Kamis, 10 April 2008

Krisis Kepemimpinan Pemerintahan

Anwari WMK
anwari_wmk@plasa.com

Ketika Forum Pembekalan Konsolidasi Pimpinan Daerah digelar di Gedung Lemhanas, Jakarta, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menegur keras seorang kepala daerah yang tertidur. Padahal, kala itu (Selasa, 8 April 2008), Presiden tengah menyampaikan pidato. Seluruh stasiun televisi yang memusatkan penyiarannya di Jakarta serta-merta mengangkat peristiwa ini sebagai sesuatu yang menonjol dalam pemberitaan. Bahkan, beberapa stasiun televisi menyiarkan secara repetitif, sehingga teguran kepala negara kepada seorang kepala daerah itu mendadak sontak berubah menjadi sebuah dramaturgi. Namun sebagian media cetak yang terbit keesokan harinya menyebut peristiwa itu hanyalah sebuah insiden kecil dalam sebuah forum resmi kenegaraan. Tak lebih dan tak kurang. Karena itu, dalam aksentuasi media cetak, insiden kecil itu dengan cepat berlalu bersama angin, alias tidak abadi dalam pelukan waktu.

Hanya saja, pembacaan secara seksama terhadap substansi persoalan yang inherent ke dalam teguran Presiden itu justru kembali mengingatkan kita pada marabahaya besar yang tengah dihadapi bangsa ini dalam kaitan makna dengan krisis kepemimpinan di pemerintahan. Teguran presiden yang terasa menggelegar itu terpatri ke dalam narasi kalimat seperti ini: “Bagaimana memimpin rakyat, kalau di ruangan ini tidur. Dipilih langsung, Saudara. Diajak bicara memajukan rakyat saja tidur. Jangan main-main dengan tanggung jawab.” Kata SBY lagi, “Berdosa jika bersalah kepada rakyat. Malu kepada rakyat kalau kita tidak bisa mengendalikan diri kita. Kepemimpinan berangkat dari diri kita.”

Apa yang bisa dikatakan dari timbulnya insiden kecil itu? Kita tahu, SBY adalah politikus papan atas di negeri ini yang sudah sejak lama dikenal piawai memanfaatkan momentum untuk melakukan pencitraan politik. Karena itu, hingga kini posisinya tak tergoyahkan sebagai tokoh politik paling populer. Bahkan, dalam kancah Pemilu 2009, popularitas SBY masih di atas angin dibandingkan dengan popularitas tokoh-tokoh politik yang lain. Hanya saja, pembacaan secara semiotik terhadap peristiwa di gedung Lemhanas itu memperlihatkan aura secara sangat mencolok, bahwa SBY sesungguhnya tak sedang memanfaatkan momentum untuk melakukan upaya pencitraan. Ia sungguh-sungguh berbicara tentang hakikat kepemimpinan dalam suatu bentuk pengucapan yang seluruhnya merupakan teguran. Kepemimpinan apa? Kepemimpinan dalam pemerintahan, yang memang tengah dilanda krisis.

Sekadar catatan, perhelatan di mana SBY menegur keras seorang kepala daerah itu merupakan Forum Konsolidasi Pimpinan Daerah Angkatan Kedua pada 2008 dan mengusung tema “Ketahanan Daerah dalam Mendukung Ketahanan Nasional dan Pembangunan Nasional”. Dengan melibatkan 86 peserta dari jajaran bupati, walikota dan ketua DPRD kabupaten/kota, forum ini berlangsung dari sejak 4 Maret 2008 hingga 9 April 2008. SBY hadir di forum tersebut dengan disertai oleh beberapa orang menteri, seperti Sekretaris Kabinet Sudi Silalahi, Menteri Sekretaris Negara Hatta Radjasa dan Menteri Pertanian Anton Apriyantono. Hal mendasar yang kemudian penting ditilik lebih jauh adalah menemukan makna hakiki di balik ucapan Presiden SBY dalam aksentuasinya sebagai teguran keras. Tanpa tedeng aling-aling, Analisis Berita kali ini menyatakan salut kepada Presiden SBY. Bahkan tercetus harapan, semoga ucapan Presiden SBY yang bernada keras itu mampu menghardik jajaran pimpinan pemerintahan di daerah.

Watak soft-state Indonesia—meminjam istilah Gunnar Myrdal (1898-1987)—sebagai sebuah negara-bangsa (nation-state) sebagian terbesarnya memang bertali-temali dengan krisis kepemimpinan di pemerintahan. Dari dulu hingga kini, pemerintahan tak pernah kosong dari apa yang disebut “alat kelengkapan”, seperti tersedianya pimpinan dan aparat pelaksana. Hanya saja, human power dengan magnitude yang sangat besar dalam tubuh pemerintahan kontras dengan rendahnya kualitas dan kompetensi. Jika saja tak mengalami krisis kepemimpinan, maka besarnya magnitude human power dalam tubuh pemerintahan itu dapat diarahkan menjadi basis penguatan daya saing bangsa ini berhadapan dengan bangsa lain di dunia. Terlampau banyaknya jumlah kepala daerah yang terseret ke dalam pusaran korupsi—dan lalu terjerembab ke dalam problema hukum—merupakan fakta yang amat telanjang betapa krisis kepemimpinan di pemerintahan berada dalam stadium yang sangat kronis dan patologis.

Manakala kita seksama menyimak segenap teknikalitas rekayasa ke arah tegaknya hegemoni dan dominasi yang sangat kompleks, maka krisis kepemimpinan dalam tubuh pemerintahan merupakan konsekuensi logis dari negasi secara luar biasa dahsyatnya terhadap eksistensi rakyat. Tragisnya, negasi terhadap eksistensi rakyat itu bergemuruh hingga kini, pada era musim semi demokrasi. Bagaimana kelancungan ini dijelaskan dan apa yang niscaya dilakukan demi tuntasnya masalah ini?

Pertama, apa yang terus-menerus ditengarai sebagai “kepemimpinan pemerintah”, tak lain dan tak bukan adalah jejaring super-kompleks yang memiliki kekuatan relasi dengan rakyat. Baik rakyat dalam pengertian individu maupun rakyat dalam pengertian publik takkan sepenuhnya mampu membebaskan diri dari pola-pola relasional yang dikonstruksi oleh pemerintah dengan seluruh jajarannya. Masalahnya, jejaring pemerintahan ini pongah, menekan dan menyudutkan rakyat melalui berbagai macam model komunikasi yang lebih menyerupai penyebaran pengaruh atau propaganda. Rakyat merasakan problema ini tak lama setelah pelaksanaan Pilkada. Apa yang terucapkan sebagai janji selama kampanye Pilkada, tak lebih dan tak kurang hanyalah komunikasi yang mengkamuflase penyebaran pengaruh atau propaganda.

Kedua, antara sadar dan tidak, bangunan relasional pemerintah-rakyat berpijak pada mekanisme political capitalism. Aktor-aktor pemerintah yang diuntungkan dalam relasi ini mengembangbiakkan perilaku korupsi saat mencanangkan agenda pelayanan publik serta mengukuhkan pungli saat berada pada kancah praksis pelayanan publik. Dengan berpijak pada mekanisme political capitalism, para aktor penggerak jejaring pemerintahan terobsesi untuk mengeruk keuntungan secara finansial. Mirip dengan yang diistilahkan Bung Karno sebagai “Kapitalis Birokrat” (Kabir), aktor pemerintahan mengomersialisasi pelayanan publik. Jalinan relasional lalu bergeser menjadi ruang waktu bagi aktor pemerintahan untuk memeras rakyat. Maka, segala bentuk diskursus tentang amanat penderitaan rakyat lalu menjadi sesuatu yang kehilangan pesonanya dalam dinamika kepemimpinan pemerintahan.

Jalan keluar pemecahan masalah ini kembali pada pendidikan kebangsaan. Ini karena, krisis kepemimpinan di pemerintahan merupakan resultante dari timbulnya pendangkalan kesadaran (brain shortage) kebangsaan. Ditimpali oleh problema pragmatisme dan hedonisme, jangan heran jika sang pemimpin pemerintahan tertidur saat berada di tengah forum yang tengah membincangkan nasib rakyat. Maka, sekali lagi, salut buat SBY. Salut.[]

Tidak ada komentar: