Selasa, 08 April 2008

Peradaban Islam di Indonesia
Menimang Sumbangan Besar Buya Hamka

Oleh Anwari WMK

Peringatan 100 Tahun Buya Hamka, mencetuskan kesadaran baru betapa sesungguhnya Hamka telah memberi kontribusi besar ke arah tegaknya peradaban Islam di Indonesia. Tokoh dengan nama lengkap Haji Abdul Malik Karim Amrullah itu merupakan sosok ulama yang pemikiran dan jejak langkahnya diikuti orang hingga kini. Buya Hamka adalah sebuah nama yang mengobsesikan agar Islam kongruwen dengan kehidupan modern. Lihat institusi-institusi pendidikan warisan Hamka dengan label “Al Azhar”, merupakan salah satu center of excellence keilmuan di Tanah Air.

Hamka lahir di Luhak Agam, Sumatera Barat, 16 Februari 1908 dan wafat di Jakarta pada 24 Juli 1981. Peringatan 100 Tahun Hamka kini justru diekspresikan sebagai suatu bentuk otokritik terhadap eksistensi ulama dan pemimpin umat di masa kini. Pemikiran dan kiprah Hamka berada dalam spektrum luas, yakni Islam dalam berbagai aspek dan dimensinya. Keberislaman Hamka tak cuma sebatas akidah dan syariah. Pada seorang Hamka bersemayam spirit Islam untuk tegaknya peradaban, kebudayaan, kemanusian dan ilmu pengetahuan. Puluhan buku karya Hamka, membuktikan besarnya perhatian Hamka pada Islam dalam berbagai aspeknya. Maka, cara pandang parsial-partikular dalam memahami Islam merupakan sasaran otokritik dari Peringatan 100 Tahun Buya Hamka.

Tak pelak lagi, Tafsir Al Azhar merupakan karya fundamental yang lahir dari tangan seorang Buya Hamka. Karya ini mampu mendekatkan kaum awam pada keharibaan Islam sebagai sistem ajaran yang hanif. Bagi kalangan ulama, Tafsir Al Azhar mampu menyuguhkan wawasan sosial yang sangat kongret. Dua ranah cakupan Tafsir Al Azhar ini pada akhirnya mendekatkan Islam pada dataran realitas. Dengan kata lain, Tafsir Al Azhar telah menyentuh aspek yang sangat fundamental dalam kehidupan umat Islam di Indonesia, yakni humanisme transendental. Bagaimana Hamka mampu melahirkan sebuah karya semacam itu?

Hamka adalah tokoh yang mampu mengatasi paradoks-paradoks. Buya Hamka tak hanya berbicara tentang kebajikan melalui karya tulis, tetapi juga mengusung nilai-nilai kebajikan ke dalam sikap hidupnya yang lurus. Di masa hidupnya, ia bukan saja dikenal sebagai ulama berilmu tinggi, tetapi sekaligus dikenal luas sebagai figur yang kokoh memegang prinsip, dan karena itu pantang surut menghadapi risiko. Di masa Orde Lama, misalnya, ia dijebloskan ke penjara sebagai tahanan politik. Di masa Orde Baru, ia mundur sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) lantaran bersilang pendapat dengan pemerintah Soeharto.

Antara sikap hidup yang lurus dan lahirnya karya-karya, ternyata saling sambung-menyambung pada diri Hamka. Ia tak sedang terjebak ke dalam tautologi tatkala melahirkan karya-karya. Justru, karya-karya Hamka merefleksikan sikap hidupnya yang lurus. Maka, dengan sendirinya, Hamka terhindar dari paradoks-paradoks. Kenyataan inilah yang kemudian mengondisikan Hamka mampu memberi kontribusi besar ke arah tegaknya peradaban Islam di Indonesia.

Paradoks, berada dalam wilayah yang sangat sublimatif. Banyak tokoh agama mendedahkan dirinya di ruang publik sebagai manusia the chosen ke arah tegaknya moralitas. Tetapi, suara moral yang dikumandangkan tak lebih hanyalah teknikalitas demi meraih simpati berjuta-juta umat. Suara moral yang dikumandangkan, tak lebih hanyalah “komoditas” dan karena itu tak memiliki sukma keikhlasan otentik. Dari sini pula, tak terelakkan timbulnya politisasi agama untuk tujuan hegemoni kekuasaan dalam negara.

Dalam diri seorang Hamka, tak ada paradoks-paradoks semacam itu. Jangan heran jika kemudian ia dinobatkan sebagai ulama yang menyumbang pada tegaknya peradaban Islam di Indonesia.[]

Tidak ada komentar: