Jumat, 11 September 2009

Kebijakan Ekonomi Reaksioner

Oleh Anwari WMK

Dalam forum G-20 di London, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati melontarkan pernyataan, agar penilaian Bank Century dilihat kontekstual. Artinya, berbagai komentar terhadap Bank Century yang mencuat sekarang ini tak boleh mengabaikan berbagai pertimbangan yang mendasari penyelamatan Bank Century pada tahun 2008. Langsung maupun tak langsung, pernyataan Ketua Komite Stabilitas Sektor Keuangan (KSSK) itu dilontarkan dengan maksud untuk menjawab pernyataan pers Wakil Presiden M. Jusuf Kalla bahwa Bank Century sesungguhnya tak perlu diselamatkan. Bank Century, menurut Jusuf Kalla, dirampok oleh jajaran direksi dan pemilik modal Bank Century sendiri, sehingga memang tak perlu diselamatkan oleh pemerintah.

Hanya saja, skandal Bank Century terlanjur bergulir menjadi drama ekonomi-politik pada tingkat nasional dan sekaligus mencetuskan kritik-kritik tajam terhadap Sri Mulyani Indrawati. Inilah kritik yang bersangkut paut dengan membengkaknya dana talangan (bail out) pemerintah demi menyelamatkan Bank Century dari kejatuhan. Ketika pemerintah mendapatkan persetujuan dari DPR untuk mem-bail out Bank Century, pada November 2008, maka nilai bail out yang disepakati mencapai Rp 1,3 triliun. Tetapi dalam realisasinya, bail out Bank Century menggelembung menjadi Rp 6,7 triliun. Bank yang dikelola secara ugal-ugalan itu ternyata mengharuskan lahirnya keputusan politik penyelamatan dana nasabah berbiaya mahal. Disimak ke dalam konteks ini, maka Sri Mulyani Indrawati dipandang ceroboh.

Apologia

Ternyata, Sri Mulyani tak tinggal diam menghadapi tudingan ceroboh itu. Dalam forum G-20 di London (4-5 September 2009) itu ia membuat klarifikasi dan sekaligus penegasan, bahwa penilaian atas penyelamatan Bank Century harus dilihat pada kondisi saat terjadinya masalah di bank tersebut pada tahun 2008 dan tidak bisa didasarkan pada kondisi sesudahnya. Langkah KSSK menyelamatkan Bank Century terkait dengan tekanan akibat situasi krisis keuangan global.

Pada saat itu, kondisi perbankan Indonesia dan dunia sedang mengalami tekanan berat. Keputusan KSSK justru untuk menghindar dari terjadinya krisis berantai sektor perbankan nasional, sehingga dampaknya lebih mahal dibandingkan dengan dana yang dikeluarkan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Sri Mulyani Indrawati lalu melukiskan situasi pada 21 November 2008, di mana Bank Century butuh dana bail out sebesar Rp 683 miliar. Ternyata, untuk mencapai CAR 8% sangatlah berat, karena CAR Bank Century minus 2,3%. Agar bisa terus beroperasi, KSSK menyetujui penyuntikan dana melalui LPS hingga sebesar Rp 6,7 triliun (Seputar Indonesia, 6 September 2009, hlm. 1 dan 11).

Apa yang kemudian menarik digarisbawahi dari apologia Sri Mulyani Indrawati adalah fakta bahwa aksi-reaksi begitu kuat mewarnai konstruk kebijakan ekonomi di Indonesia. Sementara, aksi-reaksi itu muncul sebagai akibat logis dari besarnya kepentingan subyektif para aktor dalam tubuh pemerintahan. Munculnya pandangan kritis dari kalangan DPR dan ahli-ahli ekonomi berkenaan dengan bail out Bank Century itu lalu bermuara pada terlampau besarnya jumlah dana bail out. Apalagi, Bank Century tak termasuk bank besar di Tanah Air.

Terhitung sejak Agustus 2009, bail out Bank Century benar-benar bergulir menjadi kontroversi. Tetapi dahsyatnya, selama itu pula Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati bersikukuh pada sebuah perspektif: penyelamatan Bank Century dari kebangkrutan merupakan keharusan. Kalau tak dilakukan penyelamatan, kejatuhan Bank Century bakal memunculkan dampak sistemik terhadap perbankan nasional secara keseluruhan.

Di sini kita melihat, betapa sesungguhnya tak ada pertimbangan yang bersifat dialektik mengapa dibutuhkan penyelamatan terhadap Bank Century. Apa yang dibahasakan sebagai “risiko sistemik” dari kejatuhan Bank Century merupakan asumsi yang tak divalidasi kebenarannya. Bagaimana menjelaskan seluruh aspek dan dimensi dari “risiko sistemik”, hingga kini tak pernah dilakukan. Seberapa valid asumsi tersebut dan adakah upaya falsifikasi terhadap asumsi tersebut, merupakan pertanyaan yang hingga kini tak pernah jelas jawabannya.

Masalah Obyektivitas

Hingga memasuki bulan suci Ramadhan 2009, pro-kontra terhadap bail out Bank Century tetap terpaku pada rasionalitas yang mendasari argumentasi “risiko sistemik” jika Bank Century dibiarkan kolaps. Anggota DPR, analis ekonomi, dan eksponen gerakan anti-korupsi yang menentang bail out Bank Century lalu berbicara tentang sesuatu yang sama: menggugat obyektivitas penilaian, analisis dan kesimpulan KSSK. Seluruh kritik yang diarahkan pada KSSK mengandung substansi ketidakpercayaan terhadap “risiko sistemik” sebagai argumen obyektif serta patut dipertanggungjawabkan secara moral.

Dari seluruh hingar-bingar pembicaraan yang mewarnai pro-kontra terhadap bail out Bank Century, fokus telaahnya memang terkait erat dengan hakikat “risiko sistemik”. Tanpa bisa dielakkan, “risiko sistemik” kemudian berkembang menjadi nomenklatur yang implementasinya sebagai dasar lahirnya kebijakan ekonomi-politik diperdebatkan secara sengit. Nomenklatur ini muncul ke permukaan sekaligus sebagai gambaran berkenaan dengan runtuhnya kepercayaan terhadap pemerintah.

Sejatinya, argumen “risiko sistemik” yang dilontarkan pemerintah (baca: KSSK dan LPS) diterima secara taken for granted oleh semua pihak demi utuhnya sistem perbankan nasional. Tetapi, disinilah masalahnya. Berbagai argumen yang mendasari lahirnya sebuah kebijakan justru potensial untuk dipersoalkan hakikatnya. Maka, apa yang disebut “berbahaya” oleh pemerintah tidak mendapatkan penerimaan secara utuh oleh berbagai interest group dalam masyarakat. Sehingga dengan demikian, pemerintah dan masyarakat bersimpang jalan sedemikian rupa.

Sebuah penjelasan yang kemudian dibeberkan oleh petinggi Bank Indonesia (BI) membuka sebuah tabir. Bahwa di Indonesia memang tak ada standarisasi untuk menentukan kriteria bank sistemik. Dampak sistemik keberadaan sebuah bank terhadap sistem perbankan nasional secara keseluruhan hanya dilandaskan pada lima aspek umum, yaitu: (1) dampaknya terhadap institusi keuangan, (2) dampaknya terhadap pasar uang, (3) dampaknya terhadap sistem pembayaran, (4) dampaknya terhadap psikologi pasar, serta (5) dampaknya kepada sektor riil (Kompas, 10 September 2009, hlm. 21). Dengan demikian berarti, dampak sistemik kejatuhan sebuah bank terhadap sistem perbankan nasional secara keseluruhan merupakan sesuatu yang interpretatif saja sifatnya. Ada tidaknya dampak sistemik dari keberadaan sebuah bank, ditentukan oleh perspektif yang tak sepenuhnya obyektif.

Sejalan dengan tabiat pemerintah yang tak terbiasa bekerja secara obyektif menangani agenda-agenda publik, inklinasi untuk melihat berbagai ontologi masalah secara interpretatif justru potensial mengedepankan kepentingan bercokol (vested interest). Bukan saja ini menjadi sumber ketidakadilan, lebih dari itu pemerintah terus-menerus mereproduksi kebijakan yang bercorak reaksioner. Akibatnya sungguh serius. Kebijakan pemerintah, sampai kapan pun, gagal berfungsi sebagai basis terwujudnya daya saing perekonomian nasional berhadapan dengan perekonomian bangsa-bangsa lain di dunia.

1 komentar:

Abd Rohim Ghazali mengatakan...

Prahara Bank Century secara praktis menunjukkan betapa kekuasaan uang menjadi panglima di negeri ini. Para deposan kakap Bank Century adalah tokoh-tokoh yang berperan besar memenangkan SBY. Jadi jelas SBY (melalui Sri Mulyani dan Boediono) punya kepentingan menyelamatkan dana mereka...

Sementara secara teoritis menunjukkan betapa ambigunya neoliberalisme yang diusung pemerintah. Kalau mau konsisten dengan sistem perekonomian neoliberal, seharusnya pemerintah membiarkan Bank Century sesuai mekanisme pasar...
Atau sebenarnya Sri Mulyani ingin menegaskan bahwa dirinya, juga Boediono, bukan seorang neolib. Wallahu a'lam!