Jumat, 23 Januari 2009

Korupsi dan Purifikasi Pemerintahan

Oleh Anwari WMK

Tatkala sejak 2004 menjadi orang nomor satu di Indonesia, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah menandatangani izin pemeriksaan terhadap 127 pejabat daerah dalam kaitannya dengan peradilan korupsi. Secara kuantitatif, fakta ini tampak sebagai sesuatu yang spektakuler di atas permukaan, dan bahkan diilustrasikan sebagai realisme yang belum pernah ada presedennya. Pesan penting dari fakta ini—yang dikemukakan ke hadapan publik—ialah tak adanya imunitas atau kekebalan dari rezim politik yang tengah berkuasa di Jakarta terhadap siapa pun pejabat daerah yang terbukti korup. Setelah tampak jelas melakukan tindak korupsi, sang pejabat daerah dikondisikan untuk dengan segera diseret ke dalam proses peradilan.

Hanya saja, setelah tersingkapkan ke tengah kancah pemberitaan media massa, fakta ini lantas mencetuskan berbagai macam “elaborasi penjelasan” dari kalangan dekat presiden sendiri. Wakil Presiden M. Jusuf Kalla memberikan penjelasan, bahwa jumlah pejabat daerah yang sedemikian banyak diperiksa dalam peradilan korupsi ternyata hanyalah 3% dari total jumlah pejabat daerah secara nasional. Pemeriksanaan itu pun, menurut Jusuf Kalla, sebagian hanyalah memosisikan pejabat-pejabat daerah sebagai saksi, bukan tersangka. Staf Khusus Presiden dalam Bidang Hukum Denny Indrayana juga mengemukakan penjelasan, bahwa izin pemeriksaan yang ditandatangani presiden itu merupakan hal yang tak terpisahkan dari amanat UU No. 31/1999 tentang Pemberantasan Korupsi. Sehingga dengan demikian, menurut Denny Indrayana, tidak ada niat pemberian izin itu untuk kepentingan pencitraan agar SBY terpilih kembali sebagai presiden.

Pembacaan secara saksama terhadap lontaran kata-kata Jusuf Kalla membawa kita pada kesimpulan, bahwa penandatanganan izin pemeriksaan terhadap sekian banyak pejabat daerah merupakan sesuatu yang normatif saja sifatnya. Jusuf Kalla seakan hendak menegaskan satu hal, pemeriksaan itu tak mungkin dimengerti secara serta-merta sebagai sesuatu yang strategis. Dengan menandatangani izin sebanyak itu bukan berarti presiden telah mengambil upaya-upaya progresif ke arah eradikasi atau pemberantasan korupsi di Tanah Air. Terlontarnya kalimat “hanyalah 3% dari total jumlah pejabat daerah secara nasional” merupakan cara Jusuf Kalla menegasikan pandangan dan opini tentang eradikasi korupsi yang terlanjur ditengarai berjalan baik hanya karena telah hadir institusi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dengan pernyataannya itu Jusuf Kalla sesungguhnya tidak memandang tepat pola dan model pemberantasan korupsi yang tengah berjalan di Indonesia. Lontaran kata-kata pengusaha Bugis ini seakan merupakan kelanjutan dari pernyataan sebelumnya, bahwa mereka yang biasa memberikan infak dan sadakah dijerat pasal-pasal korupsi. Sementara, mereka yang menelan dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dalam jumlah besar tak pernah tersentuh peradilan korupsi.

Dikaitkan dengan negasi secara subtil ala Jusuf Kalla, pernyataan Denny Indrayana justru memperlihatkan hal sebaliknya. Tatkala ia berucap “tak ada niat pemberian izin itu untuk kepentingan pencitraan”, sesuatu yang hakiki adalah pencitraan itu sendiri. Kita tahu, Presiden SBY merupakan tokoh politik yang begitu piawai melakukan image building demi menjaga popularitas dirinya. Telaah secara semiotik bahkan membawa kita pada kesimpulan: hingga kini tak ada satu pun elite politik nasional yang begitu piawai melakukan upaya-upaya pencitraan, selain SBY. Ingat, ketika harga bahan bakar minyak (BBM) mengalami kenaikan secara berkala sejak 2005, maka yang mengumumkan jajaran menteri. Tetapi, ketika pemerintah menurunkan harga BBM pada akhir 2008 dan pada awal 2009, Presiden SBY sendiri yang mengumunkan penurunan harga BBM tersebut. Semua ini sulit untuk tak disebut sebagai bagian dari pencitraan. Sebab, manakala konsisten berpijak pada manajemen komunikasi berkenaan dengan suatu komoditas strategis, maka secara pofesional, jajaran menteri yang layak dan patut mengumumkan kenaikan dan penurunan harga BBM. Atau, jika presiden hendak mengumunkan sendiri, maka tak boleh memisahkan substansi kenaikan dan penurunan harga BBM. Jika dipisah, di mana lalu makna strategis BBM.

Apa yang penting digarisbawahi dari cerita ini adalah absurditas eradikasi korupsi lantaran hanya terpilin sebatas teknis peradilan. Lebih absurd lagi jika ternyata eradikasi korupsi hanyalah bagian tak terpisahkan dari strategi pencitraan politik. Itulah mengapa, hingga kini belum ada road map pemberantasan korupsi di Indonesia. Coba perhatikan contoh ini. Prof. Rokhmin Dahuri yang dijatuhi hukuman dengan sangkaan korupsi selama menjabat Menteri Kelautan dan Perikanan pada era pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri, ternyata menjalankan peran sosial yang normal sebagai guru besar Institut Pertanian Bogor (IPB). Sang guru besar tetap mengajar serta memberikan bimbingan penulisan tesis dan disertasi mahasiswa, di penjara. Seakan, pelaksanaan peran sosial sebagai guru besar tak tereduksi hanya karena dipenjara. Bagaimana memahami kenyataan ini?

Mungkin saja, Rokhmin Dahuri memang korup. Tetapi, tingkat korupsinya tak sedramatis korupsi BLBI. Di tengah kecamuk korupsi yang begitu patologis pada bangsa ini, bisa jadi taraf korupsi Rokhmin Dahuri tidaklah signifikan. Kemungkinan lain, Rokhmin Dahuri orang yang tak tepat disangkakan korupsi, namun kemudian dijebloskan ke penjara oleh adanya kebutuhan yang besar untuk mengidentifikasi adanya sosok koruptor di negeri ini. Argumentasi yuridis lalu tak bisa menutupi tendensi pencitraan politik dalam gegap gempita pemberantasan korupsi.

Contoh lain adalah sangkaan korupsi terhadap Burhanuddin Abddullah selama menduduki posisi Gubernur Bank Indonesia (BI). Kasus aliran dana BI ke sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) periode 1999-2004 demi memuluskan pembahasan rancangan undang-undang Bank Sentral membuat Burhanuddin Abddullah dijebloskan ke penjara. Ia disangka terlibat tindak korupsi, sekali pun tak mendapatkan sepeser pun uang dari terjadinya aliran dana BI ke DPR. Tak terelakkan jika kemudian sejumlah opini yang muncul di tengah kancah publik memosisikan sosok Burhanuddin Abddullah sebagai tumbal pengorbanan eradikasi korupsi yang begitu obsesif, namun tanpa kejelasan road map. Sekali pun tak memperkaya dirinya sendiri, Burhanuddin Abddullah tetap dijatuhi putusan sebagai koruptor.

Tanpa mengurangi rasa hormat, harus dikatakan bahwa eradikasi tak memberi jaminan bagi negeri ini untuk sepenuhnya bebas dari belenggu korupsi. Ini karena, eradikasi korupsi tak pernah steril dari ambisi untuk melakukan pencitraan. Eradikasi korupsi gegap gempita mewarnai media massa, tetapi tak pernah beranjak menjadi terapi kebangsaan. Bukan saja pencegahan korupsi tak cukup bergaung dibandingkan penindakan korupsi, bangsa ini mengalami kekosongan dalam hal purifikasi atau pemurnian pemerintahan. Padahal, tanpa purifikasi pemerintahan, sulit menyebut langkah pemberantasan korupsi steril dari pencitraan politik.

Tak bisa dielakkan, eradisi korupsi seharusnya berfungsi sebagai pintu masuk purifikasi pemerintahan. Dengan purifikasi berarti, pemerintahan dikendalikan oleh pejabat bersukmakan negarawan, lebih besarnya pelayanan ketimbang regulasi, terjadi penguatan institutional respons menghadapi masalah-masalah lokal dan temporer. Purifikasi juga berarti, aktivitas seseorang di pemerintahan bukan sebagai pekerjaan, tetapi sebagai panggilan dan pengabdian. Sejauh gagal mendorong terjadinya purifikasi pemerintahan, maka sejauh itu pula eradikasi korupsi hanyalah pencitraan. Salah sasaran membidik seseorang sebagai koruptor lalu hanya menghasilkan hingar bingar pemberitaan media. Dan Indonesia tetap abadi sebagai negeri bagi kaum koruptor yang sungguh-sungguh koruptor.

Demokrasi dan Derajat Pemerintahan

Oleh Anwari WMK

Dalam majalah The Economist (edisi 3 January 2009, hlm. 29), pembeberan tentang warisan intelektual Samuel P. Huntington (1927-2008) diperkuat oleh munculnya karikatur tentang sebuah pena ukuran super-besar yang tengah perang tanding melawan begitu banyak pedang dari aneka jenis. Tak jelas benar dalam karikatur itu, siapa sesungguhnya sosok-sosok misterius yang tengah menggengam dan sekaligus menggerakkan pedang ke arah Huntington. Tetapi pena dengan ukuran abnormal sebesar pedang jelas-jelas berada di tangan kanan Huntington. Sementara, di tangan kiri Huntington tergenggam buku—juga dalam ukuran besar dengan warna dasar merah bertinta putih—berjudul Clash of Civilizations. Huntington yang wafat bertepatan dengan Hari Natal 2008 benar-benar menstimuli mingguan terkemuka The Economist untuk berbicara tentang sosok public intelectual terkemuka Amerika pada kurun kontemporer.

Penilikan secara saksama menunjukkan, karikatur ini membawa pesan penting berkenaan dengan paradoks kebudayaan Amerika, persis sebagaimana dilihat Huntington. Pada satu sisi, kebudayaan Amerika berkembang sedemikian rupa menjadi kebudayaan universal. Dalam tata kelola pemerintahan pada berbagai negara di dunia, tiba-tiba lalu muncul gejala Amerikanisasi. Jangan heran jika begitu banyak pemimpin politik dan pemimpin ekonomi di berbagai negara berpikir ala Amerika dan mengandaikan negara mereka dikelola seperti halnya Amerika Serikat. Terlebih lagi ketika para pemimpin politik dan ekonomi dari banyak negara pernah dicuci otak (brainwash) melalui proses pendidikan tinggi di Amerika, maka semakin sempurna upaya duplikasi American dream pada banyak negara di dunia. Atas dasar ini, pluralisme tak hanya diasumsikan paralel dengan demokrasi, tetapi juga diaksiomakan berjalan seiring dengan American way.

Pada lain sisi, ada penerimaan di Amerika dan di luar Amerika terhadap visi intelektual Huntington. Bahwa, manusia dalam cakupan masyarakat dan negara mana pun mutlak untuk dilihat sebagai produk kebudayaan. Manusia tak mungkin diteropong sebagai mesin hitung yang cuma paham hakikat universal untung rugi. Sebagai konsekuensinya, mustahil perekonomian negara per negara di Planet Bumi ini direduksi untuk hanya berfungsi sebagai kepanjangan tangan Washington consensus, yaitu ajang implementasi neoliberalisme, privatisasi, deregulasi dan liberalisasi perdagangan. Dengan bertakzim pada pemikiran Huntington, majalah The Economist lalu menggambarkan paradoks Amerika dengan narasi kalimat: “America’s culture turned it into universal civilization but those values were in fact rooted in an unique sets of circumtances”.

Dengan penjelasan itu, bagaimana lalu memahami totalitas gagasan dan pemikiran politik Huntington? Bagi kita di Indonesia, hal mendasar apa yang relevan dipelajari dari ilmuwan yang telah menulis 17 buku itu?

Dengan menelaah benang merah pemikiran Huntington terutama sebagaimana tertuang ke dalam karya-karya Huntinton The Soldier and the State: The Theory and Politics of Civil-Millitary Relations (1957), Political Order in Changing Society (1968), dan The Class of Civilizations and the Remaking of World Order (1996), maka ditemukan jawaban mendasar terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut. Tiga karya Huntington ini merupakan totalitas pembicaraan tentang “bentuk pemerintahan” yang tidak terlampau penting dibandingkan dengan “derajat pemerintahan”. Dalam pengertiannya yang sederhana, “bentuk pemerintahan” adalah klaim-klaim rezim kekuasaan tentang pemerintahan yang mereka kendalikan sebagai pemerintahan demokratis. Dalam ruang waktu kapan pun, klaim-klaim semacam ini muncul ke permukaan sebagai upaya sengaja agar tak berlangsung proses delegitimasi terhadap kekuasaan yang tengah berjalan. Rezim-rezim otoriter pun lantas menyebut diri mereka sebagai pengawal demokrasi. Pada pelataran lain, “derajat pemerintahan” merupakan tahap dan perkembangan suatu negara untuk sepenuhnya menjadi negara demokratis. Pembicaraan tentang “derajat pemerintahan”, dengan sendirinya, fokus pada evolusi pemerintahan sejalan dengan perguliran konsolidasi demokrasi dan transformasi menuju demokrasi.

Sampai kapan pun, pemerintahan merupakan sumber kebaikan dan sumber keburukan. Dengan demikian berarti, “derajat pemerintahan” merupakan situasi real time berkenaan dengan letak dan posisi pemerintahan, apakah baik bagi masyarakat atau malah buruk bagi masyarakat. Kita tahu, eksistensi sebuah negara ditentukan oleh tiga syarat: wilayah, rakyat dan pemerintahan. Distorsi makna negara mencuat ke permukaan, manakala pemerintahan hanya memandang penting wilayah, tetapi memandang remeh rakyat. Pada titik ini, negara mengalami peluruhan makna. Pemerintahan pada suatu negara hanya memandang penting letak atau posisi geografis dengan berbagai macam kekayaan alam yang inherent di dalamnya, tetapi dalam waktu bersamaan tak memandang penting masyarakat atau penduduk. Pemerintahan lalu berada dalam suatu tendensi untuk ditangani berdasarkan psiko-politik otoritarianistik.

Kecuali hanya mempertahankan kekuasaan dalam jangka panjang, rezim pengendali pemerintahan lalu abai akan makna geopolitik dan geostrategis. Padahal dengan menyadari arti penting geopolitik dan geostrategis, pemerintahan terkondisikan melakukan dua hal mendasar. Pertama, pemerintah terus-menerus berupaya menemukan saling hubungan yang harmoni antara faktor politik, geografi dan distribusi penduduk. Kedua, kebijakan-kebijakan pemerintah benar-benar dilandaskan pada upaya kombinasi antara dimensi geografis dan faktor politik. Dalam konstelasi ini, absurd jika memerintah hanya memandang penting wilayah, namun tak memandang penting rakyat. Absurditas inilah yang oleh Huntington dicoba-gambarkan sebagai “derajat pemerintahan”. Semakin absurd pemerintahan, kian rendah “derajat pemerintahan”.

Buku bertajuk The Soldier and the State: The Theory and Politics of Civil-Millitary Relations fokus pada penyelesaian masalah di seputar relasi sipil-militer. Buku ini menyinggung sisi gelap hegemoni politik praetorian yang semula dihentakkan oleh terjadinya supremasi militer atas sipil. Dengan menggunakan nomenklatur “dwi-fungsi tentara”, supremasi militer atas sipil dalam ranah kuasa politik hanya menyudutkan sebuah negara untuk tersuruk ke dalam rendahnya “derajat pemerintahan”. Pada pelataran ini, pemerintah dalam suatu negara hanya memandang penting wilayah, tetapi sepenuhnya menihilkan rakyat. Rezim kekuasaan hanya meletupkan klaim, tatkala menyebut dirinya demokratis. Solusi atas masalah ini terkait dengan pelaksanaan sistem pemerintahan demokratis yang, menurut Huntington, tak menolak keniscayaan modernisasi.

Dalam Political Order in Changing Society, Huntington sesungguhnya berbicara tentang politik yang harus paralel dengan ekonomi. Perkembangan cepat perekonomian diakomodasi oleh perluasan partisipasi rakyat dalam bidang politik. Itulah mengapa, sekali pun demokrasi merupakan “sistem terbaik di antara yang buruk”—memijam istilah ilmuwan politik Robert Dahl—pemerintahan di suatu negara harus benar-benar demokratis. Tercakup pula ke dalamnya adalah partai politik yang tak oligarkis, organisasi kemasyarakatan yang egaliter dan lembaga peradilan yang kredibel. Hanya dengan memenuhi imperatif demokratis, pemerintahan di suatu negara mampu menangkap tuntutan rakyat yang kian beragam dan sekaligus akumulatif. Orde politik demokratis semacam ini merupakan solusi lebih lanjut setelah berlalunya masa gelap hegemoni politik praetorian.

Jika solusi berdasarkan kerangka orde politik semacam itu gagal diimplementasikan, maka yang terjadi kemudian kristalisasi dan atau pengerasan watak reaksioner rakyat terhadap pemerintah di suatu negara. Muara dari persoalan ini adalah ideologisasi kehendak dan aspirasi rakyat. Dan ketika mahzab pemikiran sekuler gagal menjawab tuntutan ideologisasi, agama kemudian tampil ke depan sebagai sumber ideologisasi. Persoalan super-kompleks yang bermula dari masalah “derajat pemerintahan” ini lantas dielaborasi secara panjang lebar oleh Huntington dalam The Class of Civilizations and the Remaking of World Order. Begitulah demokrasi dan derajat pemerintahan. Tanpa sungguh-sungguh berubah menjadi demokratis, pemerintahan hanyalah sumber dari segala masalah.

Semangat Kebangsaan Calon Legislatif

Oleh Anwari WMK

Calon legislatif (Caleg) merupakan fenomena politik yang menarik untuk ditelaah secara saksama, karena berbagai alasan. Kahadiran para Caleg menandai terjadinya mobilitas vertikal warga negara dalam bidang politik. Datang dari berbagai macam latar belakang sosio-kultural, seseorang dengan status Caleg berkesempatan luas meningkatkan status kelas sosialnya. Dalam Pemilu 1999, misalnya, formasi keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) di berbagai pelosok Nusantara banyak diisi tukang becak, buruh bangunan dan bahkan preman jalanan. Barangkali, inilah berkah demokrasi liberal yang kembali memperlihatkan kebangkitannya pada Pemilu 1999. Atas dasar ini pula tak berlebihan jika dikatakan, kompetisi antar-Caleg merupakan peristiwa politik berdimensi sosiologis. Masalahnya, realisme semacam ini tak mungkin diterima secara taken for granted, harus ada penilikan secara kritis.

Kita tahu, sampai kapan pun, kompetisi para Caleg tidak sama dan tidak sebangun dengan kompetisi memperebutkan lapangan kerja. Pada level apa pun, keanggotaan seseorang pada sebuah badan legislatif bukanlah profesi. Seseorang bersedia tampil sebagai anggota legislatif lebih didasarkan pada panggilan kebangsaan. Tatkala seseorang menyatakan bersedia menjadi Caleg, maka seketika itu pula ia siap lahir batin memberikan sumbangsih pada kemajuan bangsa. Mengingat keanggotaan dalam badan legislatif bukanlah profesi, Caleg menyadari dirinya sebagai penjunjung tinggi altruisme. Pengorbanan besar di bidang politik demi memajukan bangsa ini, terpatri ke dalam kesadaran para Caleg.

Di sinilah, sebuah persoalan lalu mencuat ke permukaan. Tak sedikit dari para Caleg yang memburu kursi di badan legislatif layaknya seseorang yang tengah memburu pekerjaan dan jabatan. Uang dalam jumlah besar yang mereka keluarkan bukan bagian dari altruisme politik dan perjuangan kebangsaan. Uang yang mereka keluarkan diperlakukan sebagai modal untuk mendapatkan pekerjaan dan jabatan. Sebagai konsekuensinya, para Caleg membangun kesadaran pikir bahwa modal yang dikeluarkan harus memiliki kejelasan break event point. Bukan saja modal itu kelak harus ada kepastian pengembalian, lebih dari itu modal diskenariokan untuk menghasilkan profit. Dalam kesadaran pikir para Caleg, musnah sudah pandangan tentang politik sebagai panggilan.

Pada akhirnya, kita menuai badai karena kenyataan ini. Badan legislatif di berbagai tingkatan menjadi ajang berkecamuknya korupsi, dan lantaran itu banyak anggota legislatif diseret ke pengadilan. Badan legislatif juga berkembang sedemikian rupa untuk hanya mewadai kehadiran politikus kemaruk uang. Dengan alasan studi banding atau pengadaan laptop, anggota badan legislatif seenaknya menghamburkan uang rakyat. Tak cukup hanya itu, anggota badan legislatif berpijak pada pandangan subyektif saat menentukan anggaran DPR dan DPRD. Secara substansial, badan legislatif tetap berpijak pada tiga fungsi politik, yaitu legislasi, pengawasan dan penyusunan anggaran. Tapi dalam perkembangan selanjutnya, badan legislatif menentukan besaran anggaran untuk dirinya sendiri. Maka, makin terang benderang tendensi anggota legislatif berburu uang rakyat.

Anggaran DPR RI tahun 2009, misalnya, mencapai Rp 1,9 triliun. Jumlah ini meningkat dibandingkan anggaran DPR 2008 yang mencapai Rp 1,6 triliun. Dengan outstanding anggaran sebesar Rp 1,9 triliun pada 2009, ternyata lebih dari Rp 118 miliar dialokasikan untuk kegiatan anggota DPR ke luar negeri. Untuk mata anggaran yang sama, jumlah ini jauh lebih besar dibandingkan dengan 2007 yang mencapai Rp 53 miliar. Renovasi gedung DPR yang menelan biaya Rp 33,4 miliar merupakan gambaran lain tentang ketamakan anggota legislatif. Tak cukup hanya itu, anggota dewan yang terhormat masih menuntut adanya dana tunjangan legislasi dan dana komunikasi. Dalam editorialnya bertajuk “Mengekang Nafsu Pemborosan DPR”, Media Indonesia (29 November 2008, hlm. 1) mempersoalkan masalah ini dengan sengit.

Melalui editorialnya itu, Media Indonesia menulis seperti ini: “Ironisnya, segudang kekuasaan yang dimiliki itu tidak sebanding dengan apa yang diberikan kepada negara dan rakyat. Minimnya kuantitas dan kualitas UU yang dihasilkan DPR serta tiadanya target waktu yang jelas tentang kapan sebuah RUU selesai, bisa menjadi indikator ukuran kinerja dewan. Karena itu, sikap suka-suka DPR dalam menentukan jumlah dan mata anggaran harus segera dihentikan. Apalagi banyak lubang pemborosan.” Editorial Media Indonesia lalu mengajukan solusi: “…. perlu dibangun lembaga pengontrol dewan. Peran ini bisa diberikan kepada Dewan Perwakilan Daerah dan Majelis Permusyawaratan Rakyat. Dengan demikian, penetapan rencana kerja dan anggaran DPR harus mendapat persetujuan DPD dan MPR.”

Semua ini merupakan gugusan persoalan yang mempersulit terciptanya relasi antara Caleg dan konstituen. Dengan berbagai hal yang dibentangkan di atas, Caleg tak memiliki pertautan batin dan nurani dengan publik konstituen. Karena itu, agak janggal seruan Ketua DPR Agung Laksono berkenaan dengan penguatan relasi antara Caleg dan konstituen. Agung Laksono terjebak ke dalam retorika verbal tatkala menyinggung euforia reformasi dan demokrasi yang meniscayakan para Caleg memperkuat relasi dengan publik konstituen (lihat “Perkuat Relasi Caleg dengan Konstituen”, Kompas, 30 November 2008, hlm. 2). Selama motivasi para Caleg dilumuri oleh kemaruk akan uang serta dipenuhi oleh nafsu yang tak habis-habisnya memburu materi, maka selama itu pula politik sebagai panggilan redup dan punah dari kesadaran para Caleg. Sang Caleg benar-benar hanya berpikir tentang meraih pekerjaan dan merebut jabatan. Tak lebih dan tak kurang, konstituen hanya diperlakukan sebagai atom-atom sosial yang anonim demi mendulang suara.

Indonesia sebagai bangsa sesungguhnya berada dalam pertaruhan besar karena kenyataan tersebut. Relasi Caleg-konstituen bukanlah hubungan intersubyektivitas atau bukanlah hubungan antar-subyek. Jika Caleg mengukuhkan dirinya sebagai subyek, konstituen sepenuhnya diposisikan sebagai obyek yang hanya dipandang penting pada musim kampanye Pemilu. Di luar ruang waktu kampanye Pemilu, konstituen tak memiliki kewibawaan politik. Terhitung sejak Pemilu 1999, demokrasi hanya memperluas akses kepada figur-figur dari latar belakang sosio-kultural apa pun untuk secara bebas mendaftar sebagai Caleg. Sang Caleg kemudian mendedahkan dirinya sebagai anggota legislatif dengan segenap kekonyolannya dalam kaitan konteks dengan perburuan uang dan materi. Jangan heran jika sejak Pemilu 1999 kita tak menemukan manusia-manusia agung di badan legislatif yang sepenuhnya bertakzim pada spirit kebangsaan.

Sejatinya, para Caleg merupakan the good sons and daughter of the land. Itu karena di pundak mereka terpikul tugas besar memajukan bangsa ini melalui politik legislasi, penguatan kontrol secara obyektif terhadap kekuasaan pemerintah serta menyusun anggaran negara berdasarkan amanah. Untuk bisa memenuhi imperatif ini, para Caleg harus kembali pada dasar-dasar moralitas sebagai anak bangsa yang tengah berjuang memenuhi panggilan politik. Selama masih terjebak ke dalam persepsi berburu pekerjaan dan jabatan, maka selama itu pula sang Caleg hanyalah sekumpulan binatang politik (political animal) yang tengah membidik kekuasaan di badan legislatif. Ketika benar-benar terpilih sebagai anggota legislatif, sang Caleg lantas berubah dari semula binatang politik menjadi binatang jalang. Relasi Caleg-konstituen, dengan sendirinya, hanyalah lipstik politik, sekadar basa-basi.

Selasa, 06 Januari 2009

Tauhid dan Kemajuan Sains

Oleh Anwari WMK

Dalam disiplin keilmuan tradisional Islam, tauhid berada dalam posisi sejajar dengan fikih, tasawuf dan falsafah (Madjid, 1995: 177-285). Tauhid bersama fikih, tasawuf dan falsafah berkembang menjadi empat pilar keilmuan yang diakui sebagai aspek tak terpisahkan dari keberadaan Islam sebabagi sistem ajaran. Kehadiran secara bersama empat pilar keilmuan tersebut memungkingkan terbentuknya tatanan kehidupan yang menjujung tinggi etika. Jika ahlaq al-karimah merupakan “mahkota” dalam humanisme Islam (Syari’ati, 1992: 37-54), maka tauhid, fikih, tasawuf dan falsafah merupakan pilar penyanggah terwujudkan ahlaq al-karimah. Namun telaah secara saksama membawa kita pada kesimpulan, bahwa tauhid justru yang berperan besar sebagai landasan pijak perkembangan berbagai disiplin keilmuan tradisional Islam. Bahkan, tauhid merupakan faktor penentu perkembangan sains di dunia Islam selama sekitar abad ke-7 hingga abad ke-13.

Dalam pengertiannya yang sederhana, “tauhid” berarti keesaan Tuhan. Tauhid merupakan formulasi kepercayaan atau keyakinan tentang Tuhan yang tunggal pada berbagai aspek dan dimensinya. Tauhid memiliki kesamaan makna dengan monoteisme (Rahman, 1999: 83). Maka, sesuatu yang benar-benar doktrinal dalam ajaran Islam ialah Tuhan dalam kategori oneness, uniqueness dan transcendence. Secara demikian, Tuhan merupakan eksistensi yang berbeda dengan segala bentuk eksistensi yang dapat dikenal atau dapat diimajinasikan manusia. Allah Maha Besar (Allahu Akbar), misalnya, merupakan konsepsi tentang Tuhan yang indefinite atau yang tak terbatas kebesarannya serta tak dapat ditandingi oleh kedahsyatan benda, materi atau wujud apa pun dalam realitas hidup manusia. Dengan tauhid, timbul pengakuan, bahwa Allah Maha Pencipta segalanya. Begitu artikulatifnya monoteisme dalam ajaran Islam, sampai-sampai muncul konstatasi dalam Al Qur’an, bahwa sesungguhnya “manusia menurut fitrahnya beragama tauhid” (Q.S. [Ar-Rum] 30:30).

Sains dan Islam

Hal fundamental yang kemudian menarik ditelaah sebagai konsekuensi logis dari ajaran tauhid ialah perkembangan sains, sebagaimana pernah terjadi dalam sejarah Islam selama kurun waktu abad ke-7 hingga abad ke-13. Dengan berpijak pada perspektif tauhid, dinamika perkembangan Islam selama kurun waktu tersebut benar-benar diwarnai oleh besarnya perhatian terhadap sains. Bagaimana ajaran tauhid memiliki hubungan yang niscaya dengan perkembangan dan kamajuan sains, semuanya kembali pada hakikat tauhid itu sendiri. Bahwa dengan tauhid, terbentuk pandangan dunia (Weltanschauung) manusia yang menempatkan segenap hal ihwal di luar Tuhan Yang Maha Esa sebagai sesuatu yang serba nisbi dan tak abadi. Kalimah La ilaha illa Allah (tiada Tuhan selain Allah) memang merupakan pernyataan tauhid yang singkat, namun maknanya mendalam dan memiliki dampak sosial-politik yang sangat dinamis dan progresif (Siroj, 2006: 59). Melalui kalimah tauhid ini, semua bentuk dan jenis kekuasaan apa pun di muka bumi haruslah dinegasikan. Hanya Allah, Tuhan yang memiliki kekuasaan mutlak; selain-Nya bersifat nisbi (Siroj, 2006: 59-60).

Dari sini, alam semesta lalu dimengerti berdasarkan perspektif metafisika yang begitu spesifik, yaitu sebagai realitas yang relatif, dan karena itu dapat diberlakukan sebagai bentangan ontologis untuk melakukan observasi, eksperimentasi, penelitian dan bahkan menjadi basis untuk membangun serangkaian hipotesis. Mengingat alam semesta bukan sesuatu yang suci—dibandingkan kesucian Tuhan sebagaimana ditekankan dalam ajaran tauhid—maka alam semesta dengan mudahnya “diotak-atik” sebagai dasar untuk membangun dan atau menciptakan ilmu pengetahuan. Dengan tauhid, tak ada kendala teologis untuk menyingkapkan hakikat alam semesta.

Selama abad ke-7 hingga abad ke-13, sains Islam merupakan pelanjut dari tradisi ilmiah Yunani kuno. Brush (2006) menjelaskan kenyataan tersebut dengan narasi kalimat: “Most of the important Greek scientific texts were preserved in Arabic translations. Although the Muslims did not alter the foundations of Greek science, they made several important contributions within its general framework. When interest in Greek learning revived in western Europe during the 12th and 13th centuries, scholars turned to Islāmic Spain for the scientific texts. A spate of translations resulted in the revival of Greek science in the West and coincided with the rise of the universities. Working within a predominantly Greek framework, scientists of the late Middle Ages reached high levels of sophistication and prepared the ground for the scientific revolution of the 16th and 17th centuries.”

Tauhid sebagai landasan pijak pengembangan sains dapat dilacak geneologinya pada terbentuknya konsepsi tentang Tuhan dalam pengertian yang spesifik. Bahwa Tuhan adalah pengetahuan tentang alam semesta sebagai salah satu efek tindak kreatif Ilahi (Bakar, 1991: 74). Pengetahuan tentang hubungan antara Tuhan dan dunia, antara Pencipta dan ciptaan, atau antara prinsip Ilahi dengan manifestasi kosmik, merupakan basis paling fundamental dari kesatuan antara sains dan pengetahuan spiritual (Bakar, 1991: 74). Berilmu pengetahuan menurut Islam lalu sama dan sebangun maknanya dengan: (i) Menyatakan ketertundukan pada tauhid, dan (ii) elaborasi pemahaman secara saitifik terhadap dimensi-dimensi kosmik alam semesta. Itulah mengapa, Al Qur’an kemudian berperan sebagai sumber intelektualitas dan spiritualitas Islam (Baiquni, 1995: 9-62). Al Qur’an berfungsi sebagai basis bukan hanya bagi agama dan pengetahuan spiritual, tetapi bagi semua jenis pengetahuan. Al Qur’an sebagai kalam Allah merupakan sumber utama inspirasi pandangan Muslim tentang keterpaduan sains dan pengetahuan spiritual (Purwanto, 2008: 188-194). Gagasan keterpaduan ini bahkan merupakan konsekuensi dari gagasan keterpaduan semua jenis pengetahuan (Bakar, 1991: 74).

Sains dalam formulasi tauhid, termaktub ke dalam narasi kalimat seperti berikut: “Manusia memperoleh pengetahuan dari berbagai sumber dan melalui berbagai cara dan jalan. Tetapi semua pengetahuan pada akhirnya berasal dari Tuhan yang Maha mengetahui. Menurut pandangan Al Qur’an, pengetahuan manusia tentang benda-benda maupun hal-hal ruhaniah menjadi mungkin karena Tuhan telah memberinya fakultas-fakultas yang dibutuhkan untuk mengetahui. Banyak filosof dan ilmuwan Muslim berkeyakinan bahwa dalam tindakan berpikir dan mengetahui, akal manusia mendapatkan pencerahan dari akal Ilahi” (Bakar, 1991: 74). Sains dalam formulasi tauhid yang sedemikian rupa itu menegaskan satu hal, bahwa ilmu pengetahuan, filsafat dan berbagai hal yang terkait dengan semua itu sesunguhnya berada di wilayah Ketuhanan. Manusia takkan mampu menguasai semua itu jika dan bilamana tak ada kehendak untuk masuk ke dalam wilayah Ketuhanan. Dan hanya dengan tauhid manusia mampu menyentuh, mengetuk serta masuk ke dalam wilayah Ketuhanan yang di dalamnya terdapat khazanah ilmu yang tak terbatas (Q.S. [Thaahaa] 20: 114).

Berkenaan dengan ilmu pengetahuan yang berada di wilayah Ketuhanan, Nasr (1997) menggunakan istilah yang tepat: scientia sacra. Istilah ini digunakan untuk mengingatkan bahaya desakralisasi yang sedemikian jauh menghantam dan memporak-porandakan ilmu pengetahuan. Desakralisasi dapat disimak ke dalam perkembangan mutakhir ilmu pengetahuan, yaitu sejak sekitar permulaan abad ke-17. Padahal, sampai kapanpun, sains tetap bersemayam di dalam wilayah Ketuhanan. Persis sebagaimana termaktub ke dalam ajaran tauhid, hanya Tuhan yang merupakan sumber lahirnya ilmu pengetahuan. Siapa pun manusia, memang memiliki kebebasan untuk mempelajari disiplin ilmu pengetahuan apa pun serta mengembangkan sains apa pun. Tetapi manakala tak mendaptkan restu dari Tuhan, maka upaya memahami ilmu pengetahuan dan sains bakal melalui jalan berliku yang rumit. Upaya saksama memelihara tauhid, dengan sendirinya merupakan kehendak untuk menjaga agar manusia terus-menerus berilmu pengetahuan.

Apa yang lalu bisa dikatakan adalah ini. Desakralisasi ilmu pengetahuan merupakan gejala ketika sains ditahbiskan tidak lagi berasal dari Tuhan. Sains lalu dimengerti sebagai resultante dari setiap upaya partikular manusia yang tak ada hubungannya dengan Tuhan. Maka, hanyalah persoalan waktu jika kemudian sains berubah fungsi untuk sekadar menjadi instrumen perluasan antropologisme manusia. Ketika dengan ilmu pengetahuan manusia kehilangan dimensi Ketuhanan, maka dengan sendirinya sangatlah mudah bagi manusia untuk menjadikan sains sebagai alat pemukul demi mengalahkan orang lain dalam pergumulan memperebutkan materi dan kekuasaan politik. Sains lalu menjadi bagian tak terpisahkan dari teknikalitas manusia untuk menipu manusia lain. Tentang hal tersebut Nasr menulis: “Kini manusia modern telah kehilangan sense of wonder, yang mengingatkan lenyapnya pengertian tentang kesucian pada suatu tingkat di mana manusia mendasarkan eksistensinya pada ilmu pengetahuan (Nasr, 1997: 2). Manusia lupa terhadap misteri yang ia dapat kembali “ke dalam” (inward) dunia yang tak terbatas (Nasr, 1997: 2).

Tauhid sebagai sumber kelahiran sains lalu memiliki makna yang dalam untuk menyelamatkan manusia dari kehancuran akibat kemajuan sains itu sendiri. Jalan manusia untuk menggapai ilmu pengetahuan dimulai dari adanya pengakuan bahwa niscaya bagi manusia untuk mengakui adanya yang absolut (Nasr, 1997: 3). Scientia sacra membawa manusia pada kebebasan dari semua kunkungan (Nasr, 1997: 357). Sebab, Yang Suci itu tidak lain adalah Tak Terbatas dan Abadi. Sementara, semua kungkungan dihasilkan dari kelalaian yang mewarnai realitas akhir dan tak dapat direduksi menjadi keadaan kosong sama sekali dari kebenaran (Nasr, 1997: 357).

Islam kini memasuki masa suram dalam pengembangan sains. Itulah mengapa, umat Islam dewasa ini hanya besar secara statistik demografis, namun lemah saat diharapkan mampu berada di garda depan mengembangkan sains. Umat Islam kini seakan menegasikan tingkat pencapaian yang gemilang di masa lampau dalam bidang pengembangan sains. Umat Islam dewasa ini tak memperlihatkan adanya kegairahan yang luar biasa dalam hal pengembangan sains, seperti terjadi di masa lampau. Umat Islam memang besar secara kuantitas, tetapi tidak secara kualitas. Apakah ini merupakan fakta konkret dari apa yang pernah dinyatakan dalam Hadist Nabi Muhammad saw, bahwa pada suatu massa umat Islam tak lebih hanyalah buih di lautan? Besar memang, tapi buih itu hanya dihempaskan ombak ke bibir-bibir pantai. Tak lebih dan tak kurang.

Kenyataan ini lantas memunculkan pertanyaan bernuansa hipotetik. Apa yang salah dengan Tauhid kaum Muslim dewasa ini? Mengapa ajaran tauhid gagal dicerap sebagai fundamen terbentuknya ilmu pengetahuan? Pijakan baru apa yang niscaya ada agar tauhid kembali menjadi sumber inspirasi lahirnya sains Islam yang pernah gemilang pada zamannya?

Konservatisme dan Penangkalnya

Sulit dipungkiri fakta dan kenyataan, kaum Muslim dewasa ini terbelenggu ke dalam gejala konservatisme. Berbagai pembicaraan tentang tauhid tidak secara nuchter ditujukan untuk melakukan upaya-upaya saksama pengembangan sains, seperti di masa lampau. Pembicaraan tentang tauhid berada dalam suatu tendensi untuk memperkuat politik identitas demi memenangkan pertarungan memperebutkan kuasa politik dan atau kuasa ekonomi. Ketika tauhid menjadi dasar terbentuknya bangunan sains, maka Islam sebagai ajaran mengedepan sebagai inspirasi. Tetapi ketika Islam berhenti sekadar sebagai politik identitas, maka Islam mengedepan sebagai aspirasi (Siroj, 2006). Itulah mengapa pembicaraan tentang tauhid pada akhirnya melulu dihubungkan dengan “kebenaran” Islam sebagai agama yang diperbandingkan dengan “kebenaran” agama-agama lain. Pada derajat tertentu, ekspresi pembicaraan tentang tauhid lalu bernuansa konfliktual dalam pertautan hubungan antara umat Islam dan umat beragama lain.

Sebuah telaah kritis yang tertuang ke dalam karya Harris (2004) memperlihatkan menguatnya gejala konservatisme. Sebagai konsekuensinya, tauhid cenderung untuk hanya dikait-hubungkan dengan gerakan-gerakan teror, yakni sebuah gerakan yang mengambil jalan kekerasan untuk mengubah atau memprotes situasi ketidakadilan dengan menggunakan label-label Islam. Karya Harris ini memperlihatkan satu hal secara sangat jelas, bahwa apa yang disebut the problem with Islam (Harris, 2004: 108-152) ialah berakhirnya tauhid sebagai dasar pengembangan sains. Ajaran Islam yang bersukmakan tauhid itu lalu tampak ke permukaan sebagai realitas anti-rasio atau mengingkari makna penting rasio—sebagai instrumen pengembangan sains. Ajaran-ajaran Islam yang berkembang pada hari ini lalu mengamputasi rasio dalam struktur kesadaran beragama umat. Ketika sudah tak lagi menjadi landasan pijak pengembangan sains, tauhid malah menjadi dasar munculnya radikalisme yang mengatas-namakan Islam.

Tak dapat dinafikan, para ilmuwan Muslim di masa lampau telah menemukan aljabar, menerjamahkan karya-karya Plato dan Aristoteles serta memberikan sumbangan terhadap perkembangan sains di Eropa, justru tatkala Kristenitas sendiri masih abai terhadap arti penting sains (Harris, 2004: 108). Juga melalui kekuasaan Islam di Spanyol (719-1036), teks-teks klasik Yunani diperkenalkan ke Eropa, dan dari teks klasik Yunani itulah Eropa memasuki era Renaissance (Harris, 2004: 108). Masalahnya, Islam dewasa ini terdiferensiasi ke dalam kelompok moderat dan fundamentalis. Melalui upaya yang begitu asertif, kelompok-kelompok fundamentalis mengedepankan pentingnya mempertegas timbulnya friksi dan pertarungan antara House of Islam atau Dar al-Islam dan House of War atau Dar al-Harb, sehingga Islam berkedudukan versus non-Islam (Harris, 2004: 110; Huntington, 1996: 32). Apa yang penting digarisbawahi di sini, ialah energi besar umat yang menjadikan tauhid sebagai titik tolak untuk hanya meletupkan radikalisme. Tragisnya lagi, elemen-elemen moderat pada masyarakat Islam kontemporer tak cukup memiliki kapasitas untuk menjadikan tauhid sebagai dasar pengembangan sains.

Sampai kapan konservatisme ini bakal bergemuruh? Mungkinkah ditemukan sebuah jalan keluar dari konservatisme semacam ini?

Pelan tapi pasti, di kalangan ilmuwan Muslim Indonesia muncul serangkaian otokritik terhadap runtuhnya kemampuan umat untuk menjadikan tauhid sebagai dasar mengukuhkan bangunan sains, yaitu sains Islam atau sains yang mengambil titik pijak dari scientia sacra Islam. Dua ilmuwan Muslim Indonesia kontemporer yang akan disinggung pemikirannya dalam konteks ini ialah Kuntowijoyo (1991) dan Armahedi Mahzar Mahzar (2004). Dalam pengertiannya yang luas, apa yang ditulis oleh dua ilmuwan tersebut, melalui buku-buku mereka, sesungguhnya dilandasi semangat untuk menjadikan tauhid sebagai fundamen terbentuknya bangunan sains. Jika tauhid dan kemajuan sains dalam tilikan Kuntowijoyo bermuara pada transformasi masyarakat, dalam karya Armahedi Mahzar berarti terciptanya sains berdasarkan apa yang ia sebut “Integralisme Islam”.

Transformasi Masyarakat

Dalam aksentuasi Kuntowijoyo (1991: 228-229), tauhid merupakan suatu konsep sentral yang berisi ajaran bahwa Tuhan adalah pusat dari segala sesuatu, dan bahwa manusia harus mengabdikan diri sepenuhnya kepada-Nya. Konsep tauhid ini mengandung implikasi doktrinal lebih jauh bahwa kehidupan manusia tak lain kecuali menyembah kepada-Nya. Doktrin bahwa hidup harus diorientasikan untuk pengabdian kepada Allah inilah yang merupakan kunci seluruh ajaran Islam. Di dalam Islam, konsep mengenai kehidupan adalah konsep yang teosentris, yaitu bahwa seluruh kehidupan berpusat pada Tuhan. Sistem nilai tauhid mendasarkan diri pada pandangan semacam ini (Kuntowijoyo, 1991: 229). Tuntutan agar umat Islam mengembangkan sains untuk memajukan kehidupan, berimplikasi pada munculnya humanisme-teosentris. Transformasi masyarakat dalam perspektif Islam pun memiliki tujuan yang pasti, yaitu terbentuknya humanisme-teosentris (Kuntowijoyo, 1991: 229).

Agaknya, bagi Kuntowijoyo, upaya untuk melakukan penilikan terhadap tauhid sebagai basis tegaknya sains memang terkait dengan kata kunci humanisme-teosentris. Kuntowijoyo (1991: 167) lalu menulis seperti ini: “… iman berujung pada amal, pada aksi. Artinya, tauhid harus diaktualisasikan: pusat keimanan Islam memang Tuhan, tetapi ujung aktualisasinya adalah manusia. Dengan demikian, Islam menjadikan tauhid sebagai pusat dari semua orientasi nilai, sementara pada saat yang sama melihat manusia sebagai tujuan dari transformasi nilai. Dalam konteks inilah Islam itu disebut sebagai rahmatan lil al-‘alamin, rahmat untuk alam semesta, termasuk untuk kemanusiaan.” Apa yang menarik dari Kuntowijoyo ialah tawaran ke arah terciptanya ilmu sosial profetik (Kuntowijoyo, 1991: 286) yang sepenuhnya mengambil titik tolak dari ajaran tauhid untuk membentuk sebuah paradigma transformasi masyarakat. Namun pertanyaan krusialnya, apakah teologi Islam memang memungkinkan memenuhi cita-cita transformatif Kuntowijoyo?

Demi menjawab pertanyaan tersebut, Kontowijoyo (1991: 167) menulis seperti ini: ”Berbeda dengan pengertian agama sebagaimana dipahami oleh Barat, Islam bukanlah sebuah sistem teokrasi, yaitu sebuah kekuasaan yang dikendalikan oleh pendeta; bukan pula ia merupakan sebuah cara berpikir yang didikte oleh teologi. Di dalam struktur keagamaan Islam, tidak dikenal dikotomi antara domain dunia dan domain agama. Konsep tentang agama di dalam Islam bukan semata-mata teologi, sehingga serba-pemikiran-teologi bukanlah karakter Islam. Nilai-nilai Islam pada dasarnya bersifat all-embracing bagi penataan sistem kehidupan sosial, politik, ekonomi dan budaya. Oleh karena itu, tugas terbesar Islam sesungguhnya adalah melakukan transformasi sosial dan budaya.”

Dalam tulisannya, Kuntowijoyo berbicara tentang suatu model transformasi agar tauhid kembali menjadi landasan pijak mengembangan sains, khususnya ilmu-ilmu sosial dan humaniora di Indonesia. Kontowijoyo (1991: 287) lalu menyinggung “pembaruan teologi” dalam tiga pengertian. Pertama, melakukan tafsir baru terhadap Islam dalam rangka memahami realitas yang begitu rumit dan kompleks. Kedua, metode yang diberlakukan untuk melakukan tafsir baru merupakan hasil elaborasi ajaran-ajaran Islam ke dalam suatu bentuk teori sosial. Ketiga, semua itu dilakukan sebagai rekayasa untuk transformasi masyarakat. Dengan demikian, lingkup persoalan tak hanya bersangkut paut dengan aspek-aspek normatif yang bersifat permanen, tapi juga bersinggungan dengan aspek-aspek yang bersifat empiris, historis, dan temporal. Boleh dikata, ini merupakan upaya menemukan sains Islam khas Indonesia yang mengambil titik tolak dari terjadinya transformasi ajaran-ajaran Islam menjadi teori-teori sosial. Sebagaimana dilakukan hingga akhir hayatnya, sejarahwan Universitas Gadjah Mada (UGM) ini dengan caranya sendiri telah melakukan upaya transformasi, yang oleh M. Dawam Rahardjo kemudian ditengarai sebagai keberhasilan Kuntowijoyo mengembangkan ilmu sejarah profetik untuk tujuan besar analisis transformasi masyarakat (Rahardjo, 1991: 11-19).

Integralisme Islam

Melalui upaya penilikan terhadap perkembangan sains dan teknologi yang bergulir sejak abad ke-17, Armahedi Mahzar (2004) sampai pada kesimpulan bahwa sains Barat bercorak reduksionistis, atomistik dan parsialis dalam memandang kenyataan. Barat terbukti gagal memahami dan mengendalikan implikasi dari perkembangan sains dan teknologi yang lahir dari sains Barat. Sebagai respons atas kenyataan tersebut, posmodernisme tampil ke depan dengan menawarkan pandangan alternatif, yaitu postrukturalisme dan holisme. Tapi, tragisnya, posmodernisme tak bisa mengelak sepenuhnya dari watak paradigma modern yang cenderung atomistis dan parsialis. Atas dasar ini, Armahedi Mahzar lalu mengajukan sebuah paradigma yang ia sebut sebagai “Integralisme Islam”. Dalam maknanya yang simplistis, Integralisme merupakan suatu wawasan kemenyeluruhan dalam memandang segala sesuatu—sains, teknologi, seni, budaya dan agama.

Secara psikologis, Integralisme merupakan sejenis sintesis antara behaviorisme John B. Watson yang materialistik, psikoanalisis Sigmund Freud yang energetik, kognitivisme Jean Pieget yang informatik, psikologi humanistik Abraham Maslow yang valuasional, dan psikologi mistik tradisional yang transpersonal. Secara sosiologis, Integralisme merupakan sistesis dari metarialisme Karl Marx dan idealisme G.W.F. Hegel. Secara biologis, Integralisme merupakan sintesis dari neodarwinisme yang informatik dan filsafat vitalisme Henry Bergson yang energetik. Secara kosmologis, Integralisme merupakan suatu sintesis antara monisme Baruch Spinoza dan pluralisme G.W. Leibniz, dengan memasukkan alam akhirat ke dalam skema kosmologis yang utuh dan terpadu. Secara ontologis, Integralisme merupakan suatu sintesis filsafat Barat modern yang mengingkari transendensi dan filsafat Timur tradisional yang mendalami imanensi dalam suatu kesatuan logis, dan bukan sebuah sinkretisme asosiatif, yang mengembalikan transendensi teologis ke dalam filsafat Barat modern. Pendek kata, Integralisme menyatukan aspek-aspek psikologis, sosiologis, biologis, kosmologis, dan ontologis dengan cara membentuk sebuah kesatuan dengan dua hierarki—horizontal dan vertikal—yang dapat disebut sebagai realitas integral.

Hal fundamental yang menarik digarisbawahi dari Armahedi Mahzar adalah dialog sains dan agama (Mahzar, 2004: 210-220). Bahwa secara intrinsik, tak ada pertentangan antara sains dan Islam. Sains dalam pengertiannya yang modern adalah pengembangan dari filsafat alam yang merupakan bagian dari filsafat yang menyeluruh dalam khazanah keilmuan Yunani. Namun, filsafat Yunani terlalu deduktif, yang lebih berdasarkan pada pemikiran spekulatif. Karena itu, perlu dilengkapi oleh pengamatan empiris sebagaimana yang diperintahkan dalam Al Qur’an. “Itulah sebabnya,” tulis Armahedi Mahzar, “di tangan ilmuwan Muslim, sains berkembang dengan pesat. Pengujian eksperimental menyebabkan sains menjadi kukuh. Dengan demikian, di tangan ilmuwan Muslim, sains memperoleh karakternya yang rasional obyektif selama gelombang pertama peradaban Islam. Namun, rasionalitas sains tak dapat dilepaskan dari rasionalitas religius karena teologi, filsafat, dan sains merupakan kesatuan integral” (Mahzar, 2004: 210-211).

Namun ke depan, pengembangan sains Islam bakal terbentuk persoalan besar. Armahedi Mahzar menegaskan, bahwa ilmu mengenai benda-benda yang disebut sebagai sains tak dapat dipisahkan dari ilmu mengenai cara yang disebut teknologi. Teknologi sebagai penerapan sains juga terdiri dari empat komponen atau strata eksistensial yang berkaitan dengan materi, energi, informasi, dan nilai” (Mahzar, 2004: 224). Dalam konteks ini, peranan tauhid sebagai sentralitas keyakinan Muslim perlu diperteguh dengan memperkukuhnya menjadi suatu pandangan dunia transformatif dalam rangka menangkal deislamisasi global (Mahzar, 2004: 262). Sementara, deislamisasi global terpampang ke dalam beberapa fakta berikut (Mahzar, 2004: 261-262):

Pertama, dominasi teknologi cetak memungkinkan terbentuknya revolusi ilmiah yang diikuti oleh revolusi industri. Revolusi industri yang berkaitan dengan pandangan dunia saintifik dan ideologis mendasari masyarakat kapitalis industrial dengan orientasi rasional. Revolusi komunikasi radio memungkinkan dominannya pandangan dunia ideologis dengan sistem kapitalisme imperilais transnasional. Kedua, revolusi komunikasi televisi mendorong pandangan dunia yang bersifat imagologis dalam suatu masyarakat dunia yang didominasi kapitalisme korporasi multinasional. Dengan revolusi komunikasi dan informasi digital dan internet, maka semua bentuk pandangan dunia terpadu dalam skala global.

Armahedi Mahzar lalu menulis seperti ini: “Dalam era teknologi informasi digital global ini, sistem kapitalisme global merangsang gaya hidup konsumtif materialistis melalui imagologi hiper-realitas. Imagologi hiper-realitas yang membungkus ideologi materialistis, filsafat humanistis, teologi ateis, dan mitologi sekularistik yang tersembunyi. Pendeknya, dunia budaya postmodern yang pluralistis ditampilkan untuk kolonisasi mental melalui virus-virus virtual seraya menyembunyikan hegemonisme monopolistik kapitalisme global.” Di sini Armahedi Mahzar berbicara tentang agama baru yang sekuler dan profan dengan ilah baru berupa materialisme teknologis ilmiah lengkap dengan ritual budaya ekonomi konsumeristik: budaya yang gemerlap duniawi dan badani melalui citraan-citraan dan disinformasi sistematik telemedia global. Maka, diperlukan sebuah ideologi rasional komprehensif untuk menyiasati gelombang serbuan budaya deislamisasi. Lebih lanjut, Armahedi Mahzar menulis: “Serbuan deislamisasi itu sejatinya adalah fenomena permukaan dari proses pengisapan kekayaan material negeri-negeri Muslim. Proses pengisapan yang direkayasa melalui sistem pasar bebas global kapitalistik yang pada hakikatnya timpang” (Mahzar, 2004: 262).

Catatan Penutup

Tauhid sebagai landasan pijak untuk memajukan sains masih mungkin dilakukan umat Islam kini dan di masa depan. Namun demikian, dibutuhkan upaya saksama memperbaiki keadaan. Pemaparan tentang pandangan Kuntowijoyo berkenaan dengan transformasi masyarakat mengilustrasikan adanya kendala internal umat Islam untuk memajukan sains. Sementara titik tekan dari apa yang dipaparkan Armahedi Mazhar terkait dengan tantangan yang bersifat eksternal. Maka, upaya memajukan sains Islam berlandaskan tauhid harus mempertimbangkan tantangan internal dan eksternal tersebut.


Bibliografi

Baiquni, Achmad. (1995). Al Qu’an, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Jakarta: Dana Bhakti Wakaf.

Bakar, Osman. (1991). Tauhid dan Sains: Esensi-esensi tentang Sejarah dan Filsafat Sains Islam. Jakarta: Pustaka Hidayah. Terjamahan Yuliani Liputo dari judul asli Tawhid and Science: Essays on the History and Philosophy of Islamiv Science.

Brush, Stephen G. (2006). “Physical Science”, dalam Encyclopædia Britannica dari Encyclopædia Britannica 2006 Ultimate Reference Suite DVD .

Harris, Sam. (2004). The End of Faith: Religion, Terror, and the Future of Reason. London: Simon & Schuster.

Huntington, Samuel P. (1996). The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order. New York: Simon & Schuster.

Kuntowijoyo. (1991). Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi. Bandung: Mizan.

Madjid, Nurcholish. (1995). Islam, Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemodernan. Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina. Cetakan ke-3.

Mahzar, Armahedi. (2004). Revolusi Integralisme Islam: Merumuskan Paradigma Sains dan Teknologi Islami. Bandung: Mizan.

Nasr, Seyyed Hossein. (1997). Pengetahuan dan Kesucian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Terjamahan Suharsono et.al. dari judul asli Knowledge and the Cecred.

Purwanto, Agus. (2008). Ayat-ayat Semesta: Sisi-sisi Al Qur’an yang Terlupakan. Bandung: Mizan.

Rahardjo, M. Dawam. (1991). “Ilmu Sejarah Profetik dan Analisis Transformasi Masyarakat”, pengantar pada Kuntowijoyo. (1991). Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi. Bandung: Mizan.

Rahman, Fazlur. (1999). Major Themes of the Qur’an. Kuala Lumpur: Islamic Book Trust.

Siroj, Said Aqil. (2006). Tasawuf sebagai Kritik Sosial: Mengedepankan Islam sebagai Inspirasi, Bukan Aspirasi. Bandung: Mizan.

Syari’ati, ‘Ali. (1992). Humanisme: Antara Islam dan Mahzab Barat. Jakarta: Pustaka Hidayah. Terjamahan Afif Muhammad dari judul asli Al-Insan, Al-Islam wa Madaris Al-Gharb.