Rabu, 16 September 2009

Muhammadiyah dan Politik

Oleh Anwari WMK

Sejak era pasca-Orde Baru, hubungan Muhammadiyah dan politik mengalami pergeseran perspektif. Pada satu sisi, pasca-Orde Baru merupakan sebuah kurun waktu yang memberi ruang secara sangat luas bagi berlangsungnya liberalisasi politik. Kenyataan ini kontras dengan perkembangan selama Orde Baru yang menggiring perpolitikan nasional ke dalam situasi monolitik. Namun pada lain sisi, perpolitikan Indonesia pada era pasca-Orde Baru bercorak multipartai. Realitas baru ini menimbulkan akibat yang tak sederhana bagi organisasi keagamaan semacam Muhammadiyah. Kader dan tokoh Muhammadiyah ikut aktif dalam aneka partai politik, bahkan terlibat ke dalam proses pendirian partai-partai politik. Dari rahim organisasi keagamaan semacam Muhammadiyah lahir partai-partai politik.

Muhammadiyah lalu ikut terseret ke dalam metamorfosis politik bangsa ini. Pada era Orde Baru perpolitikan Muhammadiyah hanya fokus pada upaya menangkal berbagai mudarat yang dicetuskan oleh kekuasaan rezim otoriter. Pada era pasca-Orde Baru Muhammadiyah diperhadapkan dengan kepentingan kader dan anggota yang terobsesi merebut sumber-sumber kekuasaan melalui berbagai macam partai politik. Itulah mengapa, perpolitikan Muhammadiyah diwarnai oleh pergeseran perspektif sejak era pasca-Orde Baru.

Perpolitikan Muhammadiyah

Kini, pembacaan terhadap perpolitikan Muhammadiyah menjadi menarik karena dua hal. Pertama, jajaran Pimpinan Pusat Muhammadiyah terus berupaya meyakinkan publik, bahwa Muhammadiyah bukanlah organisasi politik par excellence. Muhammadiyah tak terlibat dan takkan terseret ke dalam kegiatan politik praktis. Muhammadiyah tetap perpijak pada kesejatian dirinya sebagai penjaga moral bagi bangsa ini. Amal usaha Muhammadiyah dalam bidang sosial, pendidikan dan kesehatan di seantero Nusantara harus tetap dimengerti ke dalam kaitan konteks dengan peran sebagai penjaga moral bagi bangsa ini. Peran kebangsaan Muhammadiyah semacam inilah yang dibahasakan M. Amien Rais selama satu dekade terakhir Orde Baru sebagai high politics.

Dengan demikian, aspek-aspek politik yang disentuh Muhammadiyah berada dalam orbit pencapaian kemaslahatan kolektif bangsa ini. Pernyataan para tokoh di jajaran Pimpinan Pusat Muhammadiyah merupakan penegasan secara repetitif akan adanya sebuah opsi moralitas yang memosisikan Muhammadiyah bukan sebagai pemain pada kancah politik nasional.

Kedua, tak sedikit dari kader dan tokoh Muhammadiyah berkontribusi pada pendirian Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Bulan Bintang (PBB) dan Partai Matahari Bangsa (PMB). Fakta ini merupakan indikasi, betapa keterlibatan secara aktif warga Muhammadiyah ke dalam kancah politik praktis—melalui pendirian partai-partai politik baru—bersifat heterogen. Sekali pun Muhammadiyah meng-endorse berdirinya PAN, tak dapat dibendung jika kader-kader Muhammadiyah yang lain ikut membidani lahirnya PBB dan PMB.

Tokoh, kader dan warga Muhammadiyah, dengan demikian, tak mengunakan saluran aspirasi politik yang bersifat monolitik. Bahkan, sebelum berdirinya partai-partai tersebut, selama era Orde Baru cukup banyak kader Muhammadiyah yang aktif di Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan di Golongan Karya (Golkar). Manfaat yang dapat dipetik dari kenyataan ini ialah persebaran aspirasi warga Muhammadiyah melalui berbagai macam partai politik. Tetapi kelemahannya, soliditas Muhammadiyah terancam oleh proses disintegrasi oleh penonjolan kepentingan tokoh-tokoh Muhammadiyah yang saling berkompetisi satu sama lain memperebutkan sumber-sumber kekuasaan politik.

Pasca-Pemilu 2009

Perkembangan selama Pemilu 2009 mempertontonkan adanya rivalitas sengit PMB versus PAN. Demi memperebutkan suara warga Muhammadiyah, rivalitas ini sangat terasakan vibrasinya di berbagai kantong konstituen politik Muhammadiyah. Bahkan, organisasi Muhammadiyah terancam dilanda disintegrasi oleh timbulnya rivalitas PMB versus PAN. Masalahnya, PMB tak mendapatkan suara signifikan dalam Pemilu 2009. PMB gagal mendudukkan wakilnya di parlemen. Kenyataan ini mencetuskan sebuah implikasi. Bahwa untuk selanjutnya, hubungan Muhammadiyah dan perpolitikan nasional bersinggungan dengan keberadaan PAN. Benar bahwa para kader dan warga Muhammadiyah memiliki pilihan bebas mendukung partai politik selain PAN yang memiliki kursi di parlemen. Tetapi relasi kuasa eksekutif negeri ini hingga 2014 hanya memungkinkan masuknya tokoh-tokoh Muhammadiyah melalui PAN.

Sebagai dua domain berlainan, relasi antara Muhammadiyah dan perpolitikan nasional membutuhkan PAN sebagai jembatan. Diakui atau tidak, inilah realitas yang tak terelakkan selama kurun waktu 2009-2014. Aspirasi warga Muhammadiyah dalam bidang politik tak bisa mengelak dari keberadaan PAN. Pengingkaran terhadap kenyataan ini justru mengancam efektivitas artikulasi kepentingan warga Muhammadiyah dalam bidang politik. Tetapi persoalan lain yang tersembul ke permukaan terkait dengan tingkat akomodasi PAN terhadap aspirasi politik Muhammadiyah. Hingga tahun 2014 sesungguhnya tak ada kepastian, apakah PAN mengemban kesejatian politik untuk sepenuhnya berfungsi sebagai saluran aspirasi Muhammadiyah.

Logika politik yang berkembang dewasa ini menegaskan, Muhammadiyah dan PAN bertekad memperkuat dukungan kepada pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono hingga tahun 2014. Tak tanggung-tanggung, tekad politik ini dikemukakan Ketua Majelis Pertimbangan Pusat PAN dan tokoh penting Muhammadiyah, Amien Rais, dalam perhelatan buka puasa bersama antara keluarga besar Muhammadiyah dan Presiden Yudhoyono di Jakarta, pada 14 September 2009. Sekilas pintas, logika politik ini menempatkan Muhammadiyah dalam posisi paralel dengan PAN untuk mendukung rezim kekuasaan 2009-2014 di bawah kepemimpinan Presiden Yudhoyono. Hanya saja, diktum Muhammadiyah yang tak berpolitik praktis justru menggulirkan adanya logika politik yang lain. Logika politik ini justru memosisikan PAN berdiri di depan Muhammadiyah saat harus membangun relasi dengan rezim kekuasaan Yudhoyono. Apa boleh buat, Muhammadiyah menjadi follower yang bergerak di belakang PAN untuk dapat menjalin relasi dengan rezim kekuasaan.

Melalui pernyataannya yang lugas dalam acara buka puasa bersama itu, Amien Rais berbicara tentang arti penting memperkuat dukungan Muhammadiyah pada pemerintahan selama lima tahun mendatang. Muhammadiyah, kata Amien Rais, berkepentingan untuk turut serta menyukseskan kepemimpinan nasional mendatang, sebagai perwujudan dari komitmen berbagi tanggung jawab atas masa depan bangsa. ”Kita mempererat dukungan kepada Presiden sebagai kepala pemerintahan,” ucap Amien Rais. ”Saya tidak menggarisbawahi pentingnya berbagi kekuasaan, tetapi berbagi tanggung jawab. Ini lebih penting bagi Muhammadiyah,” kata Amien Rais lagi.

Pertanyaan krusialnya kemudian, apakah seluruh eksponen Pimpinan Pusat Muhammadiyah legowo menerima realitas politik ke depan berdasarkan skenario Amien Rais itu? Jawabnya, “tidak”. Itu tercermin pada ketidakhadiran Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Din Syamsuddin dalam perhelatan buka puasa bersama antara keluarga besar Muhammadiyah dan Presiden Yudhoyono. Hubungan Muhammadiyah dan perpolitikan nasional mendatang menurut versi Amien Rais takkan sepenuhnya seiring dan sejalan dengan apa yang dikehendaki Din Syamsuddin. Muhammadiyah mungkin takkan pernah bisa mengelakkan dirinya untuk membangun relasi dengan kuasa politik selama lima tahun ke depan. Tetapi relasi dengan versi siapa, itulah masalahnya.

Apa yang kemudian menarik digarisbawahi dengan demikian adalah pentingnya untuk kembali memikirkan keniscayaan bagi Muhammadiyah melahirkan sebuah manifesto politik. Seiring dengan perguliran demokrasi di negeri ini selama kurang lebih satu dasawarsa berjalan, Muhammadiyah sejatinya memiliki haluan baru berpolitik. Apalagi, perguliran demokrasi selama kurang lebih satu dasawarsa itu tak memiliki kejelasan koherensi dengan tujuan-tujuan bernegara sebagaimana termaktub ke dalam Pembukaan UUD 1945. Manifesto poltik merupakan paradigma politik bagi Muhammadiyah dalam menjalin relasi dengan kuasa rezim. Sehingga, jalinan relasi kuasa tak lagi berlandaskan perspektif orang per orang yang cenderung subyektif.

Jakarta, 16 September 2009

Tidak ada komentar: