Minggu, 24 Mei 2009

Disintegrasi Partai Politik

Oleh Anwari WMK

Baik Ali Mochtar Ngabalin dari Partai Bulan Bintang (PBB) maupun Alvin Lie dari Partai Amanat Nasional (PAN) sama-sama menyatakan dukungannya pada pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) M. Jusuf Kalla-Wiranto. Inilah pasangan capres-cawapres yang diusung Partai Golongan Karya (Golkar) dan Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura). Padahal, PBB maupun PAN secara formal telah memberikan dukungan pada pasangan capres-cawapres Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Boediono. Seharusnya, Ali Mochtar Ngabalin dan Alvin Lie mendukung pasangan SBY-Boediono—jago yang dielus oleh koalisi besar pimpinan Partai Demokrat yang mencakup pula di dalamnya PBB dan PAN. Tetapi nyatanya, fakta berbicara lain. Opsi politik Ali Mochtar Ngabalin dan Alvin Lie benar-benar bersimpang jalan dengan pilihan resmi partai mereka.

Tentu, penyebutan nama Ali Mochtar Ngabalin dan Alvin Lie di sini hanyalah sekadar ilustrasi. Masih banyak kader partai yang memilih berbeda haluan dengan sikap resmi partai mereka. Ketika berlangsung deklarasi pasangan capres-cawapres Megawati Soekarnoputri-Prabowo Subianto di Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu, Bantar Gebang, Bekasi, Jawa Barat, 24 Mei 2009, MetroTV justru melaporkan secara live hadirnya kader-kader PAN dari Banten dan juga hadirnya kader-kader Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dari kawasan Tanah Abang, Jakarta Pusat. Tak tanggung-tanggung, mereka mengklaim sebagai pendukung Mega-Pro. Dengan demikian berarti, menjelang pemilu presiden 2009, soliditas partai politik benar-benar berada dalam satu titik pertaruhan.

Apa yang bisa kita simpulkan dari kontradiksi antara partai dan kader partai semacam itu adalah disintegrasi partai politik. Demi menghadapi pemilu presiden pada 2009, kader-kader utama partai politik begitu mudahnya menegasikan kebijakan resmi partai politik mereka. Diakui atau tidak, inilah fakta yang mempertontonkan timbulnya kontestasi kepentingan dalam tubuh partai politik. Antara sesama pimpinan partai, antara pimpinan dan kader partai atau antara sesama kader partai; terbuka ruang untuk meniadakan aspirasi kolektif demi menghadapi pemilu presiden 2009. Sangat bisa dimengerti jika pada akhirnya muncul pernyataan dari seorang tokoh politik nasional, bahwa partainya secara resmi memang mendukung pasangan capres-cawapres tertentu. Namun, kader-kader partai di berbagai penjuru Nusantara dipersilahkan menentukan sendiri capres-cawapres yang dipandang layak untuk didukung.

Pertanyaan hipotetiknya kemudian, mengapa disintegrasi partai politik semacam ini terjadi dan lalu mencuat ke permukaan? Apa yang mutlak digarisbawahi dari timbulnya disintegrasi partai politik yang pada akhirnya mencetuskan keprihatinan? Sejauhmana pragmatisme dan pertimbangan-pertimbangan pragmatis sedemikian rupa melatarbelakangi timbulnya disintegrasi dalam tubuh partai politik? Pertanyaan-pertanyaan ini memiliki sejumlah jawaban.

Pertama, kian pentingnya kekuasaan eksekutif sebagai akibat dari evolusi sistem presidensial di Indonesia. Pada satu sisi, pembentukan formasi kekuasaan politik semakin tak bisa mengelak dari sistem dan mekanisme pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung. Pada lain sisi, pemilu presiden sebagai pertaruhan meraih kekuasaan eksekutif menyemburatkan peluang dan sekaligus tantangan. Sejalan dengan rekayasa koalisi, kader-kader dari partai politik mana pun merasa memiliki keleluasaan untuk mengembangkan berbagai ekspektasi demi mendapatkan kursi kekuasaan dalam kabinet baru pasca-pemilu presiden. Pilihan seorang elite politik yang bersimpang jalan dengan sikap resmi partai mereka tak sepenuhnya dapat dipisahkan dari peluang meraih kekuasaan eksekutif. Kader-kader partai politik yang gagal meraih kekuasaan legislatif lalu begitu mudahnya membelokkan obsesi dengan berburu kekuasaan eksekutif melalui formula dukung-mendukung dalam pilpres. Jangan heran jika disintegrasi mewarnai keberadaan partai politik yang memancang koalisi dengan partai pendukung capres-cawapres.

Kedua, ancangan koalisi politik merupakan salah kaprah yang sengaja dikonstruksi sebagai realitas. Beda dibandingkan dengan sistem parlementer, sistem presidensial sesungguhnya tak meniscayakan adanya koalisi politik. Lantaran dipilih langsung oleh rakyat, kekuasaan presiden dan wakil presiden steril dari mosi tidak percaya kalangan parlemen. Penentangan parlemen terhadap kebijakan presiden tak harus direspons melalui pembentukan koalisi politik. Hal yang justru relevan dilakukan adalah menciptakan komunikasi dan edukasi politik. Seorang presiden berpijak pada kepercayaan diri untuk menyampaikan kepada publik jika kebijakan-kebijakan yang digulirkan demi mewujudkan kemakmuran rakyat diporak-poranda kalangan parlemen. Sayangnya, di Indonesia, salah kaprah koalisi tak dapat dihentikan. Bahkan, analisis tentang peta koalisi diperkuat aksentuasinya oleh kalangan pengamat politik. Seakan menegasikan aksioma tak adanya koalisi dalam sistem presidensial, para pengamat politik justru tampil sebagai cheer leader yang mendorong para aktor politik nasional membangun koalisi politik. Tak aneh jika koalisi merupakan kelanjutan logis dari pragmatisme dalam perburuan kekuasaan. Koalisi yang dirancang-bangun elite-elite partai tak memiliki kejelasan resonansi dengan konstituen pendukung partai politik. Otak-atik koalisi pun menjadi mesiu yang mempertegas timbulnya disintegrasi dalam tubuh partai politik.

Ketiga, dalam tubuh partai politik memang terdapat jalinan relasional bercorak konfliktual. Hubungan-hubungan konfliktual dalam kelembagaan partai politik justru bersifat laten. Hanya dengan trigger kecil, relasi yang bercorak konfliktual itu dengan begitu mudahnya menyeruak ke permukaan dan lantas mewarnai perspektif publik tentang partai politik. Di samping rapuh dalam hal ideologi, partai-partai politik di Indonesia terlanjur berkembang menjadi agensi untuk meloloskan ambisi para politikus demi menjadikan jabatan-jabatan politik sebagai mata pencaharian. Dengan sendirinya, partai politik lalu bermetamorfosis menjadi panggung terjadinya perebutan sumber-sumber daya (baca: kekuasaan politik). Kehadiran para aktor dalam gerak dinamik partai politik tak memiliki kejelasan resonansi dengan pembangunan sistem politik. Itulah mengapa, aktor politik bisa dengan mudah membentuk partai politik baru jika partai politik lama yang dijadikan sandaran dirasakan tak mampu lagi berfungsi sebagai batu loncatan meraih kekuasaan. Disintegrasi yang bersifat laten ini pada akhirnya berubah menjadi sesuatu yang manifest tatkala muncul kompetisi politik skala besar seperti pemilu presiden dan wakil presiden.

Mengacu pada tiga pokok persoalan itu, disintegrasi partai politik merupakan realitas yang tak terelakkan. Bukan saja eksponen dewan pimpinan pusat partai bisa saling bersilang arah satu sama lain, dukungan terhadap pasangan capres-cawapres malah mencetuskan perbedaan sikap antara kader partai di tingkat pusat dan kader partai di daerah. Terutama bagi partai yang tak mengusung kadernya sendiri sebagai capres atau cawapres, disintegrasi semacam ini menjadi sangat kentara. Dengan tiga pasang kandidat yang tersedia—JK-Wiranto, SBY-Boediono, dan Mega-Prabowo—maka proses memasuki arena pertarungan pilpres 2009 disertai oleh munculnya persoalan serius pada partai-partai yang tak mengusung kadernya sendiri sebagai capres dan atau cawapres. Terutama ketika tim sukses tiga pasangan capres-cawapres dibentuk, kita menyaksikan ketercerai beraian dukungan kader PBB, PAN, dan PPP. Bagi partai-partai ini, tidak mencalonkan kadernya sendiri merupakan “kutukan”.

Kita khawatir manakala kenyataan buruk ini menjadi pola yang berulang hingga ke masa depan. Apa gunanya pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung jika ternyata menuntut tumbal pengorbanan berupa disintegrasi partai politik?

Analisis Berita, Vol. 2, Nomor 129, 2009.

Rabu, 20 Mei 2009

Borjuasi versus Proletariat

Oleh Anwari WMK

Menjelang pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung pada 8 Juli 2009, publik dikejutkan oleh munculnya sejumlah dramaturgi. Pada serangkaian deklarasi pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres), publik benar-benar disuguhi dramaturgi politik. Siang hari pada 15 Mei 2009, di Gedung Sasana Budaya Ganesha Institut Teknologi Bandung, Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono dideklarasikan sebagai pasangan capres-cawapres dari sebuah koalisi besar di bawah pimpinan Partai Demokrat. Malam harinya di Jalan Teuku Umar, Jakarta Pusat, Megawati Soekarnoputri dan Prabowo Subianto dideklarasikan sebagai pasangan capres-cawapres oleh koalisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) dan Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra).

Deklarasi dua pasang calon pemimpin nasional ini benar-benar mencetuskan dramaturgi politik. Bagaimana tidak? Inilah event politik yang sama-sama mendapatkan liputan luas media massa. Bahkan, ada televisi yang memandang perlu untuk menyiarkan secara langsung deklarasi capres dan cawapres itu. Tiba-tiba, dengan dramaturgi itu, seakan tak ada sesuatu yang sungguh-sungguh bermakna dalam perpolitikan nasional selain deklarasi capres dan cawapres. Sebelum deklarasi dua pasang capres dan cawapres berlangsung, pada awal Mei 2009 M. Jusuf Kalla dan Wiranto memang telah dideklarasikan sebagai capres dan cawapres oleh koalisi Partai Golongan Karya (Golkar) dan Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura). Hanya saja, deklarasi tersebut tak cukup kuat memiliki unsur dramaturgis dibandingkan dengan deklarasi dua pasang capres dan cawapres yang berlangsung pada medio Mei 2009 itu.

Pertanyaannya kemudian, Apa yang penting digarisbawahi dari dramaturgi dalam deklarasi capres dan cawapres itu? Apakah dramaturgi ini memiliki makna signifikan terhadap masa depan kepemimpinan politik di Indonesia?

Tilikan secara saksama terhadap deklarasi capres-cawapres pada 15 Mei 2009 itu membawa kita pada kesimpulan yang spesifik. Tersembul dalam deklarasi itu aura borjuasi dan proletariat. Bahkan, muncul kesan yang sangat kuat jika deklarasi merupakan pelataran yang mengekspresikan terjadinya kontestasi orientasi politik: borjuasi versus proletariat. Suasana yang terbentuk pada totalitas deklarasi pasangan capres Susilo Bambang Yudhoyono dan cawapres Boediono, tanpa bisa dielakkan dipenuhi oleh rona borjuasi. Sementara kontras dengan itu, deklarasi pasangan capres Megawati Soekarnoputri dan cawapres Prabowo Subianto sangat kentara diwarnai nuansa proletariat.

Pada satu pihak, dua atmosfer deklarasi yang kontras itu merupakan sebuah realitas yang muncul secara apa adanya. Tapi pada lain pihak, realitas ini merupakan pengejawantahan lebih lanjut dari perbedaan paham politik. Sejauh ini, Susilo Bambang Yudhoyono memang tercitrakan sebagai sosok besar dalam dunia politik Indonesia kontemporer yang lebih mementingkan gaya ketimbang esensi. Tata bicara, body language dan tata busana yang tampak diskenariokan secara sangat rapih, justru mendukung tendensi ketokohannya dengan personalitas borjuasi. Media massa lalu menangkap kenyataan ini sebagai obyek yang menarik. More style than essence dalam perpolitikan nasional lalu mendapatkan tempat yang luas dalam kancah pemberitaan media massa. Bersamaan dengan itu, kehadiran Boediono memberikan aksentuasi yang memperkuat corak borjuasi dalam deklarasi capres-cawapres di Bandung itu.

Pada pelataran deklarasi yang lain, Megawati Soekarnoputri dan Prabowo Subianto tampil dengan aura proletariat. Mengambil tempat di kediaman Megawati Soekarnoputri di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, deklarasi ini berjalan secara apa adanya. Tak ada desain panggung mewah bagi Megawati Soekarnoputri dan Prabowo Subianto saat berbicara tentang kesediaannya menjadi presiden dan wakil presiden untuk kurun waktu 2009-2014. Pasangan capres dan cawapres ini mengekspresikan kesediaannya menjadi presiden dan wakil presiden dalam spektrum konferensi pers secara sederhana. Dramaturgi yang tersembul ke permukaan adalah keberpihakan terhadap wong cilik, seperti petani, nelayan, buruh, guru dan pedagang kecil. Bahkan, Megawati Soekarnoputri secara khusus berbicara tentang kedudukan Prabowo Subianto sebagai wakil presiden yang fokus pada penanganan ekonomi kerakyatan.

Celakanya, pencuatan posisi biner borjuasi versus proletariat hanyalah simulacrum belaka. Inilah simulacrum yang hanya menjadi santapan empuk media massa. Di atas segalanya, borjuasi versus proletariat tak memiliki kejelasan basis ideologis.

Dalam pengucapan seluruh pasangan capres dan cawapres memang terekspresikan nomenklatur “rakyat” atau “kerakyatan”. Sayangnya, semuanya hanyalah simulacrum. Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono berbicara tentang “bekerja keras untuk rakyat”. M. Jusuf Kalla dan Wiranto selalu tampil dengan narasi “lebih cepat lebih baik untuk kepentingan rakyat”. Sementara Megawati Soekarnoputri dan Prabowo Subianto tak pernah kehabisan kata-kata berbicara tentang “membangun ekonomi kerakyatan”. Siapa sesungguhnya yang dimaksudkan “rakyat” dalam nomenklatur yang dilontarkan oleh para capres dan cawapres itu?

“Rakyat” dalam konteks ini ternyata berada dalam pengertiannya yang super sempit, sejalan dengan kedudukannya sebagai realitas yang simulacrum. “Rakyat” di sini hanyalah sebuah representasi atau citra yang terbentuk dalam kesadaran berpikir capres dan cawapres. ”Rakyat” di sini, bukanlah sesuatu yang obyektif-kongkret. “Rakyat” dalam ucapan capres dan cawapres itu kosong dari hakikat sesungguhnya akan rakyat sebagai darah dan daging penderitaan manusia Indonesia. Sementara, penderitaan manusia Indonesia itu merupakan akibat logis dari salah kelola negara. Itulah mengapa, pembicaraan tentang “rakyat” dalam artikulasi capres dan cawapres itu sama sekali tak ada hubungan dengan rakyat yang menjadi korban lumpur Lapindo di Sidoarjo selama kurang lebih tiga tahun berjalan. “Rakyat“ yang mereka artikulasikan juga bukanlah Siti Khoiyaroh—bocah 4,5 tahun yang tewas ketumpahan kuah panas bakso akibat brutalitas Satuan Polisi Pamong Praja Kodya Surabaya.

Borjuasi versus proletar lalu hanyalah pencitraan pada ranah media massa. Tanpa bisa dielakkan, seluruh capres dan cawapres adalah borjuasi dalam pengertiannya yang par excellence. Kita tak menemukan satu pun pasangan capres dan cawapres yang mampu menjawab persoalan-persoalan fundamental kaum proletar di Indonesia. Bukan saja lantaran mereka tak berasal dari kalangan proletar. Lebih dari itu, selama ini mereka memang berdiri si atas suatu dataran yang teralienasi dari amanat penderitaan kaum proletar. Tatkala capres dan cawapres itu berdiri di antara pemilik modal dan rakyat jelata, sangat kentara ketidakberpihakannya terhadap kaum proletar.

Formasi capres dan cawapres itu bahkan dimasuki oleh figur yang selama ini dikenal luas sebagai pemilik modal. Karakter personal dan kesadaran kemanusiaan yang inherent pada diri mereka memosisikan proletar sebagai najis dari dinamika sosial politik untuk tujuan pokok akumulasi kapital. Kalau pun mengusung agenda afirmatif terhadap rakyat jelata, agenda itu pun merupakan strategi untuk mengukuhkan proses akumulasi kapital. Jangan heran jika pertarungan politik menuju RI 1 dan RI 2 pada pilpres 8 Juli 2009 itu mustahil dilandasi oleh keikhlasan otentik untuk sepenuhnya membela rakyat jelata.

Maka, jangan terlalu banyak berharap pada capres dan cawapres yang tengah bertarung memperebutkan kursi kepemimpinan nasional itu. Tak ada sesungguhnya pertarungan borjuasi versus proletariat. Sebab, yang ada hanyalah borjuasi versus borjuasi. Dan “rakyat” sebagai kata-kata hanyalah simulacrum. Benar-benar simulacrum.

Analisis Berita, Vol. 2, Nomor 128, 2009.


Jumat, 08 Mei 2009

Pejabat Publik Berkarakter Negarawan

Oleh Anwari WMK

Bangsa yang kering korontang dari gagasan-gagasan filosofis sesungguhnya adalah bangsa yang tengah berhitung mundur untuk terbentur masalah besar. Tumpulnya pemikiran saat harus memahami aspek-aspek fundamental kehidupan kolektif merupakan akibat logis dari minimnya gagasan-gagasan filosofis. Tanpa terlebih dahulu terbentuk tradisi “berfilsafat”, sebuah bangsa dengan mudahnya terbelenggu ke dalam karut-marut pragmatisme. Sangat bisa dimengerti pada akhirnya, mengapa ideolog Iran modern, Ali Syariati, pernah berbicara tentang kebangkitan bangsa-bangsa Dunia Ketiga yang dipicu oleh filsafat. Tanpa terlebih dahulu memiliki basis pemikiran filosofis, kata Ali Syariati dalam berbagai tulisannya, maka keterbelakangan akan terus mendera keberadaan bangsa-bangsa di Dunia Ketiga.

Indonesia sebagai bangsa, acapkali tersentak oleh ketidakmampuan menyentuh hal-hal besar dan mendasar. Tanpa bisa dielakkan, ini merupakan akibat logis dari rendahnya kemampuan berpikir filosofis. Selama kurang lebih satu dasawarsa pelaksanaan demokrasi pada era pasca-Orde Baru, misalnya, Indonesia gagal menciptakan suatu model rekrutmen pejabat publik yang sepenuhnya mampu tampil ke depan sebagai negarawan. Baik Komisi Pemilihan Umum (KPU), Komisi Yudisial (KY), Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU), maupun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ternyata tak steril dari hadirnya sosok pejabat publik yang terbelit masalah hukum.

Maka, kita lantas menyaksikan panorama kebangsaan yang menyedihkan seperti ini: (i) Pada kelembagaan KPU, Nazaruddin Sjamsuddin [Ketua KPU periode 2001-2005] terbelit kasus korupsi dana rekanan dan asuransi serta kemudian dijatuhi vonis hukuman penjara enam tahun. Mulyana W. Kusumah [anggota KPU periode 2001-2005] divonis dua tahun tujuh bulan penjara atas kasus suap auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) serta divonis 15 bulan penjara karena korupsi kotak suara pemilu. Rusadi Kantaprawira [anggota KPU periode 2001-2005] divonis empat tahun penjara atas dugaan kasus korupsi pengadaan tinta pemilu. (ii) Pada kelembagaan KY, Irawady Joenoes [anggota KY periode 2005-2010] divonis delapan tahun penjara karena kasus penerimaan uang Rp 600 juta dan US$ 30.000 dari Freddy Santoso terkait proyek pengadaan tanah untuk gedung KY. (iii) Pada kelembagaan KKPU, Mohammad Iqbal [anggota KPPU periode 2006-2011], hingga tulisan ini disusun, tengah diadili dalam kaitannya dengan kasus penerimaan suap sebesar Rp 500 juta dari Presiden Direktur PT First Media, Billy Sindoro. (iv) Pada kelembagaan KPK, Antasari Azhar [Ketua KPK periode 2007-2011], diduga terlibat kasus pembunuhan Direktur PT Putra Rajawali Banjaran (PRB) Nasruddin Zulkarnaen, yang tewas ditembak pada 14 Maret 2009, di Tangerang, Banten.

Apa yang bisa disimpulkan dari semua fakta yang dibentangkan di atas ialah kegagalan rekrutmen pejabat publik. Kompleksnya mekanisme seleksi dalam proses rekrutmen, ternyata bukanlah garansi untuk mendapatkan pejabat publik berkarakter negarawan. Sekadar gambaran berkenaan dengan mekanisme seleksi, proses rekrutmen penjabat publik didahului oleh pembentukan panitia tim seleksi. Out put dari panitia tim seleksi ini kemudian disampaikan ke presiden dan oleh presiden kemudian diajukan ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Melalui institusi DPR, kandidat pejabat publik memasuki proses uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test). DPR lalu memilih para pejabat publik melalui mekanisme voting. Kandidat yang terpilih melalui voting itulah yang kemudian dilantik dan diangkat presiden sebagai pejabat publik serta berfungsi efektif melayani bangsa ini.

Seharusnya, dengan mekanisme seleksi yang sedemikian rupa itu, Indonesia memiliki ruang untuk mencetak pejabat publik berkarakter negarawan. Celakanya, mengapa imperatif ini tak mengejawantah menjadi kenyataan? Mengapa di antara lebih dari 200 juta penduduk, bangsa ini seakan tersuruk ke dalam kesulitan maha besar demi menemukan negarawan? Apa yang salah dengan bangsa ini?

Pokok soal yang tengah kita hadapi sesungguhnya terkait erat dengan dua hal. Pertama, individu calon pejabat publik bukanlah the good sons and daughters of the land. Sehingga karena itu, kita tak sedang berhadapan dengan figur-figur yang tengah mempersiapkan diri memenuhi panggilan kebangsaan. Bagi individu semacam ini tak relevan pameo kebangsaan yang berbunyi “jangan pernah bertanya apa yang negara berikan padamu, tapi bertanyalah apa yang bisa kamu berikan kepada negaramu”. Bukan saja dipandang tak relevan, pameo semacam ini malah ditengarai sebagai absurditas di tengah sangat kuatnya tarikan untuk melakukan penghambaan terhadap basis material. Maka tak berlebihan jika dikatakan, tak ada sumber mata air kecemerlangan yang mendahului proses rekrutmen pejabat publik. Para kandidat pejabat publik, tak lebih hanyalah para figur yang tengah berburu mata pencaharian. Tak lebih dan tak kurang.

Disimak berdasarkan perspektif filosofis, persoalan ini merupakan akibat logis dari compang-campingnya pandangan dunia (Weltanschauung) manusia Indonesia saat harus memahami hakikat dan logika tata kelola negara. Boleh jadi, Indonesia sebagai sebuah bangsa kini tengah disesaki oleh generasi sontoloyo. Bukan saja karena generasi ini tak memberikan penghormatan terhadap hakikat pengorbanan agung (over-sacrifice) para pendiri bangsa, lebih dari itu posisi pejabat publik kini semata dimengerti sebagai basis material. Pelaksanaan tugas sebagai pejabat publik lalu bergeser menjadi pesta pora untuk sepenuhnya mengambil dari negara. Para pejabat publik itu tidak berada di tengah “tarian” untuk sepenuhnya memberi pada negara. Itulah mengapa, sosok mereka di ruang publik merupakan kembaran dari saudagar yang tak habis-habisnya berburu keuntungan.

Kedua, ada persoalan metodologis dalam kaitannya dengan proses seleksi pejabat publik. Baik pada tataran panitia seleksi maupun pada level DPR, proses seleksi bercorak positivistik. Kandidat pejabat publik hanya ditelisik pada sisi luarnya, seperti kemampuan akademis dan kelihaian berargumentasi. Panitia seleksi dan DPR tak mampu menyingkap Weltanschauung yang benar-benar inherent ke dalam eksistensi personal para figur yang tengah berada dalam sorotan proses seleksi pejabat publik. Pada titik ini, kita sesungguhnya menyaksikan timbulnya masalah besar di seputar kebuntuan metodologis. Semiotika dan hermeneutika dalam ranah filsafat yang sedemikian jauh telah berkembang menjadi epistemologi dalam penyingkapan hakikat di balik hakikat, tak pernah dimanfaatkan oleh panitia seleksi dan DPR.

Kita kini tak mungkin lagi meremehkan epistemologi post-positivistik dalam proses rekrutmen pejabat publik. Upaya saksama menghadirkan pejabat publik berwatak negarawan tak mungkin lagi dimengerti secara sempit sebagai sesuatu yang instrumental semata sifatnya. Alangkah baiknya jika dengan takzim bangsa ini belajar membangun pemikiran-pemikiran filsafat seperti pernah dipesankan Ali Syariati. Paling tidak, marilah dari sekarang belajar berseru: selamat datang filsafat!

Analisis Berita, Vol. 2, Nomor 127, 2009.

Rabu, 06 Mei 2009

Administrasi Pemberantasan Korupsi

Oleh ANWARI WMK

Pada akhirnya kita memasuki fase time of no return dalam totalitas pemberantasan korupsi. Seakan blessing in disguise, ada keniscayaan untuk merancang cetak-biru apa yang disebut “administrasi pemberantasan korupsi”. Kita tahu, eradikasi korupsi di Indonesia bukan saja berkaitan erat dengan niat dan agenda pencerabutan patologi kebangsaan hingga ke akar-akarnya—sebuah patologi yang dengan telak merangsak masuk ke dalam sistem tata kelola negara. Tak kalah pentingnya dari itu, eradikasi korupsi merupakan praksis yang mempersyaratkan adanya kewibawaan organisasi penindakan dan pencegahan korupsi. Terutama melalui pelaksanaan fungsi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kita melihat secara saksama pada akhirnya betapa memang ada kebutuhan yang besar agar pemberantasan korupsi memiliki kejelasan skema administrasi. Terlebih lagi, korupsi yang harus dibasmi itu telah sedemikian rupa menelusup masuk serta memporak-porandakan segenap lini kehidupan berbangsa dan bernegara.

Kasus hukum yang tengah membelit Ketua KPK Antasari Azhar telah mencetuskan problema yang begitu dilematis, dan sekaligus dramatis. Pada satu sisi, Antasari Azhar ditetapkan sebagai tersangka atas kasus terbunuhnya Nasrudin Zulkarnaen. Dengan sendirinya, Antasari Azhar terbelit masalah besar dalam bidang kriminal. Pada lain sisi, masalah pribadi Antasari Azhar memercikkan nuansa persoalan terhadap keberadaan KPK. Sungguh pun terbunuhnya Nasrudin Zulkarnaen tak ada hubungan organik dengan keberadaan KPK sebagai sebuah institusi, posisi Antasari Azhar sebagai Ketua KPK justru mendorong timbulnya pertanyaan-pertanyaan bernada kritikal. Seberapa signifikan pengaruh persoalan pribadi Sang Ketua KPK itu terhadap citra KPK, merupakan pertanyaan yang tak terelakkan kemunculannya. Dalam benak dan kesadaran publik lalu bergelayut sejuta teka-teki, bagaimana mungkin KPK yang extra ordinary atau pilih tanding itu ternyata dipimpin oleh seorang pembunuh?

Bertitik tolak dari kenyataan ini, kebutuhan akan administrasi pemberantasan korupsi menjadi begitu mendesak. Dengan administrasi pemberantasan korupsi berarti, terdapat garis demarkasi yang sangat tegas dalam pelaksanaan fungsi KPK. Problem yang masuk ke dalam cakupan personal pimpinannya diupayakan sedemikian rupa untuk tak memporak-porandakan KPK sebagai sebuah institusi. Atas dasar ini, sangat bisa dimengerti pada akhirnya mengapa editorial Republika edisi 5 Mei 2009 mengusung sebuah narasi kalimat seperti ini: “Pengusutan dan penyidikan yang dilakukan jangan sampai merusak kredibilitas KPK sebagai lembaga pemberantasan korupsi.” Editorial Republika juga menulis seperti ini: “Perlu dibedakan antara individu dengan keberadaan lembaga yang dipimpinnya.”

Sesungguhnya, diskursus tentang administrasi pemberantasan korupsi mengambil titik tolak dari kesadaran umum tentang KPK yang kini tengah menghadapi ujian berat akibat dipenjarakannya Antasari Azhar. Ujian berat itu berada dalam spektrum obyektivikasi proses pemberantasan korupsi. KPK tak cukup hanya ditahbiskan sebagai lembaga pemberantasan korupsi. Justru, bagaimana kasus Antasari Azhar ini benar-benar dijadikan momentum yang mampu menghantarkan KPK untuk sampai pada suatu model tata kelola organisasi yang sepenuhnya canggih dalam hal mendiferensiasi mana wilayah personal dan mana wilayah institusional (lihat editorial “Perang Korupsi Jangan Berhenti”, Koran Tempo, 5 Mei 2009).

Cara pandang terhadap administrasi pemberantasan korupsi yang sedemikian rupa itu tak lepas dari perkembangan KPK sendiri, jauh sebelum Antasari Azhar ditetapkan sebagai tersangka dalam sebuah kasus pembunuhan. Sulit ditepiskan fakta, betapa sesungguhnya publik kecewa terhadap kinerja KPK di bawah kepemimpinan Antasari Azhar. Beberapa kasus korupsi yang begitu terang benderang aktor dan atau pelakunya—antara lain seperti dilaporkan mantan anggota DPR Agus Condro—ternyata tetap tak ada kelanjutan pengusutannya. Dengan berbagai macam aksentuasi, hal yang kemudian mengkristal dalam opini publik ialah menurunnya kinerja KPK di bawah kepemimpinan Antasari Azhar. Dibandingkan dengan generasi pertama kepemimpinan KPK, termaktub kesan dalam opini publik betapa di bawah kepemimpinan Antasari Azhar KPK justru pandang bulu dalam hal pemberantasan korupsi.

Manakala kita percaya bahwa terdapat hikmah pada setiap rangkaian peristiwa dalam kehidupan umat manusia, maka apa yang kini menerpa Ketua KPK mutlak dimengerti sebagai sebuah mementum baru pemberantasan korupsi. Obyektivikasi yang menjadi kata kunci dalam proses pemberantasan korupsi harus diberikan makna secara lebih sublimatif sebagai sterilisasi KPK dari figur-figur yang terbelit persoalan kriminal. Memang tepat dan patut diapresiasi tatkala jajaran pimpinan KPK dengan sigap dan dalam waktu singkat menonaktifkan Antasari Azhar. Sungguh pun demikian, jauh lebih baik bilamana formasi jajaran pimpinan KPK memang tak pernah diisi oleh figur-figur korup dan kriminal.

Dengan demikian, administrasi pemberantasan korupsi bukanlah aspek yang semata teknikalitas sifatnya. Administrasi pemberantasan korupsi berada dalam spektrum luas pembentukan eksistensi KPK demi menyelamatkan Indonesia dari malapetaka kehancuran sebagai sebuah bangsa. Pertama, peran fundamental KPK dalam hal eradikasi korupsi di Indonesia mengambil titik pijak dari lumpuhnya lembaga dan aparat hukum dalam hal membebaskan negeri ini dari korupsi. Apalagi, lembaga dan aparat hukum sudah sejak era Orde Baru menjadi bagian tak terpisahkan dari kecamuk korupsi itu sendiri. Administrasi pemberantasan korupsi berarti menegaskan positioning KPK sebagai garda depan pensucian Indonesia dari najis dan kotor korupsi. Idealitas ke-Indonesia-an, dengan sendirinya, menemukan representasinya dari keberadaan KPK itu.

Kedua, format administrasi pemberantasan korupsi merupakan pengejawantahan terhadap keberadaan institusi KPK yang memang memiliki landasan moral dan konstitusional. Dalam konteks ini, KPK tak boleh berhenti sekadar sebagai simbol dan ikon pemberantasan korupsi. Lebih dari itu, di dalam kelembagaan KPK terbentuk sebuah sistem nilai yang mendasari segenap tindakan dan negasi terhadap korupsi. Semua ini membutuhkan administrasi pemberantasan korupsi. Inilah rasionalitas yang memberikan penegasan betapa kehadiran sebuah lembaga setingkat KPK relevan agar hasil pembangunan bisa dinikmati oleh masyarakat secara adil dan merata, tidak oleh kelompok tertentu atau para koruptor dan kelompoknya (lihat editorial “Memberantas Korupsi Itu Tugas Mendasar”, Sinar Harapan, 5 Mei 2009).

Ketiga, makna penting administrasi pemberantasan korupsi tercermin secara sangat kuat pada proses rekrutmen pimpinan KPK. Bukan saja harus dilakukan secara sangat ketat, proses rekrutmen pimpinan KPK tak boleh dideterminasi oleh ambisi dan kepentingan sempit para pengelola partai politik. Rekrutmen pimpinan KPK juga tidak boleh berada dalam pusaran keterpengaruhan dari kelompok-kelompok borjuasi dalam birokrasi pemerintahan maupun dalam korporasi bisnis yang secara telak terancam eksistensinya oleh pembersihan Indonesia secara besar-besaran dari kecamuk korupsi. Dengan imperatif ini berarti, harus ada keterbukaan untuk menelisik rekam jejak seorang tokoh yang hendak tampil memenuhi formasi pimpinan KPK.

Keempat, administrasi pemberantasan korupsi merupakan aspek yang sangat penting justru demi merawat jatidiri KPK agar jangan sampai limbung dihantam aneka distorsi. Persis sebagaimana tertera sebagai narasi dalam editorial Kompas (6 Mei 2009), “Suka atau tidak, KPK sebagai institusi dan instrumen sangatlah penting untuk melawan praktik korupsi yang merebak secara kultural maupun struktural di Indonesia.”

Jika KPK kosong dari administrasi pemberantasan korupsi sebagaimana dibentangkan di atas, maka jangan heran jika ke depan KPK masih akan diwarnai oleh kehadiran repeat of offender, oleh kehadiran bandit atau bromocorah.

Analisis Berita, Vol. 2, Nomor 126, 2009.

Selasa, 05 Mei 2009

Ketua KPK Pilihan DPR

Oleh ANWARI WMK

Setelah Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Antasari Azhar resmi ditahan lantaran diduga terlibat kasus pembunuhan Direktur PT Putra Rajawali Banjaran Nasrudin Zulkarnaen, tanpa bisa dielakkan pertanyaan-pertanyaan bernada kritikal kemudian mencuat ke permukaan. Apakah penahanan ini berarti sinyal yang menandai hadirnya fase epilog terhadap keberadaan KPK sebagai lembaga yang berperan besar menjalankan agenda eradikasi korupsi di Indonesia? Mengapakah sebuah lembaga penting dan sekaligus terhormat semacam KPK pernah dipimpin oleh seorang tokoh yang tindakan personalnya menimbulkan persoalan besar dalam bidang hukum? Apakah para pemangku kepentingan penentu eksistensi KPK gegabah telah memilih seseorang dengan integritas yang rapuh untuk tampil sebagai pengendali puncak terhadap keberadaan KPK?

Kemunculan pertanyaan-pertanyaan ini tak lepas dari kenyataan, bahwa Antasari Azhar diancam dengan Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana dengan hukuman maksimal berupa hukuman mati. Substansi yang termaktub ke dalam Pasal 340 KUHP itu sebagai berikut: “Barangsiapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan berencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau, selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun”.

Dalam pernyataannya di hadapan pers, Kapolda Metro Jaya Irjen Pol Wahyono mengemukan sesuatu yang sangat gamblang. Bahwa setelah memeriksa para pelaku dan saksi, polisi mengantongi bukti kuat bahwa Antasari Azhar diduga terlibat kasus terbunuhnya Nasrudin Zulkarnaen. Modus dalam kasus pembunuhan itu berupa penembakan yang direncanakan, pada 14 Maret 2009, di Taman Modern Land, Cikokol, Tangerang. Seusai bermain golf, pembunuh bayaran menghabisi nyawa Nasrudin Zulkarnaen dengan dua peluru yang dimuntahkan oleh sebuah pistol. Ia ditembak dalam mobil BMW warna silver bernomor polisi B 191 E. Lantaran direncanakan, tak mengherankan jika pembunuhan itu melibatkan sembilan orang. Tak tanggung-tanggung, Antasari Azhar ditengarai sebagai otak dan atau aktor intelektual terjadinya peristiwa sadis itu.

Dari keseluruhan narasi berkenaan dengan cerita kriminal ini, ada dua dimensi yang penting digarisbawahi. Pertama, pembunuhan atas seorang manusia merupakan tindakan yang terkutuk. Sebagai singularitas persoalan, pembunuhan atas seorang manusia merupakan tragedi. Itulah mengapa, hilangnya nyawa seorang manusia dalam sebuah aksi pembunuhan sama saja maknanya dengan terbunuhnya seluruh umat manusia. Bukan saja karena sang pembunuh adalah seorang pejabat tinggi negara setingkat menteri, lebih dari itu karena pembunuhan seorang manusia merupakan sebuah nista terhadap totalitas kemanusiaan. Terlepas dari kedudukan sosial seorang pembunuh, ada universalitas persoalan mengapa pembunuhan merupakan penistaan terhadap kemanusiaan. Maka, pembicaraan tentang pembunuhan seorang manusia dalam konteks ini adalah pembicaraan tentang dimensi yang sangat serius, terlepas dari siapa pembunuh dan korban yang terbunuh.

Kedua, pembunuhan ini merupakan tragedi besar manakala dihubungkan dengan keberadaan KPK yang sepenuhnya berfungsi sebagai lembaga eradikasi korupsi di Indonesia. Nokhtah persoalan yang kemudian mengemuka terkait dengan kegalauan berkenaan dengan masa depan KPK. Jika pada akhirnya proses hukum bermuara pada pembuktian secara sangat kuat bahwa Sang Ketua adalah seorang pembunuh, maka implikasinya sangat serius terhadap KPK sebagai sebuah institusi. Tak terelakkan jika kemudian disimpulkan, bahwa dalam rentang perjalanan historisnya KPK pernah dipimpin oleh seorang pembunuh. Lembaga extra ordinary itu pernah berada di bawah kepemimpinan seorang figur yang telah dengan sengaja menumpahkan darah untuk alasan yang tak dibenarkan oleh kemanusiaan.

Apa yang hendak dikatakan dengan menyebut dua dimensi persoalan ini ialah ujian besar yang kini tengah dihadapi Indonesia sebagai sebuah bangsa. Untuk mampu bertahan dari hempasan zaman, tak ada pilihan bagi Indonesia selain membersihkan dirinya dari anasir korupsi. Bukankah kemerosotan Indonesia sebagai bangsa yang berdaulat memang bermula dari korupsi yang telah sedemikian rupa menelusup masuk ke dalam tata kelola negara dan masyarakat? Itulah mengapa, penemuan kembali nasionalitas dan kebangsaan Indonesia pada abad XXI kini berjalin kelindan secara sangat kuat dengan eradikasi korupsi hingga ke akar-akarnya. Disitulah kemudian kelembagaan KPK dipandang urgen untuk didirikan. Tapi celakanya, KPK yang superlatif dalam konteks eradikasi korupsi itu terperosok ke dalam sebuah musibah: pernah dipimpin oleh seorang pembunuh. Bagaimana mungkin KPK lantas memiliki tekstur pemberantasan korupsi yang otentik jika pimpinan puncaknya figur yang bermasalah dengan hukum?

Manakala problem yang membelit Antasari Azhar semata disimak secara linear, maka tampak jelas tak adanya hubungan langsung antara heboh kasus terbunuhnya Nasrudin Zulkarnaen dengan KPK sebagai sebuah institusi. Prinsip kolegialitas dalam pelaksanaan fungsi kepemimpinan justru memungkinkan KPK untuk tak bergantung harap secara berlebihan pada sang pemimpin puncak. Sungguh pun demikian, KPK bukanlah semata unikum teknis-organisasional pemberantasan korupsi. KPK memiliki kemungkinan untuk hadir ke tengah kancah kebangsaan Indonesia di masa kini, justru karena di dalamnya terdapat roh kepemimpinan yang sepenuhnya menjunjung tinggi harkat dan martabat kemanusiaan. Dengan demikian berarti, KPK tak pernah bisa menegasikan roh kepemimpinan yang inherent ke dalam dirinya. Sementara, tragisnya, banditisme dan keberandalan pernah mewarnai roh kepemimpinan dalam tubuh KPK. Historisitas KPK, dengan sendirinya, diwarnai oleh noda hitam kepemimpinan.

Hikmah paling esensial dari tragedi ini terkait erat dengan sosok kepemimpinan di KPK. Kita tahu, proses yang niscaya dilalui untuk membentuk jajaran pimpinan di KPK melibatkan panitia seleksi dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Out put panitia seleksi adalah nama-nama calon pimpinan KPK yang kemudian diusung untuk memasuki proses fit and proper test di DPR. Dengan proses seleksi yang sedemikian rupa, sudah selayaknya jika formasi kepemimpinan di KPK diisi oleh figur-figur dengan integritas yang tak disanksikan. Tapi mengapa kepemimpinan KPK pada masa tugasnya sekarang kecolongan oleh masuknya figur yang dipertanyakan integritasnya? Apa yang salah dengan proses seleksi pimpinan KPK?

Pada sekitar penghujung 2007, muncul berbagai pandangan kristis yang meragukan hasil akhir proses seleksi pimpinan KPK. Hal pokok yang termaktub ke dalam pandangan kritis itu ialah proses seleksi yang takkan mampu menjaring figur-figur mumpuni dari segi integritas untuk kemudian menduduki posisi pimpinan di KPK. Keraguan banyak pihak terhadap integritas Antasari Azhar merebak ke ruang publik dan secara repetitif lalu mewarnai pemberitaan media massa. Namun demikian, DPR jalan terus dengan agendanya untuk melakukan fit and proper test. Sekali pun muncul desas-desus terjadinya suap dalam proses fit and proper test, DPR toh tetap memuluskan jalan bagi Antasari Azhar untuk terpilih menjadi Ketua KPK. Mau tak mau, publik lalu diperhadapkan dengan problem semiotik atas keterpilihan Antasari Azhar sebagai Ketua KPK. Pertanyaan kritikalnya waktu itu, mengapa Antasari Azhar yang terpilih menduduki posisi Ketua KPK?

Sekarang kita menuai badai. Status hukum Ketua KPK menyemburatkan tanda-tanda, bahwa eradikasi korupsi memasuki fase epilog. Sungguh, ini kenyataan yang menyedihkan.

Analisis Berita, Vol. 2, Nomor 125, 2009.