Rabu, 13 Agustus 2008

Islam versus Barat?

Oleh Anwari WMK
Dalam perspektif politik, kajian tentang Islam dan Barat cenderung untuk semata menempatkan Islam secara vis-à-vis melawan Barat. Telaah politik tentang masa depan Islam dalam hubungan kemanusiaan di tingkat global selalu dicarikan pararelitasnya dengan tantangan yang tengah mengancam Barat. Dengan serta-merta, kajian politik memosisikan Islam sebagai ancaman terhadap Barat. Begitu juga sebaliknya, Barat diposisikan sebagai musuh bagi Islam. “Islam versus Barat” lalu terus-menerus mewarnai pembicaraan tentang Islam dan Barat menurut perspektif politik. Pertanyaannya kemudian, apakah masa depan kemanusiaan global akan terus diwarnai oleh gejala Islam versus Barat? Mungkinkah muncul sebuah momentum yang menandai berakhirnya perseteruan Islam melawan Barat?

Sebagaimana diketahui, telaah berdasarkan perspektif politik selalu bercorak positivistik-empirik. Terutama dengan mengedepankan metode behavioralistik dan quantitatives analysis, ilmu politik hanya menelaah aspek dan dimensi yang hanya bisa ditangkap secara empirik. Itulah mengapa, pandangan kritis dan atau penentangan terhadap Amerika Serikat yang dikumandangkan rezim-rezim kekuasaan di negara berpenduduk mayoritas Islam, sekonyong-konyong diterjemahkan sebagai penentangan Islam terhadap Barat. Telaah berlandaskan perspektif politik lalu bersifat reduksionis dalam melihat jalinan hubungan antara Islam dan Barat. Tragisnya, perspektif politik itulah yang dijadikan dasar terciptanya konstruksi pemberitaan media massa di berbagai penjuru dunia. Apa boleh buat, cara pandang media massa terhadap Islam dan Barat adalah cara pandang yang sepenuhnya mengacu pada perspektif politik.

Contoh paling menonjol penggunaan perspektif politik untuk menelaah hubungan Islam dan Barat termaktub ke dalam buku karya Samuel P. Huntington bertajuk The Class of Civilizations and the Remaking of World Order (1996). Substansi buku ini dikonstruksi untuk menjelaskan terbentangnya atlas kultural yang mempengaruhi hubungan antarbangsa sejak pasca-dekade 1990-an. Barat, Latin Amerika, Afrika, Islam, Sino, Hindu, Ortodoks, Budha, dan Jepang oleh Huntington ditabalkan sebagai unikum kultural yang berdiri sendiri sebagai sistem nilai. Benturan peradaban, menurut Huntington, berada dalam spektrum atlas kultural itu. Islam versus Barat lalu ditengarai sebagai keniscayaan yang tak terelakkan. Buku Huntington ini hanya menegaskan pandangan lama tentang Islam yang tak kongruwen dengan sistem nilai Barat. Substanbsi buku ini seakan menemukan relevansinya tatkala pada 11 September 2001 terjadi aksi terorisme yang luar biasa dahsyatnya di Amerika Serikat oleh sebuah kelompok yang diidentifikasi sebagai “kekuatan Islam”. Padahal, pada aksi terorisme 11 September 2001 itu tak sedikit pula jumlah orang Islam yang menjadi korban.

Hingga beberapa waktu ke depan, Islam versus Barat bakal terus mewarnai berbagai telaah berdasarkan perspektif politik. Tetapi masalahnya, tak semua aspek dan dimensi dalam kehidupan umat manusia benar-benar sahih diteropong berdasarkan perspektif politik. Pada derajat tertentu, kehidupan umat manusia dimengerti makna dan hakikatnya berdasarkan perspektif filsafat. Justru karena wataknya yang positivistik-empirisis, perspektif politik memiliki keterbatasan saat diharapkan mampu menelisik berbagai dimensi kehidupan manusia. Di sinilah kemudian pentingnya melihat hubungan Islam dan Barat menurut perspektif filsafat.

Manakala hubungan Islam dan Barat ditilik berdasarkan perspektif filsafat, maka tak terelakkan munculnya kesimpulan yang menarik. Bahwa, Islam sesungguhnya agama Barat. Hanya karena terlampau seringnya muncul isu politik “Islam versus Barat”, maka dengan serta-merta Islam dipersepsi sebagai agama Timur. Padahal, ditinjau ke dalam perspektif filsafat, Islam merupakan agama Barat. Tak mungkin dibantah, Islam merupakan agama yang melanjutkan ajaran monoteisme Nabi Ibrahim. Agama lain yang juga melanjutkan ajaran monoteisme Nabi Ibrahim adalah Yahudi dan Kristen. Sementara, Yahudi dan Kristen merupakan dua agama yang diterima kehadirannya oleh masyarakat Barat sebagai sistem ajaran. Dengan demikian pula, penerimaan Barat secara luas terhadap Islam sesunguhnya hanyalah persoalan waktu belaka. Islam bakal diterima Barat seperti halnya Barat menerima Yahudi atau Kristen. Dan untuk membuktikan bahwa Islam merupakan agama Barat dapat disimak pada perkembangan filsafat di dunia Islam sendiri.

Ketika Al-Kindi (801-873) diidentifikasi sebagai the first outstanding Islāmic philosopher, sulit dibantah fakta dan kenyataan, bahwa untuk pertama kalinya warisan atau tradisi filsafat Yunani menemukan tempat berpijak di dunia Islam. Al Kindi dikenal luas sebagai filsuf Islam pertama yang begitu intens bersentuhan dengan khazanah filsafat Yunani. Ia memulai debut pengembangan pemikiran filsafat melalui penerjemahan karya-karya Aristoteles ke dalam Bahasa Arab. Apa yang dapat kita simpulkan dari kenyataan ini ialah adanya penerimaan di dunia Islam terhadap warisan atau tradisi filsafat Barat. Antara lain dengan melakukan interpretasi secara cerdas terhadap filsafat Yunani, Al Kindi selama hidupnya melahirkan sekitar 270 karya filsafat.

Al Farabi (873-950) yang dikenal luas sebagai filsuf yang memulai upaya pengembangan pemikiran filsafat dengan berpijak pada wahyu (Al Qur’an) sebagai titik tolaknya, justru memperkaya, memperdalam dan memperluas pemikiran filsafat Yunani yang telah berkembang sejak sekitar setengah milenium Sebelum Masehi. Jasa besar Al Farabi berkaitan erat dengan penyebaran sistem filsafat Plato. Jika kini masyarakat dunia mengenal pemikiran Plato, maka semuanya tak bisa dilepaskan dari jasa-jasa Al Farabi. Dengan caranya sendiri, Al Farabi memperlihatkan adanya koherensi antara pemikiran filsafat Yunani dan pemikiran filsafat di dunia Islam. Gagasan-gagasan filosofis Al Farabi sekaligus merupakan pembuktian tak adanya kontradiksi antara filsafat yang berkembang di Yunani dan filsafat yang berkembang di dunia Islam.

Avicenna (980-1037) yang dikenal luas karena kitab-kitab kanoniknya dalam bidang kedokteran, merupakan filsuf Mulsim yang pengaruhnya di dunia Barat bisa dirasakan hingga pada abad pertengahan. Avicenna merupakan sosok besar filsuf Muslim yang gagasan dan pemikirannya menjadi jembatan antara filsafat Yunani Kuno dan filsafat Barat yang berkembang kemudian sejak sekitar abad XVI. Apa yang dapat dikatakan dari seorang Avicenna atau Ibnu Sina adalah terciptanya titik temu antara Barat dan Islam. Filsafat dalam perspektif Avicenna lalu berfungsi sebagai sebuah titik temu antara Islam dan Barat.

Filsuf Muslim terkenal keturungan Spayol, Averroes (1126-1198), justru mengembangkan sebuah sistem pemikiran yang berpijak pada kebenaran menurut perspektif Al Qura’an dan kebenaran menurut perspektif filsuf Aristoteles. Lagi-lagi dipertontonkan di sini, bahwa Islam sebagai sistem ajaran tidak berbenturan dengan khazanah filsafat Barat. Filsafat dalam dunia Islam malah bisa berjalan seiring dengan warisan filsafat Yunani di dunia Barat.

Begitulah Islam dan Barat menurut perspektif filsafat. Keduanya bisa dengan mudah menemukan titik temu, dan bahkan saling bersenyawa satu sama lain. Sayangnya, perspektif filsafat ini tak cukup menarik perhatian para pihak penentu hubungan dunia Islam dan dunia Barat. Jalinan hubungan Islam-Barat semata dirancang menurut perspektif politik. Padahal, ketika hubungan Islam-Barat semata mengacu pada perspektif politik, maka hubungan itu akan disita oleh agenda-agenda ekonomi yang disesaki oleh begitu banyak kepentingan. Lain halnya jika hubungan Islam-Barat berpijak pada filsafat, maka ilmu pengetahuan dan kebudayaan bakal mengemuka sebagai agenda pembangunan semesta humanisme baru.

Sungguh, Islam dan Barat memiliki peluang untuk dipersatukan demi terciptanya perdamaian abadi. Sayangnya, potensi penyatuan ini diterbengkalaikan.[o]

Tulisan ini pernah dimuat di majalah Dzikir, edisi No. 12, Juli 2008/Jumadil Akhir-Rajab 1429 H.