Selasa, 15 April 2008

Kejutan dari Pilkada Jawa Barat

Anwari WMK
anwari_wmk@plasa.com

Sebulan sebelum hari pencoblosan pada perhelatan Pilkada Jawa Barat (Minggu, 13 April 2008) untuk memilih salah satu dari tiga pasangan kandidat gubernur dan wakil gubernur periode 2008-2013, maka sekitar 36,8% konstituen sesungguhnya telah menentukan pasangan calon yang bakal mereka coblos di bilik-bilik suara (Kompas, 15 April 2008, hlm, 4). Tetapi, hingga satu bulan sebelum pelaksanaan Pilkada itu, lembaga-lembaga survei tetap memandang remeh pasangan Ahmad Heryawan dan Dede Yusuf (Hade). Bahkan dengan mengemukakan kesimpulan yang konon bertitik tolak dari hasil survei pre-election, pasangan Hade diposisikan sebagai underdog. Dengan gegap gempita lembaga-lembaga survei melontarkan prediksi, bahwa pasangan Hade bakal tumbang dan hanya tampil sebagai penggembira. Prognosa kekalahan pasangan Hade dalam pesta demokrasi memilih gubernur dan wakil gubernur secara langsung untuk pertama kalinya di Jawa Barat itu sedemikian rupa dilansir lembaga-lembaga survei di media-media massa. Tragisnya lagi, media massa menjadi semacam Pak Turut untuk kemudian menyiarkan ramalan lembaga-lembaga survei itu. Pasangan Agum Gumelar-Nu’man Abdul Hakim (Aman) diramalkan bakal memenangi Pilkada Jawa Barat. Sementara pasangan Danny Setiawan-Iwan Ridwan Sulandjana (Dai) diyakini bakal berada pada urutan kedua perolehan suara. Tapi apa yang kemudian terjadi?

Sebagaimana kita tahu, quick count yang dilakukan berbagai lembaga survei sesaat setelah pencoblosan justru menunjukkan kemenangan pasangan Hade. Media massa lalu seperti tersentak menghadapi kenyataan yang tak terpikirkan sebelumnya itu. Ternyata, sang underdog tampil sebagai the winner. Tentang ketersentakan itu, Kompas (14 April 2008, hlm. 1) menulis seperti ini: “Perolehan suara pasangan Heryawan-Dede (Hade) cukup mengejutkan. Sebab, dari prediksi beberapa lembaga penelitian sebelumnya, calon yang didukung Partai keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Amanat Nasional (PAN) ini selalu ditempatkan di urutan terbawah dari ketiga pasangan kandidat. Baik dari segi popularitas maupun pilihan publik, hasil sejumlah survei selama ini menunjukkan peluang pasangan Danny-Iwan maupun Agum-Nu’man lebih unggul dari Heryawan-Dede. Bahkan, berdasarkan hasil analisis peta kekuatan basis massa calon, pasangan Hade ini dinilai paling lemah.”

Dengan mengutip substansi pembicaraan analis politik Indria Samego, Seputar Indonesia edisi sore (14 April 2008, hlm. 1) tampil dengan narasi kalimat seperti ini: “Keunggulan Hade pada penghitungan awal KPU maupun quick count sungguh mengejutkan. Hasil ini benar-benar di luar dugaan karena secara politik dua rivalnya memiliki segalanya. Calon nomor satu, Danny Setiawan merupakan incumbent gubernur, sedangkan calon nomor dua Agum Gumelar merupakan tokoh nasional yang memiliki pengaruh cukup kuat di Jabar. Wakil Agum, Nu’man Abdul Hakim merupakan tokoh NU (Nahdlatul Ulama). Secara hitung-hitungan, Jabar termasuk gudangnya orang NU bukan PKS, seharusnya Agum yang unggul.” Apa yang dapat dijelaskan lebih lanjut membaca kenyataan ini?

Kita kini tengah berhadapan dengan apa yang disebut “kepentingan parokial di balik survei politik”. Sejak Pilkada bergulir di berbagai daerah, maka sejak itu pula mulai muncul lembaga-lembaga survei politik. Celakanya, tidak semua lembaga survei berpegang teguh pada asas obyektivitas serta tak sepenuhnya berupaya menghasilkan kesimpulan yang kredibel. Kenyataan ini dapat dijelaskan sebagai berikut.

Pertama, Pilkada dengan segala kompleksitasnya mencetuskan kesadaran di benak aktor-aktor politik bahwa mengetahui basis konstituen dan peta dukungan secara akurat merupakan keniscayaan. Sementara, tak ada metode yang dipandang tepat untuk mengetahui basis konstituen dan peta dukungan itu selain melalui survei politik. Para pihak yang merasa mampu melakukan polling, melihat kenyataan ini sebagai peluang bisnis dan lalu menawarkan “jasa” kepada para aktor politik yang hendak bertarung dalam Pilkada. Kedua, jajaran pimpinan puncak beberapa partai politik mendasarkan dukungannya pada figur-figur tertentu setelah sang figur dipandang layak menjadi kandidat Pilkada berdasarkan kesimpulan yang ditarik dari hasil-hasil polling. Maka, figur-figur yang berambisi maju dalam pertarungan Pilkada berupaya dengan gigih mendapatkan legitimasi dari hasil polling popularitas oleh sebuah lembaga survei. Demi mendapatkan dukungan dari banyak aspek, hasil polling itulah yang lantas diusung sang kandidat ke jajaran pimpinan puncak partai politik.

Sebagai akibatnya, tak ada jaminan bahwa serangkaian polling memiliki kejelasan metodologis untuk bisa menyibak kenyataan empirik yang sungguh-sungguh terkait erat dengan kemenangan Pilkada. Margin error hingga 6% untuk random sampling 400 orang di suatu kabupaten di Pulau Jawa, misalnya, sangat tak memungkinkan lahirnya prediksi dengan akurasi tinggi. Dengan mempertimbangkan realisme kabupaten dalam spasial Pulau Jawa, margin error itu semestinya 1% untuk random sampling 1.700 orang. Sayangnya, cukup banyak polling di berbagai daerah gegagah menentukan kerangka survei. Maka, Banyak lembaga survei di berbagai daerah tak berani membentangkan temuan-temuannya dalam sebuah forum diskusi terbuka. Survei berkembang menjadi bisnis untuk hanya menyenangkan para pemberi dana. Peta dukungan konstiuen yang konon berhasil dijaring melalui survei, ujung-ujungnya bernuansa ABS (asal bapak senang). Terlebih lagi ketika seorang petulang politik yang hendak maju Pilkada, sangat besar kemungkinannya sang petualang bekerja sama dengan lembaga-lembaga survei untuk memalsukan hasil-hasil polling. Tujuan pokoknya, mendapatkan dukungan dari jajaran pimpinan pusat partai politik.

Inside information yang berhasil digali penulis memperlihatkan fakta bahwa pasangan Hade tak berhubungan dengan satu pun lembaga survei terkemuka yang berbasis di Jakarta. Pasangan Hade tak memberikan “order proyek” pada lembaga-lembaga survei terkemuka. Padahal, lembaga-lembaga survei ini telah sejak lama menjadi rujukan media massa dalam hal meramalkan pemenang-pemenang Pilkada. Dari sini, sebuah teka-teki kemudian mencuat ke permukaan: Apakah lantaran tak berhubungan dengan lembaga survei terkemuka lalu pasangan Hade dieksplisitkan sebagai pasangan underdog, semata sebagai pelengkap demi meramaikan suasana?

Kemenangan pasangan Hade sejatinya terprediksikan sejak sekitar sebulan sebelumnya, dan karena itu bukan kejutan. Lain soal jika polling hanya dimaksudkan menghasilkan kesimpulan ABS, prognosa kemenangan pasangan Hade dianggap sebagai angin lalu. Ini sekaligus peringatan bagi media massa, sudah saatnya untuk tak menerima secara taken for granted proyeksi lembaga-lembaga survei. Ramalan lembaga-lembaga survei harus disimak secara kritis.[]

Tidak ada komentar: