Oleh Anwari WMK
Biaya mahal pelayanan kesehatan di rumah sakit bukanlah cerita baru. Paling tidak sejak dekade 1980-an, komersialisasi pelayanan kesehatan telah sedemikian rupa muncul ke permukaan dan sekaligus dirasakan sebagai persoalan besar. Rumah sakit memang terus mempertahankan eksistensinya di tengah kancah kehidupan masyarakat. Rumah sakit terus berupaya menjadi bagian tak terpisahkan dari masyarakat. Tetapi keberadaannya di tengah masyarakat disertai oleh sikap yang keliru dan disertai oleh pendekatan yang salah. Rumah sakit cenderung untuk hanya memandang masyarakat sebagai obyek yang absah dieksploitasi. Hubungan rumah sakit dan masyarakat pun lalu berevolusi menjadi hubungan bercorak subyek-obyek. Rumah sakit memosisikan dirinya sebagai subyek dan masyarakat disudutkan semata sebagai obyek. Dalam situasi demikian, hanya kaum kaya yang dipandang layak mendapatkan pelayanan kesehatan.
Perkembangan setelah dekade 1980-an mempertontonkan timbulnya cerita-cerita pilu. Baik pada rumah sakit pemerintah maupun pada rumah sakit swasta muncul berbagai narasi penceritaan tentang kaum miskin yang gagal mendapatkan pelayanan kesehatan secara manusiawi. Kaum miskin ditolak berobat ke rumah sakit, berdasarkan alasan ketiadaan dan ketidaktercukupan biaya. Bukan saja tiba-tiba kaum miskin menjadi saksi terhadap ganasnya komersialisasi pelayanan rumah sakit. Lebih dari itu, kaum miskin diposisikan sebagai aktor sosial yang—langsung maupun tidak langsung—teraniaya oleh praksis pelayanan kesehatan. Di sini kita lantas menyaksikan secara terang benderang, betapa sesungguhnya rumah sakit merupakan institusi sosial yang amat sangat pongah. Sejak dekade 1980-an itu, biaya mahal berobat ke rumah sakit benar-benar mengkristal menjadi narasi besar (the grand narrative) dalam konteks penyelenggaraan pelayanan kesehatan.
Pada sekitar dekade 1990-an, muncul diskursus sosial yang secara keseluruhan menggugat keberadaan rumah sakit di Tanah Air. Diskursus sosial itu secara telak berbicara tentang sesuatu yang teramat janggal: “kaum miskin dilarang sakit”. Pokok soal dalam diskursus sosial ini adalah kemustahilan orang miskin mendapatkan pelayanan secara memadai dari sebuah rumah sakit. Sekalipun penyakit dan penderitan kaum miskin mutlak disembuhkan melalui sebuah rumah sakit, ternyata tak secara otomatis membuahkan aksioma agar rumah sakit sepenuhnya peduli terhadap kaum miskin. Dengan menghamba pada pola pembiayaan yang sepenuhnya komersialistik, rumah sakit di Indonesia malah cenderung menyingkirkan kaum miskin dari skema pelayanan kesehatan.
Tragisnya, “kaum miskin dilarang sakit” bukanlah satu-satunya persoalan yang membelit keberadaan rumah sakit sejak dekade 1980-an. Dalam menjalankan fungsinya, acapkali rumah sakit justru diperhadapkan dengan masalah malpraktik. Sejak dekade 1980-an itu, malpraktik bahkan tak habis-habisnya mewarnai pemberitaan media massa. Jika segala sesuatu yang terungkap melalui media massa merupakan puncak gunung es suatu permasalahan, maka dapat dikatakan bahwa dalam realitas sesungguhnya malpraktik berlangsung secara eksesif. Apa yang aneh di sini ialah malpraktik yang menihilkan makna profesionalisme. Semestinya, dengan komersialisasi, rumah sakit memiliki kapasitas bekerja profesional, sehingga tak perlu muncul masalah malpraktik. Ternyata, kaum kaya pun merupakan pihak yang tak luput dari ancaman malpraktik.
Dengan sendirinya, rumah sakit mereproduksi persoalan kembar. Terhadap mereka yang tak mampu membayar mahal, rumah sakit melakukan upaya-upaya sistematis menihilkan keberadaan kaum miskin. Terhadap mereka yang mampu membayar mahal, rumah sakit justru terbelenggu ke dalam spiral persoalan malpraktik. Ujung dari semua ini ialah runtuhnya kewibawaan dokter. Mengingat keberadaan rumah sakit tak pernah bisa dilepaskan dari peran dokter, maka memburuknya citra rumah sakit berimbas terhadap posisi sosial kalangan dokter.
Di tengah kancah kehidupan masyarakat masih banyak dokter yang menjunjung tinggi kebajikan. Observasi hingga ke kota-kota kecil di berbagai pelosok Nusantara menunjukkan, sesungguhnya masih ada dokter yang dicintai dan dihormati masyarakat. Tak sedikit dari para dokter itu yang personalitasnya melegenda sebagai tokoh yang lebih banyak memberi ketimbang menerima. Bukan saja lantaran sang dokter menerapkan tarif murah, tetapi juga memiliki empati terhadap kaum miskin. Masalahnya, keberadaan dokter semacam ini kian tertutupi oleh komersialisasi pelayanan kesehatan. Rumah sakit telah mencetuskan atmosfer yang melabelisasi para dokter sebagai elemen komersialisasi pelayanan kesehatan.
Dengan kompleksitas persoalan semacam itu, terobosan apa yang lalu penting dipertimbangkan? Mungkinkah ditemukan suatu cara dan strategi untuk mengakhiri problema “orang miskin dilarang sakit”? Sungguh, tak ada jawaban pasti terhadap pertanyaan tersebut. Problema sosial “kaum miskin dilarang sakit” bakal terus bergulir ke masa depan. Terlebih lagi tatkala sebuah rumah sakit didirikan untuk tujuan akumulasi kapital, absurd mengharapkan lahirnya suatu model pelayanan kesehatan murah yang dapat diakses kaum miskin.
Namun demikian, masih ada setetes harap kaum miskin memiliki kesempatan dilayani dalam praksis pelayanan kesehatan. Setetes harap dimaksud terkait dengan berdirinya Rumah Sakit Umum Pendidikan (RSUP) Universitas Airlangga (Unair), Surabaya. Sejalan dengan latar belakang pendiriannya yang menghabiskan dana APBN sebesar Rp 590 miliar, maka kaum miskin merupakan subyek yang bakal diakomodasi secara luas dalam sistem pelayanan RSUP Unair.
Harapan kita kemudian, semoga dalam perjalanannya ke depan RSUP Unair tak berubah menjadi rumah sakit yang bercorak komersialistik. Sehingga dengan demikian, kaum miskin benar-benar menemukan oase dalam hal pelayanan kesehatan.[]
Rabu, 23 Desember 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar