Sabtu, 12 Juli 2008

Empirisme Naif KPU

Oleh Anwari WMK

Berkenaan dengan partai politik peserta Pemilu 2009, pemberitaan media massa edisi Selasa, 8 Juli 2008, membersitkan kesimpulan memprihatinkan. Komisi Pemilihan Umum menetapkan, bahwa 34 partai memiliki keabsahan tampil ke tengah gelanggang Pemilu 2009. Dari jumlah tersebut, 16 partai memiliki wakil di parlemen. Sementara, 18 lainnya merupakan partai baru yang dinyatakan lolos verifikasi. Dengan menatap fakta ini, tiba-tiba menyeruak persoalan, bahwa pasar politik 2009 diwarnai oleh terlampau banyaknya jumlah Parpol. Apa boleh buat, sebagai sebuah bangsa, Indonesia bakal terus diperhadapkan dengan evolusi penyederhanaan sistem multipartai yang tak jelas juntrungannya.

Di negeri ini, evolusi partai politik bermula sejak 1955, yaitu ketika untuk pertama kalinya Indonesia menyelenggarakan Pemilu. Pada 1955, peserta Pemilu mencapai 172 partai. Jumlah partai ini amat sangat dirasakan terlalu banyak dan karenanya begitu colorful. Pada 1971, jumlah peserta Pemilu menciut secara drastis menjadi 10 partai. Pada era Orde Baru, Pemilu tahun 1977, 1982, 1987, 1992 dan 1997 sungguh-sungguh diwarnai oleh penciutan secara lebih dramatis jumlah partai politik. Selama kurun waktu itu, Pemilu hanya mencakup tiga partai politik. Baru pada era reformasi, jumlah peserta Pemilu kembali melonjak drastis. Pada 1999, misalnya, peserta Pemilu mencakup 48 partai politik. Karena kenyataan ini, muncul kehendak umum untuk menciutkan jumlah partai—kurang lebih seperti pada era Orde Baru—saat berlangsung Pemilu 2004. Maka, bukan hal kebetulan jika Pemilu 2004 ditandai oleh keterlibatan 24 partai sebagai kontestan. Sebuah jumlah yang lebih kecil dibandingkan Pemilu 1999. Anehnya, jumlah partai peserta Pemilu 2009 lebih besar dibandingkan Pemilu 2004. Secara demikian, Pemilu 2009 tak lebih baik dibandingkan Pemilu 2004. Pertanyaannya kemudian, bagaimana masa depan sistem politik di Indonesia? Demi menjawab pertanyaan ini, media massa mengemukakan tiga hal mendasar.

Pertama, Pemilu 2009 ditafsirkan sebagai trase politik bagi para jenderal militer Orde Baru untuk turut serta merebut kekuasaan politik. Inilah perebutan kekuasaan yang tak dilakukan melalui bullet, tetapi melalui ballot. Sebagai konsekuensinya, praksis politik para jenderal itu berpijak pada kerangka kerja partai politik. Pada edisi 8 Juli 2008, halaman depan Rakyat Merdeka ditandai oleh munculnya pemberitaan bertajuk “Partai Tiga Jenderal Diloloskan”. Surat kabar ini berbicara tentang trio jenderal Orde Baru, yaitu Wiranto, Prabowo Subianto dan Sutiyoso, yang sama-sama bakal tampil mewarnai pertarungan Pemilu 2009. Itu karena, partai mereka (Hanura, Gerinda dan Partai Indonesia Sejahtera) dinyatakan KPU lolos verifikasi. Surat kabar ini seakan hendak menegaskan satu hal, bahwa satu dekade setelah perguliran reformasi, kehadiran para jenderal di kancah politik diabsahkan melalui eksistensi partai-partai politik yang dirancang khusus mendukung mereka.

Kedua, Pemilu 2009 dieksplisitkan media massa takkan mungkin mampu mengusung agenda transformasi politik. Melalui headline bertajuk “34 Parpol di Pemilu 2009”, Kompas edisi 8 Juli 2008 berbicara tentang kinerja KPU yang memprihatinkan. Surat kabar nasional terkemuka ini merasa perlu memajang komentar kritis pengamat politik. Fokusnya, menggugat jumlah Parpol dalam Pemilu 2009, mengapa lebih besar dibandingkan jumlah Parpol peserta Pemilu 2004. Kompas melalui headline-nya itu mengingatkan bangsa ini, bahwa seluruh Parpol peserta Pemilu 2009 tak memiliki perbedaan secara signifikan dalam hal program dan ideologi politik. Bangsa ini malah diperhadapkan dengan kehadiran begitu banyak Parpol yang sami mawon satu sama lain. Sehingga, tak ada kejelasan klarifikasi, apakah kebijakan ekonomi Parpol peserta Pemilu 2008 berpihak pada fundamentalisme pasar ala Hayekian, bertakzim pada intevensi pasar ala Keynesian atau berkiblat pada perilaku pasar ala Kahnemanian. Dengan sendirinya, segenap Parpol hanya hadir untuk “mengambil dari kekuasaan atas negara” dan bukan “memberi pada kekuasaan atas negara”.

Ketiga, Pemilu 2009 ditengarai media massa tengah diseret KPU ke dalam problematika empirisme naif. Dalam headline-nya bertajuk “Politik Indonesia tanpa Desain”, Media Indonesia edisi 8 Juli 2008 menampilkan narasi kalimat seperti ini: “……. penyederhanaan partai gagal dan arah perjalanan politik ke depan tanpa arah.” Kemunculan narasi kalimat ini sepenuhnya dilatarbelakangi oleh kenyataan lebih banyaknya jumlah partai peserta Pemilu 2009 dibandingkan Pemilu 2004. Dalam headline-nya itu, Media Indonesia juga menulis: “Penyederhanaan partai sesungguhnya bertujuan memperkuat sistem pemerintahan presidensial.” Maka, “Multipartai ini akan menjadi problematik.” Dengan kata lain, banyak partai banyak masalah. Terutama, mustahilnya kekuasaan eksekutif berjalan efektif lantaran parlemen menjadi himpunan kaum pragmatis yang tak memiliki kejelasan ideologi. Multipartai yang terlampau colorful hanya membuka koridor selebar-labarnya bagi kalangan parlemen merecoki kekuasaan presiden hingga pada hal-hal yang tidak perlu.

Tentu, tiga hal yang dibentangkan media massa itu terbuka luas untuk dipertanyakan kesahihannya. Tapi, satu hal yang secara telak menggambarkan adanya empirisme naif terkait dengan tak adanya kehendak secara sungguh-sungguh meredam laju peningkatan jumlah Parpol peserta Pemilu. Melalui pembiaran khas kaum medioker, KPU gagal memverifikasi secara sangat ketat agar jumlah Parpol dalam Pemilu 2009 tak lebih besar dibandingkan jumlah Parpol dalam Pemilu 2004. Kesan yang terekspresikan dari pemberitaan media massa itu ialah absennya upaya sungguh-sungguh ke arah simplifikasi jumlah Parpol peserta Pemilu 2009. Sebuah kesaksian bahkan menyebutkan, bahwa proses verifikasi faktual Parpol kehilangan maknanya, lantaran tak tegasnya petunjuk teknis KPU (Kompas, 8 Juli 2008, hlm. 15). Tentang kelayakan kantor sebuah Parpol, misalnya, KPU tak memberlakukan standarisasi yang indispensible. Begitu juga dengan proses verifikasi faktual anggota Parpol, sejatinya didatangi satu per satu. Ternyata, proses verifikasi faktual anggota Parpol dikumpulkan di satu tempat. Dengan sendirinya, verifikasi faktual anggota Parpol tak dilakukan berdasarkan kejelasan metodologi. Akibatnya, Parpol yang dinyatakan lolos verifikasi berada dalam jumlah yang sangat besar.

Kualitas demokrasi jelas ditentukan oleh kualitas perpolitikan di parlemen. Kualitas perpolitikan di parlemen ditentukan oleh ketegasan Parpol berpihak pada kepentingan rakyat. Tragisnya, Parpol kini hanya mendorong perpolitikan di parlemen bekerja sebagai sel-sel hidup bagi masuknya pengaruh dan anasir neoliberalisme. Itulah mengapa, perampingan jumlah Parpol merupakan prasyarat agar parlemen mengusung ideologi sosial-demokrasi—seperti termaktub dalam Pembukaan UUD 1945. Sayang seribu sayang, perampingan ini gagal ditangkap makrifat dan hakikatnya oleh kelembagaan KPU. Ooh KPU! Oooh…..[]

Tanggapan atas tulisan ini dapat dikirimkan ke: anwari_wmk@plasa.com atau anwari_kpj@yahoo.com.

Rabu, 02 Juli 2008

Purifikasi Dewan Perwakilan Rakyat

Oleh
Anwari WMK

Persis ketika rotasi waktu menunjukkan awal Juli 2008, halaman depan koran-koran nasional kembali heboh oleh pemberitaan tentang Dewan Perwakilan Rakyat atau DPR. Secara substansial, pemberitaan di halaman depan surat-surat kabar nasional edisi 1 Juli 2008 itu dapat disimplifikasi dengan narasi kalimat: “DPR kembali coreng-moreng wajahnya. Sebab, salah satu anggotanya ditangkap Komisi Pemberantas Korupsi, lantaran terlibat kasus suap”. Anggota DPR yang terlibat kasus suap dimaksud tak lain dan tak bukan adalah Buyan Royan. Anggota parlemen dari unsur Fraksi Partai Bintang Reformasi itu ditangkap KPK saat menerima suap sekitar Rp 715 juta dari seseorang di Plaza Senayan, Senin (30 Juni 2008), sekitar 17:30 WIB. Suap yang diterima Buyan Royan diduga terkait dengan pengadaan kapal patroli di Ditjen Perhubungan Laut, Departemen Perhubungan RI. Dengan merenungkan secara mendalam tertangkapnya anggota DPR itu maka mencuat beberapa pertanyaan kritis. Bagaimana kita memahami secara saksama skandal suap anggota DPR? Mengingat ini bukan kasus suap pertama, mungkinkah bangsa ini mampu mempurifikasi DPR? Jika ternyata kasus suap semacam ini bukan yang terakhir, bagaimana lalu filosofi dan strategi purifikasi kelembagaan DPR?

Dalam pengertian sederhana, “purifikasi” adalah “pembersihan”, “dekontaminasi” atau “pensucian” dari anasir-anasir kotor yang sama sekali tak perlu (lihat “purification” dalam Merriam Webster's Collegiate Dictionary). Pada dirinya, purifikasi mengusung misi profetik untuk mengembalikan realitas hidup yang melenceng dari hakikatnya yang fitri. Dalam konteks DPR, kefitrian berjalin kelindan dengan tiga peran konstitusional, yaitu: (i) Pengawasan terhadap kinerja pemerintahan, (ii) Keterlibatan secara aktif dalam penyusunan anggaran pendapatan dan belanja negara, serta (iii) Penyusunan undang-undang dalam kerangka kerja program legislasi. Jika seluruh fungsi ini berjalan tanpa cacat menurut takaran etik dan logis, maka tiga fungsi DPR itu sungguh-sungguh berdiri tegak sebagai sebuah hakikat yang benar. Sayangnya, kefitrian DPR berdasarkan fungsi fundamentalnya itu sejauh ini tergerus oleh bias penyalahgunaan kekuasaan, demi memperkaya diri sendiri para individu anggota parlemen. Mafhum diketahui publik, DPR terdistorsi oleh terlampau kuatnya ambisi anggota-anggotanya untuk memperkaya diri. Realisme yang kita tatap sekarang adalah ini: DPR berada dalam pergeseran besar untuk menjauh dari dasar-dasar idealitas pembentukannya. Jika pada dataran idealitas DPR merupakan wadah kebangsaan yang diskenariokan mampu memperjuangkan terwujudkan kedaulatan rakyat, dalam realitasnya justru tereduksi menjadi sarang penyamun yang tergila-gila untuk melakukan penguatan basis material. Ujung dari semua perkara ini adalah menjadikan sumber daya finansial dalam negara sebagai obyek penjarahan.

Fakta tentang DPR sebagai sarang penyamun—bagi politisi busuk—tercermin secara kuat pada posisi Buyan Royan dalam skandal suap. Untuk masa bakti 2004-2009, Buyan Royan merupakan orang keempat dalam keanggotaan DPR yang ditangkap KPK. Sebelumnya, KPK telah menangkap Saleh Djasit (korupsi pengadaan 20 alat pemadam kebakaran saat menjabat Gubernur Riau 1998-2004), Al Amin Nur Nasution (penerima suap terkait pengalihan status hutan lindung menjadi hutan tanaman industri di Bintan, Kepulauan Riau), Hamka Yandhu (kasus aliran dana BI ke sejumlah anggota DPR pada 2003 senilai Rp 31,5 miliar), dan Sarjan Tahir (kasus suap alih fungsi hutan bakau menjadi Pelabuhan Tanjung Api Api di Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan). Dengan menilik fakta ini menjadi jelas pada akhirnya, bahwa kasus suap dan korupsi menimpa seseorang sebelum dan atau pada saat tercatat sebagai anggota DPR. Dengan demikian, sumber-sumber rekrutmen keanggotaan DPR tak steril untuk diterobos oleh figur-figur dengan tekstur personalitas koruptor. Bersamaan dengan itu, DPR sebagai institusi memberi ruang kepada anggotanya untuk berlatih dan mendedahkan dirinya secara penuh sebagai koruptor. Hubungan antara aktor dan institusi dalam konteks DPR pada akhirnya hanya mempertegas kemunculan kaum koruptor. Itulah hubungan paralel antara oknum dan sistem yang sama-sama korup. Purifikasi DPR, dengan sendirinya, merupakan keniscayaan yang tak terbantahkan. Dan agenda yang mutlak dikedepankan sebagai solusi adalah sebagai berikut.

Pertama, purifikasi DPR ditentukan oleh perubahan laku kampanye di bawah naungan partai politik. Selama partai politik terjebak ke dalam desain kampanye bercorak fisik-materialistik, maka selama itu pula setiap aktor politik terkondisikan untuk menyediakan dana dalam jumlah besar. Kejanggalan kampanye partai politik di Tanah Air sesungguhnya berhubungan erat dengan pemubadziran sumber daya finansial melalui penyebaran bendera, spanduk, kaos dan pengerahan massa. Bahkan, uang dengan magnitude yang sangat besar digelontorkan tokoh-tokoh politik demi mengiklankan dirinya agar dikenal publik. Padahal, kampanye sejatinya dijauhkan dari upaya pemubadziran sumber daya. Kampanye sejatinya dimanfaatkan sebagai momentum penyelenggaraan pendidikan politik secara substantif, agar rakyat tercerahkan memahami makna penting partai politik. Secara demikian, kampanye partai politik lebih mengutamakan penyebaran konsepsi-konsepsi politik demi tegaknya kedaulatan rakyat. Tragisnya, imperatif kampanye yang sedemikian rupa itu tak sungguh-sungguh terwujud menjadi kenyataan. Kampanye lantas menutup peluang untuk diwarnai asketisisme politik. Inilah sebuah situasi yang mengondisikan para aktor politik untuk kemudian permisif terhadap suap dan korupsi. Demi mengumpulkan dana dalam jumlah besar memasuki kancah kampanye Pemilu, maka uang hasil suap dan korupsi diterima sebagai sesuatu yang logis. Solusi atas masalah ini bergantung pada ketersediaan peraturan dan perundang-undangan yang melarang penyelenggaraan kampanye bercorak fisik-materialistik.

Kedua, purifikasi DPR ikut ditentukan oleh pembersihan birokrasi pemerintahan dari anasir korupsi. Sebuah sorotan kritis menyebutkan, bahwa birokrasi pemerintahan merupakan domain utama tumbuh suburnya korupsi di Indonesia. Bahkan sejak era kolonial Hindia Belanda, korupsi telah bersemayam dalam kelembagaan birokrasi pemerintahan (lihat “Birokrasi Korup Warisan Kolonial”, dalam Gatra, 26 Juni – 02 Juli 2008, hlm. 16-23). DPR dengan mudahnya terpengaruh laku korup birokrasi pemerintahan mengingat DPR memikul fungsi konstitusional mengawasi jalannya pemerintahan. Dengan demikian, purifikasi DPR ikut dideterminasi oleh agenda besar pencerabutan korupsi dalam tubuh birokrasi pemerintahan hingga ke akar-akarnya.

Ketiga, purifikasi DPR dari suap dan korupsi bergantung pada kemampuan melakukan pembaharuan (tajdid) paham keagamaan. Ternyata, teologi agama-agama di Indonesia tak cukup radikal menelisik masalah-masalah besar yang inherent dengan sumber dan penggunaan uang. Sebagai akibatnya, muncul “tatakrama” untuk tak mempertanyakan secara kritis: (i) dari mana uang berasal, dan (ii) apakah penggunaan uang sungguh-sungguh berpijak pada kerangka logis-etis. Dalam perspektif Islam, misalnya, subhat merupakan konsepsi, taksonomi dan identifikasi tentang ketidakjelasan halal-haramnya harta. Imperatif Islam menegaskan, mutlak dilakukan penolakan terhadap subhat. Kaum Muslim hanya boleh menerima uang yang memiliki hubungan kausalitas dengan kerja atau penciptaan sebuah karya. Menerima uang dalam skala masif karena jabatan jelas merupakan subhat. Maka, sudah saatnya perspektif subhat dijadikan modal spiritual purifikasi DPR.

Jelas pada akhirnya, purifikasi DPR memiliki kejelasan agenda, bukan utopia.[]

Tanggapan terhadap tulisan dapat dikirim ke:
anwari_wmk@plasa.com atau anwari_kpj@yahoo.com.

Selasa, 01 Juli 2008

Politik Tanpa Otentisitas

Oleh
Anwari WMK

Politik dalam praktik terlampau jauh dimengerti sebagai “seni dari berbagai kemungkinan”. Politik dalam praktik juga dimengerti sebagai teknikalitas untuk mempertegas realisme tentang “siapa mendapatkan apa dan bagaimana” (who gets what and how), persis seperti dinubuahkan Harold Joseph Laski (1893-1950), ilmuwan politik Inggris yang kesohor itu. Sebagai akibatnya, muncul sebuah diktum, bahwa tak ada kawan lawan abadi dalam politik, sebab yang ada hanyalah kepentingan abadi. Dengan logika ini, para aktor politik merasa nyaman mencecap dan untuk terus-menerus bergumul dengan pragmatisme. Tetapi dengan demikian pula, aktor-aktor politik kian jauh terseret ke dalam aksi-reaksi kekuasaan. Tatkala semua ini mengkristal sebagai habitus, para aktor politik dengan mudahnya terjatuh ke dalam derajat yang sangat rendah, yaitu berpolitik tanpa memiliki kejelasan otentisitas. Semua ini membuka koridor secara sangat luas ke arah timbulnya penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) secara sangat serius.

Terhitung sejak era pasca-Orde Baru Soeharto, arena perpolitikan nasional tak habis-habisnya diwarnai pertarungan parlemen versus presiden. Melalui berbagai hentakan politik yang mencuat dari Senayan, dua lembaga negara itu tak pernah kehabisan skenario dan amunisi untuk saling melukai secara politik satu sama lain. Presiden yang indecisive, cenderung lambat saat harus mengambil keputusan politik dan atau saat harus melakukan tindakan politik. Sebaliknya parlemen, terus-menerus menggelorakan ambisi untuk menemukan kesalahan-kesalahan dalam ranah kekuasaan eksekutif. Inilah sebuah situasi berkenaan dengan parliament heavy yang diberlakukan sebagai pentungan untuk memukul kekuasaan eksekutif. Menjelang Pemilihan Umum atau Pemilu 2009, pertarungan parlemen versus presiden kian terasa auranya. Bahkan, pertarungan itu kemudian didedahkan sebagai anasir pencitraan yang diasumsikan ampuh memenangkan Pemilu 2009.

Masalahnya, segenap pertarungan itu hadir bersamaan waktu dengan bangkitnya kritisisme publik terhadap negara. Para aktor politik penentu jalannya kekuasaan eksekutif dan legislatif sama-sama dilihat publik dengan kacamata kritis. Politik tanpa otentisitas lalu tampak begitu terang benderang. Isu kerakyatan atau pembelaan terhadap rakyat yang dihembuskan oleh para pihak di atas panggung kekuasaan eksekutif dan legislatif dicibir sebagai sandiwara belaka. Publik sangat paham, bahwa tak ada substansi kerakyatan pada aras perjuangan politik di kelembagaan eksekutif maupun legislatif. Segenap perjuangan politik di dua kelembagaan negara itu tak memiliki kejelasan relevansi dengan amanat penderitaan rakyat. Paling tidak hingga setahun menjelang Pemilu 2009, ranah kekuasaan eksekutif dan legislatif tak memiliki kejelasan agenda dalam hal realisasi dan aktualisasi politik kesejahteraan rakyat. Dalam pertarungan kekuasaan eksekutif versus legislatif, “arkeologi” yang kemudian ditunggu publik adalah ranah kekuasaan mana yang mempertontonkan aroma super stupid.

Tatkala pada 24 Juni 2008 DPR menyetujui pelaksanaan Hak Angket untuk menyelidiki kebijakan yang mendasari kenaikan harga bahan bakar minyak atau BBM per 24 Mei 2008, publik benar-benar dikondisikan untuk menyaksikan betapa DPR telah mendedahkan politik tanpa otentisitas. Pertama, Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS), Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (F-PPP), dan Fraksi Partai Damai Sejahtera (F-PDS) semula menyatakan setuju untuk menggunakan Hak Interpelasi. Belakangan, melalui proses lobi antarfraksi, fraksi-fraksi itu "membelot" dengan menyetujui penggunaan Hak Angket. Dalam editorialnya bertajuk “Etika Politik”, harian Jurnal Nasional (1 Juli 2008) mengemukakan sesuatu yang sama sekali tak otentik dalam konteks perpolitikan parlemen, persis sebagaimana tertera dalam kalimat: “Dengan "mengatasnamakan" hati nurani rakyat mereka memilih untuk tak sepaham dengan kebijakan pemerintah yang sebenarnya juga ditelurkan oleh orangnya sendiri.” Editorial Jurnal Nasional juga mengusung narasi kalimat seperti ini: “Tinggallah Fraksi Partai Demokrat dan Fraksi Partai Golkar yang tetap pada komitmennya, mendukung kebijakan pemerintahan SBY-JK. Ini memang merupakan konsekuensi logis sebagai partai penyangga koalisi, tidak seperti yang dilakukan F-PKS dan F-PPP.”

Terlepas dari posisi Jurnal Nasional sebagai koran partisan lantaran menjalankan fungsi komunikasi pendukung Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, apa yang dapat kita tangkap dalam konteks ini adalah catatan tentang tak adanya glorifikasi pemikiran mengapa F-PPP dan F-PKS kemudian balik arah untuk meninggalkan usulan Hak Interpelasi dan menggantinya dengan usulan Hak Angket. Pergeseran fokus dua fraksi ini—dari Hak Interpelasi ke Hak Angket—sungguh-sungguh kosong dari pemikiran besar, mendasar dan komprehensif. Sebagai sebuah opsi politik, pergeseran fokus ini malah tak memiliki aura idealisme, bahkan terkesan untuk hanya menggelorakan pragmatisme. Hingga beberapa saat kemudian setelah jatuhnya keputusan bahwa DPR sebagai institusi menggunakan Hak Angket, F-PPP dan F-PKS belum jua menjelaskan kredo dan manifesto politik mereka mengapa pada akhirnya menggeser fokus dari opsi Hak Interpelasi menjadi Hak Angket. Inilah fakta kongkret tentang politik tanpa otentisitas. Dalam bahasa sederhana, dua fraksi ini hanyut ke dalam arus lobi-lobi politik, tanpa mampu mempertahankan outstanding politiknya yang otentik.

Kedua, politik tanpa otentisitas semakin kental mewarnai kelembagaan DPR setelah kian mencolok tendensi bahwa usulah pelaksanaan Hak Angket memiliki kaitan erat dengan teknikalitas politik menyambut Pemilu legislatif 2009. Dalam editorialnya bertajuk “Mengawal Hak Angket”, Media Indonesia (1 Juli 2008) mengemukakan narasi kalimat seperti ini: “Sepekan lagi kampanye pun dimulai. Dan, Hak Angket itu lolos di DPR di bawah tekanan demonstrasi yang hebat. Dari sudut pandang ini, ihwal mencari popularitas sangat menonjol. Itulah yang dilakukan PPP, PKS, dan PDS, banting setir mendukung hak angket agar mendapat citra positif membela kepentingan rakyat.” Editorial Media Indonesia juga menulis seperti ini: “Padahal, PPP dan PKS merupakan bagian dari pemerintah. Kedua partai itu duduk di kabinet yang mengambil keputusan menaikkan harga BBM. Namun demi kepentingan popularitas, kedua partai mendadak sontak berubah melawan pemerintah.”

Apa yang dapat kita tangkap dari perspektif yang diusung editorial Media Indonesia ialah Hak Angket yang niscaya untuk diposisikan sebagai pilar fundamental tegaknya prinsip check and balances dalam tata kelola negara di Indonesia. Hak Angket yang berarti hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap kebijakan pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, justru tak memungkinkan Hak Angket diperlakukan sebagai barang mainan untuk pencitraan. Hak Angket tak mungkin dilaksanakan hanya berlandaskan pemikiran-pemikiran dangkal, parsial partikular. Pelaksanaan Hak Angket harus menghasilkan sebuah konstruksi check and balances kekuasaan secara berwibawa lantaran dirancang bangun oleh para negarawan. Masalahnya, DPR kini defisit negarawan. Kita begitu kesulitan menemukan sosok politisi negarawan di kelembagaan DPR.

Maka, tanpa bisa dielakkan, Hak Angket harus mampu membongkar jejaring kolusi, korupsi dan nepotisme dalam tata kelola industri Migas nasional. Pelaksanaan Hak Angket harus disertai kecerdasan DPR mengakhiri takdir yang telah menjadikan kekayaan Migas kutukan bagi bangsa ini. Lahirkan sebuah format politik Migas nasional—seperti ditegaskan Bung Karno—bebas dari hegemoni-dominasi neoimperialisme. Jika tidak, politik tanpa otentisitas bakal terus bergemuruh.[]

Tanggapan atas tulisan ini dapat dikirimkan ke: anwari_wmk@plasa.com atau anwari_kpj@yahoo.com.