Rabu, 26 Agustus 2009

Dilema Kapitalisme

Oleh Anwari WMK

Max Weber (1864-1920) dalam studinya yang dipublikasikan selama kurun waktu 1904-1905, mengemukakan kesimpulan menarik, bahwa kapitalisme bukanlah sesuatu yang buruk bagi kehidupan umat manusia. Hasil studi sosiolog Jerman itu lantas menjadi terkenal di kalangan ahli ilmu-ilmu sosial di seluruh penjuru dunia setelah tertuang ke dalam buku bertajuk The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism. Buku ini lalu menjadi karya klasik sosiologi ekonomi yang fokus pada pembahasan tentang sukma atau roh kapitalisme. Kesimpulan paling fundamental dari studi Weber itu ialah etika Protestan yang berperan sebagai faktor penentu tahap awal evolusi kapitalisme Eropa pada abad XIII. Etika Protestan merupakan dasar bagi terciptanya sukses perekonomian berdasarkan kerangka kerja kapitalisme. Ini karena, etika Protestan menjunjung tinggi kejujuran, hemat dan kerja keras.

Secara substansial, kejujuran, hemat dan kerja keras merupakan nilai (values) yang penerapannya merupakan panggilan spiritual. Sebagaimana kemudian mengejawantah ke dalam pandangan Mahzab Calvin di kalangan Kristen Protestan, penyelamatan manusia setelah kematian bergantung pada besarnya orientasi pada kejujuran, hemat dan kerja keras selama menjalani kehidupan di dunia. Jika selama hidup di dunia seorang manusia selalu bersikap jujur, hemat dan berorientasi pada kerja keras, maka setelah kematiannya ia akan terselamatkan. Secara demikian berarti, seorang individu yang jujur, hemat dan pekerja keras selama hidup di dunia otomatis menjadi juru selamat bagi dirinya sendiri di alam akhirat. Max Weber lalu melontarkan narasi kalimat terkenal seperti ini: “The earning of money within the modern economic order is, so long as it is done legally, the result and the expression of virtue and proficiency in a calling.”

Manakala temuan Max Weber itu disimpulkan sebagai teori umum (the general theory), maka jujur, hemat dan kerja keras merupakan kata kunci dari kemajuan ekonomi. Dengan demikian berarti, kapitalisme bisa dengan serta-merta berubah menjadi nubuah yang berlaku di mana saja dan kapan saja. Selama prinsip kejujuran, hemat dan kerja keras mengejawantah ke dalam kenyataan hidup umat manusia, maka selama itu pula sebuah masyarakat atau sebuah bangsa bisa meraih kemakmuran melalui jalan kapitalisme. Jelas dalam tesis Max Weber, kapitalisme merupakan kemuliaan. Dalam kapitalisme mengejawantah janji kemaslahatan. Dengan menjalankan prinsip kapitalisme, setiap orang terkondisikan untuk menemukan dirinya sendiri sebagai manusia paripurna dalam totalitas orbit perekonomian yang menjujung tinggi kemaslahatan bersama.

Degradasi Makna

Kritik dan apresiasi terhadap tesis Max Weber di kemudian hari bersangkut paut dengan munculnya tekanan sosial politik yang berdampak serius terhadap pilihan individu dalam bidang ekonomi. Kuatnya tekanan sosial politik itu pada giliran selanjutnya justru mengondisikan setiap individu memasuki praksis ekonomi dengan mengabaikan etika. Perekonomian lalu menjadi pertaruhan untuk meraih salah satu dari dua kemungkinan, yaitu jika tak menjadi the winner maka para aktor ekonomi menjadi the losser. Agar tak terjatuh menjadi the losser, pelaku-pelaku ekonomi cenderung memilih abai terhadap segenap imperatif yang termaktub ke dalam etika kejujuran, hemat dan kerja keras. Apa yang dewasa ini dikenal luas sebagai perekonomian gelembung sabun (bubble economy) merupakan akibat logis dari tata kelola perekonomian yang kian menjauh dari kerangka etik kejujuran, hemat dan kerja keras. Dengan sendirinya, kapitalisme diperhadapkan dengan problem degradasi makna.

Selama kurun waktu Perang Dunia I dan Perang Dunia II, tekanan sosial politik benar-benar menghimpit keberadaan sistem kapitalisme. Perang, revolusi dan depresi yang terjadi selama kurun waktu tersebut meluluh lantakkan hakikat kapitalisme seperti diidealisasi dalam tesis Max Weber. Bangkitnya totalitarianisme Nazi di Jerman, misalnya, meniscayakan kapitalisme untuk serta-merta dioplos dengan sosialisme negara. Setelah Perang Dunia II berakhir, tekanan sosial politik yang menghantam kapitalisme tidak berakhir dengan sendirinya. Justru, pada era pasca-Perang Dunia II, Rusia tampil sebagai pemimin Blok Soviet yang secara artikulatif mengusung ambisi untuk mengubur kapitalisme ke dalam perut bumi sejarah.

Hingga memasuki fase kehancuran melalui robohnya Tembok Berlin pada penghujung dekade 1980-an, Blok Soviet tak pernah berhasil meruntuhkan sistem kapitalisme. Bahkan hingga dekade 1960-an, negara-negara kapitalis di Barat menikmati masa-masa pertumbuhan ekonomi berkelanjutan, inflasi rendah serta membaiknya standar kehidupan masyarakat. Namun selepas dekade 1960-an, kekukuhan kapitalisme diporak-porakdakan oleh dinamika internal kapitalisme itu sendiri. Inflasi merupakan gejala yang tak dapat dijinakkan oleh rezim pada banyak negara di dunia. Di negara-negara kapitalis, inflasi bahkan menjadi sebuah ledakan yang tragisnya diikuti oleh timbulnya problem pengangguran. Inflasi dan pengangguran pun bermetamorfosis menjadi masalah kembar yang dihadapi oleh banyak negara kapitalis di dunia. Sementara, inflasi dan pengangguran merupakan penyakit yang sebab-sebabnya mutlak untuk ditelusuri dari kancah sosial politik. Masih relevankah berbicara tentang kapitalisme dalam kerangka etik, itulah kemudian persoalannya.

Spekulasi Brutal

Tatkala tekanan sosial politik membuncah hingga mencapai derajat yang sangat tinggi, aktor-aktor ekonomi berada dalam satu hentakan untuk semata bertindak pragmatis. Spekulasi brutal lalu menemukan ladang persemaian secara sangat subur dalam sistem kapitalisme. Krisis perekonomian di Amerika Serikat (AS) yang terjadi sejak 2007 dan ditandai oleh kolapsnya bank-bank investasi, sesungguhnya merupakan akibat logis dari eksesifnya spekulasi brutal itu. Tak tanggung-tanggung, krisis perekonomian di AS itu kemudian merembeskan pengaruhnya terhadap perekonomian global. Dan ketika kemudian muncul persepsi baru bahwa perekonomian global telah berakhir sejak Agustus 2009, persepsi ini pun dipertanyakan kesahihannya. Sangat bisa dimengerti mengapa Gubernur Bank Sentral AS, Ben Bernanke, bebicara dengan nada bimbang saat menyinggung berakhirnya krisis perekonomian global. Menurut Ben Bernanke, pemulihan ekonomi AS bakal berjalan lambat dan pengangguran tetap tinggi selama tahun 2010.

Secara kategoris, spekulasi brutal berhubungan erat dengan jual beli saham bodong tetapi dikamuflase sedemikian rupa dengan pencitraan bahwa saham-saham bodong itu memiliki rating A+++. Ketika jual beli saham bodong itu melibatkan aksi para investor dari banyak Negara di dunia, maka dari sinilah kemudian perekonomian diharu-biru oleh spekulasi yang dari hari ke hari kian brutal. Kuatnya cengkreman spekulasi secara brutal inilah yang kemudian menghantarkan Gubernur Bank Sentral Uni Eropa, Jean-Clude Trichet, berkesimpulan bahwa perekonomiann dunia belum kembali ke titik normal. Jean-Clude Trichet lalu berbicara tentang arti penting pengetatan aturan. Uni Eropa kini, menurut Jean-Clude Trichet, memberi perhatian secara saksama kepada aksi-aksi spekulasi dan teknis permainan brutal pada sektor keuangan.

Pada akhirnya, negara-negara kapitalis benar-benar berada dalam satu titik pertaruhan untuk kembali pada etika kejujuran, hemat dan bekerja keras. Atau, mereka terus menumbuh suburkan spekulasi yang brutal. Jika pilihannya yang pertama, maka kapitalisme masih bisa diharapkan menjadi jalan untuk menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan. Tapi jika ternyata pilihan jatuh pada yang kedua, bersiapkan menerima kenyataan bahwa kapitalisme mencetuskan resesi, krisis dan depresi. Itulah dilema kapitalisme yang bisa dengan segera dirasakan dampaknya oleh perekonomian global.

Rabu, 19 Agustus 2009

Merdeka: Momentum yang Hilang

Oleh Anwari WMK

Pada 2009, detak nadi kemerdekaan masih ada. Tapi, “Sekali merdeka, tetap menderita” merupakan isu pinggiran yang turut serta mewarnai perayaan Hari Ulang Tahun ke-64 Kemerdekaan RI itu. Sekali pun hanya menyebar terbatas melalui short message services (SMS), isu “bawah tanah” ini tampil untuk kemudian menohok kenyataan yang kontras dengan cita-cita kemerdekaan. Dengan sangat jelas, isu “Sekali merdeka, tetap menderita” berbicara tentang kemerdekaan sebagai momentum yang hilang. Memang, muncul sebuah realitas historis, bahwa sejak 17 Agustus 1945 Indonesia berhasil mengukuhkan dirinya sebagai bangsa merdeka. Inilah sebuah pengukuhan yang bertali temali dengan dekolonialisasi pasca-Perang Dunia II, serta mendapatkan pengakuan dari dunia internasional. Bahkan dengan spirit kemerdekaan itu pula, di Bandung pada 1955 digelar Konferensi Asia Afrika. Inilah konferensi yang hasil-hasilnya mengilhami terbentuknya gagasan kemerdekaan pada banyak negara terjajah di Asia dan Afrika. Namun pada keseluruhan narasi kebangsaan di Indonesia, merdeka sungguh-sungguh tercekak sebagai momentum yang hilang.

Dulu, ketika kemerdekaan dikumandangkan, terkristal kesadaran, bahwa secara geografis Indonesia merupakan bentangan zamrud khatulistiwa. Tak sedikit dari para pendiri bangsa menyebut Indonesia sebagai “sepotong surga yang diletakkan Tuhan di muka bumi”. Ada semacam kesadaran kolektif yang ikut mendasari munculnya aspirasi kemerdekaan pada paruh pertama abad XX, bahwa sesungguhnya Indonesia merupakan negeri dengan kekayaan sumber daya alam (natural resources) yang tiada taranya. Obyektifikasi terhadap seluruh keadaan membuahkan kesimpulan, bahwa Indonesia merupakan negeri yang gemah ripah loh jinawi. Kemerdekaan dibutuhkan, agar segenap potensi sumber daya alam terkelola dengan amanah untuk tujuan luhur terwujudnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Disimak berdasarkan perspektif ekonomi politik, kemerdekaan dari belengu penjajahan menjadi keniscayaan agar gemah ripah loh jinawi berbanding lurus dengan tata tentrem kerta raharja. Sayangnya, 64 tahun kemerdekaan berkumandang, negeri ini berhenti sekadar sebagai gemah ripah loh jinawi, dan belum tata tentrem kerta raharja.

Sebagaimana kemudian terpatri ke dalam jatuh bangunnya rezim-rezim kekuasaan, Indonesia merdeka diperhadapkan dengan beberapa masalah besar. Pertama, keterbengkalaian potensi domestik. Indonesia sesungguhnya tidak sedang terserimpung problem kelangkaan sumber daya alam. Justeru, besarnya potensi sumber daya alam tak pernah diimbangi oleh hadirnya kepemimpinan nasional yang sepenuhnya bertakzim pada kejujuran dan keikhlasan. Pemimpin nasional datang dan pergi dengan mengusung pamrih mereka sendiri-sendiri. Akibatnya, endowment sumber daya alam tak pernah bisa didekati dengan model pengelolaan yang menjunjung tinggi obyektivitas demi menggapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Malah, tragedi yang mengiringi kejatuhan rezim-rezim kekuasaan mengambil titik tolak dari keterbengkalaian potensi domestik. Simpul paling penting dari persoalan ini ialah rezim-rezim kekuasaan yang asyik dengan dirinya sendiri. Dialektika yang berkecamuk dalam kesadaran mereka hanyalah bersilang sengkarut dengan bertahannya kekuasaan dalam jangka panjang.

Kedua, evolusi politik dan perekonomian selama kurun waktu Indonesia merdeka pada akhirnya terperosok ke dalam pusaran neo-imperialisme dan neo-kolonialisme. Bermula dari praksis pembangunan ekonomi nasional berlandaskan pendekatan kapital dan mengabaikan pendekatan sumber daya manusia (SDM), maka sejak paruh kedua dekade 1960-an modal asing diperlakukan secara sangat terhormat. Ketika kemudian pembangunan ekonomi kian besar skalanya dan semakin tinggi intensitasnya, kehadiran modal asing pun dipandang sebagai sesuatu yang aksiomatik. Dari sini kemudian lahir sebuah perspektif, bahwa tanpa kehadiran modal asing tak mungkin pernah ada pembangunan ekonomi. Inilah pendekatan pembangunan yang abai akan paradigma swadesi atau kemandirian nasional berdasarkan kualitas SDM. Dengan sendirinya, epistemologi pembangunan ekonomi semakin berpihak pada aspek kapital dan semakin meremehkan aspek SDM. Selama kurun waktu Orde Baru dan sesudahnya, pembangunan ekonomi berada dalam spektrum makna yang sangat sempit: akumulasi kapital. Tak terelakkan jika kemudian rezim-rezim kekuasaan memadang lumrah utang luar negeri dan membiarkan modal asing bergerak pada bidang-bidang non-tradeable. Arus deras masuknya modal asing pun tak memiliki korelasi positif dengan penciptaan lapangan kerja.

Ketiga, jejaring pemerintahan pada berbagai lini terjebak involusi. Ada semacam gerak melingkar ke dalam menuju penciutan. Jejaring pemerintahan berubah menjadi kompleks oleh sesuatu yang tak perlu, dan lalu menyerupai labirin yang membingungkan. Padahal, ketika kemerdekaan dikumandangkan, jejaring pemerintahan diandaikan mampu menjalankan fungsi-fungsi agensi demi memperhubungkan secara koherens negara dan masyarakat. Dalam era kemerdekaan, jejaring pemerintahan diimpikan mampu berfungsi sebagai titik temu bagi kepentingan negara di satu pihak dan kepentingan masyarakat di lain pihak. Jika kepentingan negara tertuang ke dalam Pembukaan UUD 1945, maka kepentingan masyarakat mengejawantah ke dalam everyday life amanat penderitaan rakyat. Jejaring pemerintahan benar-benar menjalankan peran sosiologis ke arah harmonisasi relasi negara-masyarakat. Tapi apa yang terjadi selama Indonesia merdeka? Jejaring pemerintahan bergeser menjadi medan laga perburuan rente. Para aktor penentu eksistensi jejaring pemerintahan mengambil keuntungan dari totalitas relasi negara-masyarakat. Terhadap negara, para aktor ini mengambil keuntungan melalui metode korupsi. Terhadap masyarakat, para aktor ini mengambil keuntungan melalui suap dan pungutan liar. Inilah akar persoalan sesungguhnya, mengapa good governance tak mewarnai keberadaan jejaring pemerintahan di berbagai lini. Pada titik ini, apa makna kemerdekaan?

Tiga persoalan itu saling bertali-temali satu sama lain. Keterbengkalaian potensi domestik oleh kepemimpinan nasional justru membuka pintu selebar-lebarnya bagi menguatnya hegemoni modal asing. Bagi modal asing, daya tarik Indonesia terkait dengan watak perekonomian nasionalnya yang super liberalistik. Rezim-rezim politik yang berkuasa gagal menegakkan sebuah skema yang mengharuskan modal asing memikul tanggung jawab kebangsaan. Tak mengherankan jika modal asing yang diterima kehadirannya sejak 1967 tak memiliki hubungan logis dengan kesejahteraan dan kemakmuran bangsa ini. Justru sebaliknya, modal asing berada dalam satu titik perbenturan dengan masyarakat lokal. Fakta tentang hal ini tampak mencolok di Papua. Berbagai konflik dan pergolakan di Papua tak sepenuhnya bisa dilepaskan dari kehadiran modal asing. Neo-imperialisme dan neo-kolonialisme dalam wujud yang kongkret kini sungguh-sungguh tak bisa dipisahkan oleh kehadiran modal asing. Tampak jelas di sini betapa rezim kekuasaan kehilangan kecerdasan untuk mengarahkan modal asing agar sepenuhnya berfungsi sebagai pilar kemakmuran dan kesejahteraan bagi bangsa ini. Anasir pendukung rezim kekuasaan bahkan bekerja sebagai komprador bagi kehadiran modal asing.

Ditambah lagi dengan tak adanya good governance, realitas buruk yang dikemukakan di atas menimbulkan implikasi tak sederhana. Rakyat terus-menerus diposisikan sebagai subordinat kepemimpinan nasional, rezim kekuasaan dan jejaring pemerintahan. Seluruh aktor yang terangkum ke dalam ranah kepemimpinan nasional, rezim kekuasaan dan jejaring pemerintahan bergerak untuk hanya mengondisikan rakyat sebagai subordinat. Bukan hal yang aneh jika kemudian melayani rakyat dimaknai secara sangat kuat sebagai penghinaan. Kepemimpinan nasional, rezim kekuasaan dan jejaring pemerintahan merasakan adanya penistaan secara luar biasa hebatnya manakala diharuskan melayani rakyat. Itulah mengapa, tak pernah sungguh-sungguh lahir tradisi melayani rakyat. Kemerdekaan pun benar-benar mandeg sebagai momentum yang hilang. Dan, “Sekali merdeka, tetap menderita”.

Sabtu, 15 Agustus 2009

AGENDA PEMBERANGUSAN TERORISME

Oleh Anwari WMK

Seruan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) agar negara jangan pernah bertakzim pada produk hukum yang sangat keras ala Draconian Law dalam memberantas habis terorisme, penting untuk digarisbawahi karena beberapa alasan. Pertama, dengan Draconian Law berarti, negara sengaja memberi kewenangan yang sangat luas kepada aparat keamanan, militer dan intelijen mengikis segenap anasir yang diasumsikan memiliki hubungan dengan terorisme. Seluruh elemen negara yang berfungsi menanggulangi terorisme, dengan Draconian Law itu, leluasa men-ginterpretasikan tindakan dan pikiran setiap warga negara sebagai sama-sebangun dengan terorisme. Atas nama penyelamatan negara dari terorisme, siapa pun dari kalangan anak-anak bangsa dengan mudahnya dikategorikan sebagai teroris. Mela-lui Draconian Law dalam memberantas habis terorisme, negara lantas berubah men-jadi Leviathan dalam maknanya yang buruk.

Kedua, hingga kini masih tersembul keraguan yang sangat kuat terhadap cara kerja negara. Ternyata, negara gagap saat diharapkan mampu bekerja berdasarkan prin-sip-prinsip obyektivitas. Tak tuntasnya penyelesaian berbagai masalah dalam kai-tannya dengan hajat hidup rakyat banyak merupakan fakta keras rapuhnya prinsip-prinsip obyektivitas dalam pengelolaan negara. Hingga 64 tahun usia Republik In-donesia, tetap tak ada garansi bahwa negara benar-benar memiliki kapasitas bertin-dak obyektif menangani suatu masalah. Disimak berdasarkan tilikan filosofis, nega-ra terus-menerus gagal memahami the actual existence yang mengkristal dalam reali-tas hidup masyarakat. Atmosfer matinya obyektivitas inilah yang bakal menyu-dutkan eksistensi individu dalam masyarakat tatkala terkena tudingan sebagai tero-ris.

Ketiga, tak ada contoh faktual di mana pun di muka bumi, implementasi Draconian Law berbanding lurus dengan pencerabutan terorisme hingga ke akar-akarnya. Se-bagaimana terjadi di Amerika Serikat pasca-serangan teroris 11 September 2001, pemerintahan Presiden George W. Bush [berkuasa selama 2001-2009] menerapkan prinsip dan kerangka kerja Draconian Law. Sedemikian rupa, Draconian Law diperla-kukan sebagai dasar mengobarkan “perang terhadap terorisme”. Bukan saja kemu-dian perang melawan terorisme gagal dimenangkan sesuai dengan tujuan semula. Lebih dari itu, rasionalitas yang semula ditujukan menihilkan terorisme justru ma-lah memporak-porandakan keniscayaan perlindungan HAM.

Persoalannya kemudian, langkah apa yang niscaya dilakukan demi memberantas habis terorisme? Adakah jalan alternatif di luar Draconian Law yang sepenuhnya mampu memberikan arah terhadap penyelamatan bangsa dari bahaya besar tero-risme?

Geneologi Terorisme

Dalam sejarah politisasi agama, terorisme bukanlah gejala baru. Tidak hanya pada kurun waktu kontemporer terorisme memperlihatkan sosoknya yang mengerikan. Pada sekitar 40 tahun Sebelun Masehi (SM), terorisme telah mengambil setting di atas panggung kekuasaan politik. Sejak saat itu terorisme menuntut perhatian sak-sama atas segenap ulah yang ditimbulkan. Sebuah faksi politik Yahudi di Judea, bernama Zealot menyebarkan tindakan teror demi melawan kekuasaan Romawi atas Palestina. Secara eksplisit, terorisme yang digerakkan kalangan Zealot itu merupakan penentangan secara keras terhadap raja Judea yang berpihak pada ke-kaisaran Romawi, Herodes Magnus (73 SM – 4 Masehi). Revolusi politik kaum Yahudi melawan kekuasaan Romawi di Judea sepenuhnya dipresentasikan oleh kehadiran Zealot.

Pada tahun 70 Masehi, pengikut Zealot mencapai sekitar seribu orang. Terkonsen-trasi dalam persembunyian di atas bukit Masada, kaum Zealot melancarkan seran-gan gerilya melawan tentara Romawi. Ini merupakan wujud perlawanan terhadap kekuasaan Romawi atas Jerussalem. Ketika pada tahun 73 Masehi pasukan Romawi berhasil menguasai Masada serta memporak porandakan persembunyian kaum Zealot, maka sebuah berkembangan baru mencuat ke permukaan. Perang gerilya kaum Zealot digantikan terorisme. Sasaran penyerangan tak lagi dilakukan ber-dasarkan prinsip-prinsip perang dengan sasaran yang jelas tentara Romawi. Siapa pun yang diidentifikasi sebagai bagian dari kekuasaan Romawi, serta-merta ditabalkan sebagai sasaran terorisme kaum Zealot. Para penganut Yahudi pun pada akhirnya tak bisa lepas dari serangkaian teror kaum Zealot. Maka, selama abad pertama Masehi, terorisme kaum Zealot merupakan sebab pokok timbulnya instabilitas kekuasaan politik Romawi di Palestina.

Apa yang penting digarisbawahi dari cerita Zealot ialah munculnya kejahatan ber-dimensi ideologis. Sejak menjalankan aksi-aksi teror, arah perjuangan kaum Zealot telah bergeser sedemikian rupa, dari semula sebagai aksi menuntut keadilan politik, berubah menjadi penyebar kebencian. Aksioma the spread of hatred pada setiap aksi terorisme yang kita kenal dewasa ini sesungguhnya sama dan sebangun maknanya dengan prinsip teror yang dikembangkan oleh kaum Zealot selama kurun waktu abad pertama Masehi. Terorisme dan gerakan teror lalu tak dimengerti sebagai kejahatan. Oleh para aktor pendukungnya, teror dan terorisme diposisikan sebagai ideologi yang dimaksudkan untuk memakzulkan ideologi lain, melalui jalan kekerasan. Terorisme, apa boleh buat, merupakan kejahatan yang begitu telanjang, namun dipersepsi sebagai keniscayaan untuk menumbangkan ideologi pihak lain. Persis seperti pandangan kaum Zealot, para teroris di masa kini tak pernah sedikit pun merasa bersalah atas seluruh sepak terjang penghancuran hidup umat manusia.

Pada titik ini, Draconian Law [dengan segenap konsekuensinya berupa pre-emptive action] sangat tak memadai diterapkan sebagai kerangka kerja penanggulangan tero-risme. Draconian Law hanya digdaya menegasikan terorisme pada tingkat permu-kaan, tapi tidak pada spirit dan roh terorisme itu sendiri.

Aktor Negara

Bercermin pada geneologi kemunculan terorisme dalam wujud konkret Zealot pada abad pertama Masehi, maka model penanggulangan terorisme di Indonesia tak mungkin berupa perang secara besar-besaran. Jalan paling masuk akal meniadakan terorisme hingga ke akar-akarnya adalah mengubah tabiat aktor-aktor pengelola ne-gara melalui beberapa agenda.

Agenda pertama terkait dengan eleminasi feodalisme kekuasaan. Sulit ditepiskan fak-ta dan kenyataan, bahwa hingga kini feodalisme mewarnai dinamika kekuasaan di Tanah Air. Bahkan, reformasi politik yang bergemuruh selama satu dasawarsa te-rakhir tak jua mampu mengikis habis feodalisme itu. Akibatnya, aktor-aktor penge-lola negara kosong dari hati nurani mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Perlawanan kaum marjinal terhadap aktor pengelola negara semacam ini ju-stru memancing timbulnya terorisme. Logika inilah sesungguhnya yang berkeca-muk dalam struktur kesadaran Nana Ihwan Maulana [salah satu pelaku bom bunuh diri pada aksi terorisme Mega Kuningan, Jakarta, 17 Juli 2009].

Agenda kedua berjalin kelindan dengan spirit pengorbanan aparat keamanan, militer dan kalangan intelijen di lapangan. Jika pergumulan mereka berhadapan dengan kaum teroris semata ditujukan sebagai jalan mencapai kenaikan pangkat dan penci-traan politik, maka selama itu pula mereka kehilangan roh absolut perjuangan. Secara ideologis, jelas mereka kerdil dibandingkan kaum teroris. Obsesi besar kaum teroris terhadap over-sacrifice, harus pula diimbangi oleh over-sacrifice aparat keamanan, militer dan kalangan intelijen. Sehingga, tidak perlu lagi muncul dramatisasi penyergapan teroris seperti terjadi pada sebuah rumah di Dusun Beji, Desa Kedu, Kecamatan Kedu, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, pada 7 Agustus 2009. Penyergapan teroris ini lantas terkesan menjadi drama pecisan lantaran gagal menangkap gembong teroris nomor satu: Noordin M. Top.

Selama dua agenda ini gagal diwujudkan, maka selama itu pula hanyalah soal wak-tu jika Indonesia dihebohkan oleh munculnya aksi terorisme.

Sabtu, 01 Agustus 2009

ARAB, ISLAM DAN DEMOKRASI

Oleh Anwari WMK

Potret dunia Arab pada kurun waktu mutakhir lebih didominasi oleh timbulnya paradoks. Pada satu sisi, dunia Arab diakui sebagai kawasan yang memiliki sejarah panjang kebudayaan, seni, filsafat, ilmu pengetahuan dan agama. Tapi pada lain sisi, dunia Arab merupakan sebuah potret berkenaan dengan kejatuhan berbagai negara bangsa dalam maknanya yang modern. Terlebih lagi sejak pasca-Perang Dunia II, dunia Arab menjadi panggung munculnya rezim-rezim kekuasaan yang korup, kaku dan otoriter. Itulah mengapa, pembicaraan tentang kebangkitan dunia Arab memiliki aksentuasi tertentu untuk ditilik secara saksama. Mungkin dari pembicaraan tentang kebangkitan itu kita bisa mengambil pelajaran berharga dari pemanfaatan warisan kebudayaan, seni, filsafat, ilmu pengetahuan dan agama sebagai dasar mencapai kehidupan yang lebih maju, modern dan sekaligus berkeadilan.

MASYARAKAT, NEGARA DAN KUASA

Sesuatu yang dirasakan sebagai kegagalan dunia Arab terpatri ke dalam relasi kuasa antara negara dan masyarakat secara vis-à-vis. Sulit dipungkiri fakta dan kenyataan, bahwa di dunia Arab masyarakat terkendala untuk mendapatkan kebebasan. Akibatnya sungguh serius. Hingga kini, enam negara di dunia Arab—Saudi Arabia, Bahrain, Kuwait, Oman, Qatar dan United Arab Emirates—melarang pendirian partai-partai politik. Dalam kaitan makna dengan kemanusiaan, negara malah menjadi ancaman permanen ke arah punahnya keselamatan individu dalam masyarakat. Kekuatan bersenjata pendukung negara dengan mudahnya mencerabut hak hidup seseorang dalam masyarakat. Metode yang dipergunakan adalah kekerasan dan intimidasi. Relasi-relasi kuasa di dunia Arab pun pada akhirnya menafikan arti penting formasi kekuatan kaum muda—yang progresif—sebagai dasar terciptanya perubahan menuju taraf kehidupan masyarakat warga (civil society) secara lebih baik.

Langsung maupun tak langsung, semua ini tak bisa dilepaskan dari ilusi kepemimpinan politik di dunia Arab. Sebagaimana tercermin di Mesir, sudah 28 tahun lamanya Presiden Hosni Mubarak berkuasa. Moammar Qaddafi di Libia mengendalikan tampuk kepemimpinan politik selama 40 tahun, terhitung sejak 1969. Sementara di Siria, setelah sekitar tiga dekade Presiden Hafez Assad berkuasa, maka setelah wafat Hafez Assad digantikan oleh puteranya, Bashar Assad. Ilusi kepemimpinan politik inilah yang memperumit relasi kuasa negara dan masyarakat.

Di bidang ekonomi, persoalan berada dalam derajat yang tak kalah peliknya dibandingkan dengan bidang politik. Besarnya kekayaan minyak, ternyata, kontras dengan meluasnya tingkat kemiskinan. Bahkan, sebagaimana dilaporkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), di negara-negara petro-dollar Arab masih terdapat penduduk yang tingkat penghasilannya kurang dari US$ 2 per hari atau kurang dari Rp 20 ribu per hari. Juga karena alasan kemiskinan itu, maka UNDP memperkirakan bahwa dunia Arab dituntut mampu memberikan lapangan kerja kepada 50 juta orang dari kalangan kaum muda pada tahun 2020. Namun besarnya angkatan kerja dari kalangan kaum muda ini merupakan tantangan yang sangatlah tidak mudah penangannya. Ini karena, relasi kuasa yang terus bergulir hingga kini di dunia Arab tak cukup adaptif untuk menangani trend peningkatan jumlah tenaga kerja dari kalangan kaum muda.

Pertanyaan yang kemudian menarik dikemukakan terkait dengan penelusuran terhadap dimensi-dimensi sosiologis penyebab timbulnya relasi kuasa yang telah meniadakan kebebasan masyarakat. Apakah relasi kuasa semacam itu berpijak pada kebudayaan yang berkembang di dunia Arab? Apakah kultur dunia Arab tidak kongruwen dengan format demokrasi yang berkembang di Barat? Ataukah relasi kuasa yang sedemikian rupa itu merupakan kelanjutan logis dari perkembangan historis dunia Arab? Mungkinkah rivalitas dan pertarungan yang melibatkan kekuatan global—seperti imperialis maupun Zionis—ikut membentuk relasi kuasa otoritarian di dunia Arab?

Perkembangan demokrasi, bagaimana pun, mengambil anasir dari banyak aspek. Demokrasi tak pernah tumbuh dan berkembang dari ruang vakum, dan tidak juga karena faktor tunggal. Karena itu, substansi yang termaktub ke dalam berbagai pertanyaan yang dikemukakan di atas sangat mungkin untuk kemudian membentuk perspektif tentang demokrasi di dunia Arab. Pertarungan panjang Amerika Serikat versus Iran sejak akhir dekade 1970-an, sedikit banyaknya mempengaruhi upaya bina demokrasi di dunia Arab. Apakah dunia Arab akan mengadopsi model demokrasi Amerika Serikat atau Iran, dengan demikian lalu merupakan pertanyaan kritikal. Begitu juga ketika Iran mulai menyodok ke depan sebagai kekuatan hegemonik pada tingkat regional dalam mengobarkan kebencian terhadap Israel, dunia Arab semakin “terseret” ke dalam suatu titik persoalan berkenaan dengan model-model demokrasi yang harus diadopsi. Namun di atas segalanya, terberangusnya kebebasan masyarakat terus bertahan sebagai persoalan yang tak terpecahkan.

PROSPEK DEMOKRASI

Boleh jadi, dunia Arab merupakan panggung politik yang menyimpan kekuatan dahsyat demi membuktikan adanya kesesuaian antara Islam dan demokrasi. Probabilitas ini terkait dengan dua hal. Pertama, di kawasan Timur Tengah, Iran merupakan negara yang membuktikan dirinya mampu menjalankan mekanisme demokratis dalam suksesi kepemimpinan nasional. Terlepas dari berbagai penilaian tentang praksis demokrasi di Iran sebagai manifestasi dari teokrasi, paling tidak dunia Arab dapat berkaca kepada Iran mengapa sampai dewasa ini belum juga terselenggaran pemilihan umum (general election) di seantero dunia Arab.

Kedua, negara-negara Muslim non-Arab—seperti Turki dan Indonesia—yang tampil ke depan sebagai negara demokratis, sejatinya mengondidikan dunia Arab untuk juga melakukan ihktiar menjadi kawasan demokratis. Jika negara-negara Muslim non-Arab mampu berbenah diri menuju suatu titik keberangkatan menjadi negara demokratis, mengapa tidak dengan dunia Arab? Itulah mengapa, ketimbang berprasangka buruk bahwa dunia Arab kosong dari potensi demokrasi, maka jauh lebih bijaksana manakala kita bertakzim pada asumsi dasar bahwa sesungguhnya di dunia Arab tersimpan kekuatan maha dahsyat ke arah terwujudnya demokrasi.

Asumsi berkenaan dengan tersimpannya kekuatan dahsyat demokrasi di dunia Arab itu sedikit banyaknya mulai tersingkap oleh adanya pemilihan umum di Lebanon, Palestina dan Irak pada 2009. Sekalipun sebagian terselenggarakan oleh desakan dari luar—faktor Israel dalam konteks pemilihan umum di Palestina dan faktor Amerika Serikat dalam pemilihan umum di Irak—pemilihan umum telah memperlihatkan tumbuhnya tradisi berdemokrasi dalam mengelola kekuasaan politik. Kesulitan dunia Arab memahami arti penting demokrasi sesungguhnya dapat dipecahkan melalui penyelenggaraan pemilihan umum itu.

Benar bahwa demokrasi tak hanya berjalin kelindan dengan pemilihan umum. Sebab, kewibawaan demokrasi ditentukan oleh faktor pendidikan, toleransi serta independensi kelembagaan pers dan peradilan. Namun demikian, pemilihan umum merupakan indikator yang sangat penting untuk menggerakkan aneka faktor penyokong praksis demokrasi. Jika pemilihan umum terselenggara dengan diwarnai chaos dan kekerasan, maka dapat dipastikan dimensi lain penentu tegaknya demokrasi belum bisa diwujudkan menjadi kenyataan. Maka, pada titik ini lalu muncul teka-teki yang lain. Mungkinkah bakal terjadi kebangkitan di dunia Arab menuju pelataran demokrasi? Dengan nada getir harus dikatakan, bahwa jawabnya “tidak”.

Dalam beberapa waktu ke depan, dunia Arab takkan beranjak jauh menjadi lebih baik. Rakyat di dunia Arab masih membutuhkan waktu lama untuk dapat hidup dalam alam demokratis. Tetapi, kenyataan ini tak bisa disimpulkan sebagai tak adanya koherensi antara Islam dan demokrasi. Sebab di belahan dunia lain, seperti Turki dan Indonesia, Islam sejalan dengan demokrasi. Kita kini sedang menunggu, kapan dunia Arab belajar menemukan kesesuaian antara Islam dan demokrasi. Semoga kita tak pernah bosan menunggu.