Rabu, 16 April 2008

Indeks Kinerja Pemerintahan
Tata Kelola Pemerintahan Membutuhkan Pengabdian, Pengorbanan dan Etika

Oleh Anwari WMK

Prakarsa The Habibie Center (THC) bersama Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas) menyusun indeks kinerja pemerintahan secara luas penting diapresiasi demi menggeser tata kelola negara di Indonesia agar benar-benar bercorak modern. Aktor maupun lembaga dalam konteks kekuasaan eksekutif, legislatif maupun yudikatif dapat ditakar keberadaannya melalui indeks kinerja itu. Paling tidak di atas kertas, implementasi indeks kinerja mengondisikan publik untuk tak lagi “membeli kucing dalam karung”, saat berhadapan dengan artikulasi secara terus-menerus peran aktor dan lembaga pada tubuh pemerintahan. Sehingga dengan demikian, artikulasi peran aktor dan lembaga benar-benar mengusung misi transformatif. Pada Juni 2008, rencananya, indeks kinerja itu tuntas disusun dan dirilis secara luas.

Di tengah kencangnya arus kebebasan berpendapat dan berekspresi dewasa ini, kinerja pemerintahan harus memiliki takaran yang jelas. Rezim yang kini tengah berkuasa, misalnya, pada satu sisi merasa telah berhasil mencapai titik tertentu pencapaian kinerja. Itulah mengapa, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) berkali-kali meyakinkan publik, bahwa telah terjadi penurunan jumlah kaum miskin di Indonesia. Wakil Presiden M. Jusuf Kalla (JK) berbicara tentang situasi perekonomian nasional yang sudah mampu melepaskan diri dari pusaran krisis.

Pada lain sisi, kritik kalangan parlemen dan pengamat bermuara pada satu hal: pemerintahan SBY-JK lebih sibuk tebar pesona ketimbang tebar kinerja. Editorial surat-surat kabar pun berbicara tentang “pemerintahan yang tak memerintah” atau “pemerintahan yang gagal memerintah”. Jika diperhadapkan satu sama lain, maka pemerintah dan para pengeritiknya saling bertolak belakang. Di sinilah lalu terasa pentingnya indeks kinerja yang bisa meneropong secara obyektif kinerja pemerintahan dalam praksis nyata di lapangan.

Namun, manalaka ditilik secara kritis, kehadiran indeks kinerja pemerintahan ini sesungguhnya merupakan inisiatif yang terlambat. Sejak reformasi bergulir pada akhir dekade 1990-an, demokratisasi politik tak berjalan paralel dengan pembenahan menyeluruh sektor pemerintahan. Seakan terpenjara ke dalam tradisi masa lampau yang kelam, tata kelola pemerintahan pada era reformasi tak sepenuhnya mampu berdiri di atas pijakan obyektivitas yang terukur. Sedemikian seriusnya, aspek subyektivitas sungguh-sungguh mendistorsi pemerintahan. Akibatnya, bangsa ini tak mampu mengeleminasi patologi nepotisme, kolusi dan korupsi. Sekali pun reformasi telah bergulir selama kurang lebih satu dekade, pemerintahan terjebak ke dalam kegelapan nilai-nilai budaya. Hanya saja, seperti kata pepatah, lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali.

Keberlanjutan eksistensi pemerintahan pada berbagai aspeknya selalu bersinggungan dengan hajat hidup rakyat banyak. Dari sejak bangun tidur hingga kembali tidur, urusan dan kiprah setiap warga negara di ruang publik tak pernah bisa dilepaskan dari peran pemerintah. Apakah perilaku pemerintah relevan dan kongruwen dengan kebutuhan warga negara di ruang publik, pada akhirnya berkembang menjadi persoalan krusial. Jatuh bangunnya pemerintahan, memiliki kaitan makna dengan persoalan krusial ini. Inilah yang oleh filsuf politik John Locke (1632-1704) ditengarai sebagai “pemerintahan berfungsi memberikan jaminan bagi kelangsungan kontrak sosial (the social contract)”.

Apa yang bisa kita mengerti dari diktum kontrak sosial ini sesungguhnya jauh lebih luas dan mendalam dari sekadar merancang bangun indeks kinerja pemerintah. Secara kategoris, indeks kinerja hanyalah instrumen atau metode yang pada tingkat kolektif disepakati sebagai alat teropong untuk menyimak baik buruknya performa pemerintah. Lantaran berperan secara terbatas dalam kerangka teknis, indeks kinerja berada dalam spektrum logika instrumental. Tak lebih dan tak kurang. Padahal, lebih serius lagi dari itu, yang dibutuhkan tiga elan vital baru pengelolaan pemerintahan.

Pertama, pengelolaan pemerintahan merupakan kelanjutan logis dari pengabdian seorang warga negara dalam kedudukannya sebagai pejabat, aparat atau pegawai pemerintah. Sebagai konsekuensinya, para pengelola pemerintahan adalah warga negara yang bersedia hidup sederhana, persis seperti dipertontonkan Bung Hatta. Kedua, pengelolaan pemerintahan merupakan pengejawantahan lebih lanjut adanya pengorbanan (over-sacrifice) seorang warga negara terhadap dunia pemerintahan. Atas dasar ini, warga negara yang terlibat pengelolaan pemerintahan mengutamakan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi. Ketiga, etika yang diberlakukan ke dalam tata kelola pemerintahan dimaksudkan sebagai landasan etis memajukan bangsa.

Jika tiga hal ini gagal diberlakukan sebagai prasyarat substantif, maka implementasi indeks kinerja pemerintahan menjadi model evaluasi yang kosong dari sukma kebangsaan. Maka, wujudkan dulu tiga elan vital baru pengelolaan pemerintahan, sebelum memberlakukan indeks kinerja pemerintahan.

Tidak ada komentar: