Jumat, 23 Januari 2009

Semangat Kebangsaan Calon Legislatif

Oleh Anwari WMK

Calon legislatif (Caleg) merupakan fenomena politik yang menarik untuk ditelaah secara saksama, karena berbagai alasan. Kahadiran para Caleg menandai terjadinya mobilitas vertikal warga negara dalam bidang politik. Datang dari berbagai macam latar belakang sosio-kultural, seseorang dengan status Caleg berkesempatan luas meningkatkan status kelas sosialnya. Dalam Pemilu 1999, misalnya, formasi keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) di berbagai pelosok Nusantara banyak diisi tukang becak, buruh bangunan dan bahkan preman jalanan. Barangkali, inilah berkah demokrasi liberal yang kembali memperlihatkan kebangkitannya pada Pemilu 1999. Atas dasar ini pula tak berlebihan jika dikatakan, kompetisi antar-Caleg merupakan peristiwa politik berdimensi sosiologis. Masalahnya, realisme semacam ini tak mungkin diterima secara taken for granted, harus ada penilikan secara kritis.

Kita tahu, sampai kapan pun, kompetisi para Caleg tidak sama dan tidak sebangun dengan kompetisi memperebutkan lapangan kerja. Pada level apa pun, keanggotaan seseorang pada sebuah badan legislatif bukanlah profesi. Seseorang bersedia tampil sebagai anggota legislatif lebih didasarkan pada panggilan kebangsaan. Tatkala seseorang menyatakan bersedia menjadi Caleg, maka seketika itu pula ia siap lahir batin memberikan sumbangsih pada kemajuan bangsa. Mengingat keanggotaan dalam badan legislatif bukanlah profesi, Caleg menyadari dirinya sebagai penjunjung tinggi altruisme. Pengorbanan besar di bidang politik demi memajukan bangsa ini, terpatri ke dalam kesadaran para Caleg.

Di sinilah, sebuah persoalan lalu mencuat ke permukaan. Tak sedikit dari para Caleg yang memburu kursi di badan legislatif layaknya seseorang yang tengah memburu pekerjaan dan jabatan. Uang dalam jumlah besar yang mereka keluarkan bukan bagian dari altruisme politik dan perjuangan kebangsaan. Uang yang mereka keluarkan diperlakukan sebagai modal untuk mendapatkan pekerjaan dan jabatan. Sebagai konsekuensinya, para Caleg membangun kesadaran pikir bahwa modal yang dikeluarkan harus memiliki kejelasan break event point. Bukan saja modal itu kelak harus ada kepastian pengembalian, lebih dari itu modal diskenariokan untuk menghasilkan profit. Dalam kesadaran pikir para Caleg, musnah sudah pandangan tentang politik sebagai panggilan.

Pada akhirnya, kita menuai badai karena kenyataan ini. Badan legislatif di berbagai tingkatan menjadi ajang berkecamuknya korupsi, dan lantaran itu banyak anggota legislatif diseret ke pengadilan. Badan legislatif juga berkembang sedemikian rupa untuk hanya mewadai kehadiran politikus kemaruk uang. Dengan alasan studi banding atau pengadaan laptop, anggota badan legislatif seenaknya menghamburkan uang rakyat. Tak cukup hanya itu, anggota badan legislatif berpijak pada pandangan subyektif saat menentukan anggaran DPR dan DPRD. Secara substansial, badan legislatif tetap berpijak pada tiga fungsi politik, yaitu legislasi, pengawasan dan penyusunan anggaran. Tapi dalam perkembangan selanjutnya, badan legislatif menentukan besaran anggaran untuk dirinya sendiri. Maka, makin terang benderang tendensi anggota legislatif berburu uang rakyat.

Anggaran DPR RI tahun 2009, misalnya, mencapai Rp 1,9 triliun. Jumlah ini meningkat dibandingkan anggaran DPR 2008 yang mencapai Rp 1,6 triliun. Dengan outstanding anggaran sebesar Rp 1,9 triliun pada 2009, ternyata lebih dari Rp 118 miliar dialokasikan untuk kegiatan anggota DPR ke luar negeri. Untuk mata anggaran yang sama, jumlah ini jauh lebih besar dibandingkan dengan 2007 yang mencapai Rp 53 miliar. Renovasi gedung DPR yang menelan biaya Rp 33,4 miliar merupakan gambaran lain tentang ketamakan anggota legislatif. Tak cukup hanya itu, anggota dewan yang terhormat masih menuntut adanya dana tunjangan legislasi dan dana komunikasi. Dalam editorialnya bertajuk “Mengekang Nafsu Pemborosan DPR”, Media Indonesia (29 November 2008, hlm. 1) mempersoalkan masalah ini dengan sengit.

Melalui editorialnya itu, Media Indonesia menulis seperti ini: “Ironisnya, segudang kekuasaan yang dimiliki itu tidak sebanding dengan apa yang diberikan kepada negara dan rakyat. Minimnya kuantitas dan kualitas UU yang dihasilkan DPR serta tiadanya target waktu yang jelas tentang kapan sebuah RUU selesai, bisa menjadi indikator ukuran kinerja dewan. Karena itu, sikap suka-suka DPR dalam menentukan jumlah dan mata anggaran harus segera dihentikan. Apalagi banyak lubang pemborosan.” Editorial Media Indonesia lalu mengajukan solusi: “…. perlu dibangun lembaga pengontrol dewan. Peran ini bisa diberikan kepada Dewan Perwakilan Daerah dan Majelis Permusyawaratan Rakyat. Dengan demikian, penetapan rencana kerja dan anggaran DPR harus mendapat persetujuan DPD dan MPR.”

Semua ini merupakan gugusan persoalan yang mempersulit terciptanya relasi antara Caleg dan konstituen. Dengan berbagai hal yang dibentangkan di atas, Caleg tak memiliki pertautan batin dan nurani dengan publik konstituen. Karena itu, agak janggal seruan Ketua DPR Agung Laksono berkenaan dengan penguatan relasi antara Caleg dan konstituen. Agung Laksono terjebak ke dalam retorika verbal tatkala menyinggung euforia reformasi dan demokrasi yang meniscayakan para Caleg memperkuat relasi dengan publik konstituen (lihat “Perkuat Relasi Caleg dengan Konstituen”, Kompas, 30 November 2008, hlm. 2). Selama motivasi para Caleg dilumuri oleh kemaruk akan uang serta dipenuhi oleh nafsu yang tak habis-habisnya memburu materi, maka selama itu pula politik sebagai panggilan redup dan punah dari kesadaran para Caleg. Sang Caleg benar-benar hanya berpikir tentang meraih pekerjaan dan merebut jabatan. Tak lebih dan tak kurang, konstituen hanya diperlakukan sebagai atom-atom sosial yang anonim demi mendulang suara.

Indonesia sebagai bangsa sesungguhnya berada dalam pertaruhan besar karena kenyataan tersebut. Relasi Caleg-konstituen bukanlah hubungan intersubyektivitas atau bukanlah hubungan antar-subyek. Jika Caleg mengukuhkan dirinya sebagai subyek, konstituen sepenuhnya diposisikan sebagai obyek yang hanya dipandang penting pada musim kampanye Pemilu. Di luar ruang waktu kampanye Pemilu, konstituen tak memiliki kewibawaan politik. Terhitung sejak Pemilu 1999, demokrasi hanya memperluas akses kepada figur-figur dari latar belakang sosio-kultural apa pun untuk secara bebas mendaftar sebagai Caleg. Sang Caleg kemudian mendedahkan dirinya sebagai anggota legislatif dengan segenap kekonyolannya dalam kaitan konteks dengan perburuan uang dan materi. Jangan heran jika sejak Pemilu 1999 kita tak menemukan manusia-manusia agung di badan legislatif yang sepenuhnya bertakzim pada spirit kebangsaan.

Sejatinya, para Caleg merupakan the good sons and daughter of the land. Itu karena di pundak mereka terpikul tugas besar memajukan bangsa ini melalui politik legislasi, penguatan kontrol secara obyektif terhadap kekuasaan pemerintah serta menyusun anggaran negara berdasarkan amanah. Untuk bisa memenuhi imperatif ini, para Caleg harus kembali pada dasar-dasar moralitas sebagai anak bangsa yang tengah berjuang memenuhi panggilan politik. Selama masih terjebak ke dalam persepsi berburu pekerjaan dan jabatan, maka selama itu pula sang Caleg hanyalah sekumpulan binatang politik (political animal) yang tengah membidik kekuasaan di badan legislatif. Ketika benar-benar terpilih sebagai anggota legislatif, sang Caleg lantas berubah dari semula binatang politik menjadi binatang jalang. Relasi Caleg-konstituen, dengan sendirinya, hanyalah lipstik politik, sekadar basa-basi.

Tidak ada komentar: