Senin, 15 Desember 2008

Liberalisasi Ekonomi

Oleh Anwari WMK

Sejak krisis finansial global muncul pada medio September 2008, maka sejak saat itu pula perekonomian nasional Indonesia merasakan dampaknya. Nilai tukar rupiah yang melorot merupakan akibat logis dari pasar keuangan yang bergerak liar dengan arah yang tak menentu. Harga saham yang terus jatuh merupakan implikasi dari pelaku pasar yang kerepotan dan kebingungan memahami keadaan. Bukan sesuatu yang bersifat basa-basi jika kemudian dikatakan, bahwa perekonomian nasional Indonesia tak dapat mengelak dari hempasan gelombang krisis oleh faktor-faktor yang sepenuhnya bersifat eksternal.

Bagaimana kenyataan ini dimengerti hakikatnya? Mengapa perekonomian nasional Indonesia cenderung menjadi tumbal pengorbanan gejolak tak terperikan dari perekonomian global? Mengapa perekonomian nasional Indonesia tak steril dari krisis perekonomian global yang pada dasarnya kronis? Strategi apa yang niscaya diimplementasikan agar perekonomian nasional tak terus-menerus menjadi tumbal pengorbanan krisis perekonomian global?

Pertanyaan-pertanyaan ini harus dicarikan jawabannya pada munculnya gejala liberalisasi ekonomi yang mulai semarak dibicarakan di Indonesia pada paruh pertama dekade 1990-an. Pada kurun waktu itu, kaum neolib Indonesia berusaha meyakinkan publik, bahwa integrasi perekonomian nasional ke dalam perekonomian global merupakan keniscayaan sejarah. Melalui logika liberalisasi ekonomi kaum neolib berusaha meyakinkan publik, bahwa kemakmuran dan kesejahteraan hanya bisa diciptakan melalui integrasi perekonomian nasional ke dalam perekonomian global.

Kaum neolib, dengan caranya sendiri, tampil dengan pandangan optimistik saat berbicara tentang liberalisasi ekonomi dalam era globalisasi. Sejak paruh pertama dekade 1990-an, para pengamat ekonomi seperti Mari Elka Pangestu dan Sri Mulyani Indrawati tampil sebagai “juru bicara” yang merepresentasikan pandangan-pandangan optimistik terhadap liberalisasi ekonomi. Begitu artikulatifnya pandangan serba optimistik terhadap liberalisasi ekonomi, pada giliran selanjutnya Mari Elka Pangestu dan Sri Mulyani Indrawati dikenal luas sebagai ekonom yang “berbobot”. Kenyataan inilah sesungguhnya yang terhampar sebagai latar belakang, mengapa pada akhirnya dua ekonom itu terpilih untuk menduduki jabatan menteri bidang ekonomi dalam Kabinet Indonesia Bersatu.

Namun problem besar yang idap ke dalam pandangan-pandangan optimistik dua tokoh itu adalah munculnya pengandaian yang berlebihan tentang perekonomian global-liberal yang steril dari krisis. Ini merupakan pandangan khas kaum neolib. Bahkan, perekonomian nasional yang ikut serta digerakkan oleh sukma globalisasi diasumsikan secara sangat kuat bekerja sebagai mesin yang memproduksi dan atau mereproduksi kemakmuran dan kesejahteraan. Pembicaraan tentang perekonomian global yang liberal lalu merupakan aksentuasi tentang pilihan sistem dan jalan perekonomian yang dianggap logis untuk diadopsi oleh Indonesia sebagai sebuah negara bangsa (nation-state).

Kita lalu mencatat, bahwa selama paruh pertama dekade 1990-an muncul sambutan yang gegap gempita dari kaum neolib terhadap kehadiran ASEAN Free Trade Area (AFTA) dan terhadap Asia Pasific Economic Cooperation (APEC). Dua tokoh yang disnggung di atas merupakan eksponen yang memberikan sambutan terhadap kehadiran AFTA dan APEC. Baik tulisan maupun pandangan-pandangan mereka yang terserak di media massa merupakan bukti dari adanya sambutan secara gegap gempita itu. Kini, apa yang mereka katakan setelah mendapatkan kenyataan, bahwa krisis finansial global mempertontonkan pengaruh buruknya terhadap perekonomian nasional Indonesia?

Baik secara eksplisit maupun implisit, kaum neolib ini berbicara tentang imposibilitas atau kemustahilan rezim kekuasaan di mana pun “membaca” secara tepat kemungkinan bakal timbulnya krisis dahsyat yang dibawa serta oleh liberalisasi ekonomi berskala global. Mereka meyakinkan satu hal, bahwa tak ada satu pun manusia yang mampu memprediksi secara tepat, apa dan bagaimana krisis yang bakal segera hadir dalam sistem perekonomian liberal. Dengan demikian berarti, perspektif yang mereka usung pada paruh pertama dekade 1990-an tak mempertimbangkan risiko dari pengorbanan yang kemungkinan timbul sebagai akibat logis penerapan sistem perekonomian liberal. Mereka hanya berbicara tentang “madu” dalam liberalisasi ekonomi, tetapi sama sekali tak menyinggung tentang “racun” yang inherent ke dalam perekonomian liberal.

Kenyataan ini dapat ditafsirkan sebagai terlampau besarnya keyakinan akan manfaat liberalisasi ekonomi. Transformasi perekonomian nasional menuju fase kemakmuran dan kesejahteraan benar-benar diaksiomakan sebagai resultante dari pelaksanaan sistem perekonomian liberal. Dengan demikian, mereka berbicara berdasarkan keyakinan yang bersifat ideologis, bukan berdasarkan perspektif yang bersifat saintifik. Mereka berbicara berdasarkan paham sebuah mahzab dalam perekonomian. Maka, tak ada upaya obyektivikasi untuk menelisik hingga ke akar-akarnya relevansi integrasi perekonomian ke dalam perekonomian global-liberal.

Sampai kapan pun, kehidupan tak mungkin berpijak pada optimisme ekstrem. Sama tak mungkinnya, berpijak pada pesimisme ekstrem. Hayat manusia selalu berada dalam tarikan “peluang dan tantangan”. Karena itu, harus selalu ada kesetimbangan antara manfaat dan mudarat. Manusia bijak justru mampu melihat manfaat dan mudarat secara proporsional. Kenyamanan hidup justru tercipta karena adanya risiko-risiko. Dengan sendirinya, risiko dimengerti sebagai sesuatu yang terberi (given) pada setiap kenikmatan yang dinubuahkan oleh sebuah sistem perekonomian.

Seandainya kaum neolib yang dulu mengkhotbahkan arti penting liberalisasi ekonomi memberikan penjelasan yang sepadan terhadap risiko krisis yang kemungkinannya harus dipikul, barangkali kini terdapat formula pengelakan secara cerdas berhadapan dengan krisis ekonomi global. Seandainya kaum neolib itu bersikap adil dengan menjelaskan bahwa terdapat madu dan racun dalam liberalisasi ekonomi, barangkali sudah sejak dekade 1990-an bangsa ini mampu menentukan proporsionalitas agenda dan obyektivitas strategi untuk melakukan integrasi perekonomian nasional ke dalam perekonomian global. Namun berhubung segenap imperatif ini tak dapat dipenuhi menjadi kenyataan, maka tak terelakkan jika kini muncul pandangan kritis terhadap sepak terjang kaum neolib. Dalam posisinya sebagai ekonom, peran dan kedudukan mereka lebih dirasakan sebagai pengusung kepentingan partikular, bukan kepentingan nasional (national interest) bangsa ini secara keseluruhan.

Pernyataan secara repetitif kaum neolib kini bahwa krisis perekonomian global tak terprediksikan, jelas merupakan apologia. Sebab jika mereka mampu membuat prognosa bahwa liberalisasi ekonomi merupakan jalan bagi upaya terciptanya kemakmuran, sejatinya kenyataan yang sebaliknya juga dapat diprognosa. Moral dari tulisan ini sederhana: mulailah kritis dari sejak sekarang membaca khotbah dan petuah kaum neolib. Terutama jika masih ada asa dan cita untuk mewujudkan kemandirian dalam perekonomian nasional.[]