Jumat, 17 Oktober 2008

Usaha Rakyat Skala Kecil

Oleh Anwari WMK

Tanpa penelisikan secara saksama melalui penelitian berlandaskan metodologi yang dapat dipertanggung-jawabkan secara akademis, maka terlalu berlebihan jika muncul kesimpulan, bahwa kini 4.000 entitas bisnis dalam kategori usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) di Tanah Air kolaps akibat kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), suku bunga kredit yang tinggi dan rendahnya daya beli masyarakat. Tanpa penelitian, penarikan kesimpulan semacam ini bisa terlalu kecil atau terlalu besar—secara kuantitatif—manakala disimak dari reabilitas sesungguhnya di lapangan. Artinya, tanpa mengambil titik tolak dari penelitian, sebuah kesimpulan yang berdimensi statistikal bisa dengan mudah kehilangan keabsahannya. Namun, terlepas dari keniscayaan untuk melakukan penelitian, demikianlah fakta yang dibentangkan oleh Ketua Komite Tetap UMKM Kadin Indonesia, Sandiaga S. Uno. Bahwa, paling tidak, 5% dari 800 ribu unit UMKM saat ini berada dalam situasi lumpuh (Seputar Indonesia, 23 September 2008, hlm. 15).

Agaknya, hal yang dipandang fundamental dalam konteks ini bukanlah berbicara tentang akurasi data statistik itu sendiri. Di atas segalanya, harus mulai ada pengakuan secara jujur bahwa perekonomian nasional kini telah sedemikian rupa diharu-biru oleh runtuhnya UMKM. Segenap implikasi yang ditimbulkan oleh keruntuhan itu terefleksikan ke dalam kehidupan sosial dan ekonomi para pihak yang terkait erat dengan keberadaan UMKM—yang tengah mengalami keruntuhan itu. Sejauh dapat dimengerti dari bentangan persoalan yang dikemukakan Sandiaga S. Uno, pemerintah perlu diberi sinyal peringatan: tak sedikit jumlah usaha rakyat skala kecil di Indonesia punah lantaran diterjang dan digilas oleh politik perekonomian rezim kekuasaan. Politik perekonomian yang dipancangkan oleh rezim kekuasaan berpengaruh secara langsung terhadap eksistensi usaha rakyat skala kecil. Bagaimana masalah ini dijelaskan lebih lanjut?

Pada tataran yang lebih bersifat teknis, usaha rakyat skala kecil hampir tak pernah beranjak dari persoalan lama yang membelit eksistensi mereka. Untuk mampu mempertahankan eksistensinya dalam jangka panjang, usaha rakyat skala kecil masih terbentur masalah modal, pasar dan human capital. Besarnya potensi perekonomian yang dapat digarap usaha rakyat skala kecil, kontras dengan masalah-masalah tersebut. Sungguh pun demikian, sampai kapan pun usaha rakyat skala kecil tetap memperlihatkan sosok dirinya melalui sejumlah aktivitas ekonomi. Ini karena, tak ada sandaran yang kukuh bagi rakyat lapis bawah untuk bertahan dari gilasan kemiskinan, selain menggantungkan harap untuk mendapatkan manfaat dari pengelolaan usaha. Keterbatasan modal, pasar dan human capital lalu tak melemahkan animo pelaku usaha rakyat skala kecil untuk terus bergelut mempertahankan dan mengembangkan usaha mereka.

Jika persoalan yang terus membelit eksistensi usaha rakyat skala kecil ditelaah berlandaskan perspektif “sistem ekonomi”, maka sesungguhnya timbul kepincangan akan dua hal yang sejatinya saling mendukung satu sama lain. Hal pertama, berkaitan erat dengan dinamika pasar yang mengabsorpsi “energi rakyat” dalam pengelolaan usaha skala kecil. Hal kedua, berhubungan erat dengan intervensi pemerintah demi tegaknya keadilan ekonomi. Berbagai persoalan yang tak habis-habisnya membelit usaha skala kecil di Indonesia sesungguhnya mengambil titik tolak dari tak adanya hubungan secara sinergis antar-dua hal tersebut. Dengan sendirinya, market activity penopang gerak dinamik usaha skala kecil bersimpang jalan dengan government intervention. Kepincangan inilah yang sejauh ini memosisikan pemerintah untuk terus-menerus terjebak ke dalam retorika saat berbicara tentang usaha rakyat skala kecil.

Rezim kekuasaan dalam realitas Indonesia, sulit diharapkan mampu menyelesaikan kendala besar yang merintangi penguatan usaha rakyat skala kecil. Sekali pun rezim kekuasaan kini merupakan resultante dari pemilihan presiden (Pilpres) secara langsung, tak serta-merta rezim kekuasaan ini memiliki ketegasan sikap untuk sepenuhnya berpihak kepada usaha rakyat skala kecil. Sudah menjadi rahasia umum, terbentuknya rezim kekuasaan melalui Pilpres secara langsung pada 2004 dimenangani oleh kandidat yang mendapatkan dukungan kuat dari kelompok-kelompok usaha skala besar. Masuknya aktor usaha besar dalam kabinet pemerintahan merupakan landasan terbentuknya politik perekonomian rezim kekuasaan yang berada dalam keterjarakan dengan usaha rakyat skala kecil. Sebagai konsekuensinya, rezim kekuasaan ini kosong dari misi besar penyelamatan usaha rakyat skala kecil. Sangat bisa dimengerti jika pada akhirnya rezim kekuasaan ini melakukan pembiaran terhadap segenap tendensi yang secara telak menistakan eksistensi usaha rakyat skala kecil.

Keterbatasan usaha rakyat skala kecil akan modal, merupakan persoalan yang telah sejak lama bergulir. Bahkan, otoritarianisme politik pada era Orde Baru disimbolisasi secara sangat mencolok dalam bidang ekonomi melalui tak adanya penguatan struktur permodalan usaha rakyat skala kecil. Kucuran likuiditas bank secara besar-besaran pada usaha skala besar selama era Orde Baru justru kemudian mencetuskan fenomena usaha konglomerasi. Penguatan struktur permodalan usaha rakyat skala kecil tetap bertahan sebagai basa-basi dalam serangkaian seremoni. Sayangnya, demokrasi liberal yang berjalan sejak era pasca-Orde Baru dan kemudian menghasilkan rezim Pemilu bebas, ternyata tak mengubah keadaan menjadi lebih baik. Usaha rakyat skala kecil tetap terbentur masalah permodalan.

Dalam konteks penguatan posisi usaha rakyat skala kecil, sebenarnya ada kejelasan formula. Bahwa visi pengentasan kemiskinan kelembagaan bank mendesak dikedepankan sebagai fundamen penting memajukan usaha rakyat skala kecil, melalui penguatan modal. Bagi kelembagaan bank, tugas pengentasan kemiskinan semacam ini bahkan merupakan keniscayaan. Jika bank mampu melakukan tugas ini, maka dengan sendirinya, bank telah melakukan upaya-upaya transformatif untuk memajukan perekonomian masyarakat. Pada titik inilah bank melakukan apa yang disebut “revolusi mikrokredit”, di mana pertarungan melawan kemiskinan mengondisikan kelembagaan bank untuk masuk ke dalam kancah “bisnis sosial” (lihat Muhammad Yunus, Creating a World Without Poverty: Social Business and the Future of Capitalism [New York: PublicAffairs, 2007], hlm. 43-147). Pertanyaannya, adakah kelembagaan bank yang semacam ini di Indonesia? Bukankah bank di Indonesia cenderung terseret ke dalam apa yang ditengarai sebagai hazard of prosperity?

Kelemahan usaha rakyat skala kecil dalam kaitan makna dengan pasar sesungguhnya dapat diatasi melalui kebijakan daya saing berdasarkan intervensi pemerintah. Sejalan dengan tantangan abad XXI, problem demografi mempertegas timbulnya apa yang disebut crowded economy (lihat Jeffrey D. Sachs, Common Wealth: Economic for A Crowded Planet [New York: The Penguin Press, 2008], hlm. 17-53). Kebijakan daya saing berdasarkan intervensi pemerintah dibutuhkan justru untuk meredam agar perekonomian tak semakin crowded. Tetapi untuk keperluan ini pemerintah dituntut mampu untuk sepenuhnya bertindak sebagai wasit yang adil mengontrol persaingan usaha. Kebijakan pemerintah pro-prosperity sepenuhnya dimaksudkan untuk menjaga agar usaha rakyat skala kecil tak tergusur oleh kehadiran modal usaha skala besar. Imperatif inilah yang tak sepenuhnya mampu diwujudkan pemerintah, sebagai akibat dari masih terus bertahannya feodalisme.

Untuk keperluan penguatan faktor human capital, usaha rakyat skala kecil terkendala oleh tantangan-tantangan eksternal. Secara substansial, usaha rakyat skala kecil telah memiliki dasar yang dapat dikembangkan membentuk kewirausahaan. Human capital yang tersedia merupakan elemen dasar yang memungkinkan usaha rakyat skala kecil maju dan berkembang. Masalahnya, penggusuran oleh aparat pemerintahan lokal sedemikian rupa berkembang menjadi ancaman permanen yang mendistorsi kemajuan lebih lanjut human capital pada usaha rakyat skala kecil. Penggsuran merupakan potret nyata dari terus bertahannya arogansi aparat dan usaha rakyat skala kecil diposisikan sebagai pesakitan.

Dari semua persoalan itu yang dibutuhkan kemudian penguatan tawar-menawar politik. Sudah saatnnya hadir partai politik yang sepenuhnya memperjuangkan usaha rakyat skala kecil. Tapi, adakah partai yang semacam ini di Indonesia? Tidak ada. Dan mungkin tak pernah ada.

Tidak ada komentar: