Selasa, 15 September 2009

Muhammadiyah yang Dilematis

Oleh Anwari WMK

Melalui gerakan tajdid atau pembaharuan, Muhammadiyah memasuki agenda purifikasi. Dengan purifikasi, Muhammadiyah melakukan pembersihan paham keagamaan. Metode yang kemudian diimplementasikan adalah kembali kepada Al Qur’an dan Sunnah Nabi. Terhitung sejak awal mula berdirinya pada tahun 1912, begitulah watak dan sepak terjang Muhammadiyah. Dengan model pembaharuan Islam yang dicanangkan, gerakan Muhammadiyah lalu melahirkan sejumlah kader dan tokoh di tingkat nasional. Melalui para kader dan tokoh itulah Muhammadiyah lantas memberikan sumbangsih yang tak kecil terhadap bangsa ini.

Kini, kita tak bisa lari dari kesimpulan, bahwa keberhasilan Muhammadiyah dalam perjalanan historisnya sebagai sebuah gerakan Islam di Indonesia tak bisa dilepaskan dari tajdid ke arah purifikasi keagamaan. Keberadaan Muhammadiyah pun sejalan dengan dekonstruksi terhadap anasir-anasir tahayul, bid’ah dan khurafat yang menggerus kesejatian ajaran Islam. Pada titik ini Muhammadiyah mendedahkan pentingnya kemurnian dalam memahami ajaran-ajaran Islam hingga pada hakikatnya. Barangkali, ini merupakan sisi lain dari heterogenitas Indonesia, di mana Muhammadiyah tampil dengan upaya purifikasi terhadap ajaran Islam.

Namun tajdid yang bergerak mencapai pelataran purifikasi itu bukan berarti tak mencetuskan tantangan pada level internal Muhammadiyah. Di kalangan orang-orang Muhammadiyah sendiri sesungguhnya terjadi perbenturan antara wahyu dan rasio. Selama dekade 1970-an dan sesudahnya, dinamika internal Muhammadiyah diwarnai oleh timbulnya ketegangan antara wahyu dan rasio. Muhammadiyah tak sepenuhnya memiliki mekanisme organisasional untuk menyelesaikan ketegangan rasio versus wahyu. Para pengurus Muhammadiyah pada level akar rumput diperhadapkan dengan problema ketegangan tersebut.

Sementara dalam hubungannya dengan kalangan eksternal, Muhammadiyah tampak menjulang sebagai gerakan Islam di Indonesia dengan mengusung agenda besar berupa pembongkaran kejumudan berpikir di kalangan umat Islam secara keseluruhan. Resistensi kalangan eksternal terhadap Muhammadiyah tak bisa dilepaskan dari agenda besar Muhammadiyah membongkar kejumudan berpikir. Pola keberagamaan (Islam) yang ditengarai mengandung anasir kejumudan oleh Muhammadiyah dijadikan sasaran garap dan tindakan. Pelan tapi pasti, kelompok-kelompok Islam tradisional terancamn eksistensinya. Resistensi kelompok-kelompok Islam tradisional terhadap Muhammadiyah tampak kian menonjol. Muhammadiyah lalu hadir sebagai gerakan reformasi ajaran Islam yang berbenturan dengan paham keagamaan kaum tradisionalis.

Skripturalisme

Harmonisasi rasio dan wahyu sesungguhnya merupakan agenda besar yang relevan dikedepankan untuk keperluan memajukan kehidupan umat Islam. Sebagaimana diketahui, kejayaan Islam selama abad pertengahan dalam bidang kebudayaan dan peradaban mengambil titik tolak dari timbulnya harmoni antara wahyu dan rasio. Islam sebagai “agama ilmiah” menemukan wujud kongkretnya selama abad pertengahan itu. Filosuf besar Ibn Rushd lalu melukiskan realitas ini dengan narasi kalimat: “Al Qur’an dan filsafat merupakan saudara sepersusuan”. Tampak jelas di sini, betapa pemahaman terhadap segenap hakikat dalam Al Qur’an dapat disingkapkan melalui jalan filsafat, ilmu pengetahuan diskursif dan eksperimental.

Ketika kejayaan Islam memasuki fase epilog, maka wahyu dan rasio mulai bersimpang jalan. Trase perjalanan Islam ke depan justru mulai meninggalkan rasio. Paham dan perspektif keagamaan Islam sepenuhnya dibangun di atas landasan wahyu, namun mengabaikan arti penting rasio. Berbagai rumusan yang terkonstruksikan untuk memahami ajaran-ajaran suci Islam semakin mengabaikan rasio. Generasi-generasi baru kaum Muslimin yang datang kemudian semakin terkristalisasi oleh keadaan untuk lebih memandang penting wahyu ketimbang rasio dan bahkan membenturkan wahyu dengan rasio. Pada titik ini, rasio memasuki masa penelantaran yang tiada taranya dalam dunia Islam.

Sesungguhnya, Muhammadiyah lahir dalam situasi keumatan semacam itu. Muhammadiyah hadir tatkala pengajaran tentang wahyu menegasikan rasio. Mengingat rasio lumpuh saat diharapkan mampu berfungsi sebagai dasar membentuk penalaran kritis yang humanistik terhadap pesan-pesan suci wahyu, maka pesona Islam pada akhirnya lebih bersifat mistik. Dengan sendirinya, keruntuhan kejayaan Islam berbanding lurus dengan kian semaraknya perkembangan mistisisme. Islam benar-benar kehilangan dimensi keilmiahannya.

Ketika perkembangan lebih jauh mistisisme membentuk comfort zone fatalistik, maka anasir-anasir mistik-fatalistik lain dengan mudahnya menelusup masuk ke dalam praktik keagamaan Islam. Sinkretisme Islam dan Hinduisme dalam praktik keagamaan kaum Muslim di Nusantara merupakan contoh riil dari masuknya anasir mistik-fatalistik lain ke dalam praksis keberagamaan kaum Muslim. Bukan saja wahyu dan rasio terpilin ke dalam disintegrasi peran, fungsi dan makna. Lebih dari itu, terjadi toksitisasi mistisisme Islam oleh mistisisme lain di luar ajaran Islam. Tasawuf dalam tataran implementasinya pada tingkat tarekat, misalnya, begitu mudahnya memasukkan anasir pemujaan terhadap orang-orang yang sudah mati.

Sayangnya, tajdid Muhammadiyah difokuskan secara penuh untuk semata memberangus segala bentuk praktik keagamaan yang tak termaktub ke dalam teks-teks suci Al Qur’an maupun Hadits Nabi. Sangat bisa dimengerti kemudian, mengapa gerakan tajdid Muhammadiyah bersifat partikular untuk hanya membongkar tahayul, bid’ah dan khurafat. Muhammadiyah tak mampu merajut kembali jalinan secara harmoni wahyu dan rasio yang telah tercerai berai. Akibatnya tampak pada dua hal.

Pertama, gagasan untuk kembali kepada Al Qur’an dan Sunnah justru melahirkan suatu model pemahaman keagamaan yang bercorak skripturalis. Muhammadiyah bukanlah lingkungan dinamis yang menstimuli lahirnya pemikiran-pemikiran baru dan cerdas dengan Al Qur’an dan Sunnah sebagai titik tolaknya. Tuntutan ke arah ini hanya berhasil diartikulasikan oleh generasi pertama tokoh-tokoh Muhammadiyah, seperti adopsi kurikulum pendidikan modern ke dalam sistem pengajaran Muhammadiyah. Selebihnya, Al Qur’an dan Sunnah tak diupayakan untuk dimengerti secara hermeneutik untuk melahirkan kejayaan Islam seperti terjadi pada abad pertengahan. Kalau pun terdapat elaborasi yang cerdas terhadap Al Qur’an dan Sunnah, maka elaborasi tersebut dilakukan oleh orang per orang dalam lingkungan Muhammadiyah, tidak dilakukan oleh Muhammadiyah sebagai organisasi.

Kedua, Muhammadiyah bukanlah organisasi keagamaan di Indonesia yang mampu membendung arus besar sekularisasi yang bergemuruh di ruang publik. Pada satu sisi, Muhammadiyah gagal menawarkan cetak biru alternatif sistem pendidikan nasional demi menjaga martabat bangsa ini dari gilasan sekularisasi. Pada lain sisi, Muhammadiyah tak memiliki kemampuan mengoreksi bencana sosial yang dicetuskan oleh “industri kesadaran”—meminjam istilah Mahzab Frankfurt—melalui medium penyiaran televisi. Realitas ini meniscayakan Muhammadiyah untuk mengoreksi tendensi skripturalisme yang melekat ke dalam dirinya.

Masa Depan Dilematis

Apa yang baru saja dibentangkan merupakan dilema pelik yang dihadapi Muhammadiyah, terutama dalam menyongsong masa depan. Dengan amal usaha yang bermunculan di seantero Nusantara, bagaimana pun, Muhammadiyah telah menyumbang pada bangsa ini. Hanya saja, Muhammadiyah terjebak ke dalam psedo tajdid lantaran tak memupuk kemampuan untuk melakukan rekonfigurasi dan reintegrasi wahyu dengan rasio. Organisasi Muhammadiyah mungkin akan terus melaksanakan agenda pelayanan sosial, pendidikan dan kesehatan terhadap bangsa ini. Tetapi, semuanya berjalan bukan sebagai terobosan besar.

Apa yang kemudian penting dilakukan adalah menyelesaikan dilema tersebut. Muhammadiyah sebagai gerakan Islam harus mulai mengembangkan metode berpikir filosofis, demi mempersambungkan wahyu dan rasio. Jika ini dilakukan, Muhammadiyah bukan saja besar dari segi amal usaha, tetapi juga digdaya dalam hal melahirkan pemikiran-pemikiran besar.

Jakarta, 13 September 2009

1 komentar:

Abd Rohim Ghazali mengatakan...

Karena diundang khusus oleh pak Anwari untuk menanggapi. saya mencoba menanggapinya. Mudah-mudahan tidak misleading...

Muhammadiyah sebagai gerakan Islam adalah sesuatu yang sudah “muttafaq alaihi” atau “la raiba fihi”. Tapi gerakan macam apakah yang diusung Muhammadiyah? Adalah pertanyaan yang tidak pernah memiliki jawaban yang baku. Sejumlah kajian yang sudah mengemuka boleh jadi bertendensi subjektif, bias oleh latar belakang, sudut pandang, atau bahkan kepentingan si pengkaji. Tapi bsaya yakin tak ada yang salah dari kajian itu, karena Muhammadiyah sendiri lebih mengedepankan prinsip ijtihadi, suatu prinsip yang tak pernah memfonis kesalahan secara mutlak.

Di mata para pecinta ilmu, gerakan Muhammadiyah adalah gerakan ilmu. Ada argumen yang kuat melatari kesimpulan ini, terutama perhatian besar KH Ahmad Dahlan terhadap pendidikan. Dan, apa yang dilakukan Kiai Dahlan dengan mengubah arah kiblat, mendidikan sekolah , rumah sakit dan beragam panti, tidak mungkin bisa dilakukan tanpa adanya landasan filosofis yang kuat yang berasal dari pemehamannya yang mendalam terhadap ajaran Islam.

Tapi jangan lupa, Kiai Dahlan juga sangat konsen dengan nasib anak-anak yatim, fakir miskin, dan orang-orang jompo. Bahkan kabarnya beliau tidak suka dengan murid-muridnya yang hanya bisa membaca dan menghapal ayat al-Quran tanpa mengamalkan isinya. Inilah sebab mengapa ada yang bersikukuh mengatakan bahwa Muhammadiyah adalah gerakan praksis, bukan gerakan ilmu atau pemikiran. Pandangan ini dikuatkan oleh tidak adanya blue-print, atau katakanlah manifesto gerakan Muhammadiyah yang ditinggalkan Kiai Dahlan. Yang banyak ditemui dari Kiai dahlan adalah sejarah perjuangan, bukan sejarah pemikiran.

Uraian kecil ini hanya ingin memberikan poin, mungkin pak Anwari benar bahwa Muhammadiyah menghadapi dilema dalam menyongsong masa depan, antara terus mengembangkan amal usaha atau berusaha menghadirkan pemehaman pemikiran dan kajian yang lebih komprehensif mengenai Islam.

Tapi mungkin juga bukan dilema, karena dalam batas-batas tertentu Muhammadiyah tetap konsen pada keduanya. Masalahnya memang pastilah gerakan praksis jauh lebih menonjol sehingga seolah-olah Muhammadiyah mengabaikan Islam yang lebih sustantif.

Satu hal yang layak juga kita cermati, mengapa sejarah Kiai Dahlan lebih lekat dengan surah al-Ma’un ketimbang al-Alaq…