Kamis, 17 September 2009

Humanisme Islam Abad XXI

Oleh Anwari WMK

Apakah humanisme Islam dapat diimplementasikan dalam pelataran hidup umat manusia pada abad XXI, ternyata merupakan sebuah tanda tanya besar. Tetap tak ada jawaban pasti hingga kini, apakah humanisme Islam memiliki tempat yang istimewa dalam perkembangan sejarah kaum Muslim pada abad XXI.

Memang, Islam hadir sebagai agama berpengaruh di dunia justru karena mengandung ajaran yang menjunjung tinggi humanisme. Islam memandang bermakna kehidupan umat manusia (Al Qur’an, 21/Al Anbiyaa’: 10). Itulah mengapa, sejak abad X Islam berhasil mendorong lahirnya kebudayaan dan peradaban yang kemudian memberikan penekanan pada pentingnya warisan ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani Kuno. Inilah yang kemudian ditengarai sebagai “Renaisans Islam”. Sekitar dua abad kemudiaan setelah itu, yakni pada abad XII, Renaisans Islam diduplikasi oleh Renaisans Barat (lihat Joel L Kraemer, Renaisans Islam: Kebangkitan Intelektual dan Budaya pada Abad Pertengahan. Terjemahan Asep Saefullah. [Bandung: Mizan, 2003], hlm. 24).

Apa yang kemudian bisa disimpulkan adalah ini. Jika Renaisans Islam pada abad X merupakan momentum waktu bagi terjadinya penyerapan terhadap warisan ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani Kuno, maka Renaisans abad XII di Barat merupakan sebuah kurun waktu bagi terjadinya penyerapan terhadap warisan Yunani Kuno dan warisan Islam dalam bidang ilmu pengetahuan dan filsafat.

Realitas Suram

Pertanyaannya kemudian, apakah pengalaman historis memasuki fase Renaisans abad X itu dapat dijadikan landasan pijak pada abad XXI kini agar Islam kembali mengedepankan arti penting humanisme?

Ternyata, jawaban terhadap pertanyaan tersebut tidaklah cukup mengembirakan. Abad XXI kini justru ditandai oleh munculnya apa yang disebut the problem with Islam (lihat Sam Harris, The End of Faith: Religion, Terror, and the Future of Reason [London: The Free Press, 2005], hlm. 108-152). Etika, epistemologi dan praksis kehidupan umat Islam kini tak sejalan dengan cita-cita humanisme Islam yang muncul pada abad X. Realitas yang terbentang dalam kehidupan kaum Muslim pada abad XXI kini justru mengingkari keagungan Islam sendiri sebagai agama yang mampu menyuntikkan spirit untuk menjunjung tinggi ilmu pengetahuan (Al Qur’an, 58/Al Mujaadilah:11).

Umat Islam malah lekat dengan gambaran radikalisme, terorisme dan keterbelakangan dalam bidang sosial maupun ekonomi. Umat Islam yang besar secara kuantitas bukanlah kekuatan yang berdiri di garda depan perkembangan dahsyat ilmu pengetahuan dan filsafat. Umat Islam benar-benar laksana buih di lautan yang dihempaskan ombak ke pantai. Para cendekiawan Muslim yang sadar akan kenyataan ini lantas berhadapan dengan pertanyaan besar: Apakah abad XXI kini merupakan episode keterjatuhan umat Islam hingga pada titik nadir yang sangat dalam?

Realitas suram dalam kehidupan umat Islam pada abad XXI dapat disimak pada berbagai kontras yang terjadi antara dulu dan kini. Ketika para ilmuwan Muslim pada abad pertengahan berhasil menemukan aljabar, mengembangkan ilmu pengetahuan eksperimental serta menerjamahkan karya-karya Plato dan Aristoteles dalam bidang filsafat, humanisme Islam abad X sesungguhnya memiliki bentuk secara lebih kongkret dibandingkan dengan humanisme sekuler yang berkembang kemudian di Eropa sejak sekitar abad XII. Mengingat tak pernah ada jejak anti-ilmu pengetahuan yang tertoreh ke dalam Al Qur’an, maka warisan paling berharga dari Renaisans Islam adalah the great kingdom of reason.

Itulah mengapa, secara substansial, kaum Muslim tak pernah berada dalam satu titik pertentangan antara rasio dan dan wahyu (reason and revelation).
Sebagaimana tampak pada pengaruhnya di Eropa Barat melalui jalan penyebaran Islam di Spanyol, keberagamaan kaum Muslim benar-benar melahirkan kebudayaan dan peradaban. Sementara, kebudayaan dan peradaban itu memberi tempat secara terhormat kepada humanisme. Sayangnya, kenyataan itu tak cukup diapresiasi pada abad XXI kini. Umat Islam telah mencerai-beraikan keyakinan keagamaan mereka dengan humanisme. Tak mengherankan jika muncul pola-pola keberagamaan yang garang, tetapi kemudian dibanggakan sebagai suatu bentuk keber-Islam-an yang gagah perkasa.

Pada berbagai negara bangsa dengan umat Islam sebagai yang terbesar secara demografis, perbenturan wahyu dan rasio benar-benar mengemuka sebagai persoalan. Tragisnya lagi, persoalan tersebut mengejawantah ke dalam dunia politik. Praktik keberagamaan Islam dalam konteks ini benar-benar kehilangan watak humanistiknya. Atas nama Islam, sekelompok orang dengan mudahnya mengembangkan radikalisme dan terseret ke dalam aksi-aksi teror. Bukan saja umat Islam semakin tampak gamblang kejumudannya, lebih dari itu ekspresi keber-Islam-an kaum Muslim telah sedemikian rupa mengingkari arti penting penghargaan terhadap humanisme.

Islam di Indonesia

Di Indonesia, umat Islam mengambil pilihan-pilihan politik tanpa disertai oleh kesadaran yang utuh terhadap tantangan humanisme abad XXI. Berapa banyak partai Islam yang lahir selama kurun waktu pasca-Orde Baru, ternyata tidaklah memiliki kejelasan koherensi dengan tantangan untuk kembali mengutuhkan humanisme Islam yang begitu agung sebagaimana tampak pada perkembangan selama abad X. Partai-partai Islam justru hadir hanya untuk mempertegas kecenderungan politisasi agama. Dengan demikian berarti, Islam hanya dijadikan basis legitimasi untuk meraih kekuasaan politik. Maka, bukan hal yang aneh jika kehadiran partai-partai Islam selama kurun waktu pasca-Orde Baru tak berbanding lurus dengan Renaisans Islam. Bahkan, Renaisans Islam tak tercakup ke dalam agenda partai politik Islam.

Dalam contoh soal lahirnya qanon atau peraturan daerah di Aceh berisikan hukum jinayat, sekali lagi sebuah persoalan dalam kaitannya dengan humanisme Islam muncul ke permukaan. Salah satu bentuk sanksi yang disahkan dalam hukum jinayat itu adalah hukuman rajam hingga meninggal dunia bagi pelaku zina yang terbukti serta pelakunya sudah memiliki pasangan resmi atau telah menikah. Partai-partai Islam yang mendukung qanon ini sesungguhnya tak cukup memiliki argumentasi untuk menjelaskan bahwa pelaksanaan hukum jinayat koherens dengan humanisme Islam pada abad XXI. Seorang politikus dari sebuah partai Islam hanya berbicara tentang tak adanya alasan untuk menunda pengesahan dan penerapan hukum jinayat dan hukum acara jinayat di Aceh. Namun apa landasan pelaksanaan hukum jinayat sejalan dengan realitas sosiologis masyarakat Aceh, ternyata tak pernah jelas filosofinya.

Dalam humanisme Islam, manusia didewasakan untuk mencapai kesadaran eksistensial melalui pedagogi yang bersifat dialogis. Humanisme Islam meniscayakan tak adanya distorsi antara dimensi sakral dan profan, baik pada realitas hidup personal yang kreatif maupun dalam orde kemasyarakatan yang dinamis. Artikulasi peran sosiologis seseorang di tengah kancah kehidupan publik dipersyaratkan oleh tak adanya benturan antara dimensi sakral dan profan (Al Qur’an, 91/Asy-Syams: 9). Pedagogi dalam konteks humanisme Islam melahirkan perilaku sakral dalam ruang profan. Inilah hakikat rahmatan lil ‘alamin dalam maknanya yang hakiki. Maka, masyarakat zero perzinaan bukanlah resultante dari berlakunya hukum jinayat, tetapi lebih karena berlangsungnya pedagogi humanisme Islam.

Masyarakat zero perzinahan, dengan demikian, dikonstruksi melalui: (1) ketepatan materi dan proses pengajaran dalam dunia pendidikan, (2) terwujudnya keadilan sosial dan ekonomi, serta (3) terselenggaranya kesetaraan gender dalam relasi maskulinitas-feminitas. Ini berarti, dibutuhkan cara hidup berbangsa dan bernegara berlandaskan pada kebenaran. Tentu saja, pembicaraan tentang perzinahan dalam konteks ini hanyalah sebuah contoh soal yang mengilustrasikan adanya jalan pragmatis partai-partai politik Islam. Mereka lebih memilih upaya-upaya heroik melalui jalan legal-formal ketimbang mengambil opsi pedagogis ke arah terwujudnya humanisme Islam.

Jelas pada akhirnya, bahwa pada abad XXI Islam di Indonesia belum merupakan sesuatu yang menarik. Seperti di belahan dunia Muslim yang lain, Islam di Indonesia masih harus bercermin untuk memperbaiki diri. Dan apa boleh buat, cermin itu adalah Renaisans Islam yang pernah ada dalam sejarah.

Jakarta, 17 September 2009

Rabu, 16 September 2009

Muhammadiyah dan Politik

Oleh Anwari WMK

Sejak era pasca-Orde Baru, hubungan Muhammadiyah dan politik mengalami pergeseran perspektif. Pada satu sisi, pasca-Orde Baru merupakan sebuah kurun waktu yang memberi ruang secara sangat luas bagi berlangsungnya liberalisasi politik. Kenyataan ini kontras dengan perkembangan selama Orde Baru yang menggiring perpolitikan nasional ke dalam situasi monolitik. Namun pada lain sisi, perpolitikan Indonesia pada era pasca-Orde Baru bercorak multipartai. Realitas baru ini menimbulkan akibat yang tak sederhana bagi organisasi keagamaan semacam Muhammadiyah. Kader dan tokoh Muhammadiyah ikut aktif dalam aneka partai politik, bahkan terlibat ke dalam proses pendirian partai-partai politik. Dari rahim organisasi keagamaan semacam Muhammadiyah lahir partai-partai politik.

Muhammadiyah lalu ikut terseret ke dalam metamorfosis politik bangsa ini. Pada era Orde Baru perpolitikan Muhammadiyah hanya fokus pada upaya menangkal berbagai mudarat yang dicetuskan oleh kekuasaan rezim otoriter. Pada era pasca-Orde Baru Muhammadiyah diperhadapkan dengan kepentingan kader dan anggota yang terobsesi merebut sumber-sumber kekuasaan melalui berbagai macam partai politik. Itulah mengapa, perpolitikan Muhammadiyah diwarnai oleh pergeseran perspektif sejak era pasca-Orde Baru.

Perpolitikan Muhammadiyah

Kini, pembacaan terhadap perpolitikan Muhammadiyah menjadi menarik karena dua hal. Pertama, jajaran Pimpinan Pusat Muhammadiyah terus berupaya meyakinkan publik, bahwa Muhammadiyah bukanlah organisasi politik par excellence. Muhammadiyah tak terlibat dan takkan terseret ke dalam kegiatan politik praktis. Muhammadiyah tetap perpijak pada kesejatian dirinya sebagai penjaga moral bagi bangsa ini. Amal usaha Muhammadiyah dalam bidang sosial, pendidikan dan kesehatan di seantero Nusantara harus tetap dimengerti ke dalam kaitan konteks dengan peran sebagai penjaga moral bagi bangsa ini. Peran kebangsaan Muhammadiyah semacam inilah yang dibahasakan M. Amien Rais selama satu dekade terakhir Orde Baru sebagai high politics.

Dengan demikian, aspek-aspek politik yang disentuh Muhammadiyah berada dalam orbit pencapaian kemaslahatan kolektif bangsa ini. Pernyataan para tokoh di jajaran Pimpinan Pusat Muhammadiyah merupakan penegasan secara repetitif akan adanya sebuah opsi moralitas yang memosisikan Muhammadiyah bukan sebagai pemain pada kancah politik nasional.

Kedua, tak sedikit dari kader dan tokoh Muhammadiyah berkontribusi pada pendirian Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Bulan Bintang (PBB) dan Partai Matahari Bangsa (PMB). Fakta ini merupakan indikasi, betapa keterlibatan secara aktif warga Muhammadiyah ke dalam kancah politik praktis—melalui pendirian partai-partai politik baru—bersifat heterogen. Sekali pun Muhammadiyah meng-endorse berdirinya PAN, tak dapat dibendung jika kader-kader Muhammadiyah yang lain ikut membidani lahirnya PBB dan PMB.

Tokoh, kader dan warga Muhammadiyah, dengan demikian, tak mengunakan saluran aspirasi politik yang bersifat monolitik. Bahkan, sebelum berdirinya partai-partai tersebut, selama era Orde Baru cukup banyak kader Muhammadiyah yang aktif di Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan di Golongan Karya (Golkar). Manfaat yang dapat dipetik dari kenyataan ini ialah persebaran aspirasi warga Muhammadiyah melalui berbagai macam partai politik. Tetapi kelemahannya, soliditas Muhammadiyah terancam oleh proses disintegrasi oleh penonjolan kepentingan tokoh-tokoh Muhammadiyah yang saling berkompetisi satu sama lain memperebutkan sumber-sumber kekuasaan politik.

Pasca-Pemilu 2009

Perkembangan selama Pemilu 2009 mempertontonkan adanya rivalitas sengit PMB versus PAN. Demi memperebutkan suara warga Muhammadiyah, rivalitas ini sangat terasakan vibrasinya di berbagai kantong konstituen politik Muhammadiyah. Bahkan, organisasi Muhammadiyah terancam dilanda disintegrasi oleh timbulnya rivalitas PMB versus PAN. Masalahnya, PMB tak mendapatkan suara signifikan dalam Pemilu 2009. PMB gagal mendudukkan wakilnya di parlemen. Kenyataan ini mencetuskan sebuah implikasi. Bahwa untuk selanjutnya, hubungan Muhammadiyah dan perpolitikan nasional bersinggungan dengan keberadaan PAN. Benar bahwa para kader dan warga Muhammadiyah memiliki pilihan bebas mendukung partai politik selain PAN yang memiliki kursi di parlemen. Tetapi relasi kuasa eksekutif negeri ini hingga 2014 hanya memungkinkan masuknya tokoh-tokoh Muhammadiyah melalui PAN.

Sebagai dua domain berlainan, relasi antara Muhammadiyah dan perpolitikan nasional membutuhkan PAN sebagai jembatan. Diakui atau tidak, inilah realitas yang tak terelakkan selama kurun waktu 2009-2014. Aspirasi warga Muhammadiyah dalam bidang politik tak bisa mengelak dari keberadaan PAN. Pengingkaran terhadap kenyataan ini justru mengancam efektivitas artikulasi kepentingan warga Muhammadiyah dalam bidang politik. Tetapi persoalan lain yang tersembul ke permukaan terkait dengan tingkat akomodasi PAN terhadap aspirasi politik Muhammadiyah. Hingga tahun 2014 sesungguhnya tak ada kepastian, apakah PAN mengemban kesejatian politik untuk sepenuhnya berfungsi sebagai saluran aspirasi Muhammadiyah.

Logika politik yang berkembang dewasa ini menegaskan, Muhammadiyah dan PAN bertekad memperkuat dukungan kepada pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono hingga tahun 2014. Tak tanggung-tanggung, tekad politik ini dikemukakan Ketua Majelis Pertimbangan Pusat PAN dan tokoh penting Muhammadiyah, Amien Rais, dalam perhelatan buka puasa bersama antara keluarga besar Muhammadiyah dan Presiden Yudhoyono di Jakarta, pada 14 September 2009. Sekilas pintas, logika politik ini menempatkan Muhammadiyah dalam posisi paralel dengan PAN untuk mendukung rezim kekuasaan 2009-2014 di bawah kepemimpinan Presiden Yudhoyono. Hanya saja, diktum Muhammadiyah yang tak berpolitik praktis justru menggulirkan adanya logika politik yang lain. Logika politik ini justru memosisikan PAN berdiri di depan Muhammadiyah saat harus membangun relasi dengan rezim kekuasaan Yudhoyono. Apa boleh buat, Muhammadiyah menjadi follower yang bergerak di belakang PAN untuk dapat menjalin relasi dengan rezim kekuasaan.

Melalui pernyataannya yang lugas dalam acara buka puasa bersama itu, Amien Rais berbicara tentang arti penting memperkuat dukungan Muhammadiyah pada pemerintahan selama lima tahun mendatang. Muhammadiyah, kata Amien Rais, berkepentingan untuk turut serta menyukseskan kepemimpinan nasional mendatang, sebagai perwujudan dari komitmen berbagi tanggung jawab atas masa depan bangsa. ”Kita mempererat dukungan kepada Presiden sebagai kepala pemerintahan,” ucap Amien Rais. ”Saya tidak menggarisbawahi pentingnya berbagi kekuasaan, tetapi berbagi tanggung jawab. Ini lebih penting bagi Muhammadiyah,” kata Amien Rais lagi.

Pertanyaan krusialnya kemudian, apakah seluruh eksponen Pimpinan Pusat Muhammadiyah legowo menerima realitas politik ke depan berdasarkan skenario Amien Rais itu? Jawabnya, “tidak”. Itu tercermin pada ketidakhadiran Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Din Syamsuddin dalam perhelatan buka puasa bersama antara keluarga besar Muhammadiyah dan Presiden Yudhoyono. Hubungan Muhammadiyah dan perpolitikan nasional mendatang menurut versi Amien Rais takkan sepenuhnya seiring dan sejalan dengan apa yang dikehendaki Din Syamsuddin. Muhammadiyah mungkin takkan pernah bisa mengelakkan dirinya untuk membangun relasi dengan kuasa politik selama lima tahun ke depan. Tetapi relasi dengan versi siapa, itulah masalahnya.

Apa yang kemudian menarik digarisbawahi dengan demikian adalah pentingnya untuk kembali memikirkan keniscayaan bagi Muhammadiyah melahirkan sebuah manifesto politik. Seiring dengan perguliran demokrasi di negeri ini selama kurang lebih satu dasawarsa berjalan, Muhammadiyah sejatinya memiliki haluan baru berpolitik. Apalagi, perguliran demokrasi selama kurang lebih satu dasawarsa itu tak memiliki kejelasan koherensi dengan tujuan-tujuan bernegara sebagaimana termaktub ke dalam Pembukaan UUD 1945. Manifesto poltik merupakan paradigma politik bagi Muhammadiyah dalam menjalin relasi dengan kuasa rezim. Sehingga, jalinan relasi kuasa tak lagi berlandaskan perspektif orang per orang yang cenderung subyektif.

Jakarta, 16 September 2009

Jalan Buntu Pemberantasan Korupsi

Oleh Anwari WMK

Pelan tapi pasti, akhirnya tersingkapkan ke permukaan mengapa begitu banyak elemen negara yang menghendaki lumpuhnya institusi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Tak tanggung-tanggung, elemen negara yang begitu ambisius meluluh lantakkan keberadaan KPK adalah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Kejaksaan Agung dan Kepolisian Republik Indonesia (Polri). Dengan demikian, KPK sesungguhnya tengah terkepung untuk kemudian dijerembabkan ke dalam jurang kehancuran yang dalam. Untuk beberapa waktu ke depan bangsa ini benar-benar diperhadapkan dengan tantangan besar kehancuran KPK. Dan tatkala KPK sudah tamat riwayatnya, maka Indonesia sebagai sebuah bangsa benar-benar terpilin ke dalam ideologi dan praksis korupsi yang tiada taranya. Benar belaka tesis Bung Hatta, korupsi dalam realitas Indonesia bermetamorfosis menjadi kebudayaan.

Dengan cara dan upayanya masing-masing, DPR, Kejaksaan Agung dan Polri mengondisikan terjadinya jalan buntu pemberantasan korupsi. Mengingat KPK merupakan ikon pemberantasan korupsi di Indonesia, maka langkah yang dipandang “tepat” adalah menghancurkan eksistensi KPK. Kewenangan KPK lalu diupayakan untuk diamputasi. Sehingga, KPK hanya melakukan penyidikan dan tidak melakukan penuntutan. KPK sungguh-sungguh diposisikan sebagai obyek di tengah tarian kematian yang pelakon-pelakonnya mencakup DPR, Kejaksaan Agung dan Polri.

Logika Negativitas

DPR merupakan elemen negara yang begitu artikulatif mengedepankan logika negativitas terhadap keberadaan KPK. Di dalam kelembagaan DPR muncul suara-suara yang pada dasarnya menyesalkan terlampau luas dan besarnya kewenangan KPK dalam proses eradikasi korupsi di Indonesia. Dari sejak penyelidikan, penyidikan hingga penuntutan, KPK benar-benar tampil sebagai lembaga super body di Indonesia. Juga karena posisinya yang super body itulah KPK dengan mudah menjadikan DPR sebagai sasaran tembak pemberantasan korupsi. Bukan hal aneh jika kemudian sejumlah anggota DPR dijebloskan ke penjara oleh KPK atas tindak pidana korupsi.

Logika negativitas terhadap KPK di lingkungan DPR menegaskan bahwa kehadiran KPK hanya mencetuskan timbulnya dualisme dalam penuntutan kasus korupsi. Menurut logika ini, seharusnya hanya ada satu lembaga yang berwenang menuntut kasus-kasus hukum, termasuk penuntutan korupsi. Karena itu, merupakan kecelakaan sejarah tatkala KPK diberi wewenang untuk melakukan penuntutan. Sejatinya, penuntutan hanya berada di tangan Kejaksaan, persis sebagaimana diimperatifkan ke dalam Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan. Apalagi, jelas dinyatakan dalam undang-undang tersebut bahwa jaksa merupakan satu kesatuan. Sehingga dengan demikian, jaksa yang berada di KPK tak terpisahkan dari pengawasan dan kewenangan penuntutan Kejaksaan Agung.

Dengan menggugat dualisme penuntutan itu, maka, dengan sendirinya, mencuat pula logika negativitas terhadap kewenangan KPK melakukan penyadapan. Dalam konteks negativitas DPR itu, kita menyaksikan betapa “penuntutan” dan “penyadapan” merupakan dua kata kunci yang menegaskan posisi KPK sebagai lembaga super body dalam proses eradikasi korupsi di Indonesia. Rekayasa politik yang bergulir dari kelembagaan DPR kini adalah mencerabut dua kewenangan tersebut melalui Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi.

Korupsi, Lanjutkan!

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada 19 Desember 2006 mengharuskan adanya undang-undang tentang Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi. Putusan MK ini mendukung upaya-upaya besar KPK memberantas anasir korupsi dalam tubuh bangsa Indonesia. Putusan MK, dengan sendirinya, merupakan upaya saksama untuk memperkuat kewenangan KPK secara total, termasuk dalam hal penuntutan dan penyadapan. Tetapi oleh DPR, putusan MK itu dipelintir—melalui proses legislasi—justru untuk mengebiri kewenangan KPK dalam hal melakukan penuntutan dan penyadapan. DPR telah mempermainkan hak legislasi yang digenggamnya justru untuk mengerdilkan kelembagaan KPK. Tanpa bisa dielakkan, di DPR tengah berlangsung sebuah rekayasa politik ke arah berlanjutnya korupsi. DPR seakan berada dalam satu aksentuasi yang teramat kuat untuk mengatakan “korupsi, lanjutkan!”.

Diakui atau tidak, DPR kini merupakan faktor krusial bagi masa depan pemberantasan korupsi di Indonesia. Logika instrumental yang berkembang dalam lingkungan DPR justru membawa proses pemberantasan korupsi ke dalam sebuah jalan buntu. Dualisme penuntutan yang dipersoalkan hanyalah sebuah pintu masuk menuju jalan buntu pemberantasan korupsi. Kian luasnya penentangan masyarakat terhadap RUU Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi merupakan respons secara lugas terhadap kehendak besar DPR yang tak terbendung untuk menciptakan jalan buntu pemberantasan korupsi.

Apa yang dapat dimengerti dari rekayasa DPR menciptakan jalan buntu pemberantasan korupsi terkait dengan watak politik Indonesia yang sejauh ini memang korup. Usaha-usaha meraih kekuasaan politik di Indonesia merupakan usaha yang bertali-temali dengan sogok, suap dan money politics. Secara demikian, domain kekuasaan politik di Indonesia merupakan ladang bagi tumbuh suburnya korupsi. Sejalan dengan terjadinya pergeseran pendulum kekuasaan di mana parlemen berada dalam posisi yang sangat kuat berhadadapan dengan pemerintah, maka muncul dispersi atau penyebaran perilaku korup. Baik pengawasan badan legislatif terhadap badan eksekutif, penyusunan anggaran negara maupun berbagai proses dalam kaitannya dengan program legislasi nasional (Prolegnas) memungkinkan DPR untuk berkembang menjadi ladang subur tumbuhnya korupsi.

Sejak pasca-Pemilu 1999, DPR menjadi magnet baru ke arah bergeloranya tindakan korupsi. Setiap elemen pemerintahan yang berhubungan dengan DPR harus juga dengan saksama melakukan sharing korupsi bersama DPR. Realitas inilah yang mampu menjelaskan, mengapa DPR yang tampak galak di atas permukaan tak lebih hanyalah sandiwara untuk mencapai tujuan yang lebih besar: menikmati kue korupsi secara kolektif dengan aktor-aktor penggerak roda pemerintahan. Inilah korupsi berjamaah dengan dampaknya yang tak terperikan pada luluh lantaknya daya saing bangsa pada berbagai aspek kehidupan.

Perilaku korup DPR yang ugal-ugalan itu kemudian terhalang oleh pemberantasan korupsi di bawah orkestrasi KPK. DPR yang turut serta membidani lahirnya KPK melalui Prolegnas 2002, pada akhirnya merasa sedang memelihara anak macan. Setelah KPK benar-benar memiliki taring untuk melakukan penyidikan, penyadapan, penangkapan dan penuntutan kasus-kasus korupsi, maka serta-merta anggota DPR menjadi sasaran bidik KPK. Ambisi DPR untuk menggergaji kewenangan KPK kini merupakan tamparan balik terhadap “anak macan” yang telah “menerkam” kaum koruptor itu.

Dualisme penuntutan yang dipersoalkan DPR sesungguhnya tak memiliki kesahihan argumentasi. Dalam sistem hukum nasional, dualisme penuntutan bukanlah hal yang salah. Itulah mengapa, dualisme juga mewarnai proses-proses penyidikan, yakni melibatkan Polri dan Kejaksaan. Sehingga, Polri dan Kejaksaan sama-sama mendapatkan keabsahan sebagai pihak yang berwenang melakukan penyidikan. Dualisme yang haram dalam sistem hukum nasional bertali-temali dengan putusan pengadilan. Artinya, tak boleh ada putusan pengadilan yang bersifat dualistik. Sementara dalam penyidikan dan penuntutan sesungguhnya tak dikenal dualisme.

Logika instrumental yang berkembang dalam lingkungan DPR dengan memberi titik tekan pada “dualisme penuntutan”, jelas hanyalah argumen yang bercorak parsial partikular. Hal mendasar yang hendak dicapai melalui argumen tersebut adalah menciptakan jalan buntu bagi pemberntasan korupsi. DPR kini berada dalam situasi time of no return untuk menisbikan secara total kelembagaan KPK. Maka, sesuatu yang kemudian mendesak dilakukan terkait dengan dua hal.

Pertama, memperkuat barisan civil society untuk melakukan penentangan terhadap DPR. Kedua, mendorong presiden agar mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) demi menyelamatkan KPK. Jika dua hal ini juga gagal diwujudkan, maka “korupsi, lanjutkan!”.

Jakarta, 14 September 2009

Selasa, 15 September 2009

Muhammadiyah yang Dilematis

Oleh Anwari WMK

Melalui gerakan tajdid atau pembaharuan, Muhammadiyah memasuki agenda purifikasi. Dengan purifikasi, Muhammadiyah melakukan pembersihan paham keagamaan. Metode yang kemudian diimplementasikan adalah kembali kepada Al Qur’an dan Sunnah Nabi. Terhitung sejak awal mula berdirinya pada tahun 1912, begitulah watak dan sepak terjang Muhammadiyah. Dengan model pembaharuan Islam yang dicanangkan, gerakan Muhammadiyah lalu melahirkan sejumlah kader dan tokoh di tingkat nasional. Melalui para kader dan tokoh itulah Muhammadiyah lantas memberikan sumbangsih yang tak kecil terhadap bangsa ini.

Kini, kita tak bisa lari dari kesimpulan, bahwa keberhasilan Muhammadiyah dalam perjalanan historisnya sebagai sebuah gerakan Islam di Indonesia tak bisa dilepaskan dari tajdid ke arah purifikasi keagamaan. Keberadaan Muhammadiyah pun sejalan dengan dekonstruksi terhadap anasir-anasir tahayul, bid’ah dan khurafat yang menggerus kesejatian ajaran Islam. Pada titik ini Muhammadiyah mendedahkan pentingnya kemurnian dalam memahami ajaran-ajaran Islam hingga pada hakikatnya. Barangkali, ini merupakan sisi lain dari heterogenitas Indonesia, di mana Muhammadiyah tampil dengan upaya purifikasi terhadap ajaran Islam.

Namun tajdid yang bergerak mencapai pelataran purifikasi itu bukan berarti tak mencetuskan tantangan pada level internal Muhammadiyah. Di kalangan orang-orang Muhammadiyah sendiri sesungguhnya terjadi perbenturan antara wahyu dan rasio. Selama dekade 1970-an dan sesudahnya, dinamika internal Muhammadiyah diwarnai oleh timbulnya ketegangan antara wahyu dan rasio. Muhammadiyah tak sepenuhnya memiliki mekanisme organisasional untuk menyelesaikan ketegangan rasio versus wahyu. Para pengurus Muhammadiyah pada level akar rumput diperhadapkan dengan problema ketegangan tersebut.

Sementara dalam hubungannya dengan kalangan eksternal, Muhammadiyah tampak menjulang sebagai gerakan Islam di Indonesia dengan mengusung agenda besar berupa pembongkaran kejumudan berpikir di kalangan umat Islam secara keseluruhan. Resistensi kalangan eksternal terhadap Muhammadiyah tak bisa dilepaskan dari agenda besar Muhammadiyah membongkar kejumudan berpikir. Pola keberagamaan (Islam) yang ditengarai mengandung anasir kejumudan oleh Muhammadiyah dijadikan sasaran garap dan tindakan. Pelan tapi pasti, kelompok-kelompok Islam tradisional terancamn eksistensinya. Resistensi kelompok-kelompok Islam tradisional terhadap Muhammadiyah tampak kian menonjol. Muhammadiyah lalu hadir sebagai gerakan reformasi ajaran Islam yang berbenturan dengan paham keagamaan kaum tradisionalis.

Skripturalisme

Harmonisasi rasio dan wahyu sesungguhnya merupakan agenda besar yang relevan dikedepankan untuk keperluan memajukan kehidupan umat Islam. Sebagaimana diketahui, kejayaan Islam selama abad pertengahan dalam bidang kebudayaan dan peradaban mengambil titik tolak dari timbulnya harmoni antara wahyu dan rasio. Islam sebagai “agama ilmiah” menemukan wujud kongkretnya selama abad pertengahan itu. Filosuf besar Ibn Rushd lalu melukiskan realitas ini dengan narasi kalimat: “Al Qur’an dan filsafat merupakan saudara sepersusuan”. Tampak jelas di sini, betapa pemahaman terhadap segenap hakikat dalam Al Qur’an dapat disingkapkan melalui jalan filsafat, ilmu pengetahuan diskursif dan eksperimental.

Ketika kejayaan Islam memasuki fase epilog, maka wahyu dan rasio mulai bersimpang jalan. Trase perjalanan Islam ke depan justru mulai meninggalkan rasio. Paham dan perspektif keagamaan Islam sepenuhnya dibangun di atas landasan wahyu, namun mengabaikan arti penting rasio. Berbagai rumusan yang terkonstruksikan untuk memahami ajaran-ajaran suci Islam semakin mengabaikan rasio. Generasi-generasi baru kaum Muslimin yang datang kemudian semakin terkristalisasi oleh keadaan untuk lebih memandang penting wahyu ketimbang rasio dan bahkan membenturkan wahyu dengan rasio. Pada titik ini, rasio memasuki masa penelantaran yang tiada taranya dalam dunia Islam.

Sesungguhnya, Muhammadiyah lahir dalam situasi keumatan semacam itu. Muhammadiyah hadir tatkala pengajaran tentang wahyu menegasikan rasio. Mengingat rasio lumpuh saat diharapkan mampu berfungsi sebagai dasar membentuk penalaran kritis yang humanistik terhadap pesan-pesan suci wahyu, maka pesona Islam pada akhirnya lebih bersifat mistik. Dengan sendirinya, keruntuhan kejayaan Islam berbanding lurus dengan kian semaraknya perkembangan mistisisme. Islam benar-benar kehilangan dimensi keilmiahannya.

Ketika perkembangan lebih jauh mistisisme membentuk comfort zone fatalistik, maka anasir-anasir mistik-fatalistik lain dengan mudahnya menelusup masuk ke dalam praktik keagamaan Islam. Sinkretisme Islam dan Hinduisme dalam praktik keagamaan kaum Muslim di Nusantara merupakan contoh riil dari masuknya anasir mistik-fatalistik lain ke dalam praksis keberagamaan kaum Muslim. Bukan saja wahyu dan rasio terpilin ke dalam disintegrasi peran, fungsi dan makna. Lebih dari itu, terjadi toksitisasi mistisisme Islam oleh mistisisme lain di luar ajaran Islam. Tasawuf dalam tataran implementasinya pada tingkat tarekat, misalnya, begitu mudahnya memasukkan anasir pemujaan terhadap orang-orang yang sudah mati.

Sayangnya, tajdid Muhammadiyah difokuskan secara penuh untuk semata memberangus segala bentuk praktik keagamaan yang tak termaktub ke dalam teks-teks suci Al Qur’an maupun Hadits Nabi. Sangat bisa dimengerti kemudian, mengapa gerakan tajdid Muhammadiyah bersifat partikular untuk hanya membongkar tahayul, bid’ah dan khurafat. Muhammadiyah tak mampu merajut kembali jalinan secara harmoni wahyu dan rasio yang telah tercerai berai. Akibatnya tampak pada dua hal.

Pertama, gagasan untuk kembali kepada Al Qur’an dan Sunnah justru melahirkan suatu model pemahaman keagamaan yang bercorak skripturalis. Muhammadiyah bukanlah lingkungan dinamis yang menstimuli lahirnya pemikiran-pemikiran baru dan cerdas dengan Al Qur’an dan Sunnah sebagai titik tolaknya. Tuntutan ke arah ini hanya berhasil diartikulasikan oleh generasi pertama tokoh-tokoh Muhammadiyah, seperti adopsi kurikulum pendidikan modern ke dalam sistem pengajaran Muhammadiyah. Selebihnya, Al Qur’an dan Sunnah tak diupayakan untuk dimengerti secara hermeneutik untuk melahirkan kejayaan Islam seperti terjadi pada abad pertengahan. Kalau pun terdapat elaborasi yang cerdas terhadap Al Qur’an dan Sunnah, maka elaborasi tersebut dilakukan oleh orang per orang dalam lingkungan Muhammadiyah, tidak dilakukan oleh Muhammadiyah sebagai organisasi.

Kedua, Muhammadiyah bukanlah organisasi keagamaan di Indonesia yang mampu membendung arus besar sekularisasi yang bergemuruh di ruang publik. Pada satu sisi, Muhammadiyah gagal menawarkan cetak biru alternatif sistem pendidikan nasional demi menjaga martabat bangsa ini dari gilasan sekularisasi. Pada lain sisi, Muhammadiyah tak memiliki kemampuan mengoreksi bencana sosial yang dicetuskan oleh “industri kesadaran”—meminjam istilah Mahzab Frankfurt—melalui medium penyiaran televisi. Realitas ini meniscayakan Muhammadiyah untuk mengoreksi tendensi skripturalisme yang melekat ke dalam dirinya.

Masa Depan Dilematis

Apa yang baru saja dibentangkan merupakan dilema pelik yang dihadapi Muhammadiyah, terutama dalam menyongsong masa depan. Dengan amal usaha yang bermunculan di seantero Nusantara, bagaimana pun, Muhammadiyah telah menyumbang pada bangsa ini. Hanya saja, Muhammadiyah terjebak ke dalam psedo tajdid lantaran tak memupuk kemampuan untuk melakukan rekonfigurasi dan reintegrasi wahyu dengan rasio. Organisasi Muhammadiyah mungkin akan terus melaksanakan agenda pelayanan sosial, pendidikan dan kesehatan terhadap bangsa ini. Tetapi, semuanya berjalan bukan sebagai terobosan besar.

Apa yang kemudian penting dilakukan adalah menyelesaikan dilema tersebut. Muhammadiyah sebagai gerakan Islam harus mulai mengembangkan metode berpikir filosofis, demi mempersambungkan wahyu dan rasio. Jika ini dilakukan, Muhammadiyah bukan saja besar dari segi amal usaha, tetapi juga digdaya dalam hal melahirkan pemikiran-pemikiran besar.

Jakarta, 13 September 2009

Jumat, 11 September 2009

Kebijakan Ekonomi Reaksioner

Oleh Anwari WMK

Dalam forum G-20 di London, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati melontarkan pernyataan, agar penilaian Bank Century dilihat kontekstual. Artinya, berbagai komentar terhadap Bank Century yang mencuat sekarang ini tak boleh mengabaikan berbagai pertimbangan yang mendasari penyelamatan Bank Century pada tahun 2008. Langsung maupun tak langsung, pernyataan Ketua Komite Stabilitas Sektor Keuangan (KSSK) itu dilontarkan dengan maksud untuk menjawab pernyataan pers Wakil Presiden M. Jusuf Kalla bahwa Bank Century sesungguhnya tak perlu diselamatkan. Bank Century, menurut Jusuf Kalla, dirampok oleh jajaran direksi dan pemilik modal Bank Century sendiri, sehingga memang tak perlu diselamatkan oleh pemerintah.

Hanya saja, skandal Bank Century terlanjur bergulir menjadi drama ekonomi-politik pada tingkat nasional dan sekaligus mencetuskan kritik-kritik tajam terhadap Sri Mulyani Indrawati. Inilah kritik yang bersangkut paut dengan membengkaknya dana talangan (bail out) pemerintah demi menyelamatkan Bank Century dari kejatuhan. Ketika pemerintah mendapatkan persetujuan dari DPR untuk mem-bail out Bank Century, pada November 2008, maka nilai bail out yang disepakati mencapai Rp 1,3 triliun. Tetapi dalam realisasinya, bail out Bank Century menggelembung menjadi Rp 6,7 triliun. Bank yang dikelola secara ugal-ugalan itu ternyata mengharuskan lahirnya keputusan politik penyelamatan dana nasabah berbiaya mahal. Disimak ke dalam konteks ini, maka Sri Mulyani Indrawati dipandang ceroboh.

Apologia

Ternyata, Sri Mulyani tak tinggal diam menghadapi tudingan ceroboh itu. Dalam forum G-20 di London (4-5 September 2009) itu ia membuat klarifikasi dan sekaligus penegasan, bahwa penilaian atas penyelamatan Bank Century harus dilihat pada kondisi saat terjadinya masalah di bank tersebut pada tahun 2008 dan tidak bisa didasarkan pada kondisi sesudahnya. Langkah KSSK menyelamatkan Bank Century terkait dengan tekanan akibat situasi krisis keuangan global.

Pada saat itu, kondisi perbankan Indonesia dan dunia sedang mengalami tekanan berat. Keputusan KSSK justru untuk menghindar dari terjadinya krisis berantai sektor perbankan nasional, sehingga dampaknya lebih mahal dibandingkan dengan dana yang dikeluarkan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Sri Mulyani Indrawati lalu melukiskan situasi pada 21 November 2008, di mana Bank Century butuh dana bail out sebesar Rp 683 miliar. Ternyata, untuk mencapai CAR 8% sangatlah berat, karena CAR Bank Century minus 2,3%. Agar bisa terus beroperasi, KSSK menyetujui penyuntikan dana melalui LPS hingga sebesar Rp 6,7 triliun (Seputar Indonesia, 6 September 2009, hlm. 1 dan 11).

Apa yang kemudian menarik digarisbawahi dari apologia Sri Mulyani Indrawati adalah fakta bahwa aksi-reaksi begitu kuat mewarnai konstruk kebijakan ekonomi di Indonesia. Sementara, aksi-reaksi itu muncul sebagai akibat logis dari besarnya kepentingan subyektif para aktor dalam tubuh pemerintahan. Munculnya pandangan kritis dari kalangan DPR dan ahli-ahli ekonomi berkenaan dengan bail out Bank Century itu lalu bermuara pada terlampau besarnya jumlah dana bail out. Apalagi, Bank Century tak termasuk bank besar di Tanah Air.

Terhitung sejak Agustus 2009, bail out Bank Century benar-benar bergulir menjadi kontroversi. Tetapi dahsyatnya, selama itu pula Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati bersikukuh pada sebuah perspektif: penyelamatan Bank Century dari kebangkrutan merupakan keharusan. Kalau tak dilakukan penyelamatan, kejatuhan Bank Century bakal memunculkan dampak sistemik terhadap perbankan nasional secara keseluruhan.

Di sini kita melihat, betapa sesungguhnya tak ada pertimbangan yang bersifat dialektik mengapa dibutuhkan penyelamatan terhadap Bank Century. Apa yang dibahasakan sebagai “risiko sistemik” dari kejatuhan Bank Century merupakan asumsi yang tak divalidasi kebenarannya. Bagaimana menjelaskan seluruh aspek dan dimensi dari “risiko sistemik”, hingga kini tak pernah dilakukan. Seberapa valid asumsi tersebut dan adakah upaya falsifikasi terhadap asumsi tersebut, merupakan pertanyaan yang hingga kini tak pernah jelas jawabannya.

Masalah Obyektivitas

Hingga memasuki bulan suci Ramadhan 2009, pro-kontra terhadap bail out Bank Century tetap terpaku pada rasionalitas yang mendasari argumentasi “risiko sistemik” jika Bank Century dibiarkan kolaps. Anggota DPR, analis ekonomi, dan eksponen gerakan anti-korupsi yang menentang bail out Bank Century lalu berbicara tentang sesuatu yang sama: menggugat obyektivitas penilaian, analisis dan kesimpulan KSSK. Seluruh kritik yang diarahkan pada KSSK mengandung substansi ketidakpercayaan terhadap “risiko sistemik” sebagai argumen obyektif serta patut dipertanggungjawabkan secara moral.

Dari seluruh hingar-bingar pembicaraan yang mewarnai pro-kontra terhadap bail out Bank Century, fokus telaahnya memang terkait erat dengan hakikat “risiko sistemik”. Tanpa bisa dielakkan, “risiko sistemik” kemudian berkembang menjadi nomenklatur yang implementasinya sebagai dasar lahirnya kebijakan ekonomi-politik diperdebatkan secara sengit. Nomenklatur ini muncul ke permukaan sekaligus sebagai gambaran berkenaan dengan runtuhnya kepercayaan terhadap pemerintah.

Sejatinya, argumen “risiko sistemik” yang dilontarkan pemerintah (baca: KSSK dan LPS) diterima secara taken for granted oleh semua pihak demi utuhnya sistem perbankan nasional. Tetapi, disinilah masalahnya. Berbagai argumen yang mendasari lahirnya sebuah kebijakan justru potensial untuk dipersoalkan hakikatnya. Maka, apa yang disebut “berbahaya” oleh pemerintah tidak mendapatkan penerimaan secara utuh oleh berbagai interest group dalam masyarakat. Sehingga dengan demikian, pemerintah dan masyarakat bersimpang jalan sedemikian rupa.

Sebuah penjelasan yang kemudian dibeberkan oleh petinggi Bank Indonesia (BI) membuka sebuah tabir. Bahwa di Indonesia memang tak ada standarisasi untuk menentukan kriteria bank sistemik. Dampak sistemik keberadaan sebuah bank terhadap sistem perbankan nasional secara keseluruhan hanya dilandaskan pada lima aspek umum, yaitu: (1) dampaknya terhadap institusi keuangan, (2) dampaknya terhadap pasar uang, (3) dampaknya terhadap sistem pembayaran, (4) dampaknya terhadap psikologi pasar, serta (5) dampaknya kepada sektor riil (Kompas, 10 September 2009, hlm. 21). Dengan demikian berarti, dampak sistemik kejatuhan sebuah bank terhadap sistem perbankan nasional secara keseluruhan merupakan sesuatu yang interpretatif saja sifatnya. Ada tidaknya dampak sistemik dari keberadaan sebuah bank, ditentukan oleh perspektif yang tak sepenuhnya obyektif.

Sejalan dengan tabiat pemerintah yang tak terbiasa bekerja secara obyektif menangani agenda-agenda publik, inklinasi untuk melihat berbagai ontologi masalah secara interpretatif justru potensial mengedepankan kepentingan bercokol (vested interest). Bukan saja ini menjadi sumber ketidakadilan, lebih dari itu pemerintah terus-menerus mereproduksi kebijakan yang bercorak reaksioner. Akibatnya sungguh serius. Kebijakan pemerintah, sampai kapan pun, gagal berfungsi sebagai basis terwujudnya daya saing perekonomian nasional berhadapan dengan perekonomian bangsa-bangsa lain di dunia.