Rabu, 23 April 2008

Beras dan Kepemimpinan Nasional

Anwari WMK
anwari_wmk@plasa.com

Janji Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menaikkan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) untuk beras dan gabah, ternyata menimbulkan impak yang sama sekali tak sederhana. Ketika hadir dalam perhelatan panen perdana padi varietas baru SuperToy HL-2 di Desa Grabag, 20 kilometer selatan Purworejo, Jawa Tengah pada 17 April 2008, Presiden SBY terlanjur menebar janji, bahwa HPP bakal segera dinaikkan. Disimak sepintas lalu, janji ini memiliki makna signifikan dalam kaitan konteks dengan prospek peningkatan kesejahteraan petani padi. Tak tanggung-tanggung, kenaikan HPP diskenariokan berada di atas besaran inflasi 2007 (6,59%). Bahkan, presiden terkesan heroik tatkala melontarkan janjinya di hadapan petani Purworejo itu. Bisa dimengerti pada akhirnya mengapa janji kenaikan HPP lantas mengkristal sebagai susbtansi headline berita tulis dan berita foto di media cetak (lihat Kompas, 18 April 2008, hlm. 1, 15).

Tetapi realisme baru yang muncul sebagai resultante dari terlontarnya janji itu ialah pembelian beras dalam jumlah lebih besar di tingkat pedagang. Beras yang ditumpuk pedagang ini nantinya dilepas setelah benar-benar diberlakukan HPP baru. Tanpa bisa dielakkan ada semacam potential profit yang berkecamuk dalam benak kesadaran kaum pedagang. Kalkulasi mendapatkan keuntungan, bergerak dalam hitungan mundur hingga munculnya HPP baru. Pada tataran lain, mitra usaha Badan Urusan Logistik (Bulog) atau para pemasok beras ke Bulog menunda penjualan beras mereka. Seperti halnya pedagang beras pada umumnya, mitra Bulog menunggu implementasi HPP baru. Dampak yang dengan segera bisa dirasakan ialah pengadaan beras oleh Perum Bulog mengalami ketersendatan (Kompas, 22 April 2008, hlm. 1).

Janji kenaikan HPP ini, tentu saja, penting ditelaah secara kritis. Tanpa harus menggunakan kerangka teori yang rumit dan berbelit-belit, janji kenaikan HPP itu dapat dimengerti secara simplistis sebagai wujud kongkret ekonomi politik beras dalam perkembangan mutakhir. Beras, dalam konteks ini, kenaikan harganya bukan terutama didasarkan pada mekanisme pasar bebas, tetapi melalui sebuah keputusan politik yang indispensible. Memang, sebagai instrumen dalam politik perberasan nasional, HPP bukanlah pola baru pembentuk struktur harga. HPP diberlakukan sejak era reformasi menggantikan politik perberasan Orde Baru dengan parameter Harga Dasar Gabah. Dari tahun ke tahun HPP bergerak dinamis untuk berada dalam kisaran yang lebih tinggi dibandingkan dengan waktu-waktu sebelumnya. Dengan sendirinya, HPP merupakan sesuatu yang usual, biasa, bahkan terlalu biasa.

Tetapi, hal baru dalam kaitan makna dengan HPP dewasa ini adalah ancaman krisis pangan pada banyak negara di dunia. Diorkestrasi oleh kenaikan harga, krisis pangan itu kemudian diidentifikasi sebagai persoalan serius bagi kelanjutan eksistensi banyak bangsa dan negara di dunia. Begitu seriusnya, mingguan terkemuka The Economist (April 19th – 25th 2008) merasa perlu menurunkan laporan utama dengan aura menyeramkan bertajuk “The Silent Tsunami: The Food Crisis and How to Solve It”. Lontaran janji Presiden SBY di Purworejo itu berada dalam atmosfer dan dentuman besar krisis pangan global. Dengan sendirinya, Sang Presiden sesungguhnya berbicara tentang persoalan super sensitif. Maka, secara logis, janji menaikkan HPP beras dan gabah itu seyogyanya dilandaskan pada pertimbangan-pertimbangan matang. Di sinilah persoalannya. Direktur Utama Perum Bulog Mustafa Abubakar lalu berbicara tentang keniscayaan pemerintah untuk dengan segera memberlakukan HPP baru. Artinya, jangan sampai janji terus bergelantung kaku di udara menjadi janji kosong. Jika itu yang terjadi, Bulog diperhadapkan pada persoalan besar ketersendatan pasokan demi memperkuat buffer stock.

Kini, muncul berbagai macam telaah di media massa, bahwa babak akhir pemerintahan SBY-JK diwarnai oleh ancaman krisis pangan (Kompas, 22 April 2008, hlm. 21). Bukan saja kemudian pemerintahan SBY-JK harus trengginas mengatasi kelangkaan dan kenaikan harga pangan, lebih dari itu juga harus super hati-hati melontarkan persoalan-persoalan pangan dalam sebuah kerangka komunikasi politik. Jika lontaran janji SBY di Purworejo dievaluasi secara kritis, maka janji kenaikan HPP kental diwarnai oleh pencitraan politik.

Pertama, janji kenaikan HPP itu dikedepankan tanpa disertai oleh kejelasan draft instruksi presiden (Inpres). Belum ada konsepsi yang clear and distinct sebagai basis dasar bangunan ekonomi politik harga beras dalam format kenaikan HPP. Kedua, janji kenaikan HPP di Purworejo tak disertai upaya koreksi secara mendasar terhadap “kapitalisme” pupuk dalam wajahnya yang buruk. Padahal, dari sejak zaman Orde Baru hingga kini, kenaikan harga pupuk merupakan kekuatan negasi terhadap kenaikan HPP. Bahkan, struktur harga pupuk merupakan negativitas dalam maknanya yang sangat telanjang terhadap prospek peningkatan harga beras dan gabah. Sayang seribu sayang, sejurus dengan terlontarnya kenaikan HPP, SBY abai akan masalah pupuk. Dengan sedirinya, sulit dibantah munculnya kesimpulan, bahwa janji kenaikan HPP tak lebih dan tak kurang hanyalah pencitraan politik.

Sampai kapan pun, kepemimpinan nasional di Indonesia merupakan kiblat munculnya orientasi baru perekonomian. Baik orientasi baru dalam pengertiannya yang positif maupun dalam maknanya yang negatif, selalu mengambil titik tolak dari komunikasi politik kepemimpinan nasional. Jika kepemimpinan nasional gegabah dalam hal memberikan substansi ke dalam komunikasi politik, maka serta-merta komunikasi politik itu mengundang bangkitnya kaum vested interest untuk dengan segera berlaga memancing di air keruh, meraih kesempatan dalam kesempitan, merebut kecepatan dalam kecepitan. Apa yang dalam permulaan tulisan ini disebut “pedagang beras” dan “pemasok beras” tak bisa tidak merupakan gugusan vested interest yang memburu keberuntungan setelah terlontar janji Presiden berkenaan kenaikan HPP.

Apa yang bisa dimengerti dari semua ini, kenaikan HPP terlebih dahulu diwacanakan. Disimak ke dalam spektrum luas perbaikan nasib kaum tani dan demi menjaga agar jangan terjadi krisis pangan, hal fundamental yang dibutuhkan bukanlah wacana, tetapi sebuah keputusan politik yang decisive. Dengan terlebih dahulu mewacanakan kenaikan HPP, maka Presiden SBY kembali mempertontonkan dirinya sebagai pemimpin nasional yang indecisive. Demi mengelak terhadap kemungkinan timbulnya spekulasi harga, kenaikan HPP sejatinya langsung tertuang ke dalam Inpres. Inilah yang tak segera dilakukan SBY. Janji kenaikan HPP lalu terpilin untuk mencetuskan timbulnya psiko politik perberasan di tingkat nasional.

Melalui Inpres No. 1/2008 tentang Kebijakan Perberasan HPP gabah kering panen di tingkat petani pada akhirnya naik 10% menjadi Rp 2.200 per kilogram, sejak 22 April 2008. Tapi sebelum janji kenaikan HPP dilontarkan pasokan gabah dan beras ke Bulog mencapai 27.000 ton per hari. Setelah terlontar janji kenaikan HPP, pasokan gabah dan beras ke Bulog hanya 6.000 ton per hari.[]

Kamis, 17 April 2008

Panggilan Mengelola Negara
Mencari Sebab Fundamental Pencurian Aset Negara

Oleh Anwari WMK

Bagaimana menakar derajat nasionalisme pejabat negara? Masihkah nasionalisme berdentam-dentum dalam ruang batin dan kesadaran pejabat negara? Jawab atas pertanyaan ini memiliki kaitan konteks dengan tingkat penghayatan terhadap apa yang disebut “panggilan mengelola negara”. Tak bisa dipungkiri, pejabat negara merupakan eksponen paling penting terpenuhinya panggilan mengelola negara. Dibandingkan dengan umumnya warga negara, pejabat negara adalah figur yang sengaja membawa dirinya pada altar pengorbanan pengelolaan negara. Itulah mengapa, ada beberapa diktum yang mendasari artikulasi peran pejabat negara.

Pertama, para pejabat negara tak bisa disejajarkan dengan kaum profesional yang berkiprah dalam sebuah korporasi bisnis. Sungguh pun menjadi fundamen bagi pengejawantahan peran pejabat negara, profesionalisme di kalangan pejabat negara tak boleh menegasikan segenap hakikat yang termaktub ke dalam “panggilan mengelola negara”. Kedua, Pejabat negara memiliki perbedaan orientasi dibandingkan dengan pejabat korporasi bisnis. Jika pejabat negara melakukan sesuatu yang benar, pejabat korporasi melakukan sesuatu dengan benar. Ketiga, pejabat negara memahami pekerjaannya sebagai panggilan. Sementara, pejabat dalam korporasi bisnis memahami pekerjaannya sebagai karir. Keempat, pejabat negara berada dalam posisi sebagai leader, pejabat korporasi bisnis berada dalam posisi sebagai manager. Kelima, pejabat negara memiliki kewajiban moral untuk hidup sederhana. Pejabat korporasi bisnis, tak memiliki kewajiban moral untuk hidup sederhana. Keenam, pejabat negara niscaya memenuhi harapan orang banyak, pejabat korporasi bisnis niscaya memenuhi harapannya sendiri sejalan dengan arah perjalanan korporasi.

Terus terang, diktum panggilan mengelola negara semacam itu kini berada dalam satu titik penggerusan yang luar biasa dahsyatnya. Pengelolaan negara di Indonesia semakin jauh diwarnai oleh kehadiran kaum hedonis. Hidup sederhana tak lagi dijunjung tinggi sebagai spirit dalam totalitas hidup pejabat negara. Bukan saja kemudian pejabat negara begitu narsistis dengan aneka ragam pencitraan. Lebih dari itu, hedonisme yang berkecamuk dalam kesadaran pejabat negara justru melahirkan watak anti-kerakyatan. Implikasi yang ditimbulkan oleh kenyataan ini sungguh luar biasa mengerikan.

Hilang dan beralihnya aset negara menjadi milik peribadi atau privat kini disadari sebagai persoalan super-kompleks. Padahal, aset yang hilang atau beralih kepemilikan itu tidaklah kecil jumlahnya. Penggunaan dana konsentrasi untuk pengadaan aset negara, ternyata nilainya ratusan triliun rupiah. Sayangnya, lagi-lagi, aset-aset negara yang dibeli melalui dana dekonsentrasi hilang tak jelas rimbanya, entah ke mana. Baik dalam laporan pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, tak ada catatan yang jelas dan kongkret di mana aset negara berada. Semua ini bekelindan dengan kian jauhnya pejabat negara dari panggilan mengelola negara.

Menurut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dana dekonsentrasi yang dialirkan pemerintah pusat ke daerah setiap tahunnya berada pada kisaran Rp 200 triliun. Sebagian dari dana dekonsentrasi itu diubah menjadi bentuk fisik, dan sebagian lain nonfisik. KPK hanya meneropong secara terbatas di mana aset-aset fisik itu. Tragisnya, Dirjen Kekayaan dan Perbendaharaan Negara, Departemen Keuangan, hingga 2008 tak memiliki daftar inventarisasi aset secara menyeluruh. Padahal, sekitar 45% kekayaan negara berupa aset fisik.

Semakin besar aset negara yang tak bertuan, semakin besar pula kekayaan negara yang tergerus. Tak bisa tidak, kita lalu dipaksa membuka borok di seputar punahnya spirit nasionalisme dalam diri pejabat negara. Tiga rumah dinas milik Departemen Pekerjaan Umum (PU) yang berlokasi di kawasan elite Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, misalnya, beralih kepemilikan ke tangan mantan menteri dan mantan pejabat tinggi PU. Caranya, status rumah diubah, dari golongan I menjadi golongan III. Dengan statusnya yang baru, maka, di atas kertas, rumah dinyatakan sebagai barang rongsokan tak berharga. Pengalihan aset pun berjalan mulus. Pada fase kian tak terbendung, pengalihan aset negara sama dan sebangun maknanya dengan pencurian aset negara.

Opini publik yang menyorot persoalan ini fokus pada upaya penelusuran sebab-sebab fundamental terjadinya pencurian aset negara. Dari sini lantas muncul kesimpulan, bahwa kelemahan administrasi merupakan sebab fundamental berlangsungnya pencurian aset negara. Solusi yang ditawarkan pun tertuju pada upaya seksama pembenahan administrasi.

Kesimpulan ini penting, tapi jelas tak memadai. Sebab, kelemahan administrasi hanyalah sebab sekunder timbulnya gelombang pencurian aset negara. Sebab primer yang jauh lebih fundamental adalah hilangnya spirit “panggilan mengelola negara”. Indonesia pada abad XXI ditandai oleh kehadiran pejabat yang memandang negara semata sebagai sumber kekayaan yang dapat dikeruk kapan saja. Dengan nada getir harus dikatakan, generasi pengelola negara kini tak memiliki pemahaman akan misi profetik yang bersenyawa ke dalam panggilan mengelola negara. Maka, pencurian aset-aset negara bakal terus bergulir hingga ke masa depan.

Rabu, 16 April 2008

Makrifat Penegakan Hukum
Penegakan Hukum tanpa Pendidikan Hukum hanya Melahirkan Pemerasan Aparat terhadap Warga Negara

Oleh Anwari WMK

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengemukakan sebuah distingsi, bahwa “pendidikan hukum” merupakan satu hal dan “tegaknya hukum” merupakan hal lain. Hubungan di antara keduanya berpijak pada aksioma: “pendidikan hukum” menjadi prasyarat bagi “tegaknya hukum”. Pentingnya aspek pendidikan hukum mendahului aspek penegakan hukum. Dengan kata lain, tak mungkin bangsa ini berbicara tentang penegakan hukum di tengah compang-campingnya pendidikan hukum.

SBY mengemukakan ilustrasi menarik tentang hal ini. Jika warga negara melakukan korupsi karena tidak tahu, aparat penegak hukum turut mempunyai andil terhadap terjadinya korupsi itu. Situasi buruk menjadi superlatif buruk manakala aparat penegak hukum menjebak warga yang tak paham hukum untuk kemudian dijerumuskan sebagai pesakitan dalam bidang hukum. Jika pendidikan hukum berjalan, Indonesia akan tenteram karena tidak akan ada korupsi, pelanggaran dan kejahatan.

Dengan demikian, pendidikan hukum mutlak diperkuat sebagai fundamen tegaknya hukum. Inilah makrifat penegakan hukum dalam perspektif Presiden SBY. Perspektif inilah yang diartikulasikan Sang Presiden dalam acara pembukaan Konvensi Hukum Nasional di Istana Negara, Jakarta, pada medio April 2008. Pertanyannya, mungkinkah perspektif ini diberlakukan sebagai terobosan demi mengatasi kebekuan dan sekaligus kebuntuan hukum di Indonesia? Bukankah di Indonesia terjadi diskoneksi secara sangat serius antara pendidikan hukum dan penegakan hukum?

Contoh kongkret terjadinya diskoneksi antara pendidikan hukum dan penegakan hukum muncul di jalan-jalan raya. Cukup jamak pelanggaran berlalu lintas disebabkan oleh ketidakpahaman para pengguna jalan raya. Polisi, ternyata, tak mau tahu akan kenyataan ini. “Ketidakpahaman” diposisikan ke dalam setting sama dan sebangun dengan pelanggaran. Penegakan hukum lalu lebih dikedepankan ketimbang pendidikan hukum. Penegak hukum, dengan sendirinya, cenderung untuk hanya berpijak pada pendekatan positivistik. Pelanggaran semata dimengerti sebagai pelanggaran. Secara demikian, tak ada upaya menilik eksistensi para pelanggar hukum dari sisi kemanusiaannya. “Hukum untuk siapa?” lantas mencuat sebagai pertanyaan kritikal.

Apa yang substansial digarisbawai dari perspektif Presiden itu sesungguhnya adalah mendesaknya upaya-upaya preventif agar jangan timbul pelanggaran. Pada satu sisi, realitas hidup kolektif mustahil sepenuhnya steril dari aneka kesalahan orang per orang. Pada lain sisi, dalam realitas hidup kolektif hukum hadir demi menjamin terciptanya harmoni dan kesinambungan hidup umat manusia. Sejalan dengan tabiat manusia sebagai mahluk yang memiliki akal budi, maka setiap kesalahan masuk ke ruang-ruang kesadaran untuk disesali. Maka, tak setiap kesalahan berarti by designed. Begitu banyak kesalahan yang bercorak by accident. Itulah mengapa, penegakan hukum harus bijak melihat kesalahan hingga pada hakikatnya yang paling mendasar. Generalisasi persoalan untuk semua kasus hukum merupakan penistaan terhadap kemanusiaan.

Penegakan hukum pada era demokrasi kini sesungguhnya jauh dari harapan yang termaktub dalam perspektif Presiden SBY itu. Ini karena unsur politik ikut mempengaruhi [dan sekaligus mendistorsi] penegakan hukum. Apa yang dewasa ini ditengarai sebagai “tebang pilih pemberantasan korupsi”, merupakan fakta yang sangat telanjang berkenaan dengan ketidakjelasan makrifat penegakan hukum. Bukan saja sistem hukum nasional tak transparan, lebih dari itu hukum diberlakukan secara diskriminatif. Bagaimana jika ketidakjelasan makrifat penegakan hukum itu ditimpali oleh kehadiran polisi korup, hakim korup dan jaksa korup?

Jawabnya, terjadi kepincangan secara luar biasa dahsyatnya pada area kekuasan yudikatif. Inilah tragedi, lantaran pendidikan hukum tak hadir mengimbangi penegakan hukum. Celakanya, ini membuka ruang secara sangat luas, bahwa aparat penegak hukum dengan mudahnya bermetamorfosis menjadi pemeras terhadap warga negara yang berurusan dengan perkara hukum. Apa boleh buat, penegakan hukum benar-benar terbentur jalan buntu.
Indeks Kinerja Pemerintahan
Tata Kelola Pemerintahan Membutuhkan Pengabdian, Pengorbanan dan Etika

Oleh Anwari WMK

Prakarsa The Habibie Center (THC) bersama Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas) menyusun indeks kinerja pemerintahan secara luas penting diapresiasi demi menggeser tata kelola negara di Indonesia agar benar-benar bercorak modern. Aktor maupun lembaga dalam konteks kekuasaan eksekutif, legislatif maupun yudikatif dapat ditakar keberadaannya melalui indeks kinerja itu. Paling tidak di atas kertas, implementasi indeks kinerja mengondisikan publik untuk tak lagi “membeli kucing dalam karung”, saat berhadapan dengan artikulasi secara terus-menerus peran aktor dan lembaga pada tubuh pemerintahan. Sehingga dengan demikian, artikulasi peran aktor dan lembaga benar-benar mengusung misi transformatif. Pada Juni 2008, rencananya, indeks kinerja itu tuntas disusun dan dirilis secara luas.

Di tengah kencangnya arus kebebasan berpendapat dan berekspresi dewasa ini, kinerja pemerintahan harus memiliki takaran yang jelas. Rezim yang kini tengah berkuasa, misalnya, pada satu sisi merasa telah berhasil mencapai titik tertentu pencapaian kinerja. Itulah mengapa, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) berkali-kali meyakinkan publik, bahwa telah terjadi penurunan jumlah kaum miskin di Indonesia. Wakil Presiden M. Jusuf Kalla (JK) berbicara tentang situasi perekonomian nasional yang sudah mampu melepaskan diri dari pusaran krisis.

Pada lain sisi, kritik kalangan parlemen dan pengamat bermuara pada satu hal: pemerintahan SBY-JK lebih sibuk tebar pesona ketimbang tebar kinerja. Editorial surat-surat kabar pun berbicara tentang “pemerintahan yang tak memerintah” atau “pemerintahan yang gagal memerintah”. Jika diperhadapkan satu sama lain, maka pemerintah dan para pengeritiknya saling bertolak belakang. Di sinilah lalu terasa pentingnya indeks kinerja yang bisa meneropong secara obyektif kinerja pemerintahan dalam praksis nyata di lapangan.

Namun, manalaka ditilik secara kritis, kehadiran indeks kinerja pemerintahan ini sesungguhnya merupakan inisiatif yang terlambat. Sejak reformasi bergulir pada akhir dekade 1990-an, demokratisasi politik tak berjalan paralel dengan pembenahan menyeluruh sektor pemerintahan. Seakan terpenjara ke dalam tradisi masa lampau yang kelam, tata kelola pemerintahan pada era reformasi tak sepenuhnya mampu berdiri di atas pijakan obyektivitas yang terukur. Sedemikian seriusnya, aspek subyektivitas sungguh-sungguh mendistorsi pemerintahan. Akibatnya, bangsa ini tak mampu mengeleminasi patologi nepotisme, kolusi dan korupsi. Sekali pun reformasi telah bergulir selama kurang lebih satu dekade, pemerintahan terjebak ke dalam kegelapan nilai-nilai budaya. Hanya saja, seperti kata pepatah, lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali.

Keberlanjutan eksistensi pemerintahan pada berbagai aspeknya selalu bersinggungan dengan hajat hidup rakyat banyak. Dari sejak bangun tidur hingga kembali tidur, urusan dan kiprah setiap warga negara di ruang publik tak pernah bisa dilepaskan dari peran pemerintah. Apakah perilaku pemerintah relevan dan kongruwen dengan kebutuhan warga negara di ruang publik, pada akhirnya berkembang menjadi persoalan krusial. Jatuh bangunnya pemerintahan, memiliki kaitan makna dengan persoalan krusial ini. Inilah yang oleh filsuf politik John Locke (1632-1704) ditengarai sebagai “pemerintahan berfungsi memberikan jaminan bagi kelangsungan kontrak sosial (the social contract)”.

Apa yang bisa kita mengerti dari diktum kontrak sosial ini sesungguhnya jauh lebih luas dan mendalam dari sekadar merancang bangun indeks kinerja pemerintah. Secara kategoris, indeks kinerja hanyalah instrumen atau metode yang pada tingkat kolektif disepakati sebagai alat teropong untuk menyimak baik buruknya performa pemerintah. Lantaran berperan secara terbatas dalam kerangka teknis, indeks kinerja berada dalam spektrum logika instrumental. Tak lebih dan tak kurang. Padahal, lebih serius lagi dari itu, yang dibutuhkan tiga elan vital baru pengelolaan pemerintahan.

Pertama, pengelolaan pemerintahan merupakan kelanjutan logis dari pengabdian seorang warga negara dalam kedudukannya sebagai pejabat, aparat atau pegawai pemerintah. Sebagai konsekuensinya, para pengelola pemerintahan adalah warga negara yang bersedia hidup sederhana, persis seperti dipertontonkan Bung Hatta. Kedua, pengelolaan pemerintahan merupakan pengejawantahan lebih lanjut adanya pengorbanan (over-sacrifice) seorang warga negara terhadap dunia pemerintahan. Atas dasar ini, warga negara yang terlibat pengelolaan pemerintahan mengutamakan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi. Ketiga, etika yang diberlakukan ke dalam tata kelola pemerintahan dimaksudkan sebagai landasan etis memajukan bangsa.

Jika tiga hal ini gagal diberlakukan sebagai prasyarat substantif, maka implementasi indeks kinerja pemerintahan menjadi model evaluasi yang kosong dari sukma kebangsaan. Maka, wujudkan dulu tiga elan vital baru pengelolaan pemerintahan, sebelum memberlakukan indeks kinerja pemerintahan.
Keuangan Pemerintah Daerah
Menunggu Lonceng Kematian Negara Purba

Oleh Anwari WMK

Pada semester II tahun anggaran 2007, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melakukan audit terhadap 97 Lembaga Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD). Hasilnya, BPK memberikan opini tidak wajar terhadap sembilan LKPD. Apa yang berhasil dikuak BPK adalah ketidakwajaran laporan keuangan pada sembilan LKPD. Opini BPK dalam kategori wajar dengan pengecualian (WDP) diberikan kepada 44 LKPD. Sedangkan terhadap 44 LKPD lainnya BPK tak memberikan opini (disclaimer). Di luar itu semua masih ada enam LKPD yang belum menyerahkan laporan ke BPK, yaitu:

[] 1 LKPD Kabupaten di Provinsi Nangroe Aceh Darussalam (NAD)
[] 1 LKPD Kabupaten di Provinsi Maluku Utara
[] 3 LKPD Kabupaten di Provinsi Papua
[] 1 LKPD Kabupaten di Provinsi papua Barat

Sasaran audit BPK itu sendiri adalah tahun anggaran 2006. Sementara pelaksanaan auditnya berlangsung selama semester II/2007. Temuan signifikan yang penting dicatatan sebagai persoalan adalah:

[] 267 Temuan yang mengindikasikan adanya kerugian negara sebesar Rp 420,1 miliar
[] 158 Temuan yang mengindikasikan kurangnya penerimaan negara hingga mencapai Rp 249,79 miliar
[] 733 Temuan bersifat administratif sebesar Rp 20,12 triliun
[] 193 Temuan berupa pemborosan anggaran sebesar Rp 459,27 miliar
[] 214 Temuan berupa penggunaan anggaran tak sesuai tujuan sebesar Rp 2,10 triliun.

Informasi tentang hal ini termaktub ke dalam pidato sambutan Ketua BPK Anwar Nasution, saat BPK menyerahkan hasil pemeriksaan semester II/2007 kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam sidang paripurna, 10 April 2008. Bagaimana memahami fakta-fakta itu? Anwar Nasution menjawab pertanyaan tersebut. “Dari opini tersebut,” kata guru besar FE-UI itu, “dapat diketahui bahwa masih banyak pemerintah daerah, sekitar 27,8%, yang masih belum tertib dalam pengelolaan dan penyajian atau kewajaran laporan keuangannya.”

Ketika semangat zaman baru yang kini hadir membawa serta desentralisasi politik, pemerintah daerah sepenuhnya mandiri dalam hal pengelolaan bidang keuangan. Bahkan, pengelolaan keuangan oleh pemerintah daerah berpijak pada prinsip “bebas” dan “independen”. Inilah yang secara populer kemudian dikenal sebagai “era otonomi daerah”. Tapi realisme ini sekaligus pertaruhan yang sama sekali tak sederhana. Kemandirian, kebebasan dan independensi pengelolaan keuangan itu justru berada dalam atmosfer perkembangan demokrasi. Itulah mengapa, keleluasaan pemerintahan daerah mengelola keuangan niscaya untuk sungguh-sungguh bertakzim pada segenap kelaziman dalam konteks public finance.

Desentralisasi politik dalam kaitan makna dengan demokrasi justru melahirkan paradigma baru dalam hal menakar keberhasilan pengelolaan bidang keuangan pemerintah daerah. Sebelum datangnya musim semi demokrasi, keuangan pemerintah daerah cenderung tak memiliki tingkat kemanfaatan secara signifikan bagi kehidupan masyarakat lokal. Namun bersamaan dengan hadirnya musim semi demokrasi, keuangan pemerintah daerah harus dikelola berdasarkan imperatif: (1) perbaikan dan peningkatan kualitas pelayanan umum, (2) pencegahan terhadap kemungkinan timbulnya spillovers pada perekonomian masyarakat di tingkat lokal.

Apa yang bisa digarisbawahi dari logika ini bisa disimak pada contoh kasus kerusakan lingkungan akibat tingginya intensitas dan atau akselerasi industrialisasi di beberapa daerah. Jika satu sektor perekonomian beroperasi dengan mencetuskan kerusakan lingkungan, maka bagi sektor perekonomian yang lain kerusakan lingkungan hanya memperbesar beban eksternalitas. Pemerintah daerah harus turun tangan mengatasi masalah ini. Baik adaptasi maupun mitigasi yang disusun mengatasi kerusakan lingkungan itu tercakup ke dalam public finance di bawah pengelolaan pemerintah daerah. Inilah yang disebut David Ricardo (1772-1823) sebagai upaya penanggulangan aksiden melalui efektivitas pemanfaatan public finance.

Berbagai temuan yang mengindikasikan berkecamuknya bad governance dalam tata kelola keuangan pemerintah daerah merupakan bukti betapa negara dalam realitas daerah dikelola berlandaskan cara yang teramat purba. Artinya, negeri ini belum juga modern, sekali pun berlagak sok modern. Pembeberan BPK berkenaan dengan buruknya tata kelola keuangan di jajaran pemerintah daerah jelas bukanlah laporan pertama dan juga bukan yang terakhir. Maka, kita kini tengah menunggu lonceng kematian negara purba di daerah.

Selasa, 15 April 2008

Kejutan dari Pilkada Jawa Barat

Anwari WMK
anwari_wmk@plasa.com

Sebulan sebelum hari pencoblosan pada perhelatan Pilkada Jawa Barat (Minggu, 13 April 2008) untuk memilih salah satu dari tiga pasangan kandidat gubernur dan wakil gubernur periode 2008-2013, maka sekitar 36,8% konstituen sesungguhnya telah menentukan pasangan calon yang bakal mereka coblos di bilik-bilik suara (Kompas, 15 April 2008, hlm, 4). Tetapi, hingga satu bulan sebelum pelaksanaan Pilkada itu, lembaga-lembaga survei tetap memandang remeh pasangan Ahmad Heryawan dan Dede Yusuf (Hade). Bahkan dengan mengemukakan kesimpulan yang konon bertitik tolak dari hasil survei pre-election, pasangan Hade diposisikan sebagai underdog. Dengan gegap gempita lembaga-lembaga survei melontarkan prediksi, bahwa pasangan Hade bakal tumbang dan hanya tampil sebagai penggembira. Prognosa kekalahan pasangan Hade dalam pesta demokrasi memilih gubernur dan wakil gubernur secara langsung untuk pertama kalinya di Jawa Barat itu sedemikian rupa dilansir lembaga-lembaga survei di media-media massa. Tragisnya lagi, media massa menjadi semacam Pak Turut untuk kemudian menyiarkan ramalan lembaga-lembaga survei itu. Pasangan Agum Gumelar-Nu’man Abdul Hakim (Aman) diramalkan bakal memenangi Pilkada Jawa Barat. Sementara pasangan Danny Setiawan-Iwan Ridwan Sulandjana (Dai) diyakini bakal berada pada urutan kedua perolehan suara. Tapi apa yang kemudian terjadi?

Sebagaimana kita tahu, quick count yang dilakukan berbagai lembaga survei sesaat setelah pencoblosan justru menunjukkan kemenangan pasangan Hade. Media massa lalu seperti tersentak menghadapi kenyataan yang tak terpikirkan sebelumnya itu. Ternyata, sang underdog tampil sebagai the winner. Tentang ketersentakan itu, Kompas (14 April 2008, hlm. 1) menulis seperti ini: “Perolehan suara pasangan Heryawan-Dede (Hade) cukup mengejutkan. Sebab, dari prediksi beberapa lembaga penelitian sebelumnya, calon yang didukung Partai keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Amanat Nasional (PAN) ini selalu ditempatkan di urutan terbawah dari ketiga pasangan kandidat. Baik dari segi popularitas maupun pilihan publik, hasil sejumlah survei selama ini menunjukkan peluang pasangan Danny-Iwan maupun Agum-Nu’man lebih unggul dari Heryawan-Dede. Bahkan, berdasarkan hasil analisis peta kekuatan basis massa calon, pasangan Hade ini dinilai paling lemah.”

Dengan mengutip substansi pembicaraan analis politik Indria Samego, Seputar Indonesia edisi sore (14 April 2008, hlm. 1) tampil dengan narasi kalimat seperti ini: “Keunggulan Hade pada penghitungan awal KPU maupun quick count sungguh mengejutkan. Hasil ini benar-benar di luar dugaan karena secara politik dua rivalnya memiliki segalanya. Calon nomor satu, Danny Setiawan merupakan incumbent gubernur, sedangkan calon nomor dua Agum Gumelar merupakan tokoh nasional yang memiliki pengaruh cukup kuat di Jabar. Wakil Agum, Nu’man Abdul Hakim merupakan tokoh NU (Nahdlatul Ulama). Secara hitung-hitungan, Jabar termasuk gudangnya orang NU bukan PKS, seharusnya Agum yang unggul.” Apa yang dapat dijelaskan lebih lanjut membaca kenyataan ini?

Kita kini tengah berhadapan dengan apa yang disebut “kepentingan parokial di balik survei politik”. Sejak Pilkada bergulir di berbagai daerah, maka sejak itu pula mulai muncul lembaga-lembaga survei politik. Celakanya, tidak semua lembaga survei berpegang teguh pada asas obyektivitas serta tak sepenuhnya berupaya menghasilkan kesimpulan yang kredibel. Kenyataan ini dapat dijelaskan sebagai berikut.

Pertama, Pilkada dengan segala kompleksitasnya mencetuskan kesadaran di benak aktor-aktor politik bahwa mengetahui basis konstituen dan peta dukungan secara akurat merupakan keniscayaan. Sementara, tak ada metode yang dipandang tepat untuk mengetahui basis konstituen dan peta dukungan itu selain melalui survei politik. Para pihak yang merasa mampu melakukan polling, melihat kenyataan ini sebagai peluang bisnis dan lalu menawarkan “jasa” kepada para aktor politik yang hendak bertarung dalam Pilkada. Kedua, jajaran pimpinan puncak beberapa partai politik mendasarkan dukungannya pada figur-figur tertentu setelah sang figur dipandang layak menjadi kandidat Pilkada berdasarkan kesimpulan yang ditarik dari hasil-hasil polling. Maka, figur-figur yang berambisi maju dalam pertarungan Pilkada berupaya dengan gigih mendapatkan legitimasi dari hasil polling popularitas oleh sebuah lembaga survei. Demi mendapatkan dukungan dari banyak aspek, hasil polling itulah yang lantas diusung sang kandidat ke jajaran pimpinan puncak partai politik.

Sebagai akibatnya, tak ada jaminan bahwa serangkaian polling memiliki kejelasan metodologis untuk bisa menyibak kenyataan empirik yang sungguh-sungguh terkait erat dengan kemenangan Pilkada. Margin error hingga 6% untuk random sampling 400 orang di suatu kabupaten di Pulau Jawa, misalnya, sangat tak memungkinkan lahirnya prediksi dengan akurasi tinggi. Dengan mempertimbangkan realisme kabupaten dalam spasial Pulau Jawa, margin error itu semestinya 1% untuk random sampling 1.700 orang. Sayangnya, cukup banyak polling di berbagai daerah gegagah menentukan kerangka survei. Maka, Banyak lembaga survei di berbagai daerah tak berani membentangkan temuan-temuannya dalam sebuah forum diskusi terbuka. Survei berkembang menjadi bisnis untuk hanya menyenangkan para pemberi dana. Peta dukungan konstiuen yang konon berhasil dijaring melalui survei, ujung-ujungnya bernuansa ABS (asal bapak senang). Terlebih lagi ketika seorang petulang politik yang hendak maju Pilkada, sangat besar kemungkinannya sang petualang bekerja sama dengan lembaga-lembaga survei untuk memalsukan hasil-hasil polling. Tujuan pokoknya, mendapatkan dukungan dari jajaran pimpinan pusat partai politik.

Inside information yang berhasil digali penulis memperlihatkan fakta bahwa pasangan Hade tak berhubungan dengan satu pun lembaga survei terkemuka yang berbasis di Jakarta. Pasangan Hade tak memberikan “order proyek” pada lembaga-lembaga survei terkemuka. Padahal, lembaga-lembaga survei ini telah sejak lama menjadi rujukan media massa dalam hal meramalkan pemenang-pemenang Pilkada. Dari sini, sebuah teka-teki kemudian mencuat ke permukaan: Apakah lantaran tak berhubungan dengan lembaga survei terkemuka lalu pasangan Hade dieksplisitkan sebagai pasangan underdog, semata sebagai pelengkap demi meramaikan suasana?

Kemenangan pasangan Hade sejatinya terprediksikan sejak sekitar sebulan sebelumnya, dan karena itu bukan kejutan. Lain soal jika polling hanya dimaksudkan menghasilkan kesimpulan ABS, prognosa kemenangan pasangan Hade dianggap sebagai angin lalu. Ini sekaligus peringatan bagi media massa, sudah saatnya untuk tak menerima secara taken for granted proyeksi lembaga-lembaga survei. Ramalan lembaga-lembaga survei harus disimak secara kritis.[]

Kamis, 10 April 2008

Krisis Kepemimpinan Pemerintahan

Anwari WMK
anwari_wmk@plasa.com

Ketika Forum Pembekalan Konsolidasi Pimpinan Daerah digelar di Gedung Lemhanas, Jakarta, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menegur keras seorang kepala daerah yang tertidur. Padahal, kala itu (Selasa, 8 April 2008), Presiden tengah menyampaikan pidato. Seluruh stasiun televisi yang memusatkan penyiarannya di Jakarta serta-merta mengangkat peristiwa ini sebagai sesuatu yang menonjol dalam pemberitaan. Bahkan, beberapa stasiun televisi menyiarkan secara repetitif, sehingga teguran kepala negara kepada seorang kepala daerah itu mendadak sontak berubah menjadi sebuah dramaturgi. Namun sebagian media cetak yang terbit keesokan harinya menyebut peristiwa itu hanyalah sebuah insiden kecil dalam sebuah forum resmi kenegaraan. Tak lebih dan tak kurang. Karena itu, dalam aksentuasi media cetak, insiden kecil itu dengan cepat berlalu bersama angin, alias tidak abadi dalam pelukan waktu.

Hanya saja, pembacaan secara seksama terhadap substansi persoalan yang inherent ke dalam teguran Presiden itu justru kembali mengingatkan kita pada marabahaya besar yang tengah dihadapi bangsa ini dalam kaitan makna dengan krisis kepemimpinan di pemerintahan. Teguran presiden yang terasa menggelegar itu terpatri ke dalam narasi kalimat seperti ini: “Bagaimana memimpin rakyat, kalau di ruangan ini tidur. Dipilih langsung, Saudara. Diajak bicara memajukan rakyat saja tidur. Jangan main-main dengan tanggung jawab.” Kata SBY lagi, “Berdosa jika bersalah kepada rakyat. Malu kepada rakyat kalau kita tidak bisa mengendalikan diri kita. Kepemimpinan berangkat dari diri kita.”

Apa yang bisa dikatakan dari timbulnya insiden kecil itu? Kita tahu, SBY adalah politikus papan atas di negeri ini yang sudah sejak lama dikenal piawai memanfaatkan momentum untuk melakukan pencitraan politik. Karena itu, hingga kini posisinya tak tergoyahkan sebagai tokoh politik paling populer. Bahkan, dalam kancah Pemilu 2009, popularitas SBY masih di atas angin dibandingkan dengan popularitas tokoh-tokoh politik yang lain. Hanya saja, pembacaan secara semiotik terhadap peristiwa di gedung Lemhanas itu memperlihatkan aura secara sangat mencolok, bahwa SBY sesungguhnya tak sedang memanfaatkan momentum untuk melakukan upaya pencitraan. Ia sungguh-sungguh berbicara tentang hakikat kepemimpinan dalam suatu bentuk pengucapan yang seluruhnya merupakan teguran. Kepemimpinan apa? Kepemimpinan dalam pemerintahan, yang memang tengah dilanda krisis.

Sekadar catatan, perhelatan di mana SBY menegur keras seorang kepala daerah itu merupakan Forum Konsolidasi Pimpinan Daerah Angkatan Kedua pada 2008 dan mengusung tema “Ketahanan Daerah dalam Mendukung Ketahanan Nasional dan Pembangunan Nasional”. Dengan melibatkan 86 peserta dari jajaran bupati, walikota dan ketua DPRD kabupaten/kota, forum ini berlangsung dari sejak 4 Maret 2008 hingga 9 April 2008. SBY hadir di forum tersebut dengan disertai oleh beberapa orang menteri, seperti Sekretaris Kabinet Sudi Silalahi, Menteri Sekretaris Negara Hatta Radjasa dan Menteri Pertanian Anton Apriyantono. Hal mendasar yang kemudian penting ditilik lebih jauh adalah menemukan makna hakiki di balik ucapan Presiden SBY dalam aksentuasinya sebagai teguran keras. Tanpa tedeng aling-aling, Analisis Berita kali ini menyatakan salut kepada Presiden SBY. Bahkan tercetus harapan, semoga ucapan Presiden SBY yang bernada keras itu mampu menghardik jajaran pimpinan pemerintahan di daerah.

Watak soft-state Indonesia—meminjam istilah Gunnar Myrdal (1898-1987)—sebagai sebuah negara-bangsa (nation-state) sebagian terbesarnya memang bertali-temali dengan krisis kepemimpinan di pemerintahan. Dari dulu hingga kini, pemerintahan tak pernah kosong dari apa yang disebut “alat kelengkapan”, seperti tersedianya pimpinan dan aparat pelaksana. Hanya saja, human power dengan magnitude yang sangat besar dalam tubuh pemerintahan kontras dengan rendahnya kualitas dan kompetensi. Jika saja tak mengalami krisis kepemimpinan, maka besarnya magnitude human power dalam tubuh pemerintahan itu dapat diarahkan menjadi basis penguatan daya saing bangsa ini berhadapan dengan bangsa lain di dunia. Terlampau banyaknya jumlah kepala daerah yang terseret ke dalam pusaran korupsi—dan lalu terjerembab ke dalam problema hukum—merupakan fakta yang amat telanjang betapa krisis kepemimpinan di pemerintahan berada dalam stadium yang sangat kronis dan patologis.

Manakala kita seksama menyimak segenap teknikalitas rekayasa ke arah tegaknya hegemoni dan dominasi yang sangat kompleks, maka krisis kepemimpinan dalam tubuh pemerintahan merupakan konsekuensi logis dari negasi secara luar biasa dahsyatnya terhadap eksistensi rakyat. Tragisnya, negasi terhadap eksistensi rakyat itu bergemuruh hingga kini, pada era musim semi demokrasi. Bagaimana kelancungan ini dijelaskan dan apa yang niscaya dilakukan demi tuntasnya masalah ini?

Pertama, apa yang terus-menerus ditengarai sebagai “kepemimpinan pemerintah”, tak lain dan tak bukan adalah jejaring super-kompleks yang memiliki kekuatan relasi dengan rakyat. Baik rakyat dalam pengertian individu maupun rakyat dalam pengertian publik takkan sepenuhnya mampu membebaskan diri dari pola-pola relasional yang dikonstruksi oleh pemerintah dengan seluruh jajarannya. Masalahnya, jejaring pemerintahan ini pongah, menekan dan menyudutkan rakyat melalui berbagai macam model komunikasi yang lebih menyerupai penyebaran pengaruh atau propaganda. Rakyat merasakan problema ini tak lama setelah pelaksanaan Pilkada. Apa yang terucapkan sebagai janji selama kampanye Pilkada, tak lebih dan tak kurang hanyalah komunikasi yang mengkamuflase penyebaran pengaruh atau propaganda.

Kedua, antara sadar dan tidak, bangunan relasional pemerintah-rakyat berpijak pada mekanisme political capitalism. Aktor-aktor pemerintah yang diuntungkan dalam relasi ini mengembangbiakkan perilaku korupsi saat mencanangkan agenda pelayanan publik serta mengukuhkan pungli saat berada pada kancah praksis pelayanan publik. Dengan berpijak pada mekanisme political capitalism, para aktor penggerak jejaring pemerintahan terobsesi untuk mengeruk keuntungan secara finansial. Mirip dengan yang diistilahkan Bung Karno sebagai “Kapitalis Birokrat” (Kabir), aktor pemerintahan mengomersialisasi pelayanan publik. Jalinan relasional lalu bergeser menjadi ruang waktu bagi aktor pemerintahan untuk memeras rakyat. Maka, segala bentuk diskursus tentang amanat penderitaan rakyat lalu menjadi sesuatu yang kehilangan pesonanya dalam dinamika kepemimpinan pemerintahan.

Jalan keluar pemecahan masalah ini kembali pada pendidikan kebangsaan. Ini karena, krisis kepemimpinan di pemerintahan merupakan resultante dari timbulnya pendangkalan kesadaran (brain shortage) kebangsaan. Ditimpali oleh problema pragmatisme dan hedonisme, jangan heran jika sang pemimpin pemerintahan tertidur saat berada di tengah forum yang tengah membincangkan nasib rakyat. Maka, sekali lagi, salut buat SBY. Salut.[]

Selasa, 08 April 2008

Nasionalisme sebagai Modal Sosial
Mengapa Pergeseran Besar Dikelola Figur Berpikiran Kerdil?

Oleh Anwari WMK

Nasionalisme merupakan gejala modern. Pada mulanya, ia muncul sebagai reaksi terhadap ketercabikan negara bangsa (nation-state). Sementara, ketercabikan negara-bangsa itu mengambil titik tolak dari banyak aspek dan dimensi. Nasionalisme lalu tampil ke depan sebagai suatu bentuk cara pandang yang dianggap relevan demi mengatasi ancaman dan terapi ketercabikan negara bangsa. Di samping karena bersimaharajalelanya imperialisme dan kolonialisme, nasionalisme di negara-negara berkembang distimuli kehadirannya oleh keterpecahan wilayah, sistem politik dan compang-campingnya sistem ekonomi. Pada fase selanjutnya, nasionalisme dibutuhkan untuk mengatasi keterbelahan dan keterpecahan kultural. Bangsa yang terancam kehilangan jati dirinya lantaran terseret ke dalam kancah pergumulan ekonomi dan industri antar-bangsa khas abad XXI, misalnya, niscaya membutuhkan nasionalisme.

Manakala bertakzim pada kategori historisitas, nasionalisme bersemanyam ke dalam dinamika Eropa abad XVIII. Dari Benua Eropa itu, nasionalisme sebagai sistem kesadaran menyebar ke berbagai penjuru dunia. Nasionalisme lalu menelusup masuk ke dalam ranah kesadaran universal umat manusia. Terutama pada abad XIX, terjadi penyebarluasan secara eksesif akan hakikat, logika dan makna nasionalisme. Abad XIX, tak bisa tidak, ditengarai sebagai “abad nasionalisme”. Berdasarkan kategori historisitas inilah nasionalisme dengan mudahnya diturunkan derajatnya untuk sekadar dimengerti sebagai kesadaran purba pada setting abad XXI kini. Hanya saja, benarkah nasionalisme merupakan agenda lama kemanusiaan universal?

Berbagai problema pada ranah negara dan masyarakat di Indonesia kini mulai dicari kaitannya dengan nasionalisme. Ini, tentu saja, mengingatkan kita pada sesuatu yang memilukan tentang pasang surut kesadaran akan nasionalisme. Ketika baru saja mengumandangkan kemerdekaannya, nasionalisme sedemikian rupa mengemuka di Indonesia sebagai basis terbentuknya apa yang oleh Bung Karno dibahasakan sebagai nation and character building. Masalahnya, hipokritas yang mengharu-biru kekuasaan politik di kelak kemudian hari, justru membuat nyinyir segenap pembicaraan tentang nasionalisme. Bagaimana mungkin nasionalisme dibicarakan oleh rezim-rezim kekuasaan, sementara bangunan rezim kekuasaan itu sendiri berlandaskan pada nepotisme, kolusi dan korupsi. Pidato elite-elite politik tentang kecintaan terhadap bangsa, lalu tak lebih hanyalah pembicaraan yang kehilangan sukma kesejatian nasionalisme.

Dalam perubahan-perubahan besar yang bergulir sejak era pasca-Orde Baru, kita menyaksikan betapa politik dan perekonomian bangsa ini berevolusi menjadi ajang berlangsungnya aksi-reaksi secara sangat telanjang. Politik dan perekonomian bangsa ini semakin terperosok jauh ke “lembah hitam” vested interest. Politik semakin kelam dipenuhi oleh para monster pemburu kekuasaan, ekonomi kian dideterminasi oleh terlampau banyaknya “mahluk” pemburu rente (rent-seekers). Maka, patronase dan primordialisme kian menemukan dataran pijak dalam kancah politik. Sementara pada lapangan ekonomi, political capitalism kian memperteguh gejala kapitalisme semu. Politik dan ekonomi lalu mengkristal sebagai realisme yang memuakkan. Pergeseran-pergeseran besar pada era pasca-Orde Baru, tragisnya, dikelola oleh figur-figur berpikiran kerdil. The great transformation, apa boleh buat, tak dibarengi oleh munculnya the great transformers.

Situasi inilah yang mendorong ke depan nasionalisme menjadi sebuah cara pandang yang kian relevan. Bahkan, nasionalisme mulai ditafsirkan sebagai modal sosial yang sangat penting bagi bangsa ini. Pluralisme dan solidaritas sosial merupakan sesuatu yang azali bergerak di bawah sadar bangsa Indonesia. Bahkan, kesejatian manusia Indonesia dikait-hubungkan dengan pluralisme dan solidaritas sosial itu. Sayangnya, aksi-reaksi dalam kancah politik dan perekonomian kontemporer meluluh-lantakkan spirit pluralisme dan solidaritas sosial itu. Dengan itikad untuk tak melakukan tipu daya terhadap masyarakat, peneguhan kembali nasionalisme merupakan salah satu jalan keluar yang paling relevan mengatasi tergerusnya spirit pluralisme dan solidaritas sosial. Pada titik inilah nasionalisme benar-benar berfungsi sebagai modal sosial.[]
Intervensi Negara dalam Perekonomian
Keniscayaan Baru Mengubah Format Kapitalisme

Oleh Anwari WMK

Dalam situasi kian terang benderangnya resesi ekonomi global, muncul himbauan dari Dana Moneter Internasional (IMF) agar negara melakukan intervensi terhadap perekonomian masyarakat. Bahkan, untuk situasi serba tak menentu kini, intervensi negara itu digambarkan dengan kalimat “sangat penting untuk publik”. IMF menyajikan suatu gambaran, Amerika Serikat kini benar-benar tengah memasuki fase resesi ekonomi. Pada dua kuartal pertama 2008, tak bisa tidak, perekonomian Amerika Serikat terbentur masalah rumit pertumbuhan negatif. Bahkan, IMF telah menganulir proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia menjadi 4,1%. Tak ada jalan keluar yang dianggap logis mengatasi semua perkara ini, selain kembali pada intervensi negara terhadap perekonomian masyarakat.

Setali tiga uang dengan kengerian yang dilansir IMF, Bank Pembangunan Asia (ADB) berbicara tentang perjalanan ke depan yang suram. Pertumbuhan ekonomi Asia selama 2008, menurut ADB, berada dalam kisaran 7,6%. Ini bukan prestasi yang cukup bagus bila dibandingkan dengan prognasa ekonomi 2009. Pada 2009, pertumbuhan ekonomi Asia diperkirakan mencapai 7,8%. Dengan demikian, situasi 2008 tidak lebih baik dibandingkan dengan 2009. Pertanyaannya kritikalnya kemudian, bagaimana memahami hakikat intervensi negara dalam perekonomian masyarakat itu? Apa yang sejatinya dilakukan negara?

Baik IMF maupun ADB, ternyata, sama-sama menggunakan cara pandang yang bersifat generik saat berbicara tentang perlunya intervensi negara dalam perekonomian masyarakat. Dua lembaga supra-negara ini hanya melihat realitas yang berkecamuk dalam perekonomian Negeri Paman Sam sebagai ontologi persoalan yang bermuara pada lahirnya tesis pentingnya intervensi negara. Alasan atau argumentasi lain tak ikut serta dipertimbangkan sebagai latar belakang. Bagaimana semua ini dijelaskan?

Pertama, dunia kini tengah berhadapan dengan dua persoalan kembar, yaitu krisis energi dan krisis pangan. Sebab paling fundamental timbulnya persoalan kembar ini adalah terjadinya pergeseran dalam bisnis spekulatif. Akibat tak adanya pengaturan secara prudent sejak dekade 1980-an, maka pasar uang dan pasar modal di Amerika Serikat mengalami kekacauan. Kaum spekulan penggerak speculative capitalism lalu mengalihkan fokus perhatiannya. Spekulasi yang semula tertuju pada surat-surat saham, beralih ke komoditas. Maka, minyak bumi dan pangan di pasar global, simsalabim, disulap untuk berubah status menjadi komoditas yang dipertaruhkan dalam ajang bisnis spekulasi global.

Kedua, masyarakat pada banyak negara di dunia diperhadapkan dengan tantangan besar pengelolaan energi dan pangan. Harga minyak bumi, misalnya, hampir mustahil kini berada pada kisaran di bawah US$ 95 per barrel. Bahkan, kecenderungannya, harga minyak bumi itu bertengger pada angka di atas US$ 100 per barrel. Sementara, beras, jagung, kedelai dan terigu merupakan komoditas pangan yang mengalami kenaikan harga di pasar dunia seiring dengan kenaikan harga minyak di pasar dunia. Maka, cilaka dua belas jika ternyata suatu negara bergantung pada impor minyak dan pangan untuk dapat mempertahankan eksistensinya.

Bagaimana jalan keluarnya? Intevensi negara takkan sepenuhnya mampu mengatasi aneka perkara yang dikemukakan di atas. Apalagi jika berada di bawah hegemoni kaum koruptor, maka intervensi negara malah memporak-porandakan perekonomian masyarakat. Hal mendasar yang dibutuhkan kini adalah perubahan format kapitalisme. Kapitalisme spekulatif (speculative capitalism) kini sama tidak relevannya dengan kapitalisme tradisional (traditional capitalism) dan kapitalisme politikal (political capitalism). Peradaban global kini membutuhkan kapitalisme rasional (rational capitalism). Persis seperti pernah dinubuahkan Max Weber (1864-1920), rational capitalism ini bertakzim dan menjujung tinggi etika sosial. Dunia kini butuh rational capitalism. Sesuatu yang tak disinggung oleh IMF dan ADB. Sayang.[]
Peradaban Islam di Indonesia
Menimang Sumbangan Besar Buya Hamka

Oleh Anwari WMK

Peringatan 100 Tahun Buya Hamka, mencetuskan kesadaran baru betapa sesungguhnya Hamka telah memberi kontribusi besar ke arah tegaknya peradaban Islam di Indonesia. Tokoh dengan nama lengkap Haji Abdul Malik Karim Amrullah itu merupakan sosok ulama yang pemikiran dan jejak langkahnya diikuti orang hingga kini. Buya Hamka adalah sebuah nama yang mengobsesikan agar Islam kongruwen dengan kehidupan modern. Lihat institusi-institusi pendidikan warisan Hamka dengan label “Al Azhar”, merupakan salah satu center of excellence keilmuan di Tanah Air.

Hamka lahir di Luhak Agam, Sumatera Barat, 16 Februari 1908 dan wafat di Jakarta pada 24 Juli 1981. Peringatan 100 Tahun Hamka kini justru diekspresikan sebagai suatu bentuk otokritik terhadap eksistensi ulama dan pemimpin umat di masa kini. Pemikiran dan kiprah Hamka berada dalam spektrum luas, yakni Islam dalam berbagai aspek dan dimensinya. Keberislaman Hamka tak cuma sebatas akidah dan syariah. Pada seorang Hamka bersemayam spirit Islam untuk tegaknya peradaban, kebudayaan, kemanusian dan ilmu pengetahuan. Puluhan buku karya Hamka, membuktikan besarnya perhatian Hamka pada Islam dalam berbagai aspeknya. Maka, cara pandang parsial-partikular dalam memahami Islam merupakan sasaran otokritik dari Peringatan 100 Tahun Buya Hamka.

Tak pelak lagi, Tafsir Al Azhar merupakan karya fundamental yang lahir dari tangan seorang Buya Hamka. Karya ini mampu mendekatkan kaum awam pada keharibaan Islam sebagai sistem ajaran yang hanif. Bagi kalangan ulama, Tafsir Al Azhar mampu menyuguhkan wawasan sosial yang sangat kongret. Dua ranah cakupan Tafsir Al Azhar ini pada akhirnya mendekatkan Islam pada dataran realitas. Dengan kata lain, Tafsir Al Azhar telah menyentuh aspek yang sangat fundamental dalam kehidupan umat Islam di Indonesia, yakni humanisme transendental. Bagaimana Hamka mampu melahirkan sebuah karya semacam itu?

Hamka adalah tokoh yang mampu mengatasi paradoks-paradoks. Buya Hamka tak hanya berbicara tentang kebajikan melalui karya tulis, tetapi juga mengusung nilai-nilai kebajikan ke dalam sikap hidupnya yang lurus. Di masa hidupnya, ia bukan saja dikenal sebagai ulama berilmu tinggi, tetapi sekaligus dikenal luas sebagai figur yang kokoh memegang prinsip, dan karena itu pantang surut menghadapi risiko. Di masa Orde Lama, misalnya, ia dijebloskan ke penjara sebagai tahanan politik. Di masa Orde Baru, ia mundur sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) lantaran bersilang pendapat dengan pemerintah Soeharto.

Antara sikap hidup yang lurus dan lahirnya karya-karya, ternyata saling sambung-menyambung pada diri Hamka. Ia tak sedang terjebak ke dalam tautologi tatkala melahirkan karya-karya. Justru, karya-karya Hamka merefleksikan sikap hidupnya yang lurus. Maka, dengan sendirinya, Hamka terhindar dari paradoks-paradoks. Kenyataan inilah yang kemudian mengondisikan Hamka mampu memberi kontribusi besar ke arah tegaknya peradaban Islam di Indonesia.

Paradoks, berada dalam wilayah yang sangat sublimatif. Banyak tokoh agama mendedahkan dirinya di ruang publik sebagai manusia the chosen ke arah tegaknya moralitas. Tetapi, suara moral yang dikumandangkan tak lebih hanyalah teknikalitas demi meraih simpati berjuta-juta umat. Suara moral yang dikumandangkan, tak lebih hanyalah “komoditas” dan karena itu tak memiliki sukma keikhlasan otentik. Dari sini pula, tak terelakkan timbulnya politisasi agama untuk tujuan hegemoni kekuasaan dalam negara.

Dalam diri seorang Hamka, tak ada paradoks-paradoks semacam itu. Jangan heran jika kemudian ia dinobatkan sebagai ulama yang menyumbang pada tegaknya peradaban Islam di Indonesia.[]
Pertahanan Nasional Suatu Bangsa
Agenda Pengembangan Penelitian, Pemikiran dan Strategi

Oleh Anwari WMK

Sampai kapan pun, sebuah bangsa tak mungkin mengabaikan pertahanan nasionalnya. Eksistensi jangka panjang sebuah bangsa justru ikut ditentukan oleh kuat lemahnya pertahanan nasional. Maka, berbagai upaya terobosan harus terus dilakukan demi terwujudnya sistem pertahanan nasional yang hakiki, untuk tujuan pokok penyelamatan bangsa dari kehancuran. Hanya saja, dari sekian banyak hal yang tercakup ke dalam pertahanan nasional, apa yang niscaya dilakukan Indonesia?

Departemen Pertahanan RI mencoba memberi jawab terhadap pertanyaan ini melalui rencana berdirinya apa yang disebut “Universitas Pertahanan Nasional” (UPN). Peresmian berdirinya UPN itu diharapkan bersamaan waktu dengan Hari Kemerdekaan ke-63 Republik Indonesia, 17 Agustus 2008. Mengapa dipandang relevan berdirinya sebuah universitas yang fokus pada pengajaran bidang national defence?

Dengan wilayah yang sangat luas, Indonesia ternyata bukanlah sebuah negara yang mumpuni dalam hal pertahanan. Berbagai kajian tentang persoalan ini bermuara pada kesimpulan, bahwa Indonesia: (1) belum memiliki strategi pemukul, dan (2) belum memiliki diplomasi pertahanan. Terapi atas kelemahan ini, antara lain, terkait erat dengan adanya institusi pendidikan dan penelitian strategis setingkat universitas. Bukan saja institusi semacam ini menggodok secara intens isu-isu pertahanan, lebih dari malahirkan pemikir-pemikir berwibawa dalam bidang pertahanan.

Jelas, rencana pendirian UPN itu bukanlah sesutau yang otentik. Ini karena, 47 negara di dunia telah memiliki universitas khusus semacam itu. Singapura (sejak 2005) dan Malaysia (sejak 2007) merupakan dua negara terdekat Indonesia yang telah memiliki UPN. Bahkan, di Amerika Serikat dikembangkan lima program studi National Defence University of United State of America. Namun, fakta bahwa gagasan pendidirin UPN di Indonesia itu bukan sesuatu yang otentik, semuanya harus dimengeti ke dalam konteks pencarian model pertahanan nasional yang dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip obyektivitas khas pendidikan tinggi.

Penting dicatat, bahwa tiga perguruan tinggi terkemuka di Indonesia telah mendirikan studi pertahanan untuk tingkat strata dua (S-2). Perguruan tinggi dimaksud mencakup Universitas Gadjah Mada (UGM) di Yogyakarta, Universitas Indonesia (UI) di Jakarta, dan Institut Teknologi Bandung (ITB) di Bandung. Dengan demikian berarti, pendirian UPN dapat mengambil titik tolak dari pengalaman riset dan pengajaran pada tiga perguruan tinggi tersebut. Dengan demikian pula, ancangan berdirinya UPN harus mempertimbangkan beberapa hal mendasar berikut ini.

Pertama, harus timbul kesadaran dari sejak awal bahwa pertaruhan besar yang mengringi berdirinya UPN terutama terkait erat dengan kejelasan kurikulum. Sesuai dengan tujuannya, kurikulum dalam UPN sungguh-sungguh dimaksudkan untuk melahirkan pemikir, analis dan atau peneliti yang pilih tanding dalam bidang pertahanan. Maka, UPN harus mampu menyingkirkan kecenderungan feodalistik, di mana mengenyam pendidikan universitas hanya untuk mengejar target mendapatkan gelar kesarjanaan.

Kedua, pola pengajaran dan format penelitian yang dikembangkan di UPN harus dengan seksama mempertimbangkan hakikat pertahanan yang multidimensional. Kita tahu, pertahanan pada abad XXI kini tak terbatas hanya dalam bidang militer. Pertahanan telah menyentuh begitu banyak aspek, dari sejak militer, ekonomi hingga bidang sosial budaya. Maka, tantangannya, UPN tidak saja harus mampu melahirkan pemikir-pemikir yang canggih dalam bidang pertahanan, tetapi juga melahirkan pemikiran yang mampu menyimak segala problematika secara holistik menyeluruh.

Dengan dua imperatif itu, tak mungkin pendirian UPN hanya diperlakukan secara sangat sempat semata sebagai proyek. Pendirian institusi ini merupakan panggilan kebangsaan.[]

Senin, 07 April 2008

Memahami Kehendak Gus Dur

Anwari WMK
anwari_wmk@plasa.com

Kemelut dalam tubuh Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), akhirnya, berada dalam fase yang kian rumit setelah Muhaimin Iskandar mengumandangkan perlawanan terhadap Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Muhaimin Iskandar adalah Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PKB. Sedangkan Gus Dur, Ketua Dewan Syuro PKB. Gus Dur yang menghendaki Muhaimin mundur dari posisi Ketua Umum DPP PKB justru mendapatkan respons bernuansa konfliktual. Muhaimin menolak permintaan mundur itu. “Setelah melakukan perenungan yang mendalam”, begitu ucap Muhaimin, “saya temukan, permintaan pengunduran diri saya tidak tepat dan tak sesuai. Saya tidak akan mengundurkan diri. Saya tetap sebagai ketua umum hingga 2010” (Media Indonesia, 5 April 2008, hlm. 2). Maka, tak bisa tidak, genderang perang Gus Dur versus Muhaimin—atau paman melawan keponakan—benar-benar telah ditabuh. Di hadapan pendukungnya, dengan gegap gempita Muhaimin menyatakan penolakan permintaan agar dirinya mudur sebagai Ketua Umum DPP PKB.

Konflik Gus Dur versus Muhaimin, sebagaimana diketahui, bermula dari rapat pleno gabungan antara DPP PKB dan Dewan Syuro, pada Rabu tengah malam, 26 Maret 2008. Seakan di luar skenario setelah membicarakan berbagai hal, dalam rapat pleno itu lalu terlontar permintaan agar Muhaimin mengundurkan diri. Spekulasi yang bergulir di kalangan media massa menegaskan satu hal, bahwa Gus Dur sendiri yang melontarkan keniscayaan dalam rapat pleno itu agar Muhaimin mundur dari posisi Ketua Umum DPP PKB. Dua alasan yang dikemukakan bersangkut paut dengan negasi terhadap keberadaan Gus Dur di PKB. Pertama, Muhaimin dinilai ambisius untuk tampil sebagai calon wakil presiden dari PKB dalam Pilpres 2009. Padahal, Gus Dur telah menetapkan rencana untuk tampil sebagai kandidat presiden dalam Pemilu 2009. Logikanya, tak boleh ada calon wakil presiden dari PKB, mengingat PKB telah lebih dulu menetapkan Gus Dur sebagai calon presiden. Kedua, muncul rumor politik, bahwa Muhaimin tengah melakukan manuver untuk menggusur Gus Dur dari posisi Ketua Dewan Syuro PKB. Seperti kemudian terekspresikan ke dalam pemberitaan media massa, Muhaimin digambarkan telah datang ke banyak daerah untuk memperkukuh dukungan para kiai demi menggusur Gus Dur sebagai Ketua Dewan Syuro.

Dua hal inilah yang menjadi latar belakang paling penting munculnya tiga opsi dalam rapat pleno 26 Maret 2008, yaitu: (1) Muhaimin mundur dari posisi Ketua Umum DPP PKB, (2) Muhaimin dipecat sebagai Ketua Umum DPP PKB, dan (3) menyelenggarakan Muktamar Luar Biasa (MLB) untuk mengganti Muhaimin. Voting tertutub yang melibatkan 30 orang peserta rapat pleno kemudian menghasilkan 20 suara mengharuskan Muhaimin mundur sebagai Ketua Umum DPP PKB, 8 suara menghendaki MLB dan 2 suara abstain. Dengan demikian, mayoritas peserta pada rapat pleno menghendaki Muhaimin legowo meninggalkan kursi Ketua Umum DPP PKB.Tentu saja, Muhaimin membantah semua tudingan itu. Celakanya, Gus Dur telanjur percaya pada informasi tentang rivalitas yang tengah dikobarkan Muhaimin Iskandar. Pernyataan pers Gus Dur yang terlontar pada pasca-rapat pleno 26 Maret 2008 justru merupakan penegasan secara repetitif agar Muhaimin benar-benar mundur dari posisi Ketua Umum DPP PKB. Kalau tidak, ia akan dimundurkan paksa. Realisme inilah yang kemudian memancing timbulnya berbagai komentar di seputar personalisasi PKB ke dalam diri seorang Gus Dur. Editorial media massa pun lalu terkesan berpihak pada Muhaimin.

Melalui editorialnya edisi 31 Maret 2008 berjudul “Mendinginkan PKB”, Seputar Indonesia bahkan terkesan mengedepankan sebuah appeal politik demi membela Muhaimin yang “teraniaya”. Terlebih dahulu, surat kabar ini berbicara tentang posisi PKB dalam percaturan politik Indonesia kontemporer. Hampir tak ada partai yang meremehkan kekuatan dan pengaruh PKB untuk keperluan kompetisi politik seperti halnya Pilkada langsung. Itulah mengapa, ada keniscayaan agar PKB mampu mempertahankan kebesarannya. Caranya, rawat soliditas di tingkat internal. Idealitas ini, ternyata, bertubrukan dengan realitas PKB yang terpilin dari konflik ke konflik. Secara sangat mencolok, energi PKB terkuras untuk meredam konflik-konflik internal. Paradoks yang lantas terkuak ialah, di satu sisi, Gus Dur merupakan kekuatan dalam tubuh PKB. Tapi di lain sisi, terlampau seringnya konflik justru mengharuskan PKB tumbuh dewasa tanpa bergantung pada sosok Gus Dur.

Dengan aura untuk memberikan appeal politik kepada Muhaimin Iskandar, editorial Seputar Indonesia lalu menampilkan narasi kalimat seperti ini. “Sebenarnya akan lebih tepat bila konsentrasi PKB saat ini memantapkan kader-kader muda dalam berpolitik agar bisa lebih matang, luwes, arif dan penuh strategi. Kita percaya, percaturan politik menuju 2009 lebih sulit dan kompleks, sehingga memerlukan kader-kader PKB yang piawai dalam memahami pertarungan politik yang sangat keras.” Editorial Seputar Indonesia juga menampilkan narasi seperti ini: “Mengapa Muhaimin (yang memiliki hubungan historis cukup dekat dengan Gus Dur dan dikenal sebagai kader muda yang santun) harus disingkirkan dari lingkaran inti PKB. Seharusnya Muhaimin yang justru dijadikan sebagai salah satu kekuatan yang bisa diajak membangun partai menjadi lebih besar.”

Pada pelataran lain, konflik internal PKB telah ditafsirkan secara luas sebagai persoalan yang bakal merembes ke parlemen. Di samping menjabat Ketua Umum DPP PKB, Muhaimin Iskandar juga Wakil Ketua DPR-RI. Jika posisinya di PKB digugat, muncul pertanyaan besar: Mungkinkah perkara ini berdampak ke parlemen melalui pencopotan Muhaimin sebagai Wakil Ketua DPR. Kegundahan akan hal ini tercermin secara sangat kuat ke dalam editorial Media Indonesia (5 April 2008) bertajuk “Konflik Partai Vs Fraksi”. Jika melibatkan elite tertinggi partai, konflik pun berkembang kian rumit menjadi masalah institusi. Dalam bahasa Media Indonesia, “Fraksi terbelah dalam keping-keping seirama dengan polarisasi yang ada di partai.” Langsung maupun tak langsung, substansi editorial ini memberikan sokongan moral kepada Muhaimin Iskandar. Hanya saja, bagaimana kisruh di PKB itu dimengerti hakikatnya?

Sulit dibantah kenyataan, PKB sesungguhnya milik Gus Dur. Setting maupun pergumulan politik PKB ke depan, sepenuhnya dideterminasi oleh apa kata Gus Dur. Pada lingkungan DPP PKB berlaku aksioma, bahwa penentangan terhadap kehendak Gus Dur sama dan sebangun maknanya dengan penentangan terhadap PKB. Mengingat PKB diperlakukan sebagaimana layaknya perusahaan keluarga, sesungguhnya tak relevan berbicara tentang pembangunan sistem dan kecanggihan manajemen dalam tubuh PKB. Benar seperti dikatakan analis politik Fachri Ali, PKB hanya membutuhkan kader yang sejalan dengan Gus Dur. Sebagai imbangannya, kader semacam itu bakal mendapatkan ketenaran dan nama besar di jagat politik. Menjadi kader PKB adalah memahami kehendak Gus Dur. Gitu aja kok repot.[]