Rabu, 16 April 2008

Makrifat Penegakan Hukum
Penegakan Hukum tanpa Pendidikan Hukum hanya Melahirkan Pemerasan Aparat terhadap Warga Negara

Oleh Anwari WMK

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengemukakan sebuah distingsi, bahwa “pendidikan hukum” merupakan satu hal dan “tegaknya hukum” merupakan hal lain. Hubungan di antara keduanya berpijak pada aksioma: “pendidikan hukum” menjadi prasyarat bagi “tegaknya hukum”. Pentingnya aspek pendidikan hukum mendahului aspek penegakan hukum. Dengan kata lain, tak mungkin bangsa ini berbicara tentang penegakan hukum di tengah compang-campingnya pendidikan hukum.

SBY mengemukakan ilustrasi menarik tentang hal ini. Jika warga negara melakukan korupsi karena tidak tahu, aparat penegak hukum turut mempunyai andil terhadap terjadinya korupsi itu. Situasi buruk menjadi superlatif buruk manakala aparat penegak hukum menjebak warga yang tak paham hukum untuk kemudian dijerumuskan sebagai pesakitan dalam bidang hukum. Jika pendidikan hukum berjalan, Indonesia akan tenteram karena tidak akan ada korupsi, pelanggaran dan kejahatan.

Dengan demikian, pendidikan hukum mutlak diperkuat sebagai fundamen tegaknya hukum. Inilah makrifat penegakan hukum dalam perspektif Presiden SBY. Perspektif inilah yang diartikulasikan Sang Presiden dalam acara pembukaan Konvensi Hukum Nasional di Istana Negara, Jakarta, pada medio April 2008. Pertanyannya, mungkinkah perspektif ini diberlakukan sebagai terobosan demi mengatasi kebekuan dan sekaligus kebuntuan hukum di Indonesia? Bukankah di Indonesia terjadi diskoneksi secara sangat serius antara pendidikan hukum dan penegakan hukum?

Contoh kongkret terjadinya diskoneksi antara pendidikan hukum dan penegakan hukum muncul di jalan-jalan raya. Cukup jamak pelanggaran berlalu lintas disebabkan oleh ketidakpahaman para pengguna jalan raya. Polisi, ternyata, tak mau tahu akan kenyataan ini. “Ketidakpahaman” diposisikan ke dalam setting sama dan sebangun dengan pelanggaran. Penegakan hukum lalu lebih dikedepankan ketimbang pendidikan hukum. Penegak hukum, dengan sendirinya, cenderung untuk hanya berpijak pada pendekatan positivistik. Pelanggaran semata dimengerti sebagai pelanggaran. Secara demikian, tak ada upaya menilik eksistensi para pelanggar hukum dari sisi kemanusiaannya. “Hukum untuk siapa?” lantas mencuat sebagai pertanyaan kritikal.

Apa yang substansial digarisbawai dari perspektif Presiden itu sesungguhnya adalah mendesaknya upaya-upaya preventif agar jangan timbul pelanggaran. Pada satu sisi, realitas hidup kolektif mustahil sepenuhnya steril dari aneka kesalahan orang per orang. Pada lain sisi, dalam realitas hidup kolektif hukum hadir demi menjamin terciptanya harmoni dan kesinambungan hidup umat manusia. Sejalan dengan tabiat manusia sebagai mahluk yang memiliki akal budi, maka setiap kesalahan masuk ke ruang-ruang kesadaran untuk disesali. Maka, tak setiap kesalahan berarti by designed. Begitu banyak kesalahan yang bercorak by accident. Itulah mengapa, penegakan hukum harus bijak melihat kesalahan hingga pada hakikatnya yang paling mendasar. Generalisasi persoalan untuk semua kasus hukum merupakan penistaan terhadap kemanusiaan.

Penegakan hukum pada era demokrasi kini sesungguhnya jauh dari harapan yang termaktub dalam perspektif Presiden SBY itu. Ini karena unsur politik ikut mempengaruhi [dan sekaligus mendistorsi] penegakan hukum. Apa yang dewasa ini ditengarai sebagai “tebang pilih pemberantasan korupsi”, merupakan fakta yang sangat telanjang berkenaan dengan ketidakjelasan makrifat penegakan hukum. Bukan saja sistem hukum nasional tak transparan, lebih dari itu hukum diberlakukan secara diskriminatif. Bagaimana jika ketidakjelasan makrifat penegakan hukum itu ditimpali oleh kehadiran polisi korup, hakim korup dan jaksa korup?

Jawabnya, terjadi kepincangan secara luar biasa dahsyatnya pada area kekuasan yudikatif. Inilah tragedi, lantaran pendidikan hukum tak hadir mengimbangi penegakan hukum. Celakanya, ini membuka ruang secara sangat luas, bahwa aparat penegak hukum dengan mudahnya bermetamorfosis menjadi pemeras terhadap warga negara yang berurusan dengan perkara hukum. Apa boleh buat, penegakan hukum benar-benar terbentur jalan buntu.

Tidak ada komentar: