Jumat, 17 Oktober 2008

Merawat Kreativitas Rakyat

Oleh Anwari WMK

Negara merupakan satu hal dan kreativitas rakyat merupakan hal lain. Itulah yang terjadi di Indonesia. Sehingga seberapa pun canggihnya kreativitas rakyat, negara tetap abai. Laku dan tindakan para pihak pengelola negara malah tak peduli terhadap kreativitas rakyat. Generasi demi generasi memang datang secara silih berganti untuk melakukan pengelolaan terhadap negara. Tetapi sejauh itu pula, para pengelola negara dari generasi mana pun tak memiliki ketegasan (clarity) moralitas untuk mengawal dan merawat kreativitas rakyat. Jangan heran jika kekayaan intelektual dan kekayaan kultural rakyat Indonesia dibajak dan dicaplok oleh bangsa-bangsa lain di dunia. Negara, sekali lagi, tak merasa bersalah dengan munculnya kenyataan itu. Bahkan, secara tak langsung, para pengelola negara merayakan pembajakan dan pencaplokan kekayaan intelektual dan kekayaan kultural rakyat Indonesia oleh orang-orang asing.

Di kawasan Bali saja sekarang ini, ketidakpedulian negara terhadap kreativitas rakyat amat sangat menonjol. Tak kurang dari 1.800 motif perhiasan perak hasil olah kreativitas rakyat Bali justru hak ciptanya dimiliki—lebih tepat disebut dicuri—warga asing. Baik warga asing yang tinggal di mancanegara maupun warga asing yang tinggal di Indonesia, telah sedemikian rupa bekerja sebagai kekuatan maha dahsyat yang mencaplok hasil olah kreativitas rakyat Bali. Dalam kerangka legal formal perundang-undangan, hasil olah kreativitas rakyat Bali itu kemudian dikangkangi oleh orang-orang asing.

Tanpa bisa dielakkan ironi lalu mewarnai usaha kerajinan perak rakyat di Bali. Pada satu pihak, kerajinan perak itu telah berkembang menjadi semacam the mode of production sejak dekade 1970-an. Sehingga dengan demikian, kerajinan perak yang berkembang di Bali merupakan fakta konkret dari adanya industri kreatif dalam maknanya yang genuine. Kerajinan perak ini pun memiliki kejelasan tradisi dan filosofi. Namun pada lain pihak, rakyat Bali kini kesulitan mengekspor kerajinan perak mereka. Negara tujuan ekspor menolak menerima produk kerajinan perak Bali berdasarkan alasan “melanggar hak cipta”. Tak mengherankan jika ekspor kerajinan perak Bali hanya mencapai Rp 60 miliar pada periode Januari-Juli 2008. Padahal, pada periode yang sama tahun 2007, outstanding ekspor itu mencapai Rp 1,4 triliun.

Tragisnya lagi, motif tradisional kerajinan perak yang sudah sejak lama menjadi bagian dari perjalanan budaya rakyat Bali, hak patennya justru didaftarkan oleh pihak asing. Motif tradisional dimaksud mencakup Batun Timun, Batun Poh, Kuping Guling, Parta Ulanda dan Jawan. Maka, dalam konteks pengrajin perak Bali, dewasa ini sesungguhnya muncul akumulasi kekecewaan rakyat terhadap negara. Ini karena, pemerintah gagal melakukan upaya-upaya proaktif demi melindungi rakyat dari gilasan kaum kapitalis global yang mengusung spirit free rider.

Berbagai pemberitaan di media massa pada akhirnya menunjukkan, bahwa pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) di Bali mulai tergerak untuk melakukan tindakan yang dianggap relevan melindungi kerajinan rakyat. Gubernur Bali Made Mangku Pastika dan Bupati Gianyar Tjokorda Oka Artha Ardhana Sukawati mengakui, pemerintah belum memberi perhatian cukup terkait hak kekayaan intelektual para perajin perak Bali. Dua pejabat penting Bali ini berjanji akan membentuk tim khusus guna menginventarisasi seluruh motif kerajinan perak Bali (Kompas, 21 September 2008, hlm. 3). Tapi seberapa efektif semua itu dilakukan untuk melindungi pengrajin perak Bali, ternyata menyisakan pertanyaan kritis.

Nestapa pengrajin perak di Bali itu tak perlu ada jika saja negara sepenuhnya berpijak pada upaya serius merawat kreativitas rakyat. Negara, sayangnya, mengingkari eksistensi dirinya sendiri. Padahal, keniscayaan negara merawat kreativitas rakyat bukan semata susbtansi yang termaktub ke dalam teori-teori politik. Lebih dari itu, kreativitas rakyat merupakan pilar untuk memperkuat dan memperkukuh posisi negara dalam penghadapannya dengan negara lain di tengah kancah perpacuan kompetisi industri global. Tanpa kreativitas rakyat, maka negara kehilangan imajinasi bagaimana memenangkan pertarungan ekonomi pada aras global.

Persis seperti dikatakan filsuf Italia, Benedetto Croce (1866-1952), kreativitas manusia bercorak multidimensional. Kreativitas manusia muncul sebagai unifikasi terhadap etika, logika, estetika dan penghayatan terhadap sejarah. Karena unifikasi itu, kreativitas manusia merupakan kekuatan yang tiada taranya bagi lahir dan tegaknya peradaban. Hasil olah kreativitas merupakan format konkret dari kemampuan untuk mengkomunikasikan suara batin dan kesadaran para pihak yang terlibat dalam proses lahirnya kreativitas itu. Jika sebuah negara disesaki oleh manusia yang gandrung akan kreativitas, maka dengan sendirinya negara tersebut telah memiliki landasan pijak untuk maju dan berkembang sebagai bangsa yang mandiri dalam bidang ekonomi dan industri. Sebagai konsekuensinya, niscaya bagi negara untuk terus-menerus piawai merawat kreativitas rakyat.

Di Indonesia, kesulitan negara merawat kreativitas rakyat berpulang pada negara itu sendiri. Kelemahan negara dalam konteks ini, terkait erat dengan empat hal. Pertama, orientasi proyek tak habis-habisnya mewarnai struktur kesadaran pengurus negara justru saat mereka diharapkan mampu menjalankan agenda pemberdayaan (empowering) rakyat dalam bidang sosial dan ekonomi. Karena kenyataan ini, para pengurus negara kesulitan bersikap obyektif saat harus menelisik hakikat kreativitas yang tumbuh berkembang dalam realitas kehidupan rakyat. Tak mengherankan pula jika para pengurus negara memiliki kemampuan yang amat sangat terbatas dalam memaknai arti penting transformasi budaya dan strategi kebudayaan yang melibatkan unsur dan anasir kreativitas dalam kehidupan rakyat.

Kedua, hubungan rakyat dan negara tak habis-habisnya diwarnai oleh perburuan rente (rent-seeking) para pihak pengendali jalannya birokrasi pemerintahan. Jalan yang ditempuh adalah pungli dan korupsi. Pamrih kalangan birokrat saat memberikan pelayanan kepada masyarakat, pada giliran selanjutnya tak memandang strategis kreativitas rakyat. Bahkan, elemen-elemen kreatif dalam kehidupan rakyat tak luput dari jangkauan perburuan rente. Kenyataan ini mengkristal sedemikian rupa sebagai kultur kekuasaan yang abai terhadap arti penting kreativitas rakyat. Sekali pun kreativitas rakyat itu merupakan landasan pijak bagi Indonesia menjangkau pelataran masa depan dengan kemajuan, semuanya dinegasikan oleh kuatnya tendensi pengurus negara untuk melakukan perburuan rente.

Ketiga, ada semacam kompetisi diam-diam antara pengurus negara dan elemen-elemen masyarakat yang berdiri di garda depan lahirnya kreativitas baru. Bagaimana pun ketika hasil sebuah olah kreativitas—dengan rakyat sebagai aktornya—muncul ke permukaan, maka dengan sendirinya, para pengurus negara berada dalam posisi “tersudutkan”. Rakyat yang masuk ke dalam cakupan “kaum kreatif” mendadak sontak lalu didedahkan sebagai musuh pengurus negara. Terlebih lagi ketika kreativitas rakyat melahirkan inspirasi-inspirasi mengangumkan tentang bagaimana sejatinya Indonesia dikelola secara bermartabat, semaunya tak serta-merta diterima secara lapang dada oleh para pengurus negara. Realisme inilah yang dapat menjelaskan, mengapa hingga detik ini hampir tak ada obsesi di kalangan pengurus negara untuk dengan sungguh-sungguh mempublikasikan buku berisikan aneka paten, sebagai wujud nyata pencapaian anak-anak bangsa.

Analisis di atas bermuara pada kesimpulan, bahwa tidaklah mudah bagi setiap pengurus negara merawat kreativitas rakyat. Kehendak jajaran pemerintahan Bali untuk membentuk tim khusus guna menginventarisasi seluruh motif kerajinan perak rakyat Bali memang patut diapresiasi. Tetapi upaya itu jelas tak cukup. Upaya ini necessary but not sufficient. Hal mendasar yang dibutuhkan adalah reorientasi pengelolaan negara. Para pengurus negara harus mulai belajar mengabdi kepada rakyat dalam pengertiannya yang utuh. Tanpa pengabdian terhadap rakyat, mustahil pengurus negara mampu merawat kreativitas rakyat. Mustahil dan mustahil.

Ujian Demokrasi Lokal

Oleh Anwari WMK

Tatkala sejak 2005 Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara langsung bergulir di berbagai pelosok Nusantara, maka tiba-tiba muncul aksioma baru dalam rekrutmen kepemimpinan politik di Indonesia untuk tujuan pengelolaan pemerintahan di daerah. Baik gubernur, bupati maupun walikota; sejak saat itu pengangkatannya dilakukan melalui mekanisme Pilkada langsung. Hampir tak ada hal yang sungguh-sungguh mendasar dalam praktik demokrasi liberal di Tanah Air, selain Pilkada langsung itu. Proklamtor Kemerdekaan RI Bung Hatta, misalnya, hanya mengkonseptualisasi Pilkada langsung pada level gubernur, tidak mencakup pengangkatan bupati dan walikota. Maka, dengan sendirinya, Pilkada langsung yang bergulir kini merupakan tonggak keberhasilan transisi demokrasi di Indonesia pada dekade pertama abad XXI, yaitu beyond konsepsi Bung Hatta.

Sungguh pun demikian, dalam implementasinya ada catatan buram berkenaan dengan Pilkada langsung. Dari sejak politik uang (money politics), rendahnya partisipasi politik dan tingginya Golput, hingga munculnya konflik horizontal penuh warna kekerasan—karena ketidakpuasan akan kekalahan—merupakan realitas yang mengiringi pelaksanaan Pilkada langsung di berbagai penjuru Nusantara. Pada titik inilah tak ada pengakuan yang sepenuhnya memosisikan Pilkada langsung sebagai pilar tegaknya peradaban demokrasi di Indonesia. Pelan tapi pasti, muncul penilaian bahwa belum saatnya bagi bangsa Indonesia melaksanakan Pilkada langsung. Opsi politik dalam Pilkada yang dimengerti sebagai pilihan hidup-mati, justru menutup kemungkinan bagi lahirnya rasionalitas politik. Pilkada masuk ke dalam wilayah emosi dan tersingkirkan dari ranah rasio.

Pelan tapi pasti, muncul aura penolakan terhadap Pilkada. Sebagian orang mempertimbangkan kembali konsepsi Bung Hatta tentang demokrasi lokal yang hanya mencakup Pilkada langsung pada level provinsi. Terlebih lagi ketika bupati dan walikota yang tepilih dalam Pilkada langsung merasa absah untuk memberlakukan kebijakan yang bertolak belakang dengan kebijakan gubernur, output Pilkada langsung lalu dipertanyakan manfaatnya. Pada Januari 2008, misalnya, Ketua PBNU Hasyim Muzadi berbicara tentang Pilkada langsung yang menimbulkan polarisasi di masyarakat, sumber konflik horizontal dan membuang-buang uang. Atas dasar ini NU menyarankan agar Pilkada dihapuskan. Tak bisa tidak, itulah ujian demokrasi lokal berdasarkan kerangka kompetisi politik Pilkada.

Dan tak cukup hanya itu, ujian demokrasi lokal Pilkada kini bersangkut paut dengan masa depan Daerah Istimewa Yogyakarta. Sebagaimana diketahui, Piagam Kedudukan Yogyakarta 19 Agustus 1945 dan Amanat 5 September 1945 menyebutkan, bahwa kedudukan gubernur dan wakil gubernur sudah melekat pada Sultan Hamengku Bowono dan Paku Alam (Kompas, 21 September 2008, hlm. 2). Sehingga, siapa pun yang menjadi Sultan dan Paku Alam, maka jabatan itu harus melekat pada gubernur dan wakil gubernur. Hakikat keistimewaan Yogyakarta, antara lain, terkait erat dengan jabatan gubernur dan wakil gubernur itu. Berdasarkan kedudukan yang bersifat historis itu, maka dengan sendirinya rekrutmen kepemimpiunan daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta tak mempersyaratkan adanya penyelenggaraan Pilkada langsung pada tingkat provinsi. Dengan kata lain, Pilkada langsung tak relevan bagi Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

Masalahnya, dalam Rancangan Undang-Undang Keistimewaan Yogyakarta, pemerintah pusat (baca: Departemen Dalam Negeri) memasukkan klausul Pilkada secara langsung. Pada satu sisi, klausul ini bertentangan dengan penetapan yang bersifat historis eksistensi Yogyakarta. Klausul ini menafikan aspek sejarah, budaya dan aspek sosial politik Yogyakarta. Pada lain sisi, klausul ini bertubrukan dengan aspirasi rakyat Yogyakarta yang mengemuka sekarang ini. Pada pokoknya, aspirasi rakyat Yogyakarta itu sama dan sebangun dengan ketetapan historis Yogyakarta sebagai daerah istimewa. Munculnya Gerakan Kawula Mataram (GKM) tak lepas dari menguatnya aspirasi rakyat Yogyakarta untuk tak memberlakukan Pilkada langsung untuk memilihi gubernur dan wakil gubernur.

Pada 9 Oktober 2008 jabatan Gubernur Sultan Hamengku Bowono X berakhir. Perjalanan menuju kurun waktu tersebut sejak pertengahan September 2008 merupakan kurun waktu yang kritikal bagi rakyat Yogyakarta. Pesan paling penting dari keberadaan GKM adalah ini: “Sultan dan Paku Alam adalah dwitunggal dalam pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta. Rakyat menolak pemilihan kepala daerah dan berjehendak menetapkan Sultan sebagai gubernur dan Paku Alam sebagai wakil gubernur”. Apa yang dapat dimengerti dari realitas politik semacam ini?

Sekali lagi, pilkada langsung menghadapi ujian besar yang sesungguhnya tak sederhana. Dalam konteks Daerah Istimewa Yogyakarta, penolakan terhadap Pilkada langsung berada dalam dua tataran sekaligus. Bukan saja ketetapan historis tak memungkinkan Pilkada langsung diselenggarakan, tetapi ekspresi demokratis rakyat pada kurun kontemporer juga menegasikan pelaksanaan Pilkada itu. Di sini sesungguhnya kita berhadapan dengan problem universalitas dan partikularitas dalam implementasi sistem demokrasi. Masuknya klausul Pilkada langsung dalam Rancangan Undang-Undang Keistimewaan Yogyakarta sejalan dengan asas universalitas itu. Tetapi penolakan terhadap pelaksanaan Pilkada langsung merupakan aspek partikularitas dalam proses demokrasi.

Bagi penganut paham ultra-liberal, cara berpikir rakyat Yogyakarta itu aneh bin ajaib. Sebab, tak ada perkeculian yang bersifat spasial kedaerahan bagi terlaksananya sebuah sistem politik yang berdimensi nasional. Bagaimana pun, Pilkada langsung kini masuk ke dalam cakupan sistem politik berdimensi nasional, dan lantaran itu ia berlaku pada level pemerintahan daerah mana pun. Tetapi mereka yang berpihak pada dimensi kultural memandang wajar pilihan-pilihan rakyat Yogyakarta. Terutama, karena tingginya kepercayaan (trust) rakyat terhadap Sultan Hamengku Buwono X.

Bagi rakyat Yogyakarta, Sultan Hamengku Buwono X bukan sekadar pemimpin politik dan pemerintahan. Di atas segalanya, Sultan Hamengku Buwono X tokoh moral dan pemimpin budaya. Kontinuitas kewibawaan Yogyakarta dalam jangka panjang sejak 250 tahun lalu hingga kini, sesungguhnya inherent dengan ketokohan Sultan Hamengku Buwono X. Maka, sang gubernur juga tokoh panutan. Jika kemudian dilakukan pemilihan gubernur secara langsung di mana Sultan Hamengku Buwono X tidak mencalonkan diri karena berbagai alasan, hal krusial yang bakal timbul ke permukaan adalah ketidakpastian, apakah Yogyakarta masih mampu mendudukkan seseorang sebagai gubernur dengan mendapatkan trust yang sangat besar dari rakyat.

Logika rakyat Yogyakarta yang juga harus dimengerti terkait dengan apa yang disebut the proper role of the state. Dengan dukungan tradisi dan khazanah kultural yang telah mencapai 250 tahun, Yogyakarta sebenarnya tak pernah memasuki fase titik jedah sebagai sebuah state. Yogyakarta yang bertakzim pada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)—tak lama setelah Proklamasi Kemerdekaan dikumandangkan—tak serta merta meluruhkan tradisi melayani rakyat Kesultanan Yogyakarta. “Tahta untuk rakyat” yang menjadi kredo kekuasaan Sultan Hamengku Buwono IX, misalnya, memiliki dimensi politik kesejahteraan rakyat. Terlepas dari kelemahan-kelemahan yang bersifat manusiawi, para Sultan yang berkuasa di Yogyakarta tak bisa lari dari keniscayaan untuk melayani rakyat. Itulah mengapa, state dalam konteks Yogyakarta di bawah kepemimpinan Sultan Hamengku Buwono tidak berada dalam posisi kontras yang berlarut-larut dengan masyarakat. Dorongan agar Sultan Hamengku Buwono IX maju sebagai calon presiden dalam Pemilu 2009 tak bisa dilepaskan dari hadirnya the proper role of the state di Yogyakarta.

Sungguh di sini kita melihat, praktik demokrasi lokal dalam kerangka Pilkada langsung benar-benar menghadapi ujian besar. Apalagi Pilkada langsung tak sepenuhnya mampu melahirkan output berupa the proper role of the state.

Adakah Industri Kreatif?

Oleh Anwari WMK

Di tengah karut-marutnya perekonomian nasional, ternyata ada seorang pejabat tinggi negara yang berbicara—dengan aksentuasi meyakinkan—tentang segala sesuatu dalam kaitan konteks dengan industri kreatif di Indonesia. Seakan, industri kreatif bakal tumbuh dengan sendirinya berlandaskan kekuatan inovatif yang inherent dalam perekonomian nasional. Dalam kuliah umum di Universitas Multimedia Nusantara (UMN), Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu berbicara secara meyakinkan tentang perkembangan industri kreatif di Indonesia. Bahkan, industri kreatif yang ada saat ini dieksplisitkan sebagai bagian penting perekonomian Indonesia. Industri kreatif, menurut Menteri Perdagangan, mampu memberikan kontribusi sebesar Rp 104,6 triliun (6,3%) dari produk domestik bruto (lihat editorial, “Budaya dan Industri Kreatif”, Kompas, 8 September 2008, hkm. 6). Ini berarti, ilmu pengetahuan dan teknologi diasumsikan telah terintegrasi dengan realitas yang ditengarahi sebagai elemen fundamental pembentuk industri kreatif. Padahal, dalam kenyataan sesungguhnya, perekonomian Indonesia masih belum sepenuhnya mampu mewujudkan industri kreatif, akibat lemahnya aspek kelembagaan. Karena itu, setiap pembicaraan berkenaan dengan industri kreatif mutlak untuk ditelaah secara kritis.

Dengan outstanding pemikiran model knowledge economy, Mari Elka Pangestu menyinggung dua dimensi yang terkait erat dengan industri kreatif di Tanah Air. Pertama, industri kreatif sedemikian rupa diasumsikan berfungsi sebagai faktor yang mampu mempercepat terjadinya pengurangan jumlah penduduk miskin di Indonesia. Lantaran fleksibel menyerap lapangan kerja, industri kreatif dalam konteks ini diposisikan sebagai pilar pengentasan kemiskinan. Kedua, perguruan tinggi atau universitas diandaikan telah memiliki kesiapan menyambut era industri kreatif. Sehingga dengan demikian, perguruan tinggi atau universitas diasumsikan benar-benar memiliki kesiapan memperkuat posisi perekonomian nasional Indonesia melalui kemunculan industri kreatif (Kompas, 6 September 2008, hlm. 12).

Sungguh pun begitu, secara substansial, kita harus hati-hati dan waspada membaca pernyataan Menteri Perdagangan itu. Sebab, boleh jadi, apa yang dikatakan Menteri Perdagangan itu hanyalah sebuah utopia atau impian yang tak memiliki kejelasan basis keunggulan. Benar bahwa di Indonesia dewasa ini terbentuk formasi industri kreatif. Bahkan, formasi tersebut mencakup 14 subsektor industri, yaitu periklanan, arsitektur, pasar barang seni, kerajinan, desain, fashion, permainan interaktif, musik, seni pertunjukan, penerbitan dan percetakan, layanan komputer dan piranti lunak, radio dan televisi, riset dan pengembangan, serta film, video, dan fotografi.

Hanya saja, formasi industri kreatif itu, perkembangannya ke depan sangat ditentukan oleh faktor sumber daya manusia (SDM) berkualitas. Ini berarti, sangat besar peran perguruan tinggi atau universitas dalam hal memasok SDM berkualitas, persis sebagaimana dibutuhkan oleh kalangan industri kreatif. Masalahnya kemudian, benarkah perguruan tinggi atau universitas dewasa ini benar-benar berdiri sebagai avant garde terciptanya SDM berkualitas? Ataukah perguruan tinggi dan universitas malah mencetuskan kendala ke arah penguatan indusrti kreatif? Pertanyaan ini bukan sesuatu yang mengada-ada. Tak pelak lagi, inilah dua pertanyaan yang bersifat kritikal.

Dalam kenyatan sesungguhnya di lapangan, perguruan tinggi atau universitas sesungguhnya belum sepenuhnya siap berperan sebagai pilar pendukung untuk menciptakan keunggulan kompetitif bagi industri kreatif. Ini karena, universitas sendiri terbentur masalah internal saat diharapkan mampu mendukung penguatan industri kreatif. Sebuah pemberitaan menyebutkan, bahwa 60 ribu dari 120 ribu dosen (50,65%) di berbagai universitas di Indonesia tidak layak mengajar, karena belum memenuhi standar kompetensi sebagai pengajar tingkat universitas (Seputar Indonesia, 4 September 2008, hlm. 5). Tragisnya lagi, dosen-dosen yang tak berkualitas itu kemampuan akademiknya setara dengan guru Sekolah Dasar atau SD (Seputar Indonesia, 5 September 2008, hlm. 5). Dengan latar belakang persoalan ini timbul pertanyaan yang bersifat menggugat: bagaimana mungkin dengan njebloknya kualitas dosen semacam itu universitas mampu menjadi basis tegaknya industri kreatif di Indonesia?

Pada satu sisi, memang sudah saatnya bagi Indonesia mengembangkan industri kreatif. Kekayaan budaya dan kemajemukan penduduk merupakan realisme yang dapat dikembangkan lebih lanjut untuk menciptakan keunggulan ekonomi melalui kehadiran industri kreatif. Tapi di lain sisi, Indonesia berhadapan dengan masalah institusionalisasi pengembangan SDM berkualitas. Potensi industri kreatif, dengan sendirinya, ditelikung oleh rendahnya kualitas SDM, akibat lemahnya universitas. Dengan demikian pula arah pengembangan industri kreatif ke depan tidak harus bergantung pada kemampuan universitas dalam hal menghasilkan SDM berkualitas. Dengan kata lain, niscaya bagi industri kreatif untuk menemukan SDM berkualitas dari luar kelembagaan universitas.

Apa yang disebut “komunitas kreatif” dan “jenius lokal” sudah saatnya untuk diperhatikan secara saksama sebagai pilar pendukung kemajuan industri kreatif . Hal mendasar yang patut digaris bawahi dalam konteks ini ialah “komunitas kreatif” dan “jenius lokal” diandaikan sebagai suplemen atau pengganti SDM berkualitas yang tak sepenuhnya dapat dipasok oleh kelembagaan universitas. Tanpa bermaksud melecehkan peran penting universitas, apa boleh buat, harus dikatakan dengan tegas sejak sekarang, bahwa komunitas kreatif dan jenius lokal itulah yang menjadi tumpuan harapan mewujudkan industri kreatif di Indonesia.

Apa yang dimaksud dengan komunitas kreatif ialah terbentuknya kesadaran kolektif yang melibatkan sekelompok orang untuk menghasilkan jasa dan komoditas yang sepenuhnya berpijak pada inovasi dan kreatifitas. Komunitas seperti ini muncul di banyak tempat di Indonesia, terutama di wilayah-wilayah tujuan wisata, seperti Yogyakarta dan Bali. Di kawasan-kawasan inilah industri kreatif menemukan tempat persemaian secara subur. Jenius lokal yang dimaksudkan adalah bakat-bakat perorangan yang mampu menciptakan kreasi-kreasi unik dan layak dikembangkan sebagai industri. Baik industri periklanan, penerbitan dan lain-lain, sangat mungkin dipenuhi oleh para jenius lokal. Mengingat para jenius lokal ini lebih mengandalkan bakat ketimbang formalitas, maka harus ada upaya pemetaan terhadap keberadaan mereka. Hal minimal yang harus ada ialah mempermudah terjadinya integrasi para jenius lokal ke dalam totalitas gerak dinamik industri kreatif.

Sungguh pun demikian, tetap harus ada pengakuan secara jujur, bahwa pihak universitas yang paling relevan mempersiapkan SDM berkualitas demi memajukan industri kreatif. Penjelasan serba sekilas terhadap komunitas kreatif dan jenius lokal di atas sepenuhnya bertitik tolak dari posisi universitas yang sejauh ini tidak ideal. Artinya, ada kebutuhan yang sangat besar bagi bangsa ini untuk melakukan revitalisasi peran universitas. Agenda pokok dari revitalisasi itu adalah terciptanya universitas riset di Indonesia. Inilah model universitas yang mampu melakukan upaya utilisasi ilmu pengetahuan untuk kemajuan ekonomi dan sosial (lihat Anwari WMK, UGM: Menuju Universitas Penelitian, Jakarta: Khanata-Pustaka LP3ES Indonesia, 2006, hlm. 80-105).

Dengan demikian, jelas sudah duduk perkara industri kreatif. Bahwa, eksitensi dan kontinuitas industri kreatif dalam realitas Indonesia dideterminasi oleh ada tidaknya kontribusi universitas. Hal lain di luar universitas yang berperan memasok SDM ke arah penguatan industri kreatif hanyalah elemen yang bekerja secara ad hoc. Sayangnya, kita masih harus menunggu waktu tuntasnya revitalisasi universitas. Kapan revitalisasi itu dimulai? Atau sama sekali tak pernah dimulai?

Usaha Rakyat Skala Kecil

Oleh Anwari WMK

Tanpa penelisikan secara saksama melalui penelitian berlandaskan metodologi yang dapat dipertanggung-jawabkan secara akademis, maka terlalu berlebihan jika muncul kesimpulan, bahwa kini 4.000 entitas bisnis dalam kategori usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) di Tanah Air kolaps akibat kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), suku bunga kredit yang tinggi dan rendahnya daya beli masyarakat. Tanpa penelitian, penarikan kesimpulan semacam ini bisa terlalu kecil atau terlalu besar—secara kuantitatif—manakala disimak dari reabilitas sesungguhnya di lapangan. Artinya, tanpa mengambil titik tolak dari penelitian, sebuah kesimpulan yang berdimensi statistikal bisa dengan mudah kehilangan keabsahannya. Namun, terlepas dari keniscayaan untuk melakukan penelitian, demikianlah fakta yang dibentangkan oleh Ketua Komite Tetap UMKM Kadin Indonesia, Sandiaga S. Uno. Bahwa, paling tidak, 5% dari 800 ribu unit UMKM saat ini berada dalam situasi lumpuh (Seputar Indonesia, 23 September 2008, hlm. 15).

Agaknya, hal yang dipandang fundamental dalam konteks ini bukanlah berbicara tentang akurasi data statistik itu sendiri. Di atas segalanya, harus mulai ada pengakuan secara jujur bahwa perekonomian nasional kini telah sedemikian rupa diharu-biru oleh runtuhnya UMKM. Segenap implikasi yang ditimbulkan oleh keruntuhan itu terefleksikan ke dalam kehidupan sosial dan ekonomi para pihak yang terkait erat dengan keberadaan UMKM—yang tengah mengalami keruntuhan itu. Sejauh dapat dimengerti dari bentangan persoalan yang dikemukakan Sandiaga S. Uno, pemerintah perlu diberi sinyal peringatan: tak sedikit jumlah usaha rakyat skala kecil di Indonesia punah lantaran diterjang dan digilas oleh politik perekonomian rezim kekuasaan. Politik perekonomian yang dipancangkan oleh rezim kekuasaan berpengaruh secara langsung terhadap eksistensi usaha rakyat skala kecil. Bagaimana masalah ini dijelaskan lebih lanjut?

Pada tataran yang lebih bersifat teknis, usaha rakyat skala kecil hampir tak pernah beranjak dari persoalan lama yang membelit eksistensi mereka. Untuk mampu mempertahankan eksistensinya dalam jangka panjang, usaha rakyat skala kecil masih terbentur masalah modal, pasar dan human capital. Besarnya potensi perekonomian yang dapat digarap usaha rakyat skala kecil, kontras dengan masalah-masalah tersebut. Sungguh pun demikian, sampai kapan pun usaha rakyat skala kecil tetap memperlihatkan sosok dirinya melalui sejumlah aktivitas ekonomi. Ini karena, tak ada sandaran yang kukuh bagi rakyat lapis bawah untuk bertahan dari gilasan kemiskinan, selain menggantungkan harap untuk mendapatkan manfaat dari pengelolaan usaha. Keterbatasan modal, pasar dan human capital lalu tak melemahkan animo pelaku usaha rakyat skala kecil untuk terus bergelut mempertahankan dan mengembangkan usaha mereka.

Jika persoalan yang terus membelit eksistensi usaha rakyat skala kecil ditelaah berlandaskan perspektif “sistem ekonomi”, maka sesungguhnya timbul kepincangan akan dua hal yang sejatinya saling mendukung satu sama lain. Hal pertama, berkaitan erat dengan dinamika pasar yang mengabsorpsi “energi rakyat” dalam pengelolaan usaha skala kecil. Hal kedua, berhubungan erat dengan intervensi pemerintah demi tegaknya keadilan ekonomi. Berbagai persoalan yang tak habis-habisnya membelit usaha skala kecil di Indonesia sesungguhnya mengambil titik tolak dari tak adanya hubungan secara sinergis antar-dua hal tersebut. Dengan sendirinya, market activity penopang gerak dinamik usaha skala kecil bersimpang jalan dengan government intervention. Kepincangan inilah yang sejauh ini memosisikan pemerintah untuk terus-menerus terjebak ke dalam retorika saat berbicara tentang usaha rakyat skala kecil.

Rezim kekuasaan dalam realitas Indonesia, sulit diharapkan mampu menyelesaikan kendala besar yang merintangi penguatan usaha rakyat skala kecil. Sekali pun rezim kekuasaan kini merupakan resultante dari pemilihan presiden (Pilpres) secara langsung, tak serta-merta rezim kekuasaan ini memiliki ketegasan sikap untuk sepenuhnya berpihak kepada usaha rakyat skala kecil. Sudah menjadi rahasia umum, terbentuknya rezim kekuasaan melalui Pilpres secara langsung pada 2004 dimenangani oleh kandidat yang mendapatkan dukungan kuat dari kelompok-kelompok usaha skala besar. Masuknya aktor usaha besar dalam kabinet pemerintahan merupakan landasan terbentuknya politik perekonomian rezim kekuasaan yang berada dalam keterjarakan dengan usaha rakyat skala kecil. Sebagai konsekuensinya, rezim kekuasaan ini kosong dari misi besar penyelamatan usaha rakyat skala kecil. Sangat bisa dimengerti jika pada akhirnya rezim kekuasaan ini melakukan pembiaran terhadap segenap tendensi yang secara telak menistakan eksistensi usaha rakyat skala kecil.

Keterbatasan usaha rakyat skala kecil akan modal, merupakan persoalan yang telah sejak lama bergulir. Bahkan, otoritarianisme politik pada era Orde Baru disimbolisasi secara sangat mencolok dalam bidang ekonomi melalui tak adanya penguatan struktur permodalan usaha rakyat skala kecil. Kucuran likuiditas bank secara besar-besaran pada usaha skala besar selama era Orde Baru justru kemudian mencetuskan fenomena usaha konglomerasi. Penguatan struktur permodalan usaha rakyat skala kecil tetap bertahan sebagai basa-basi dalam serangkaian seremoni. Sayangnya, demokrasi liberal yang berjalan sejak era pasca-Orde Baru dan kemudian menghasilkan rezim Pemilu bebas, ternyata tak mengubah keadaan menjadi lebih baik. Usaha rakyat skala kecil tetap terbentur masalah permodalan.

Dalam konteks penguatan posisi usaha rakyat skala kecil, sebenarnya ada kejelasan formula. Bahwa visi pengentasan kemiskinan kelembagaan bank mendesak dikedepankan sebagai fundamen penting memajukan usaha rakyat skala kecil, melalui penguatan modal. Bagi kelembagaan bank, tugas pengentasan kemiskinan semacam ini bahkan merupakan keniscayaan. Jika bank mampu melakukan tugas ini, maka dengan sendirinya, bank telah melakukan upaya-upaya transformatif untuk memajukan perekonomian masyarakat. Pada titik inilah bank melakukan apa yang disebut “revolusi mikrokredit”, di mana pertarungan melawan kemiskinan mengondisikan kelembagaan bank untuk masuk ke dalam kancah “bisnis sosial” (lihat Muhammad Yunus, Creating a World Without Poverty: Social Business and the Future of Capitalism [New York: PublicAffairs, 2007], hlm. 43-147). Pertanyaannya, adakah kelembagaan bank yang semacam ini di Indonesia? Bukankah bank di Indonesia cenderung terseret ke dalam apa yang ditengarai sebagai hazard of prosperity?

Kelemahan usaha rakyat skala kecil dalam kaitan makna dengan pasar sesungguhnya dapat diatasi melalui kebijakan daya saing berdasarkan intervensi pemerintah. Sejalan dengan tantangan abad XXI, problem demografi mempertegas timbulnya apa yang disebut crowded economy (lihat Jeffrey D. Sachs, Common Wealth: Economic for A Crowded Planet [New York: The Penguin Press, 2008], hlm. 17-53). Kebijakan daya saing berdasarkan intervensi pemerintah dibutuhkan justru untuk meredam agar perekonomian tak semakin crowded. Tetapi untuk keperluan ini pemerintah dituntut mampu untuk sepenuhnya bertindak sebagai wasit yang adil mengontrol persaingan usaha. Kebijakan pemerintah pro-prosperity sepenuhnya dimaksudkan untuk menjaga agar usaha rakyat skala kecil tak tergusur oleh kehadiran modal usaha skala besar. Imperatif inilah yang tak sepenuhnya mampu diwujudkan pemerintah, sebagai akibat dari masih terus bertahannya feodalisme.

Untuk keperluan penguatan faktor human capital, usaha rakyat skala kecil terkendala oleh tantangan-tantangan eksternal. Secara substansial, usaha rakyat skala kecil telah memiliki dasar yang dapat dikembangkan membentuk kewirausahaan. Human capital yang tersedia merupakan elemen dasar yang memungkinkan usaha rakyat skala kecil maju dan berkembang. Masalahnya, penggusuran oleh aparat pemerintahan lokal sedemikian rupa berkembang menjadi ancaman permanen yang mendistorsi kemajuan lebih lanjut human capital pada usaha rakyat skala kecil. Penggsuran merupakan potret nyata dari terus bertahannya arogansi aparat dan usaha rakyat skala kecil diposisikan sebagai pesakitan.

Dari semua persoalan itu yang dibutuhkan kemudian penguatan tawar-menawar politik. Sudah saatnnya hadir partai politik yang sepenuhnya memperjuangkan usaha rakyat skala kecil. Tapi, adakah partai yang semacam ini di Indonesia? Tidak ada. Dan mungkin tak pernah ada.

Bahaya Kapitalisme Amerika

Oleh Anwari WMK

Berakar pada sejarah perekonomian dunia pada sekitar 1500 tahun Sebelum Masehi, kapitalisme kemudian berkembang sedemikian rupa menjadi fenomena tunggal. Semula kapitalisme merupakan gejala pluralitas yang muncul secara sporadis di berbagai pusat kegiatan produksi di dunia. Sebuah masyarakat, bangsa dan negara di sebuah sudut Planet Bumi memiliki kapasitas untuk mengembangkan model-model spesifik kapitalisme. Namun pada perkembangan selanjutnya hingga abad XIX, kapitalisme menjadi warna khas dinamika perekonomian Eropa. Khususnya dari kawasan Inggris, kapitalisme ala Eropa menyebar ke berbagai penjuru dunia. Setelah itu, Amerika Serikat mengambil-alih posisi Inggris dalam hal menyebar-luaskan kapitalisme ke berbagai penjuru dunia. Pada kurun waktu abad XX hingga pada permulaan abad XXI, kapitalisme yang berkembang di berbagai pelosok dunia benar-benar berwajah Amerika. “Globalisasi” pun hampir sama maknanya dengan “Amerikanisasi”. Maka, bahaya yang dibawa serta oleh kapitalisme merupakan bahaya yang semula dicetuskan oleh kapitalisme Amerika.

Apa yang penting digarisbawahi dari kapitalisme Amerika adalah keserakahan yang dipercangih oleh praktik perekonomian. Karena itu, muncul dua perspektif dalam memprognosis perkembangan kapitalisme dalam jangka panjang. Pertama, ekonom Amerika kelahiran Austria Joseph A. Schumpeter (1883-1950) dalam bukunya yang terkenal, Capitalism, Socialism and Democracy (1947 [1942]), tampil dengan pandangan skeptis saat menyorot kapitalisme Amerika. Schumpeter tidak percaya bahwa kapitalisme seperti dipertontonkan Amerika bakal bertahan dalam jangka panjang. Sebab pokoknya berhubugan erat dengan institusi-institusi sosial yang berfungsi sebagai pendukung dan sekaligus pengendali sistem kapitalisme. Sukma free market economy, atau free enterprise economy dalam sistem kapitalisme hanya mungkin bisa diejawantahkan ketika institusi-institusi sosial bersih dari feudalisme dan tatkala the mode of production dalam perekonomian tak bertubrukan dengan visi keadilan institusi-institusi sosial. Jika institusi sosial ini rapuh, maka kapitalisme bakal bekerja sebagai mesin yang hanya melahirkan economic failure. Tesis Schumpeter ini mengingatkan kita pada pandangan ekonom dan ahli sejarah sosial Jerman Max Weber (1864-1920) tentang prasyarat etika bagi tegaknya kapitalisme. Weber berbicara tentang etika Protestan sebagai spirit yang mendasari perkembangan kapitalisme.

Hal penting yang diingatkan Schumpeter adalah ini: tak ada kerangka etik dalam perkembangan kapitalisme di Amerika. Di Amerika hampir tidak ada institusi-institusi sosial yang kritis mengawasi sepak terjang kaum kapitalis. Dalam buku terbarunya bertajuk The New Pradigm for Financial Market (2008), George Soros membentangkan serangkaian tindakan kaum kapitalis penentu perjalanan korporasi-korporasi besar dalam bidang finansial di Amerika. Intinya, kaum kapitalis ini terlampau jauh mengusung semangat keserakahan dalam tata kelola korporasi. Selama kurun waktu tahun 2000 hingga medio 2005, nilai pasar perumahan di Amerika Serikat tumbuh lebih dari 50%, sebagai akibat timbulnya spekulasi. Bank memberikan kontribusi yang tak kecil terhadap munculnya pertumbuhan spektakuler itu. Fasilitasi yang disediakan bank merupakan sebab fundamental munculnya pertumbuhan spektakuler bisnis perumahan, namun sesungguhnya semu manakala disimak dari aspek penguatan daya saing perekonomian berlandaskan keunggulan kompetitif.

Dampak tak terperikan dari kenyataan itu terefleksikan pada perkembangan selama 1997 hingga 2006, di mana home equity dalam bentuk cash mencapai sekitar US$ 9 triliun. Masalahnya, 3% dari total home equity itu bias untuk menutupi kebutuhan personal consumption. Dengan mendapatkan dukungan pendanaan dari kalangan perbankan, spekulasi membahayakan tercermin pada kenaikan harga rumah, hingga pada kisaran double digit. Tragisnya, 40% kredit perumahan selama 2005 tidak mengalir ke jurusan yang semestinya, yaitu pemilikan rumah secara permanen, tetapi untuk kepemilikan rumah kedua, ketiga, dan seterusnya. Spekulasi yang menjurus pada penipuan semacam itu kian kentara setelah terjadi keruntuhan terhadap standar kredit, di mana kredit perumahan dengan rating rendah—disebut subprime mortgages—dinyatakan layak oleh kalangan perbankan mendapatkan kucuran pembiayaan. Inilah kredit bank yang kemudian di plesetkan dengan istilah “Alt-A” (liar loans). Dalam perkembangannya yang ekstrem, subprime mortgages malah di tengarai sebagai “ninja loans”, lantaran para pihak penerima kredit tidak memiliki pekerjaan, tidak memiliki pendapatan, dan tidak memiliki aset.

Bank yang sedemikian jauh terbelenggu ke dalam teknikalitas rekayasa finansial, sungguh-sungguh merefleksikan bahaya kapitalisme Amerika. Untuk mengamputasi segala risiko dalam hubungannya dengan mortgages, bank mempaket ulang mortgages menjadi semacam sekuritas obligasi disebut collateralized debt obligations (CDOs). Sebagai layaknya obligasi, CDOs diperjual belikan di kalangan investor. Rekayasa finansial inilah yang membawa bank bergerak menuju pelataran tipu-menipu serta kian menjauhkan bank dari upaya konkret penciptaan daya saing perekonomian dalam maknanya yang utuh. Rekayasa finansial dalam pengertiannya yang buruk ini dicitrakan sedemikian rupa sebagai kecanggihan melalui munculnya identifikasi berdasarkan rating AAA. Sehingga, rating AAA pada akhirnya memiliki dua cakupan pengertian sekaligus, yaitu rating terhadap aset dan rating terhadap liabilitas. Fakta inilah yang kemudian diilustrasikan George Soros ke dalam narasi kalimat: In practice, the bankers and the rating agencies grossly underestimated the risks inherent in absurdities like ninja loans.

Sebagaimana diketahui, sekuritisasi merupakan teknikalitas untuk mengurangi kadar risiko. Sehingga, menjual portofolio kredit ke dalam format obligasi merupakan sesuatu yang lumrah dan wajar. Tetapi masalahnya, terjadi transfer kepemilikan atas mortgages oleh sebuah bank ke pihak lain—baik investor maupun kelembagaan bank yang lain. Sementara, portofolio kredit mortgages yang dialihkan kepemilikannya melalui kemasan obligasi merupakan portofolio kredit yang tergolong buruk. Dengan kata lain, rekayasa finansial sebuah bank melahirkan model kredit berkinerja buruk dan tragisnya kemudian kredit semacam itu disulap menjadi obligasi yang diperjual belikan di pasar uang dan atau di pasar modal. Bank, dengan sendirinya, bergeser untuk hanya memperjual belikan sesuatu yang secara substansial buruk. Bank tidak lagi menjadi sumber lahirnya kebajikan, persis sebagaimana dimaksudkan pada awal mula berdirinya sebagai lembaga intermediasi. Paling tidak sejak 2005, di Amerika Serikat, sekuritisasi semacam ini meledak menyerupai sebuah perilaku maniak yang melibatkan kalangan bankir. Begitulah bahaya kapitalisme ala Amerika.

Kedua, peringatan terhadap bahaya kapitalisme Amerika dikemukakan secara substil oleh pemenang Hadiah Nobel Perdamaian dan pendiri Grameen Bank dari Bangladesh, Muhammad Yunus. Dalam bukunya bertajuk Creating a World Without Poverty: Social Business and the Future of Capitalism (2007), Yunus berbicara tentang keniscayaan akan munculnya alternatif terhadap sistem kapitalisme Amerika. Ia meyakinkan kita, bahwa kapitalisme masih relevan dijalankan demi terciptanya kemakmuran semesta. Hanya saja, yang dibutuhkan bukanlah kapitalisme ala Amerika. Kapitalisme yang dipertontonkan Amerika kini merupakan kumlinasi dari perkembangan kapitalisme yang serakah selama 300 tahun terakhir. Kapitalisme ini menyulap para aktor ekonomi menjadi mahluk satu dimensi: terobsesi mendapatkan uang dalam jumlah besar rmelalui maksimalisasi profit dan mendapatkan uang menyeruak sebagai satu-satunya sumber timbulnya motivasi, kepuasan dan kebahagiaan. Menghalalkan segala cara lalu mewarnai perburuan untuk mendapatkan uang. Runtuhnya bank investasi Lehman Brothers pada medio September 2008 merupakan akibat logis dari bahasa kapitalisme ala Amerika.

Dengan ini semua sudah saatnya bagi perekonomian dunia untuk bebas dari determinasi kapitalisme Amerika. Kalau tidak, perekonomian dunia bakal terus dilanda demam dan meriang sejalan dengan gonjang-ganjing kapitalisme Amerika.

Rakyat Tanpa Rumah

Oleh Anwari WMK

Rumah untuk rakyat merupakan agenda yang telah bergulir sejak dekade 1970-an. Tapi, tragisnya, agenda ini tak pernah beranjak ke permukaan sebagai isu ekonomi-politik yang seksi. Rumah untuk rakyat dibicarakan oleh kalangan pemerintah tak lebih sebagai dentuman retorika. Hingga abad XXI kini, tak ada sesuatu yang sungguh-sungguh substantif dilakukan pemerintah Indonesia untuk mengejewantahkan “rumah untuk rakyat” agar menjadi kenyataan. Ini pula yang dapat menjelaskan, mengapa di Indonesia tak pernah sungguh-sungguh ada sebuah sistem hukum yang sepenuhnya mendukung keberadaan mortgage, persis seperti terjadi di negara-negara Anglo-Saxon. Padahal, dengan mortgage itu berarti tersedia instrumen kepemilikan rumah yang sepenuhnya disokong kredit perbankan. Di negara-negara Anglo-Saxon, mortgage benar-benar mendapatkan keabsahan dari sistem hukum.

Di Indonesia, banyak faktor dan sebab yang mendorong rakyat untuk dengan serta-merta tak memiliki rumah. Bahkan, rakyat yang semula memiliki rumah, tiba-tiba kehilangan rumah. Homeless atau tuna-graha dalam realitas Indonesia merupakan fenomena yang bergerak di atas permukaan, namun di bawahnya terbentang berbagai latar belakang persoalan pelik. Karena itu, kini ada keniscayaan agar masalah rakyat tanpa rumah disorot secara tajam justru demi mengakhiri kecenderungan yang selalu memosisikan “rumah untuk rakyat” sekadar sebagai retorika. Sudah saatnya kini rumah untuk rakyat betul-betul diintegrasikan ke dalam upaya pemaknaan secara baru akan kedaulatan rakyat. Sejauh pemerintah gagal memberi jaminan terhadap rakyat agar memiliki rumah, maka sejauh itu pula sesungguhnya terjadi penggerusan terhadap kedaulatan rakyat.

Aspek pertama penyebab tak adanya kemampuan rakyat untuk memiliki rumah terkait erat dengan kegagalan pemerintah melaksanakan proyek perumahan rakyat. Sebagaimana diketahui, dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) selalu termaktub mata anggaran proyek perumahan rakyat. Pada era Orde Baru, arti penting mata anggaran proyek pembangunan perumahan rakyat tercermin pada upaya pencapaian untuk, misalnya, membangun sejuta unit perumahan rakyat. Tak mengherankan jika melalui kepeloporan pemerintah maka pada zaman Orde Baru muncul berbagai tipologi perumahan rakyat, dari sejak munculnya apa yang disebut Tipe 54, Tipe 45, Tipe 36, Tipe 21, Rumah Sederhana (RS), hingga munculnya Rumah Sangat Sederhana (RSS). Sungguh pun demikian, Orde Baru tak pernah sepi dari kritik. Ini karena, tak sedikit dari mereka yang mendapatkan fasilitas kredit pemilikan rumah (KPR) telah memiliki rumah. Pemerintah Orde Baru tak sungguh-sungguh mampu membuka akses secara sangat lebar kepada masyarakat menengah bawah untuk memiliki rumah.

Sejak era pasca-Orde Baru, muncul tren peningkatan dalam hal penyerapan rumah bersubsidi—dalam kategori rumah sederhana sehat (RSH). Inilah rumah yang pembangunannya mendapatkan subsidi dari APBN dan yang secara khusus dibangun demi memenuhi kebutuhan masyarakat lapis bawah berpenghasilkan rendah akan perumahan. Jika pada 2005 tingkat penyerapan RSH mencapai 60.000 unit, pada 2006 meningkat menjadi 75.000 unit dan meningkat lagi menjadi 100.000 unit pada 2007. Khusus untuk 2008, pemerintah menargetkan pembangunan RSH sebanyak 249.000 unit. Hingga September 2008, nilai subsidi RSH mencapai sekitar Rp 729 miliar (Seputar Indonesia, 9 Oktober 2008, hlm. 15). Persoalannya kemudian terkait dengan proyeksi, bahwa target 2008 sulit dicapai.

Memang, kondisi umum pembangunan sektor properti memperlihatkan terjadinya pertumbuhan secara signifikan. Dalam beberapa tahun terakhir pertumbuhan sektor properti berada pada kisaran 20% hingga 30%. Terutama pembangunan properti dalam cakupan perumahan untuk kelas menengah atas, apartemen dan pembangunan properti untuk kawasan-kawasan bisnis diproyeksikan takkan mengalami peluruhan sekali pun perekonomian nasional Indonesia terimbas krisis moneter Amerika. Tetapi pembangunan perumahan untuk masyarakat menengah bawah, seperti RSH, terancam babak belur oleh imbas krisis moneter Amerika. Di antara berbagai macam kategori properti, RSH bukanlah sesuatu yang superlatif. Ini sejalan dengan fakta, bahwa pasar properti untuk skala menengah bawah sangat rentan dihantam fluktuasi suku bunga kredit. BI Rate yang mengalami kenaikan hingga mencapai 9,50% sejak 7 Oktober 2008 secara otomatis menghambat likuiditas pengembang yang fokus pada pembangunan RSH. Kenaikaan SBI itu berimplikasi langsung pada meningkatan suku bunga kredit perbankan. Pada giliran selanjutnya, pengembang RSH yang sebagian terbesarnya bersandar pada pinjaman bank bakal mengurangi suplai RSH. Demi menjaga likuiditas, pengembang RSH cenderung menunda investasi baru (Kompas, 9 Oktober 2008, hlm. 20).

Aspek kedua penyebab timbulnya persoalan “rakyat tanpa rumah” berhubungan erat dengan kontrak sosial yang semu antara negara dan masyarakat. Sebagai negeri yang sering dilanda bencana alam, rakyat berada dalam ancaman laten kehilangan rumah. Puting beliung yang datang dan pergi kapan saja di berbagai pelosok Nusantara, misalnya, dengan begitu mudahnya merusak secara massal rumah warga. Bukan cerita baru jika setelah puting beliung berlalu, penduduk benar-benar kehilangan rumah. Sayangnya, pemerintah belum melihat persoalan ini sebagai pekerjaan rumah yang harus dituntaskan. Karena itu, tak ada jaring pengaman yang mengharuskan pemerintah untuk sepenuhnya memberikan bantuan rehabilitasi terhadap rumah-rumah penduduk yang luluh lantak dihantam bencana alam. Hal mendasar apa yang dapat kita simak dari kenyataan ini? Pemerintah melakukan pembiaran terhadap timbulnya persoalan rakyat tanpa rumah. Pemerintah kosong dari sensibilitas terhadap nestapa rakyat yang kehilangan rumah oleh kecamuk bencana alam.

Aspek ketiga penyebab timbulnya persoalan tuna-graha berjalin kelindan dengan serangkaian penggusuran perkampungan-perkampungan kumuh di wilayah-wilayah urban. Kita tahu, urbanisasi memiliki hukum besinya sendiri. Semakin tinggi intensitas dan akselerasi urbanisasi, maka kian besar pula kebutuhan akan perumahan. Apa yang diidentifikasi sebagai “kota berwajah desa” sepenuhnya bertitik-tolak dari kian tingginya intensitas dan akselerasi urbanisasi. Dari sini kemudian terbentuk perkauman masyarakat bawah yang dalam ilmu-ilmu sosial diidentifikasi sebagai “proletar”, “periferal” dan “marjinal”. Sang proletar kota dengan begitu mudahnya kemudian terdorong untuk melakukan penyerobotan tanah-tanah kosong. Dari sini kemudian berdiri rumah-rumah gubuk dan atau bangunan semi permanen yang sepenuhnya difungsikan sebagai tempat berteduh (shelter). Aparat pemerintah lokal melihat masalah ini dari sudut pandang hitam-putih, antara benar dan salah menurut kerangka legal formal. Penggusuran lalu dianggap absah dilaksanakan. Celakanya, elemen pemerintahan yang terlibat penggusuran tak mampu: (1) memberikan tawaran relokasi, (2) gagal mengaitkan penyerobotan tanah di wilayah urban dengan problem disparitas desa-kota . Rakyat yang tergusur itu lalu benar-benar kehilangan rumah dalam maknanyan sebagai sebuah shelter.

Apa yang dapat dikatakan lebih lanjut dengan demikian ialah kompleksnya latar belakang pencetus timbulnya masalah “rakyat tanpa rumah”. Sementara, sampai kapan pun, pemerintah memiliki kewajiban moral untuk memberikan garansi agar setiap warga negara memiliki rumah layak huni. Ini berarti, pemerintah harus berpijak pada orientasi baru dalam konteks penuntasan masalah rakyat tanpa rumah. Implementasi regulasi perumahan rakyat harus paralel dengan adanya sistem penjaminan pemerintah untuk memberikan bantuan pada kaum tuna-graha karena berbagai sebab. Di wilayah-wilayah urban, misalnya, pemerintah harus mampu melakukan pengaturan terhadap permukiman yang telah lama terbentuk dan mengarahkan terbentuknya permukiman bagi warga yang baru hadir di perkotaan. Hanya saja, untuk mampu melaksanakan semua ini dengan baik dibutuhkan prasyarat. Aparat pemerintah terlebih dahulu harus sembuh dari patologi perburuan rente. Mungkinkah?

Berlanjutnya Supremasi Tentara

Oleh Anwari WMK

Seremoni Hari Ulang Tahun Ke-63 TNI (Tentara Nasional Indonesia) yang puncak penyelenggaraannya dilaksanakan di Markas Komando Armada RI Kawasan Timur (Armatim), Dermaga Ujung, Surabaya, 14 Oktober 2008, ternyata menyemburatkan sinyal yang tak sederhana: masih berlanjutnya supremasi tentara terhadap kehidupan masyarakat sipil di Indonesia. Disimak sepintas lalu, seremoni tersebut tampak berada dalam kerangka reformasi TNI pada era pasca-Orde Baru. Bahkan, seremoni itu berfungsi sebagai panggung yang mempertontonkan satu hal, bahwa TNI sudah berada dalam bentangan waktu 10 tahun menanggalkan dwi-fungsi (baca: pertahanan keamanan dan sosial politik), yang di masa lampau sungguh-sungguh digdaya itu. Tetapi, telaah secara semiotik terhadap HUT Ke-63 TNI menunjukkan masih bertahannya supremasi tentara terhadap masyarakat sipil. Supremasi dimaksud termaktub ke dalam penjelasan berikut.

Pertama, berlanjutnya supremasi tentara itu tercermin secara sangat kuat pada kerugian sektor transportasi lantaran harus mengalah dalam hal penggunaan jalur udara dan laut demi terselenggaranya perhelatan HUT Ke-63 TNI. Bayangkan, 36 jadwal penerbangan dari dan menuju bandara Juanda Surabaya tertunda. Ini merupakan konsekuensi logis dari penutupan jalur udara untuk penerbangan sipil. Jalur transportasi udara di seputar Surabaya sepenuhnya dialokasikan untuk penyelanggaraan atraksi pesawat tempur milik TNI. Sama tragisnya dengan itu, ribuan pengguna jasa penyeberangan selat Madura tertahan di Dermaga Kamal, Madura. Laut di seputar dermaga dipergunakan sebagai ajang atraksi HUT Ke-63 TNI. Antrean mobil menuju Dermaga Kamal mencapai 2 kilometer. Bagaimana kenyataan ini dimengerti? Ya, itulah fakta yang secara subtil menjelaskan berlanjutnya supremasi tentara atas sipil. Publik sama sekali tak berkutik menghadapi kenyataan tersebut.

Di mana pun dan sampai kapan pun, hakikat transportasi publik selalu terkait erat dengan penyediaan jasa angkutan yang bersifat generik. Tujuannya, memudahkan setiap individu anggota masyarakat melakukan mobilitas. Para pihak penyelanggara transportasi publik mendapatkan fee dari adanya kemampuan memberikan pelayanan angkutan secara generik itu. Begitu vitalnya peran dan fungsi transportasi publik, kemajuan masyarakat diindikasikan dan atau bergantung pada kecanggihan transportasi publik. Secara demikian, tak boleh ada manuver yang bersifat human-made dalam wujud apa pun merintangi kelancaran transportasi publik. Hanya bencana alam dan kekacauan sosial di masa chaos yang membenarkan timbulnya upaya-upaya anulir terhadap pelaksanaan fungsi transportasi publik. Maka, apa yang bisa dikatakan dengan tersedatnya angkutan udara dan angkutan penyeberangan laut di seputar Surabaya pada 14 Oktober 2008? Itulah penistaan secara terang benderang terhadap transportasi publik. Ini merupakan wujud konkret supremasi tentara terhadap kehidupan masyarakat sipil.

Kedua, fakta tentang masih kuatnya supremasi tentara terekspresikan pada peliknya pengambilalihan bisnis TNI. Pengambilalihan yang semestinya sederhana, ternyata berjalan rumit. Satu dasawarsa reformasi bukanlah magic bullet yang begitu ampuh bagi rezim-rezim kekuasaan demokratis untuk mengambilalih bisnis TNI. Apa yang penting dicatat di balik kepelikan pengambilalihan ini ialah watak tentara di Indonesia yang sejak awal mula kelahirannya memang tak bisa dilepaskan dari pengelolaan korporasi-korporasi bisnis. Berpijak pada prinsip dwi-fungsi, bisnis tentara semakin menemukan bentuknya yang kian eksesif pada era Orde Baru. Dengan fakta itu pula bukan saja tentara menjadi pilihan profesi yang pada akhirnya jauh dari profesional, lebih dari itu tentara memasuki kancah kompetisi ekonomi melawan masyarakat sipil. Dengan raison d’etre bisnis, tentara di Indonesia begitu mudahnya membangun supremasi militer atas sipil. Tragisnya, keuntungan besar dari perguliran bisnis tentara pada era Orde Baru hanya dinikmati secara terbatas oleh kalangan jenderal dan atau pentinggi militer.

Dari hasil inventarisasi unit bisnis TNI—sesuai dengan Surat panglima TNI Nomor B/3385-08/06/Spers, tanggal 28 September 2005—total yayasan dan koperasi di lingkungan TNI mencapai 15 dan 1.071 unit, dengan 1.520 badan usaha. Pada 2007, Tim Supervisi Transformasi Bisnis TNI—yang diketuai Sekretaris Menteri BUMN Said Didu—menginventarisasi ulang dan menemukan 277 koperasi milik TNI dengan total aset Rp 254,5 miliar. Mengacu pada perhitungan neraca keuangan, maka persentase rata-rata nilai sisa hasil usaha koperasi mencapai 21,8% dari nilai aset yang ada. Nilai total aset tertinggi dimiliki koperasi TNI di Surabaya, Jawa Timur, yang mencapai sekitar Rp 102,6 miliar. Posisi selanjutnya diduki koperasi TNI di wilayah Semarang, Jawa Tengah, sebesar Rp 53,1 miliar dan koperasi TNI di wilayah Yogyakarta sebesar Rp 20,1 miliar. Terbentuknya Tim Nasional Pengambilalihan Aktivitas Bisnis TNI—melalui Keputusan Presiden Nomor 7 Tahun 2008 tanggal 16 April 2008—terdata total nilai aset bisnis TNI yang mencapai sekitar Rp 3,1 triliun (Kompas, 15 Oktober 2008, hlm. 3). Tak bisa tidak, peliknya pengambilalihan harus disimak ke dalam konteks besarnya magnitude bisnis TNI itu sendiri. Namun dari sini pula menjadi jelas, bahwa supremasi tentara terus berlanjut.

Ketiga, supremasi tentara terhadap masyarakat sipil terus berjalan dengan memanfaatkan sebesar mungkin segenap ruang politik yang dibentuk oleh proses demokratisasi di negeri ini. Pada satu sisi, muncul aksentuasi yang begitu kuat berkenaan dengan netralitas TNI dalam kancah politik. Persis sebagaimana termaktub pada instruksi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada HUT Ke-63 TNI di Surabaya, bahwa mutlak bagi setiap prajurit TNI untuk tak terlibat politik praktis. Dengan nada retoris Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berkata, “Pemerintahan boleh berganti setiap lima tahun, tapi loyalitas TNI tidak boleh goyah dan berubah”. Pada lain pihak, pertarungan politik mantan jenderal dalam Pemilu 2009 menghentakkan kemungkinan ke arah luruhnya netralitas TNI. Teka-teki yang kemudian bergulir, apakah mungkin para mantan jenderal itu menggunakan jaringan organisasional TNI untuk memenangkan persaingan dalam pemilihan presiden secara langsung pada 2009.

Sejauh yang dapat dicatat, Susilo Bambang Yudhoyono, Wiranto, dan Prabowo Subianto merupakan mantan jenderal yang siap berlaga dalam pemilihan presiden 2009. Jika Susilo Bambang Yudhoyono menggunakan kendaraan politik Partai Demokrat, Wiranto menggunakan Partai Hanura dan Prabowo Subianto melalui Partai Gerindra. Kritisisme publik terhadap tampilnya para mantan jenderal dalam pemilihan presiden 2009 itu memang terkait erat dengan pemanfaatan jaringan organisasional TNI di seluruh penjuru Nusantara. Dalam editorialnya pada edisi 16 Oktober 2008, harian Seputar Indonesia menulis seperti ini: “Hasil jajak pendapat sejumlah lembaga survei menunjukkan rivalitas ketiganya semakin mengkristal. Bukan hanya parpol mereka yang semakin dikenal masyarakat, popularitas mereka sebagai capres 2009 sangat tinggi”. Editorial Seputar Indonesia lalu menegaskan sesuatu yang genting seperti ini: “ Kondisi inilah yang dikhawatirkan memicu persaingan tidak sehat. Sebagai tokoh yang pernah menjadi ikon utama di tubuh TNI, jelas mereka masih mempunyai akar dan power untuk menggerakkan institusi, paling tidak akan memanfaatkan simpul-simpul perwira dan prajurit yang mengidentifikasikan diri mereka sebagai orang Wiranto, Prabowo dan SBY”.

Pada tataran struktural, TNI memang sudah menanggalkan dwi-fungsinya. Perubahan struktural ini bermula dari munculnya TAP MPR No. VI/MPR/2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri dan TAP MPR No. VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Polri. Dengan demikian, secara kelembagaan, haram bagi TNI terlibat dalam politik praktis. Tetapi, dengan alasan demokrasi, para mantan jenderal terseret ke dalam pertarungan politik praktis. Ini berarti, pada tataran kultural, belum muncul perubahan secara signifikan. Tentara masih akan terus terseret dalam politik praktis. Itulah mengapa, harapan agar TNI mampu tampil sebagai prajurit profesional dalam atmosfer demokrasi sesungguhnya merupakan harapan yang rada-rada absurd. Kecuali jika sama sekali tak pernah ada mantan jenderal yang berlaga dalam ajang kompetisi memperebutkan kursi kepemimpinan nasional.

Liberalisme Politik, Etatisme Ekonomi

Oleh Anwari WMK

Tak cukup hanya menghimbau masyarakat agar tenang, rasional dan tidak panik menghadapi imbas yang ditimbulkan oleh krisis finansial di Amerika Serikat, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) berbicara dengan nada cukup keras. Ia menyinggung kejatuhan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang berakibat pada penutupan Bursa Efek Indonesia (BEI). Pelaku pasar saham, kata presiden, jangan mencari keuntungan sendiri di tengah krisis dan lalu menganggu perekonomian nasional. Aksi mencari untung sendiri itu sama saja dengan mengkhianati rakyat banyak (Koran Tempo, 13 Oktober 2008, hlm. A1). Presiden tak menyebut secara spesifik, siapa sesunguhnya spekulan yang ia maksud dan telah sedemikian rupa menggoreng saham dan kemudian mencetuskan gonjang-ganjing di BEI.

Sungguh pun demikian, pernyataan presiden itu dapat dibaca sebagai respons terhadap “Rabu kelabu” (black Wednesday), tatkala pada 8 Oktober 2008 seluruh perdagangan saham di BEI dihentikan pada pukul 11.06 WIB. Ini karena, IHSG anjlok 168 poin (10,3%) ke posisi 1.451,669. Suspensi atau penutupan BEI lalu berlangsung hingga akhir pekan (8-10 Oktober 2008). Tak pelak lagi, ini jelas merupakan tamparan terhadap sang presiden. Terhitung sejak Januari 2008, presiden begitu membanggakan kinerja BEI sebagai salah satu poin keberhasilan pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu (KIB). Kejatuhan IHSG seakan mencabik kebanggan sang presiden.

Jika substansi yang dinyatakan presiden itu terbuka untuk ditafsirkan, maka ada beberapa hal mendasar yang penting digarisbawahi. Pertama, SBY mempertontonkan sinyal “negara melawan pasar”. Apa pun gelagat dan teknikalitas yang mendasari timbulnya spekulasi di bursa efek, hal yang sangat jelas adalah fakta bahwa negara kalah melawan pasar. Pernyataan SBY tentang kaum spekulan yang meruntuhkan IHSG sebagai “mengkhianati rakyat banyak” merupakan simbolisme dari negara yang mulai “bangkit” melawan pelaku pasar yang serakah. Apakah perlawanan ini mengejawantah atau memiliki terjemahan secara jelas dan konkret pada bidang hukum dan dalam format regulasi, tentu merupakan persoalan lain. Paling tidak di sini kita menggaris-bawahi, bahwa telah muncul tanda-tanda tentang negara berada dalam sebuah setting melawan pasar.

Kedua, antara sadar dan tidak, pernyataan SBY itu merupakan koreksi terhadap perguliran neo-liberalisme dalam kancah perekonomian nasional Indonesia. Sulit dibantah, SBY “dikepung” penganut paham neo-liberalisme. Dalam KIB, kita mencatat bahwa Menko Bidang Kesejahteraan Rakyat, Menteri Keuangan, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral serta Menteri Perdagangan merupakan figur pendukung neo-liberalisme. Metode berpikir dan sikap politik mereka mengusung paham neo-liberalisme. Lapindo Brantas milik Menko Bidang Kesejahteraan Rakyat terseret ke dalam aksi kejahatan korporasi di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur. Rasionalitas kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) oleh Menteri Keuangan bersama Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral secara a priori didasarkan pada struktur harga minyak di pasar dunia. Kenaikan secara liar kebutuhan pokok rakyat bertitik-tolak dari pembiaran yang dilakukan Menteri Perdagangan. Semua itu merupakan resultante dari bekerjanya paham neo-liberalisme.

Ketiga, SBY berada dalam tuntutan besar untuk memancangkan orientasi baru kekuasaan politik. Baik “negara melawan pasar” maupun “koreksi terhadap neo-liberalisme” merupakan titik permulaan untuk menemukan format politik perekonomian yang lebih berpihak kepada masyarakat. Hanya saja, mungkinkah SBY mampu berhadapan dengan dua front sekaligus, yaitu para spekulan yang serakah di bursa saham dan figur-figur menteri dalam KIB yang tak habis-habisnya mengusung paham neo-liberalisme? Sampai di sini, kita disergap oleh sejumlah teka-teki dan keraguan. Sejalan dengan kepemimpinannya yang lembek, kita tak sepenuhnya percaya SBY mampu dan mau mewujudkan orientasi baru kekuasaan politik. Secara kategoris, orientasi baru kekuasaan politik itu diistilahkan sebagai “liberalisme politik, etatisme ekonomi”.

Terhadap SBY, kita memang tak mungkin meminta lebih, karena ia memang tak mungkin memberi lebih. SBY yang oleh Sri Sultan Hamengko Buwono X digambarkan sebagai “manager ketimbang leader”, tak mungkin bisa diharapkan lantaran memang tak bisa memberi harapan. Mungkinkah ia sungguh-sungguh mampu menghajar spekulan dan mempersempit gerak kaum neo-lib, ternyata tak ada simptom yang meyakinkan ke arah itu. Itulah mengapa, “liberalisme politik, etatisme ekonomi” tak mungkin diharapkan berjalan pada era kekuasaan SBY. Dari SBY, prognosa kemunculan “liberalisme politik, etatisme ekonomi” hanya dikaitkan-hubungkan dengan retorika yang ia hembuskan. Tak lebih dan tak kurang. Tetapi dengan demikian pula, kini absah untuk mengandaikan adanya kekuasaan politik pasca-SBY. Untuk keperluan mewujudkan “liberalisme politik, etatisme ekonomi”, semuanya diharapkan terjadi pada kurun waktu setelah lengsernya SBY. Jika pada Pilpres 2009 SBY kembali terpilih, maka setelah tahun 2014 dapat diharapkan tercipta sebuah spektrum waktu yang memungkinkan hadirnya “liberalisme politik, etatisme ekonomi”.

Perekonomian sesungguhnya kembali pada persoalan lama pergeseran pendulum. Dua pendulum perekonomian dunia—yang silih berganti berebut pengaruh—adalah liberal dan konservatif. Pendulum liberal berpijak pada pengagungan secara ekstrem terhadap mekanisme pasar. Dengan asumsi pasar mampu menciptakan keseimbangan-keseimbangan baru secara serta-merta, campur tangan negara dihepotesiakan sebagai sesuatu yang tak relevan. Sebaliknya pendulum konservatif, tak percaya pada kemauan baik pasar dalam hal menciptakan keseimbangan-keseimbangan baru yang adil. Itulah mengapa, regulasi dan campur tangan negara terhadap berkejanya pasar dieksplisitkan sebagai sesuatu yang niscaya. Perekonomian dunia lalu berada pada bolak-balik pergeseran pendulum itu. Dan tragisnya, masing-masing pendulum mencetuskan krisis perekonomian.

Sejak terjadinya Great Depression pada akhir dekade 1920-an dan berlanjut pada permulaan dekade 1930-an, pendulum konservatif menentukan arah perekonomian Amerika dan negara-negara Barat pada umumnya. Ketika pada akhirnya pendulum konservatif itu melahirkan penyalahgunaan uang, maka pada dekade 1970-an pendulum perekonomian ini memasuki fase epilog. Sebagai gantinya, sejak dekade 1970-an, pendulum liberal mendeterminasi arah perkembangan ekonomi. Tonggak penting dari pendulum liberal ini adalah munculnya serangkaian liberalisasi dan debirokratisasi sejak dekade 1980-an yang di Amerika ditengarai sebagai Reaganomic dan di Inggris disebut Thatcherian. Hingga kemudian bergulir krisis sektor finansial di Amerika sejak Juli 2007—yang dipicu oleh keserakahan pelaku pasar—kita sekali lagi menyaksikan tamatnya pendulum liberal.

Krisis benar-benar menjadi antecedent bagi terjadinya pergeseran atau pertukaran pendulum. Dengan demikian, absurd jika perekonomian terus-menerus dilandaskan pada pergeseran pendulum secara permanen antara liberal dan konservatif. Yang justru sangat dibutuhkan sesungguhnya adalah “liberalisme politik, etatisme ekonomi”, bukan sekadar siklus liberal-konservatif yang justru menciptakan jalan buntu. Dengan liberalisme, politik diberi ruang secara sangat luas untuk sepenuhnya dikelola berlandaskan demokrasi substansial. Dengan etatisme, ekonomi digerakkan berladasan kekukuhan regulasi. Dengan cara ini, politik yang demokratis benar-benar berfungsi sebagai watchdog yang mengawasi secara obyektif gerak laju perekonomian ke depan. Bukan saja tawaran ini relevan untuk keperluan mengawal agar perekonomian jangan menjadi gelembung sabun, lebih dari itu tata kelola ekonomi dimintakan pertanggungjawabannya oleh proses-proses politik yang demokratis. Sayangnya, terobosan ini belum mungkin diwujudkan di Indonesia, sampai muncul seorang pemimpinan nasional yang tegas berhadapan dengan pelaku pasar serta steril dari pengaruh neo-liberalisme. Mungkinkah pemimpinan nasional semacam itu kita temukan dalam Pilpres 2009? Atau tak pernah kita temukan?