Rabu, 20 Mei 2009

Borjuasi versus Proletariat

Oleh Anwari WMK

Menjelang pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung pada 8 Juli 2009, publik dikejutkan oleh munculnya sejumlah dramaturgi. Pada serangkaian deklarasi pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres), publik benar-benar disuguhi dramaturgi politik. Siang hari pada 15 Mei 2009, di Gedung Sasana Budaya Ganesha Institut Teknologi Bandung, Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono dideklarasikan sebagai pasangan capres-cawapres dari sebuah koalisi besar di bawah pimpinan Partai Demokrat. Malam harinya di Jalan Teuku Umar, Jakarta Pusat, Megawati Soekarnoputri dan Prabowo Subianto dideklarasikan sebagai pasangan capres-cawapres oleh koalisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) dan Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra).

Deklarasi dua pasang calon pemimpin nasional ini benar-benar mencetuskan dramaturgi politik. Bagaimana tidak? Inilah event politik yang sama-sama mendapatkan liputan luas media massa. Bahkan, ada televisi yang memandang perlu untuk menyiarkan secara langsung deklarasi capres dan cawapres itu. Tiba-tiba, dengan dramaturgi itu, seakan tak ada sesuatu yang sungguh-sungguh bermakna dalam perpolitikan nasional selain deklarasi capres dan cawapres. Sebelum deklarasi dua pasang capres dan cawapres berlangsung, pada awal Mei 2009 M. Jusuf Kalla dan Wiranto memang telah dideklarasikan sebagai capres dan cawapres oleh koalisi Partai Golongan Karya (Golkar) dan Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura). Hanya saja, deklarasi tersebut tak cukup kuat memiliki unsur dramaturgis dibandingkan dengan deklarasi dua pasang capres dan cawapres yang berlangsung pada medio Mei 2009 itu.

Pertanyaannya kemudian, Apa yang penting digarisbawahi dari dramaturgi dalam deklarasi capres dan cawapres itu? Apakah dramaturgi ini memiliki makna signifikan terhadap masa depan kepemimpinan politik di Indonesia?

Tilikan secara saksama terhadap deklarasi capres-cawapres pada 15 Mei 2009 itu membawa kita pada kesimpulan yang spesifik. Tersembul dalam deklarasi itu aura borjuasi dan proletariat. Bahkan, muncul kesan yang sangat kuat jika deklarasi merupakan pelataran yang mengekspresikan terjadinya kontestasi orientasi politik: borjuasi versus proletariat. Suasana yang terbentuk pada totalitas deklarasi pasangan capres Susilo Bambang Yudhoyono dan cawapres Boediono, tanpa bisa dielakkan dipenuhi oleh rona borjuasi. Sementara kontras dengan itu, deklarasi pasangan capres Megawati Soekarnoputri dan cawapres Prabowo Subianto sangat kentara diwarnai nuansa proletariat.

Pada satu pihak, dua atmosfer deklarasi yang kontras itu merupakan sebuah realitas yang muncul secara apa adanya. Tapi pada lain pihak, realitas ini merupakan pengejawantahan lebih lanjut dari perbedaan paham politik. Sejauh ini, Susilo Bambang Yudhoyono memang tercitrakan sebagai sosok besar dalam dunia politik Indonesia kontemporer yang lebih mementingkan gaya ketimbang esensi. Tata bicara, body language dan tata busana yang tampak diskenariokan secara sangat rapih, justru mendukung tendensi ketokohannya dengan personalitas borjuasi. Media massa lalu menangkap kenyataan ini sebagai obyek yang menarik. More style than essence dalam perpolitikan nasional lalu mendapatkan tempat yang luas dalam kancah pemberitaan media massa. Bersamaan dengan itu, kehadiran Boediono memberikan aksentuasi yang memperkuat corak borjuasi dalam deklarasi capres-cawapres di Bandung itu.

Pada pelataran deklarasi yang lain, Megawati Soekarnoputri dan Prabowo Subianto tampil dengan aura proletariat. Mengambil tempat di kediaman Megawati Soekarnoputri di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, deklarasi ini berjalan secara apa adanya. Tak ada desain panggung mewah bagi Megawati Soekarnoputri dan Prabowo Subianto saat berbicara tentang kesediaannya menjadi presiden dan wakil presiden untuk kurun waktu 2009-2014. Pasangan capres dan cawapres ini mengekspresikan kesediaannya menjadi presiden dan wakil presiden dalam spektrum konferensi pers secara sederhana. Dramaturgi yang tersembul ke permukaan adalah keberpihakan terhadap wong cilik, seperti petani, nelayan, buruh, guru dan pedagang kecil. Bahkan, Megawati Soekarnoputri secara khusus berbicara tentang kedudukan Prabowo Subianto sebagai wakil presiden yang fokus pada penanganan ekonomi kerakyatan.

Celakanya, pencuatan posisi biner borjuasi versus proletariat hanyalah simulacrum belaka. Inilah simulacrum yang hanya menjadi santapan empuk media massa. Di atas segalanya, borjuasi versus proletariat tak memiliki kejelasan basis ideologis.

Dalam pengucapan seluruh pasangan capres dan cawapres memang terekspresikan nomenklatur “rakyat” atau “kerakyatan”. Sayangnya, semuanya hanyalah simulacrum. Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono berbicara tentang “bekerja keras untuk rakyat”. M. Jusuf Kalla dan Wiranto selalu tampil dengan narasi “lebih cepat lebih baik untuk kepentingan rakyat”. Sementara Megawati Soekarnoputri dan Prabowo Subianto tak pernah kehabisan kata-kata berbicara tentang “membangun ekonomi kerakyatan”. Siapa sesungguhnya yang dimaksudkan “rakyat” dalam nomenklatur yang dilontarkan oleh para capres dan cawapres itu?

“Rakyat” dalam konteks ini ternyata berada dalam pengertiannya yang super sempit, sejalan dengan kedudukannya sebagai realitas yang simulacrum. “Rakyat” di sini hanyalah sebuah representasi atau citra yang terbentuk dalam kesadaran berpikir capres dan cawapres. ”Rakyat” di sini, bukanlah sesuatu yang obyektif-kongkret. “Rakyat” dalam ucapan capres dan cawapres itu kosong dari hakikat sesungguhnya akan rakyat sebagai darah dan daging penderitaan manusia Indonesia. Sementara, penderitaan manusia Indonesia itu merupakan akibat logis dari salah kelola negara. Itulah mengapa, pembicaraan tentang “rakyat” dalam artikulasi capres dan cawapres itu sama sekali tak ada hubungan dengan rakyat yang menjadi korban lumpur Lapindo di Sidoarjo selama kurang lebih tiga tahun berjalan. “Rakyat“ yang mereka artikulasikan juga bukanlah Siti Khoiyaroh—bocah 4,5 tahun yang tewas ketumpahan kuah panas bakso akibat brutalitas Satuan Polisi Pamong Praja Kodya Surabaya.

Borjuasi versus proletar lalu hanyalah pencitraan pada ranah media massa. Tanpa bisa dielakkan, seluruh capres dan cawapres adalah borjuasi dalam pengertiannya yang par excellence. Kita tak menemukan satu pun pasangan capres dan cawapres yang mampu menjawab persoalan-persoalan fundamental kaum proletar di Indonesia. Bukan saja lantaran mereka tak berasal dari kalangan proletar. Lebih dari itu, selama ini mereka memang berdiri si atas suatu dataran yang teralienasi dari amanat penderitaan kaum proletar. Tatkala capres dan cawapres itu berdiri di antara pemilik modal dan rakyat jelata, sangat kentara ketidakberpihakannya terhadap kaum proletar.

Formasi capres dan cawapres itu bahkan dimasuki oleh figur yang selama ini dikenal luas sebagai pemilik modal. Karakter personal dan kesadaran kemanusiaan yang inherent pada diri mereka memosisikan proletar sebagai najis dari dinamika sosial politik untuk tujuan pokok akumulasi kapital. Kalau pun mengusung agenda afirmatif terhadap rakyat jelata, agenda itu pun merupakan strategi untuk mengukuhkan proses akumulasi kapital. Jangan heran jika pertarungan politik menuju RI 1 dan RI 2 pada pilpres 8 Juli 2009 itu mustahil dilandasi oleh keikhlasan otentik untuk sepenuhnya membela rakyat jelata.

Maka, jangan terlalu banyak berharap pada capres dan cawapres yang tengah bertarung memperebutkan kursi kepemimpinan nasional itu. Tak ada sesungguhnya pertarungan borjuasi versus proletariat. Sebab, yang ada hanyalah borjuasi versus borjuasi. Dan “rakyat” sebagai kata-kata hanyalah simulacrum. Benar-benar simulacrum.

Analisis Berita, Vol. 2, Nomor 128, 2009.


Tidak ada komentar: