diperhadapkan dengan batas-batas demarkasi. Artinya, silahkan para koruptor berpesta pora, dengan segala kelancungannya."
Pertama, korupsi dalam hubungannya dengan negara gagal khas Indonesia. Baik cabang-cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, yudikatif, maupun jajaran birokrasi publik, secara keseluruhan merupakan anasir negara yang berbeda secara diametral dibandingkan dengan masyarakat dan perekonomian. Letak perbedaan itu terkait erat dengan legitimasi dan kewenangan untuk turut serta menentukan keberlanjutan eksistensi masyarakat dan perekonomian. Tatkala anasir-anasir negara ini terseret ke dalam pusaran korupsi yang tiada taranya, maka terjadi disharmoni pada aras hubungan segitiga “negara-masyarakat-perekonomian”. Bukan saja negara tak inspiratif bagi pengelolaan lebih lanjut masyarakat dan perekonomian, lebih dari itu negara gagal memberikan respons secara cerdas terhadap aneka ragam tantangan yang sekonyong-konyong muncul ke permukaan.
Akibat kecamuk korupsi, negara dalam realitas Indonesia kesulitan memahami dirinya sendiri. Sejalan dengan bentangan historis sejak Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, proses evolusi ternyata tak mengondisikan negara menjadi lebih baik. Justru dengan didukung oleh kecanggihan teknikalitas korupsi, negara malah berjalan mundur. Selain korupsi, tak ada kebanggaan yang patut dipertontonkan oleh aktor-aktor pengelola negara. Karena itu pula, tak ada penyebutan yang sahih demi menandai semua ini selain mengatakannya sebagai “norak”, “memalukan” dan bahkan “menjijikkan”. Sangat bisa dimengerti pada akhirnya, mengapa pengucapan-pengucapan tentang keberhasilan negara oleh jejaring rezim yang tengah berkuasa justru dimengerti publik sebagai retorika dan pencitraan yang amat sangat narsis. Maka, benar-benar terasa batas demarkasi kecamuk korupsi.
Kedua, korupsi dalam kaitannya dengan dispora perekonomian. Sulit memungkiri fakta dan kenyataan, Indonesia kaya akan sumber-sumber daya produktif. Bukan saja lantaran terdapat endowment berupa sumber daya alam dengan magnitude besar, lebih dari itu tersedia beragam talenta ke arah pengembangan industri kreatif. Selain itu, tak terkatakan lagi jika Indonesia berada dalam posisi strategis sebagai pasar gemuk di kawasan Asia Tenggara yang mampu menyerap dalam skala besar berbagai macam produk. Tragisnya, anasir-anasir negara gagal memahami secara cerdas segenap kenyataan ini. Sebagai akibatnya, negara lumpuh saat diharapkan mampu melakukan pengorganisasian terhadap seluruh potensi perekonomian agar sepenuhnya faktual dan aktual.
Diaspora perekonomian tampak mencolok pada kegagalan pemerintah dalam hal memberikan garansi terhadap ketercukupan faktor masukan produksi. Energi gas, misalnya, gagal diarahkan sebagai basis penguatan industri manufaktur di dalam negeri. Pemerintah malah membiarkan gas diekspor dengan harga murah. Langsung maupun tak langsung, pemerintah Indonesia memberikan kontribusi ke arah terciptanya nilai tambah industri di negara-negara lain. Mengapa ini terjadi? Jelas, semuanya terkait erat dengan kecamuk korupsi dalam balutan rente ekonomi. Ketika kemudian kian mengkristal tuntutan agar pemerintah berperan memperkuat keberadaan faktor masukan produksi industri, maka penghentian kecamuk korupsi merupakan keniscayaan tak terelakkan. Mengkhiri kecamuk korupsi lantas menjadi aksioma untuk memajukan perekonomian bangsa ini. Tak pelak lagi, inilah batas demarkasi kecamuk korupsi.
Ketiga, korupsi dalam kaitannya dengan akumulasi kebencian masyarakat. Observasi secara generik membawa kita pada satu kesimpulan: semakin kuatnya penolakan masyarakat terhadap korupsi. Jika semula ada penerimaan secara diam-diam terhadap perilaku korup, titik balik kemudian terjadi. Pelan tapi pasti, masyarakat berada dalam satu fase kesadaran untuk memandang korupsi bukan sebagai kelaziman. Timbulnya kesadaran kolektif semacam ini tak bisa dilepaskan dari skandal mafia kasus perpajakan yang membelit pegawai golongan IIIA di Subdirektorat Banding Ditjen Pajak, Gayus Tambunan. Kebencian masyarakat terhadap korupsi inilah yang turut serta mengukuhkan timbulnya batas-batas demarkasi kecamuk korupsi.
Bagaimana pun, korupsi memiliki ruang untuk tumbuh dan berkembang hanya manakala masyarakat menerimanya sebagai suatu kelaziman. Terutama sejak era Orde Baru, sedemikian rupa masyarakat terkondisikan menerima kehadiran korupsi sebagai kewajaran. Tak bisa dielakkan, sejak era Orde Baru itulah korupsi bermetamorfosis menjadi domain kultural. Korupsi tidak lagi dimengerti sebagai penyimpangan, tetapi justru diposisikan sebagai prasyarat saat masyarakat harus berhubungan dengan anasir-anasir negara. Cuma saja, skandal Gayus Tambunan mengubah segalanya. Domain kultural korupsi kini terdekonstruksikan oleh kecamuk korupsi di bidang perpajakan. Seakan blessing in disguise, skandal Gayus Tambunan mengondisikan terciptanya batas demarkasi kecamuk korupsi.
Alhasil, sebagai salah satu negara terkorup di dunia, Indonesia mulai memasuki babakan baru perjalanan historisnya bergumul dengan korupsi. Kecamuk korupsi memang terus terjadi. Sungguh pun demikian, mulai tampak tanda-tanda, bahwa kecamuk korupsi itu diperhadapkan dengan batas-batas demarkasi. Artinya, silahkan para koruptor berpesta pora, dengan segala kelancungannya. Hanya saja, atmosfer baru lahir: tak pernah ada pesta yang tak berakhir. Koruptor pada berbagai tingkatan, mau tak mau, harus memasuki titik kulminasi, bahwa enough is enough.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar