Oleh Anwari WMK
Mau tak mau, bangsa ini harus belajar memahami suatu hal. Betapa sesungguhnya, politik pencitraan memiliki batas-batasnya sendiri. Dalam praksis demokrasi liberal pencitraan memang berperan memenangkan pertarungan politik. Tetapi, pencitraan yang begitu banal justru mengkristalisasi rekayasa demi mengubah sesuatu yang superfisial menjadi hakiki. Juga melalui pencitraan, seorang tokoh politik sengaja digambarkan sebagai sosok yang peduli nasib wong cilik. Sang tokoh politik serta-merta diilustrasikan sebagai sosok yang bersedia hidup sederhana. Bahkan, sang tokoh politik didedahkan sebagai pribadi religius. Maka, pencitraan mengubah dunia politik yang libidal menjadi seolah-olah humanistik. Secara demikian, tak terelakkan jika narsisme menemukan perwujudannya secara sangat vulgar melalui pencitraan.
Kini, kita menyaksikan pencitraan yang berlebihan mulai mengganggu akal sehat. Pencitraan yang tak habis-habisnya membombardir ruang publik justru mempertontonkan ucapan dan laku seorang tokoh melampaui kelaziman. Contohnya, pencitraan yang terlampau obsesif mewarnai kepemimpinan nasional. Hal yang kemudian tak terlekkan mencuat ke permukaan ialah tendensi jajaran pemerintahan dalam garis komando kepemimpinan nasional. Seluruh jajaran pemerintahan merasa telah melakukan hal-hal fundamental tatkala sukses menggebrak dengan pencitraan. Di sini kita menemukan kembali sabdo pandito ratu: segala sesuatu dianggap final tatkala sudah diucapkan, tanpa harus dilaksanakan. Kata-kata teramputasi dari tindakan.
Derap Pencitraan
Selama kurun waktu 2004-2009, jajaran pemerintahan di Indonesia diwarnai derap pencitraan. Baik media cetak maupun elektronik diwarnai iklan atau advertorial tentang kehebatan departemen atau kementerian serta pemerintahan daerah. Observasi secara random terhadap media cetak nasional membawa kita pada kesimpulan: jajaran pemerintahan pada berbagai lini terpilin ke dalam upaya memperebutkan pencitraan. Kita lalu menyaksikan munculnya komunikasi politik yang sepenuhnya diwarnai aura pencitraan kalangan pemerintah. Ekses negatif lalu menyeruak ke permukaan. Contohnya, termaktub ke dalam fakta berikut.
Pada 29 hingga 30 Oktober 2009, di Jakarta berlangsung Rembug Nasional (National Summit) membicarakan agenda ekonomi, politik dan kesejahteraan. Tak tanggung-tanggung, perhelatan akbar ini dihadiri 1.424 pemangku kepentingan, dari sejak pemerintahan daerah, akademisi, lembaga swadaya masyarakat (LSM), seluruh menteri dan departemen, serikat pekerja hingga asosiasi-asosiasi usaha dan profesi. Bagi rezim yang tengah berkuasa, Rembug Nasional ini merupakan ajang pencitraan. Rembug Nasional memberi ruang kepada Presiden mengemukan visi misi pembangunan lima tahun ke depan.
Tragisnya, Rembug Nasional gagal mencetuskan pencitraan seperti diharapkan. Selama 30 hingga 31 Oktober 2009, headlines media cetak dan breaking news media elektronik diwarnai pemberitaan tentang episode teranyar perseteruan “buaya versus cicak”, yang tak lain dan tak bukan adalah perseteruan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) melawan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Semestinya, Rembug Nasional mendominasi headlines media cetak dan breaking news media elektronik selama 30 hingga 31 Oktober 2009. Ternyata, harapan merupakan satu hal, dan kenyataan merupakan hal lain. Dengan demikian, Rembug Nasional dirundung kegagalan bertubi-tubi. Bukan saja secara substansial Rembug Nasional tak menjanjikan terobosan besar demi mengarahkan perekonomian nasional menuju pelataran yang lebih baik, lebih dari itu Rembug Nasional mempertontonkan kooptasi pencitraan Presiden oleh upaya pencitraan jajaran Polri.
Dalam pertarungannya melawan KPK, Polri gagal merebut pencitraan. Kegagalan itu bahkan begitu tragis, persis sebagai terbentang ke dalam kronologi peristiwa berikut. Pertama, pada 15 Oktober 2009 Bambang Widjojanto (ketua tim kuasa hukum Bibit S. Rianto dan Chandra M. Hamzah) berbicara tentang data yang menunjukkan terjadinya rekayasa ke arah kriminalisasi terhadap Bibit S. Rianto dan Chandra M. Hamzah sebagai Wakil Ketua KPK. Kedua, pada 21 Oktober 2009 Bibit S. Rianto berbicara tentang bukti rekaman percakapan pejabat Polri dan Kejaksaan Agung serta saksi dugaan penyuapan sudah ada di tangan Ketua Sementara KPK. Ketiga, pada 26 Oktober 2009 media cetak dan elektronik mulai memberitakan transkripsi rekaman percakapan yang berisikan upaya pelemahan KPK oleh Polri dan Kejaksaan Agung. Keempat, pada 27 Oktober 2009 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono merasa dicatut namanya dalam transkripsi rekaman tersebut. Kelima, pada 28 Oktober 2009 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meminta pencatutan namanya diusut tuntas. Keenam, pada 29 Oktober 2009 Bibit S. Rianto dan Chandra M. Hamzah ditahan di Mabes Polri.
Tampak dari kronologi peristiwa itu, penahanan Bibit S. Rianto dan Chandra M. Hamzah terjadi pada hari pertama pelaksanaan Rembug Nasional. Mendadak sontak, breaking news media elektronik dan headlines media-media cetak esok harinya, lebih memandang penting mewartakan penahanan Bibit S. Rianto dan Chandra M. Hamzah, ketimbang Rembug Nasional. Sebagai sebuah peristiwa, Rembug Nasional lantas termarginalkan oleh berita penahanan Bibit S. Rianto dan Chandra M. Hamzah. Sisi lain dari kenyataan ini, Polri tampil dengan tindakan membabi-buta. Selama dua minggu sebelum penahanan Bibit S. Rianto dan Chandra M. Hamzah, citra Polri tampak begitu coreng-moreng. Tak mengherankan jika salah satu alasan penahanan Bibit S. Rianto dan Chandra M. Hamzah ialah karena dua tokoh KPK itu mempengaruhi dinamika opini publik.
Kebenaran Absolut
Hal yang kemudian menarik digarisbawahi adalah ini. Sedahsyat apapun politik pencitraan digebrakkan ke tengah kancah kehidupan masyarakat, toh pada akhirnya terbentur limitasi-limitasi tertentu. Kebenaran absolut memiliki kemampuan korektif terhadap pencitraan. Tatkala pencitraan mengingkari kebenaran absolut, maka seketika itu pula pencitraan tampak janggal dan mulai kehilangan rasionalitasnya. Pencitraan tampak mencolok sebagai tricky yang disesaki aura tipu-menipu.
Dalam contoh kasus penahanan Bibit S. Rianto dan Chandra M. Hamzah, batas-batas pencitraan dapat disimak ke dalam konteks memperebutkan pencitraan dalam tubuh pemerintahan. Tak terelakkan jika sektor per sektor pemerintahan berkompetisi menjadi yang terbaik dalam hal pencitraan. Hanya saja, kompetisi di mana pun sama saja. Di samping ada the winner, selalu muncul the losser. Dampak buruk yang kemudian bergulir ialah kompetisi jajaran pemerintahan pada ranah pencitraan justru memporak-porandakan strategi komunikasi politik rezim kekuasaan. Rembug Nasional, misalnya, telah dirancang sedemikian rupa menjadi suatu model pencitraan rezim kekuasaan di hadapan pemerintah daerah, LSM, serikat pekerja, asosiasi usaha dan asosiasi profesi. Ternyata, pencitraan rezim kekuasaan ini diporak-porandakan oleh pelaksanaan otoritas Polri untuk menahan dua tokoh KPK. Hal yang absurd di sini terefleksikan ke dalam pertanyaan: mengapa penahanan tak dilakukan setelah rampungnya pelaksanaan Rembug Nasional? Agaknya, obsesi terhadap pencitraan menyudutkan Polri ke dalam tindakan membabi buta. Sebagai akibatnya, Rembug Nasional gagal merebut tempat secara memadai pada kancah pemberitaan media massa.
Hikmah dari semua ini hanyalah satu: sudah saatnya rezim kekuasaan bekerja bukan untuk pencitraan yang begitu narsistis. Dari sejak sekarang hingga ke masa depan, rezim kekuasaan di negeri ini niscaya untuk memperjuangkan terwujudnya kebenaran absolut yang terpatri ke dalam terciptanya masyarakat adil makmur. Wahai para pengendali rezim kekuasaan, berhentilah Anda bermain-main dengan pencitraan. Kalau tidak, Anda bakal terbentur batas-batas pencitraan. Di mata publik, eksistensi Anda lalu tampak amat sangat absurd.[]
Jakarta, 1 November 2009
Senin, 02 November 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar