Rabu, 19 Agustus 2009

Merdeka: Momentum yang Hilang

Oleh Anwari WMK

Pada 2009, detak nadi kemerdekaan masih ada. Tapi, “Sekali merdeka, tetap menderita” merupakan isu pinggiran yang turut serta mewarnai perayaan Hari Ulang Tahun ke-64 Kemerdekaan RI itu. Sekali pun hanya menyebar terbatas melalui short message services (SMS), isu “bawah tanah” ini tampil untuk kemudian menohok kenyataan yang kontras dengan cita-cita kemerdekaan. Dengan sangat jelas, isu “Sekali merdeka, tetap menderita” berbicara tentang kemerdekaan sebagai momentum yang hilang. Memang, muncul sebuah realitas historis, bahwa sejak 17 Agustus 1945 Indonesia berhasil mengukuhkan dirinya sebagai bangsa merdeka. Inilah sebuah pengukuhan yang bertali temali dengan dekolonialisasi pasca-Perang Dunia II, serta mendapatkan pengakuan dari dunia internasional. Bahkan dengan spirit kemerdekaan itu pula, di Bandung pada 1955 digelar Konferensi Asia Afrika. Inilah konferensi yang hasil-hasilnya mengilhami terbentuknya gagasan kemerdekaan pada banyak negara terjajah di Asia dan Afrika. Namun pada keseluruhan narasi kebangsaan di Indonesia, merdeka sungguh-sungguh tercekak sebagai momentum yang hilang.

Dulu, ketika kemerdekaan dikumandangkan, terkristal kesadaran, bahwa secara geografis Indonesia merupakan bentangan zamrud khatulistiwa. Tak sedikit dari para pendiri bangsa menyebut Indonesia sebagai “sepotong surga yang diletakkan Tuhan di muka bumi”. Ada semacam kesadaran kolektif yang ikut mendasari munculnya aspirasi kemerdekaan pada paruh pertama abad XX, bahwa sesungguhnya Indonesia merupakan negeri dengan kekayaan sumber daya alam (natural resources) yang tiada taranya. Obyektifikasi terhadap seluruh keadaan membuahkan kesimpulan, bahwa Indonesia merupakan negeri yang gemah ripah loh jinawi. Kemerdekaan dibutuhkan, agar segenap potensi sumber daya alam terkelola dengan amanah untuk tujuan luhur terwujudnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Disimak berdasarkan perspektif ekonomi politik, kemerdekaan dari belengu penjajahan menjadi keniscayaan agar gemah ripah loh jinawi berbanding lurus dengan tata tentrem kerta raharja. Sayangnya, 64 tahun kemerdekaan berkumandang, negeri ini berhenti sekadar sebagai gemah ripah loh jinawi, dan belum tata tentrem kerta raharja.

Sebagaimana kemudian terpatri ke dalam jatuh bangunnya rezim-rezim kekuasaan, Indonesia merdeka diperhadapkan dengan beberapa masalah besar. Pertama, keterbengkalaian potensi domestik. Indonesia sesungguhnya tidak sedang terserimpung problem kelangkaan sumber daya alam. Justeru, besarnya potensi sumber daya alam tak pernah diimbangi oleh hadirnya kepemimpinan nasional yang sepenuhnya bertakzim pada kejujuran dan keikhlasan. Pemimpin nasional datang dan pergi dengan mengusung pamrih mereka sendiri-sendiri. Akibatnya, endowment sumber daya alam tak pernah bisa didekati dengan model pengelolaan yang menjunjung tinggi obyektivitas demi menggapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Malah, tragedi yang mengiringi kejatuhan rezim-rezim kekuasaan mengambil titik tolak dari keterbengkalaian potensi domestik. Simpul paling penting dari persoalan ini ialah rezim-rezim kekuasaan yang asyik dengan dirinya sendiri. Dialektika yang berkecamuk dalam kesadaran mereka hanyalah bersilang sengkarut dengan bertahannya kekuasaan dalam jangka panjang.

Kedua, evolusi politik dan perekonomian selama kurun waktu Indonesia merdeka pada akhirnya terperosok ke dalam pusaran neo-imperialisme dan neo-kolonialisme. Bermula dari praksis pembangunan ekonomi nasional berlandaskan pendekatan kapital dan mengabaikan pendekatan sumber daya manusia (SDM), maka sejak paruh kedua dekade 1960-an modal asing diperlakukan secara sangat terhormat. Ketika kemudian pembangunan ekonomi kian besar skalanya dan semakin tinggi intensitasnya, kehadiran modal asing pun dipandang sebagai sesuatu yang aksiomatik. Dari sini kemudian lahir sebuah perspektif, bahwa tanpa kehadiran modal asing tak mungkin pernah ada pembangunan ekonomi. Inilah pendekatan pembangunan yang abai akan paradigma swadesi atau kemandirian nasional berdasarkan kualitas SDM. Dengan sendirinya, epistemologi pembangunan ekonomi semakin berpihak pada aspek kapital dan semakin meremehkan aspek SDM. Selama kurun waktu Orde Baru dan sesudahnya, pembangunan ekonomi berada dalam spektrum makna yang sangat sempit: akumulasi kapital. Tak terelakkan jika kemudian rezim-rezim kekuasaan memadang lumrah utang luar negeri dan membiarkan modal asing bergerak pada bidang-bidang non-tradeable. Arus deras masuknya modal asing pun tak memiliki korelasi positif dengan penciptaan lapangan kerja.

Ketiga, jejaring pemerintahan pada berbagai lini terjebak involusi. Ada semacam gerak melingkar ke dalam menuju penciutan. Jejaring pemerintahan berubah menjadi kompleks oleh sesuatu yang tak perlu, dan lalu menyerupai labirin yang membingungkan. Padahal, ketika kemerdekaan dikumandangkan, jejaring pemerintahan diandaikan mampu menjalankan fungsi-fungsi agensi demi memperhubungkan secara koherens negara dan masyarakat. Dalam era kemerdekaan, jejaring pemerintahan diimpikan mampu berfungsi sebagai titik temu bagi kepentingan negara di satu pihak dan kepentingan masyarakat di lain pihak. Jika kepentingan negara tertuang ke dalam Pembukaan UUD 1945, maka kepentingan masyarakat mengejawantah ke dalam everyday life amanat penderitaan rakyat. Jejaring pemerintahan benar-benar menjalankan peran sosiologis ke arah harmonisasi relasi negara-masyarakat. Tapi apa yang terjadi selama Indonesia merdeka? Jejaring pemerintahan bergeser menjadi medan laga perburuan rente. Para aktor penentu eksistensi jejaring pemerintahan mengambil keuntungan dari totalitas relasi negara-masyarakat. Terhadap negara, para aktor ini mengambil keuntungan melalui metode korupsi. Terhadap masyarakat, para aktor ini mengambil keuntungan melalui suap dan pungutan liar. Inilah akar persoalan sesungguhnya, mengapa good governance tak mewarnai keberadaan jejaring pemerintahan di berbagai lini. Pada titik ini, apa makna kemerdekaan?

Tiga persoalan itu saling bertali-temali satu sama lain. Keterbengkalaian potensi domestik oleh kepemimpinan nasional justru membuka pintu selebar-lebarnya bagi menguatnya hegemoni modal asing. Bagi modal asing, daya tarik Indonesia terkait dengan watak perekonomian nasionalnya yang super liberalistik. Rezim-rezim politik yang berkuasa gagal menegakkan sebuah skema yang mengharuskan modal asing memikul tanggung jawab kebangsaan. Tak mengherankan jika modal asing yang diterima kehadirannya sejak 1967 tak memiliki hubungan logis dengan kesejahteraan dan kemakmuran bangsa ini. Justru sebaliknya, modal asing berada dalam satu titik perbenturan dengan masyarakat lokal. Fakta tentang hal ini tampak mencolok di Papua. Berbagai konflik dan pergolakan di Papua tak sepenuhnya bisa dilepaskan dari kehadiran modal asing. Neo-imperialisme dan neo-kolonialisme dalam wujud yang kongkret kini sungguh-sungguh tak bisa dipisahkan oleh kehadiran modal asing. Tampak jelas di sini betapa rezim kekuasaan kehilangan kecerdasan untuk mengarahkan modal asing agar sepenuhnya berfungsi sebagai pilar kemakmuran dan kesejahteraan bagi bangsa ini. Anasir pendukung rezim kekuasaan bahkan bekerja sebagai komprador bagi kehadiran modal asing.

Ditambah lagi dengan tak adanya good governance, realitas buruk yang dikemukakan di atas menimbulkan implikasi tak sederhana. Rakyat terus-menerus diposisikan sebagai subordinat kepemimpinan nasional, rezim kekuasaan dan jejaring pemerintahan. Seluruh aktor yang terangkum ke dalam ranah kepemimpinan nasional, rezim kekuasaan dan jejaring pemerintahan bergerak untuk hanya mengondisikan rakyat sebagai subordinat. Bukan hal yang aneh jika kemudian melayani rakyat dimaknai secara sangat kuat sebagai penghinaan. Kepemimpinan nasional, rezim kekuasaan dan jejaring pemerintahan merasakan adanya penistaan secara luar biasa hebatnya manakala diharuskan melayani rakyat. Itulah mengapa, tak pernah sungguh-sungguh lahir tradisi melayani rakyat. Kemerdekaan pun benar-benar mandeg sebagai momentum yang hilang. Dan, “Sekali merdeka, tetap menderita”.

Tidak ada komentar: