Jumat, 02 Mei 2008

Menangkap Spirit Kartini
Perjuangan kemanusian membutuhkan pemikiran kritis

Oleh Anwari WMK

Bangsa ini tak pernah kehabisan ruang untuk mengapresiasi ketokohan seorang perempuan bangsawan dari Jawa Tengah, bernama Raden Ajeng Kartini. Ia lahir di Rembang (21 April 1879) dan juga wafat di Rembang (17 September 1904). Praktis, ia tak pernah keluar dari garis demarkasi Rembang sebagai sebuah bentangan geografis. Tapi, di kelak kemudian hari setelah Indonesia merdeka, anak-anak sekolah di berbagai penjuru negeri mampu mengucapkan kata-kata “Ibu Kita Kartini”. Nama besar Kartini berkibar di jagat Nusantara, melampaui batas-batas geografis di mana ia lahir dan wafat. Kartini diidentifikasi secara sangat kuat sebagai pahlawan nasional. Bahkan, seperti ditulis Pramoedya Ananta Toer dalam Panggil Aku Kartini Saja, Kartini bukan saja pantas disebut sebagai pemikir modern pertama di Tanah Air. Lebih dari itu, ketokohan Kartini merupakan prolog sejarah Indonesia modern.

Spirit apa yang dapat ditangkap dari perjuangan Kartini? Bagaimana menafsir ulang makna perjuangan Kartini bagi bangsa ini? Apakah pada abad XXI kini Indonesia mampu mewujudkan ke dalam kenyataan cita-cita kemanusian Kartini?

Pertanyaan-pertanyaan ini justru membawa kita pada upaya telaah secara kritis terhadap hakikat perjuangan kaum perempuan di masa kini. Kartini, telah menggebrakkan satu kesadaran akan bahaya kuasa patriarki. Inilah kekuasaan yang mengabadikan ketimpangan gender, lantaran terlampau jauh mengedepankan maskulinitas dan menisbikan feminitas. Sementara, maskulinitas kemudian bermetamorfosis membentuk pengertian-pengertian baru yang rumit dan kompleks. Sehingga, hubungan maskulinitas-feminitas tak paralel maknanya dengan hubungan antara laki-laki dan perempuan. Maskulinitas sebagai domain kekuasaan terbuka untuk dimasuki oleh kaum pria maupun perempuan. Begitu pun sebaliknya dengan feminitas.

Kartini, dalam banyak tulisannya, tak mempersoalkan perbedaaan laki-laki dan perempuan sebagai faktor given kehidupan yang bersifat alamiah. Perempuan ningrat ini mempersoalkan bangunan relasi kuasa yang abai terhadap kesetaraan gender. Tragisnya, ketimpangan gender bermula dari kuasa dalam kerangka patriarki. Hal pokok dari kuasa patriarki itu tidak terletak pada laki-laki yang berkuasa melebihi perempuan. Tetapi, sejauhmana sistem kekuasaan melahirkan dominasi dan hegemoni, sehingga kekuasaan terkonfigurasi ke dalam sosok “penindas” dan “tertindas”. Maskulinitas, sama dan sebangun maknanya dengan penindas. Feminitas, merupakan identifikasi terhadap mereka yang tertindas.

Ketika Indonesia memasuki fase industrialisasi sejak dekade 1980-an, tampak mencolok betapa sesungguhnya para penindas tak selalu berarti kaum pria. Pada industri tekstil padat karya, misalnya, manajer-manajer perempuan bisa tiba-tiba berubah menjadi penindas terhadap ratusan buruh perempuan. Kita menyaksikan di sini, drama penindasan perempuan oleh perempuan. Jika perempuan yang bertindak sebagai penindas merupakan sosok maskulinitas, maka perempuan yang tertindas merupakan sosok feminitas. Di tengah rumitnya persoalan, sangat terbuka kemungkinan jika penindasan kaum perempuan terhadap kaum laki-laki berarti penindasan maskulinitas terhadap feminitas. Lihatlah film Disclosure (1994) yang dibintangi Michael Douglas dan Demi Moore sebagai analogi. Tokoh perempuan dalam film ini bertindak dengan mengambil tipologi maskulinitas, dan tokoh pria tertindas dalam makna feminitas.

Dalam sistem politik korup, kuasa patriarki memosisikan kaum koruptor sebagai sosok maskulinitas penindas. Lataran dirugikan oleh praktik korupsi, rakyat adalah sosok feminitas yang tertindas. Koruptor sebagai sosok maskulinitas bisa terdiri atas kaum pria dan sekaligus perempuan. Feminitas juga terdiri atas kaum pria dan sekaligus perempuan. Maka, muncul pertanyaan bernada kritikal: Apakah kuota 30% keanggotaan perempuan di parlemen mampu mendekonstruksi kuasa patriarki? Apa yang terjadi jika para politikus perempuan pada akhirnya juga terseret ke dalam pesta pora korupsi?

Inilah yang dapat menjelaskan, mengapa pemikiran Kartini tentang pendidikan bercorak emansipatoris. Ia berbicara tentang perjuangan manusia Indonesia mencapai kebebasan bermartabat. Kartini berbicara tentang emansipasi manusia Indonesia dalam pengertiannya yang universal. Pendidikan dalam perspektif Kartini lalu mengusung dua agenda. Pertama, pendidikan berperan sebagai kawah candradimuka lahirnya pemikiran-pemikiran kritis. Ini karena, dekonstruksi kuasa patriarki dengan segenap kerumitannya hanya mungkin bisa disingkapkan melalui pemikiran-pemikiran kritis. Pendidikan yang gagal melahirkan pemikiran kritis adalah pendidikan yang justru mengabadikan relasi kuasa patriarki.

Kedua, pendidikan kritis meniscayakan adanya kerendahan hati untuk menyelami ontologi masalah kemanusiaan hingga ke akar-akarnya melalui informasi yang tersebar. Berkenaan dengan hal ini, Kartini memberikan tauladan melalui penguatan tradisi membaca. Ia tekun membaca buku dan tak pernah kehabisan semangat membaca koran De Locomotief maupun majalah De Hollandsche.

Apa yang bisa disimpulkan dari Kartini adalah ini: Perjuangan kemanusian membutuhkan pemikiran kritis, dan pemikiran kritis terbentuk melalui tradisi membaca. Begitulah![]

Tidak ada komentar: