Jumat, 17 Oktober 2008

Berlanjutnya Supremasi Tentara

Oleh Anwari WMK

Seremoni Hari Ulang Tahun Ke-63 TNI (Tentara Nasional Indonesia) yang puncak penyelenggaraannya dilaksanakan di Markas Komando Armada RI Kawasan Timur (Armatim), Dermaga Ujung, Surabaya, 14 Oktober 2008, ternyata menyemburatkan sinyal yang tak sederhana: masih berlanjutnya supremasi tentara terhadap kehidupan masyarakat sipil di Indonesia. Disimak sepintas lalu, seremoni tersebut tampak berada dalam kerangka reformasi TNI pada era pasca-Orde Baru. Bahkan, seremoni itu berfungsi sebagai panggung yang mempertontonkan satu hal, bahwa TNI sudah berada dalam bentangan waktu 10 tahun menanggalkan dwi-fungsi (baca: pertahanan keamanan dan sosial politik), yang di masa lampau sungguh-sungguh digdaya itu. Tetapi, telaah secara semiotik terhadap HUT Ke-63 TNI menunjukkan masih bertahannya supremasi tentara terhadap masyarakat sipil. Supremasi dimaksud termaktub ke dalam penjelasan berikut.

Pertama, berlanjutnya supremasi tentara itu tercermin secara sangat kuat pada kerugian sektor transportasi lantaran harus mengalah dalam hal penggunaan jalur udara dan laut demi terselenggaranya perhelatan HUT Ke-63 TNI. Bayangkan, 36 jadwal penerbangan dari dan menuju bandara Juanda Surabaya tertunda. Ini merupakan konsekuensi logis dari penutupan jalur udara untuk penerbangan sipil. Jalur transportasi udara di seputar Surabaya sepenuhnya dialokasikan untuk penyelanggaraan atraksi pesawat tempur milik TNI. Sama tragisnya dengan itu, ribuan pengguna jasa penyeberangan selat Madura tertahan di Dermaga Kamal, Madura. Laut di seputar dermaga dipergunakan sebagai ajang atraksi HUT Ke-63 TNI. Antrean mobil menuju Dermaga Kamal mencapai 2 kilometer. Bagaimana kenyataan ini dimengerti? Ya, itulah fakta yang secara subtil menjelaskan berlanjutnya supremasi tentara atas sipil. Publik sama sekali tak berkutik menghadapi kenyataan tersebut.

Di mana pun dan sampai kapan pun, hakikat transportasi publik selalu terkait erat dengan penyediaan jasa angkutan yang bersifat generik. Tujuannya, memudahkan setiap individu anggota masyarakat melakukan mobilitas. Para pihak penyelanggara transportasi publik mendapatkan fee dari adanya kemampuan memberikan pelayanan angkutan secara generik itu. Begitu vitalnya peran dan fungsi transportasi publik, kemajuan masyarakat diindikasikan dan atau bergantung pada kecanggihan transportasi publik. Secara demikian, tak boleh ada manuver yang bersifat human-made dalam wujud apa pun merintangi kelancaran transportasi publik. Hanya bencana alam dan kekacauan sosial di masa chaos yang membenarkan timbulnya upaya-upaya anulir terhadap pelaksanaan fungsi transportasi publik. Maka, apa yang bisa dikatakan dengan tersedatnya angkutan udara dan angkutan penyeberangan laut di seputar Surabaya pada 14 Oktober 2008? Itulah penistaan secara terang benderang terhadap transportasi publik. Ini merupakan wujud konkret supremasi tentara terhadap kehidupan masyarakat sipil.

Kedua, fakta tentang masih kuatnya supremasi tentara terekspresikan pada peliknya pengambilalihan bisnis TNI. Pengambilalihan yang semestinya sederhana, ternyata berjalan rumit. Satu dasawarsa reformasi bukanlah magic bullet yang begitu ampuh bagi rezim-rezim kekuasaan demokratis untuk mengambilalih bisnis TNI. Apa yang penting dicatat di balik kepelikan pengambilalihan ini ialah watak tentara di Indonesia yang sejak awal mula kelahirannya memang tak bisa dilepaskan dari pengelolaan korporasi-korporasi bisnis. Berpijak pada prinsip dwi-fungsi, bisnis tentara semakin menemukan bentuknya yang kian eksesif pada era Orde Baru. Dengan fakta itu pula bukan saja tentara menjadi pilihan profesi yang pada akhirnya jauh dari profesional, lebih dari itu tentara memasuki kancah kompetisi ekonomi melawan masyarakat sipil. Dengan raison d’etre bisnis, tentara di Indonesia begitu mudahnya membangun supremasi militer atas sipil. Tragisnya, keuntungan besar dari perguliran bisnis tentara pada era Orde Baru hanya dinikmati secara terbatas oleh kalangan jenderal dan atau pentinggi militer.

Dari hasil inventarisasi unit bisnis TNI—sesuai dengan Surat panglima TNI Nomor B/3385-08/06/Spers, tanggal 28 September 2005—total yayasan dan koperasi di lingkungan TNI mencapai 15 dan 1.071 unit, dengan 1.520 badan usaha. Pada 2007, Tim Supervisi Transformasi Bisnis TNI—yang diketuai Sekretaris Menteri BUMN Said Didu—menginventarisasi ulang dan menemukan 277 koperasi milik TNI dengan total aset Rp 254,5 miliar. Mengacu pada perhitungan neraca keuangan, maka persentase rata-rata nilai sisa hasil usaha koperasi mencapai 21,8% dari nilai aset yang ada. Nilai total aset tertinggi dimiliki koperasi TNI di Surabaya, Jawa Timur, yang mencapai sekitar Rp 102,6 miliar. Posisi selanjutnya diduki koperasi TNI di wilayah Semarang, Jawa Tengah, sebesar Rp 53,1 miliar dan koperasi TNI di wilayah Yogyakarta sebesar Rp 20,1 miliar. Terbentuknya Tim Nasional Pengambilalihan Aktivitas Bisnis TNI—melalui Keputusan Presiden Nomor 7 Tahun 2008 tanggal 16 April 2008—terdata total nilai aset bisnis TNI yang mencapai sekitar Rp 3,1 triliun (Kompas, 15 Oktober 2008, hlm. 3). Tak bisa tidak, peliknya pengambilalihan harus disimak ke dalam konteks besarnya magnitude bisnis TNI itu sendiri. Namun dari sini pula menjadi jelas, bahwa supremasi tentara terus berlanjut.

Ketiga, supremasi tentara terhadap masyarakat sipil terus berjalan dengan memanfaatkan sebesar mungkin segenap ruang politik yang dibentuk oleh proses demokratisasi di negeri ini. Pada satu sisi, muncul aksentuasi yang begitu kuat berkenaan dengan netralitas TNI dalam kancah politik. Persis sebagaimana termaktub pada instruksi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada HUT Ke-63 TNI di Surabaya, bahwa mutlak bagi setiap prajurit TNI untuk tak terlibat politik praktis. Dengan nada retoris Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berkata, “Pemerintahan boleh berganti setiap lima tahun, tapi loyalitas TNI tidak boleh goyah dan berubah”. Pada lain pihak, pertarungan politik mantan jenderal dalam Pemilu 2009 menghentakkan kemungkinan ke arah luruhnya netralitas TNI. Teka-teki yang kemudian bergulir, apakah mungkin para mantan jenderal itu menggunakan jaringan organisasional TNI untuk memenangkan persaingan dalam pemilihan presiden secara langsung pada 2009.

Sejauh yang dapat dicatat, Susilo Bambang Yudhoyono, Wiranto, dan Prabowo Subianto merupakan mantan jenderal yang siap berlaga dalam pemilihan presiden 2009. Jika Susilo Bambang Yudhoyono menggunakan kendaraan politik Partai Demokrat, Wiranto menggunakan Partai Hanura dan Prabowo Subianto melalui Partai Gerindra. Kritisisme publik terhadap tampilnya para mantan jenderal dalam pemilihan presiden 2009 itu memang terkait erat dengan pemanfaatan jaringan organisasional TNI di seluruh penjuru Nusantara. Dalam editorialnya pada edisi 16 Oktober 2008, harian Seputar Indonesia menulis seperti ini: “Hasil jajak pendapat sejumlah lembaga survei menunjukkan rivalitas ketiganya semakin mengkristal. Bukan hanya parpol mereka yang semakin dikenal masyarakat, popularitas mereka sebagai capres 2009 sangat tinggi”. Editorial Seputar Indonesia lalu menegaskan sesuatu yang genting seperti ini: “ Kondisi inilah yang dikhawatirkan memicu persaingan tidak sehat. Sebagai tokoh yang pernah menjadi ikon utama di tubuh TNI, jelas mereka masih mempunyai akar dan power untuk menggerakkan institusi, paling tidak akan memanfaatkan simpul-simpul perwira dan prajurit yang mengidentifikasikan diri mereka sebagai orang Wiranto, Prabowo dan SBY”.

Pada tataran struktural, TNI memang sudah menanggalkan dwi-fungsinya. Perubahan struktural ini bermula dari munculnya TAP MPR No. VI/MPR/2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri dan TAP MPR No. VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Polri. Dengan demikian, secara kelembagaan, haram bagi TNI terlibat dalam politik praktis. Tetapi, dengan alasan demokrasi, para mantan jenderal terseret ke dalam pertarungan politik praktis. Ini berarti, pada tataran kultural, belum muncul perubahan secara signifikan. Tentara masih akan terus terseret dalam politik praktis. Itulah mengapa, harapan agar TNI mampu tampil sebagai prajurit profesional dalam atmosfer demokrasi sesungguhnya merupakan harapan yang rada-rada absurd. Kecuali jika sama sekali tak pernah ada mantan jenderal yang berlaga dalam ajang kompetisi memperebutkan kursi kepemimpinan nasional.

Tidak ada komentar: