Rabu, 14 Mei 2008

Bebas dari Kutukan Minyak

Oleh
Anwari WMK
anwari_wmk@plasa.com

Apa yang kita saksikan sejak awal 2008 adalah ketidakpastian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) akibat kenaikan harga minyak di pasar dunia. Asumsi APBN selalu berubah-ubah lantaran harus disesuaikan dengan struktur baru harga minyak di pasar global. Kita lalu kehilangan percaya diri sebagai bangsa. Dalam menyusun anggaran negara, kita terombang-ambing oleh lonjakan harga minyak di pasar dunia. Seakan tak ada yang lebih penting dipertimbangkan dalam konteks penyusunan APBN, selain terus-menerus mencermati harga minyak di pasar dunia. Secara kategoris, APBN-P memang kemudian menetapkan patokan subsidi bahan bakar minyak (BBM) menjadi sekitar Rp 127 triliun. Namun demikian tetap muncul kegamangan. Besaran subsidi BBM potensial membengkak antara Rp 150 triliun hingga Rp 200 triliun, yaitu manakala ternyata agenda penghematan BBM gagal diimplementasikan. Pertanyaan filosofisnya lalu berbunyi: Sampai kapan bangsa ini membiarkan dirinya terus terombang-ambing? Tak adakah spirit rawe-rawe rantas untuk mengakhiri keterombang-ambingan itu? Adakah keberanian padare zim yang tengah berkuasa untuk menemukan formula pembebasan bangsa ini dari belenggu minyak?

Proyeksi baru menyebutkan, harga minyak di pasar dunia pada penghujung 2008 bakal menembus US$ 200 per barrel. Ini merupakan perkara super kompleks. Subsidi minyak dalam APBN terancam mengalami pembengkakan. Tanpa adanya kebijakan ekonomi yang sound, ketidakpastian bakal menjalar dengan cepat untuk kemudian “membakar” perekonomian nasional secara keseluruhan. Minyak dalam fungsinya sebagai variabel determinan penyusunan harga pokok, tendensi kenaikannya justru menohok secara telak perekonomian nasional. Ketika perekonomian nasional benar-benar terpojok oleh kenaikan harga minyak, maka tanpa bisa dielakkan bangsa ini berada dalam kutukan. Besarnya ketergantungan kepada minyak, mendorong semua kekuatan ekonomi terjerembab ke dalam titik nadir kahancuran. Atas dasar ini pula penting merumuskan jalan keluar pembebasan diri dari kutukan minyak.

Bagi Indonesia, pembebasan ini memiliki dasar-dasar rasionalitas yang kuat. Seluruh faktor pemicu kenaikan harga minyak berada di luar spektrum perekonomian nasional. Kenaikan harga minyak di pasar global berjalin kelindan dengan segala sesuatu yang tak berkorelasi secara langsung dengan perekonomian bangsa ini, yaitu: (1) kapasitas produksi minyak Saudi Arabia yang tak signifikan, (2) faktor geopolitik akibat terjadinya pergolakan politik dan militer di beberapa negara produsen minyak, (3) besarnya konsumsi minyak China dan India sebagai dua raksasa baru perekonomian dunia, (4) potensi melemahnya US$—sebagai mata uang referensi dalam perdagangan minyak dunia—berhadapan dengan Euro dan Yen. Sejatinya, Indonesia memiliki peluang yang lebih besar untuk membebaskan diri dari kutukan minyak.

Dilema Indonesia kini berjalin kelindan dengan tak adanya upaya seksama berpikir di luar kotak (out of box). Belum ada kehendak untuk memasuki fase pembebasan APBN dari determinasi minyak. Berbagai opsi kebijakan yang digulirkan pemerintah, analis dan pengamat ekonomi, tak henti-hentinya mempertimbangkan posisi minyak dalam menentukan besaran APBN. Maka, mengemuka paradigma, bahwa minyak dalam APBN terus-menerus dipersepsi sebagai realisme yang tak terbantahkan. Bahkan, dipandang absurd munculnya gagasan untuk meniadakan aspek minyak dalam APBN. Tak mengherankan jika, tarik-menarik kepentingan ke arah penyelamatan APBN, sebagian terbesarnya ditentukan oleh keberadaan minyak. Berbagai gagasan yang bercorak kontradiktif dalam konteks penyelamatan APBN didominasi persoalan minyak.

Diskusi yang sedemikian rupa mengemuka di ruang publik semakin jauh dari harapan berpikir di luar kotak. Pertama, pemerintah berbicara tentang berbagai skenario penghematan justru demi mengukuhkan posisi minyak dalam APBN. Skenario itu terdiri atas pengalihan 2 juta kiloliter konsumsi premium oktan 88 dengan premium oktan 90, penerapan insentif dan disinsentif tarif listrik, penggunaan lampu hemat energi, konversi minyak tanah ke gas, pemanfaatan energi alternatif dan penggunaan smart card demi menekan terlampau besarnya konsumsi BBM. Sejatinya, semua skenario ini diberlakukan sebagai upaya jangka pendek demi mencapai sasaran jangka panjang pembebasan APBN dari peran determinatif minyak.

Kedua, implementasi secara lebih seksama Inpres No. 10 Tahun 2005 tentang Penghematan Energi juga merupakan pengakuan lebih lanjut terhadap besarnya pengaruh minyak terhadap APBN. Sungguh pun Inpres No. 10 Tahun 2005 ini diarahkan untuk mengamankan anggaran subsidi energi sebesar Rp 187,1 triliun dalam APBN-P 2008, lagi-lagi, ini takkan menggeser paradigma ketergantungan kepada minyak. Ketiga, kenaikan harga BBM versi pemerintah dikemukakan sebagai fakta lain besarnya pengaruh minyak terhadap APBN. Itulah mengapa, kenaikan BBM dilandaskan pada realisasi lifting minyak sebesar 927 ribu barrel per hari, kecenderungan harga minyak selama semester I tahun 2008, dan kemampuan dana pengamanan sebesar Rp 9,3 triliun dalam APBN-P untuk menutupi penambahan anggaran subsidi.

Mungkinkah bangsa ini sepenuhnya mampu bebas dari kutukan minyak? Dalam jangka pendek, jelas tidak mungkin. Sehingga, berbagai opsi yang termaktub ke dalam penghematan BBM harus diterima sebagai kerangka pengatasan masalah. Tetapi untuk jangka panjang, harus ada konsensus nasional melepaskan ketergantungan pada minyak. Kalau tidak, APBN bakal diwarnai oleh apa yang disebut oil-related conflict. Indonesia dengan demikian harus mengubah haluan konsumsi energi. Penting dicatat, Indonesia merupakan negeri yang kaya sumber-sumber energi. Selain minyak bumi, Indonesia memiliki batubara, gas bumi, panasbumi, biofuel, tenaga surya, tenaga angin, biomassa dan fuel cell. Sayangnya, minyak bumi, batubara dan gas bumi berada dalam posisi yang sangat menonjol. Dengan sendirinya, terjadi pemubadziran terhadap sumber-sumber energi lain diluar minyak bumi, batubara dan gas bumi.

Dalam konteks ini, tak mungkin kita hanya berbicara tentang diversifikasi energi. Jauh lebih susbtansial lagi dari itu adalah mendekonstruksi format kapitalisme yang hingga kini berbasis energi minyak bumi. Caranya, rezim yang tengah berkuasa kini melakukan upaya over-sacrifice demi mengefektifkan penggunaan seluruh sumber energi yang tersedia di negeri ini. Perluasan pemanfaatan energi di luar minyak bumi itulah yang kemudian ditengarai sebagai postpetroleum economy (lihat Michael Clare, Blood and Oil [New York: Penguin Books, 2004], hlm. 197-201). Jika untuk keperluan ini mengharusnya adanya koreksi secara mendasar terhadap keberadaan korporasi-korporasi minyak asing di Indonesia, maka rezim yang tengah berkuasa tak boleh ragu bertindak. Apa yang hendak dikatakan di sini, diversifikasi energi dalam maknanya yang kongkret harus dilihat berada dalam kerangka kepentingan nasional (national interest) bangsa ini.[]

Menyelamatkan Rakyat atau APBN?

Oleh
Anwari WMK
anwari_wmk@plasa.com

Pada pasca-kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) Oktober 2005, pemerintah secara repetitif mengumandangkan janjinya, bahwa hingga 2009 takkan ada lagi kenaikan harga BBM. Dengan besaran kenaikan hingga 115%, inilah kenaikan harga BBM dalam skema one shoot inflation. Artinya, hingga 2009, tak ada lagi inflasi tinggi oleh terlampau kuatnya hentakan kenaikan harga BBM. Pada kurun waktu 2005 itu, asumsi harga minyak dalam APBN berada pada kisaran US$ 24 per barrel, sementara harga minyak mentah di pasar dunia mencapai US$ 35 per barrel. Kenaikan harga BBM ini membuahkan penghematan subsidi dalam APBN sebesar Rp 40,1 triliun, tetapi mengakibatkan timbulnya inflasi sebesar 18% (Koran Tempo, 6 Mei 2008, hlm. 1). Dalam realitas hidup masyarakat yang sangat kongkret, dampak inflasi ini berlangsung selama delapan bulan, sehingga sebagian dari rakyat kita yang semula “hampir miskin”, sekitika jatuh miskin (lihat editorial Kompas, 7 April 2008, hlm.6). Jika kenyataan ini disenandungkan, maka akan muncul narasi yang kurang lebih bercorak emansipatoris: “Cukuplah sudah kenaikan harga BBM Oktober 2005”.

Pada kurun waktu selanjutnya, trend kenaikan harga minyak mentah di pasar dunia tak mengubah sikap pemerintah. Janji untuk tak menaikkan harga BBM terus digelorakan di berbagai forum, dalam konferensi pers dan dalam wawancara menteri-menteri ekonomi di media massa. Menjelang akhir 2007, pemerintah masih menyanyikan lagu yang sama: Tak ada kenaikan harga BBM. Namun, ketika kemudian harga minyak mentah di pasar dunia menembus angka US$ 100 per barrel, para analis ekonomi mulai berbicara tentang keniscayaan menaikkan harga BBM. Dalam APBN-P 2008, subsidi BBM itu bahkan dicanangkan berada pada kisaran RP 126,8 trilun. Kalau tak diberlakukan kenaikan harga BBM, maka APBN-P 2008 bakal memikul beban subsidi yang sangat besar. Para analis juga berbicara tentang pertimbangan ekonomi dan politik. Jika harga BBM dinaikkan, maka pemerintah bertakzim pada pertimbangan ekonomi. Pemerintah dinilai tunduk kepada pilihan logis (rational choice) ekonomi. Sebaliknya jika harga BBM tak dinaikkan, maka pemerintah dinilai mengedepankan pertimbangan politik demi menghadapi pertarungan Pemilu 2009.

Berhadapan dengan opini para analis ekonomi itu, pemerintah hanya mengatakan satu hal. Bahwa kenaikan harga BBM merupakan opsi terakhir. Namun di sini mulai muncul sinyal berkenaan dengan terjadinya peluruhan terhadap janji untuk tak menaikkan harga BBM. Jika semula kenaikan harga BBM diartikulasikan sebagai “tidak mungkin”, pada akhirnya dikumandangkan sebagai “opsi terakhir”. Sebelum merangkul opsi terakhir itu, pemerintah terlebih dahulu melakukan penghematan di berbagai lini. Anggaran departemen dan lembaga negara lainnya bakal dipangkas hingga 15%, perjalanan dinas yang tidak perlu dianulir pelaksanannya, dan pendapatan dari deviden BUMN akan digenjot sebesar mungkin. Pendek cerita, ada sejumlah agenda yang mutlak dilakukan demi menyelamatkan APBN. Kenaikan harga BBM benar-benar diskenariokan sebagai opsi paling akhir ketika tak ada lagi opsi penyelesaian yang dianggap tepat. Sayangnya, semua itu sekadar bergulir sebagai retorika.

Sejurus dengan itu, berbagai proyeksi menyebutkan, bahwa pada penghujung 2008 harga minyak mentah di pasar dunia bakal mencapai US$ 140 per barrel. Para analis ekonomi lalu menyodok Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan kritik-kritik tajam. Tak adanya kehendak menaikkan harga BBM ditengarai sebagai upaya sang presiden menjaga citra politiknya. Karena itu pula, sang presiden dieksplisitkan sebagai figur yang takut mengambil keputusan tak populer. Kadin dan pengusaha papan atas juga berbicara tentang keharusan untuk menaikkan harga BBM, agar APBN tidak jebol. Bahkan, beberapa tokoh Kadin melemparkan usulan untuk menaikkan harga BBM hingga 30%. Pemerintah tetap merespons semua opini itu dengan narasi yang sama: Kenaikan harga BBM merupakan opsi terakhir.

Antara “ya” dan “tidak”, kenaikan harga BBM lalu mewarnai dinamika rezim kekuasaan. Media massa pun terombang-ambing membaca ketidakjelasan ini. Dengan keyakinan yang luar biasa besarnya, halaman depan harian Sindo edisi 30 April 2008 membentangkan logika kenaikan harga BBM. Secara rata-rata, kenaikan itu dinarasikan mencapai 28,7%. Juga pada edisi 30 April 2008, halaman depan harian Investor Daily mengedepankan salah satu opsi pemerintah berhadapan dengan masalah kenaikan harga minyak di pasar dunia. Opsi itu adalah menaikkan harga BBM sejak Juni 2008. Tetapi harian Jurnal Nasional (30 April 2008, hlm. 2), yang dikenal sebagai koran pendukung SBY, tampil dengan judul mencolok: ”Tak Ada Rencana Kenaikan Harga BBM”. Tampak jelas di sini, betapa sesungguhnya timbul teka-teki berkenaan dengan naik tidaknya harga BBM.

Sungguh pun begitu, pada akhirnya muncul sebuah titik balik. Sidang kabinet terbatas (5 Mei 2008) akhirnya menjatuhkan pilihan akan apa yang disebut “menaikkan harga BBM bersubsidi secara terbatas”. Dalam konteks ini, “terbatas” yang dimaksudkan adalah “kenaikan harga BBM dalam rentang jangkauan masyarakat dan pelaku usaha”. Sebagaimana dibentangkan Presiden SBY ke hadapan pemimpin redaksi media massa nasional, tekanan berat terhadap APBN merupakan latar paling penting kenaikan harga BBM. Di hadapan tokoh-tokoh pers itu, presiden berkata seperti ini: “Tahapan sekarang ini bukan lagi naik atau tidak naik. Kalau naik berapa? Komoditas apa saja? Apakah naiknya 20%, 25% atau 30%? Mengapa sampai pada angka itu? Kemudian instrumen yang menyertai kenaikan harga BBM apa saja?” (Kompas, 6 Mei 2008, hlm. 1).

Sinyal dari sidang kabinet itulah yang kemudian menggulirkan munculnya simulasi kenaikan harga BBM, demi menyelamatkan APBN. Pasokan premium hingga penghujung 2008 yang mencapai 16.950 juta kilo liter mampu menghemat subsidi hingga Rp 25,43 triliun jika harganya dinaikkan sebesar 33,33% (Rp 1500). Sehinga harga baru premium Rp 6.000 per liter. Pasokan solar yang mencapai 11.000 juta kilo liter mampu menghemat subsidi BBM sebesar Rp 13,20 triliun jika kenaikan harganya mencapai 27,91% (Rp 1.200). Sehinga harga baru solar Rp 5.500 per liter. Minyak tanah yang pasokannya mencapai 7.887 juta kilo liter mampu menghemat subsidi BBM dalam APBN sebesar Rp 3,94 triliun, yaitu manakala kenaikannya mencapai 25% (Rp 500), sehinga harga baru minyak tanah Rp 2.500 per liter. Dari total pasokan BBM 35.837 juta kilo liter, maka total penghematan subsidi BBM dalam APBN mencapai Rp 42,57 trilun.

Masalahnya, simulasi ini mengilustrasikan bekerjanya logika instrumental, lantaran tak mempertimbangkan bakal munculnya 15,68 juta orang miskin baru akibat kenaikan harga BBM (Kompas, 8 Mei 2008, hlm. 1). Hal substansial penyelamatan APBN berada dalam spektrum penundaan pembayaran utang luar negeri, penerapan pajak progresif terhadap kontraktor minyak asing, penghapusan pungli dan korupsi sebagai sukma penghematan pengelolaan negara pada berbagai lini, pengurangan margin Pertamina sebagai pelaksana Public Service Obligation (PSO), serta penerapan smart card untuk angkutan umum dan kendaraan bermotor roda dua dengan disertai keseriusan penegakan hukum. Semua ini merupakan agenda yang layak diberlakukan demi menyelamatkan rakyat dan APBN. Jangan sampai bangsa ini diperhadapkan dengan pertanyaan besar, apa sesungguhnya yang tengah berkecamuk dalam kesadaran rezim kekuasaan? Menyelamatkan rakyat atau APBN?[]

Jumat, 02 Mei 2008

Seandainya Dewantara Hadir
Praktik pendidikan kini tak sejalan dengan gagasan Dewantara

Oleh Anwari WMK

Hingga abad XXI kini, pendidikan nasional terbentur jalan buntu. Pendidikan nasional yang bermutu, membebaskan serta mampu membawa Indonesia menjadi bangsa kompetitif, berhenti sekadar sebagai keinginan yang menggelantung kaku di udara hampa. Tak ada kejelasan cetak biru (blue print), bahwa pendidikan nasional benar-benar menjadi pilar bagi tegaknya kebudayaan baru yang progresif. Pendidikan nasional juga belum mampu memperlihatkan “kesaktiannya” memainkan peran sebagai basis lahirnya peradaban demokrasi di Tanah Air.

Bahkan, persoalan lama muncul secara repetitif dalam dunia pendidikan. Ujian Nasional, misalnya, terus-menerus diwarnai kecurangan. Hanya untuk Ujian Nasional 2008 saja, kecurangan muncul di empat provinsi. Dari sini lalu mencuat pertanyaan-pertanyaan bernada kritikal. Apakah Ujian Nasional merupakan sebuah pembelajaran bagi manusia Indonesia agar menghargai sportivitas? Ataukah Ujian Nasional hanyalah basa-basi dan justru menumbuh suburkan kecurangan? Bagaimana memahami keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta bahwa Ujian Nasional tidak boleh dilaksanakan sebelum ada perbaikan mutu guru, sarana dan prasarana pendidikan serta akses informasi yang memadai?

Publik selalu dibombardir pemberitaan tentang pelajar Indonesia yang mampu tampil sebagai juara dunia dalam olimpiade fisika, matematika, biologi dan sebagainya. Apresiasi dalam maknanya yang positif, penting ditorehkan menyambut kenyataan ini. Sungguh pun demikian, keberhasilan meraih kejuaraan di tingkat dunia itu selalu disertai oleh catatan buruk tentang sistem. Bahwa keberhasilan itu bukan merupakan resultante dari sistem pendidikan nasional. Itulah keberhasilan yang digebrakkan melalui upaya-upaya individual siswa dan sekolah, bukan lahir dari prakarsa sistemik pendidikan nasional. Para siswa yang mampu tampil sebagai juara di mancanegara justru merupakan anomali dari sistem pendidikan nasionalyang karut-marut.

Seandainya Ki Hadjar Dewantara (2 Mei 1889 – 26 April 1959) kini hadir dan menyaksikan realisme yang memilukan itu, apa yang akan ia katakan?

Dewantara, sebagaimana kita tahu, seorang tokoh besar yang tak habis-habisnya berpikir tantang sukma dan rasionalitas pendidikan. Sukma pendidikan dalam perspektif Dewantara adalah membuka seluas-luasnya akses pendidikan kepada setiap anak manusia tanpa preferensi asal-usul keturunan, ras, etnisitas dan sukuisme. Pendidikan harus ditegaskan sebagai public domain dan karena itu harus tunduk pada diktum public sphere. Sebagai konsekuensinya, praksis pendidikan harus memberikan pengakuan secara seksama terhadap setiap talenta yang inherent ke dalam diri para subyek didik. Mengingkari semua ini sama saja maknanya dengan meluluhlantakkan hakikat sesungguhnya pendidikan.

Rasionalitas pendidikan dalam perspektif Dewantara adalah akomodasi seluruh proses pendidikan ke dalam sebuah sistem yang terukur, cermat, transparan serta bersih dari berbagai tipu muslihat. Inilah sistem pendidikan yang menjunjung tinggi kemanusian. Dengan rasionalitas semacam ini sangat bisa dimengerti mengapa Dewantara tak hanya dikenal luas sebagai pemikir (the thinker) pendidikan. Di atas segalanya, Dewantara arsitek bagi berdirinya institusi pendidikan yang kemudian dikenal luas sebagai “Taman Siswa”.

Hubungan antara “sukma” dan “sistem” itulah yang mengondisikan dunia pendidikan berada dalam sebuah kompleksitas proses. Dengan pengucapan yang sangat cerdas, Dewantara menyebut kompleksitas proses itu ke dalam tiga nomenklatur yang sangat terkenal: ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani. Inilah nomenklatur yang berbicara tentang dimensi kosmis keagungan manusia. Ia berbicara tentang tipologi manusia yang berdiri di depan (ing ngarsa sung tulada), hadir di tengah (ing madya mangun karsa) dan muncul di belakang (tut wuri handayani).

Pendidikan mengajarkan kepada manusia Indonesia untuk yakin akan makna penting peran-peran spesifik yang bersenyawa dengan realiats hidup kolektif. Itulah mengapa, pendidikan harus mengapresiasi distribusi peran manusia dalam kehidupan kolektif. Mereka yang berdiri di depan sebagai pemimpin, memberikan tauladan kebajikan. Mereka yang berdiri di tengah tampil sebagai inovator, menstimuli lahirnya prakarsa-prakarsa baru yang mencertahkan. Dan mereka yang berdiri di belakang, seksama berperan sebagai motivator demi tercapainya kemajuan.

Disorientasi yang kini membuat Indonesia sempoyongan sebagai bangsa sesungguhnya bertitik tolak dari ketidakjelasan peran sosial. Pemimpin berubah menjadi pecundang, inovator bekerja sebagai medioker dan motivator bergerak dengan pamrih. Padahal, Dewantara memandang nyinyir semua perkara semacam ini. Seandainya Dewantara hadir kini….. [o]

Menangkap Spirit Kartini
Perjuangan kemanusian membutuhkan pemikiran kritis

Oleh Anwari WMK

Bangsa ini tak pernah kehabisan ruang untuk mengapresiasi ketokohan seorang perempuan bangsawan dari Jawa Tengah, bernama Raden Ajeng Kartini. Ia lahir di Rembang (21 April 1879) dan juga wafat di Rembang (17 September 1904). Praktis, ia tak pernah keluar dari garis demarkasi Rembang sebagai sebuah bentangan geografis. Tapi, di kelak kemudian hari setelah Indonesia merdeka, anak-anak sekolah di berbagai penjuru negeri mampu mengucapkan kata-kata “Ibu Kita Kartini”. Nama besar Kartini berkibar di jagat Nusantara, melampaui batas-batas geografis di mana ia lahir dan wafat. Kartini diidentifikasi secara sangat kuat sebagai pahlawan nasional. Bahkan, seperti ditulis Pramoedya Ananta Toer dalam Panggil Aku Kartini Saja, Kartini bukan saja pantas disebut sebagai pemikir modern pertama di Tanah Air. Lebih dari itu, ketokohan Kartini merupakan prolog sejarah Indonesia modern.

Spirit apa yang dapat ditangkap dari perjuangan Kartini? Bagaimana menafsir ulang makna perjuangan Kartini bagi bangsa ini? Apakah pada abad XXI kini Indonesia mampu mewujudkan ke dalam kenyataan cita-cita kemanusian Kartini?

Pertanyaan-pertanyaan ini justru membawa kita pada upaya telaah secara kritis terhadap hakikat perjuangan kaum perempuan di masa kini. Kartini, telah menggebrakkan satu kesadaran akan bahaya kuasa patriarki. Inilah kekuasaan yang mengabadikan ketimpangan gender, lantaran terlampau jauh mengedepankan maskulinitas dan menisbikan feminitas. Sementara, maskulinitas kemudian bermetamorfosis membentuk pengertian-pengertian baru yang rumit dan kompleks. Sehingga, hubungan maskulinitas-feminitas tak paralel maknanya dengan hubungan antara laki-laki dan perempuan. Maskulinitas sebagai domain kekuasaan terbuka untuk dimasuki oleh kaum pria maupun perempuan. Begitu pun sebaliknya dengan feminitas.

Kartini, dalam banyak tulisannya, tak mempersoalkan perbedaaan laki-laki dan perempuan sebagai faktor given kehidupan yang bersifat alamiah. Perempuan ningrat ini mempersoalkan bangunan relasi kuasa yang abai terhadap kesetaraan gender. Tragisnya, ketimpangan gender bermula dari kuasa dalam kerangka patriarki. Hal pokok dari kuasa patriarki itu tidak terletak pada laki-laki yang berkuasa melebihi perempuan. Tetapi, sejauhmana sistem kekuasaan melahirkan dominasi dan hegemoni, sehingga kekuasaan terkonfigurasi ke dalam sosok “penindas” dan “tertindas”. Maskulinitas, sama dan sebangun maknanya dengan penindas. Feminitas, merupakan identifikasi terhadap mereka yang tertindas.

Ketika Indonesia memasuki fase industrialisasi sejak dekade 1980-an, tampak mencolok betapa sesungguhnya para penindas tak selalu berarti kaum pria. Pada industri tekstil padat karya, misalnya, manajer-manajer perempuan bisa tiba-tiba berubah menjadi penindas terhadap ratusan buruh perempuan. Kita menyaksikan di sini, drama penindasan perempuan oleh perempuan. Jika perempuan yang bertindak sebagai penindas merupakan sosok maskulinitas, maka perempuan yang tertindas merupakan sosok feminitas. Di tengah rumitnya persoalan, sangat terbuka kemungkinan jika penindasan kaum perempuan terhadap kaum laki-laki berarti penindasan maskulinitas terhadap feminitas. Lihatlah film Disclosure (1994) yang dibintangi Michael Douglas dan Demi Moore sebagai analogi. Tokoh perempuan dalam film ini bertindak dengan mengambil tipologi maskulinitas, dan tokoh pria tertindas dalam makna feminitas.

Dalam sistem politik korup, kuasa patriarki memosisikan kaum koruptor sebagai sosok maskulinitas penindas. Lataran dirugikan oleh praktik korupsi, rakyat adalah sosok feminitas yang tertindas. Koruptor sebagai sosok maskulinitas bisa terdiri atas kaum pria dan sekaligus perempuan. Feminitas juga terdiri atas kaum pria dan sekaligus perempuan. Maka, muncul pertanyaan bernada kritikal: Apakah kuota 30% keanggotaan perempuan di parlemen mampu mendekonstruksi kuasa patriarki? Apa yang terjadi jika para politikus perempuan pada akhirnya juga terseret ke dalam pesta pora korupsi?

Inilah yang dapat menjelaskan, mengapa pemikiran Kartini tentang pendidikan bercorak emansipatoris. Ia berbicara tentang perjuangan manusia Indonesia mencapai kebebasan bermartabat. Kartini berbicara tentang emansipasi manusia Indonesia dalam pengertiannya yang universal. Pendidikan dalam perspektif Kartini lalu mengusung dua agenda. Pertama, pendidikan berperan sebagai kawah candradimuka lahirnya pemikiran-pemikiran kritis. Ini karena, dekonstruksi kuasa patriarki dengan segenap kerumitannya hanya mungkin bisa disingkapkan melalui pemikiran-pemikiran kritis. Pendidikan yang gagal melahirkan pemikiran kritis adalah pendidikan yang justru mengabadikan relasi kuasa patriarki.

Kedua, pendidikan kritis meniscayakan adanya kerendahan hati untuk menyelami ontologi masalah kemanusiaan hingga ke akar-akarnya melalui informasi yang tersebar. Berkenaan dengan hal ini, Kartini memberikan tauladan melalui penguatan tradisi membaca. Ia tekun membaca buku dan tak pernah kehabisan semangat membaca koran De Locomotief maupun majalah De Hollandsche.

Apa yang bisa disimpulkan dari Kartini adalah ini: Perjuangan kemanusian membutuhkan pemikiran kritis, dan pemikiran kritis terbentuk melalui tradisi membaca. Begitulah![]