Jumat, 02 Mei 2008

Seandainya Dewantara Hadir
Praktik pendidikan kini tak sejalan dengan gagasan Dewantara

Oleh Anwari WMK

Hingga abad XXI kini, pendidikan nasional terbentur jalan buntu. Pendidikan nasional yang bermutu, membebaskan serta mampu membawa Indonesia menjadi bangsa kompetitif, berhenti sekadar sebagai keinginan yang menggelantung kaku di udara hampa. Tak ada kejelasan cetak biru (blue print), bahwa pendidikan nasional benar-benar menjadi pilar bagi tegaknya kebudayaan baru yang progresif. Pendidikan nasional juga belum mampu memperlihatkan “kesaktiannya” memainkan peran sebagai basis lahirnya peradaban demokrasi di Tanah Air.

Bahkan, persoalan lama muncul secara repetitif dalam dunia pendidikan. Ujian Nasional, misalnya, terus-menerus diwarnai kecurangan. Hanya untuk Ujian Nasional 2008 saja, kecurangan muncul di empat provinsi. Dari sini lalu mencuat pertanyaan-pertanyaan bernada kritikal. Apakah Ujian Nasional merupakan sebuah pembelajaran bagi manusia Indonesia agar menghargai sportivitas? Ataukah Ujian Nasional hanyalah basa-basi dan justru menumbuh suburkan kecurangan? Bagaimana memahami keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta bahwa Ujian Nasional tidak boleh dilaksanakan sebelum ada perbaikan mutu guru, sarana dan prasarana pendidikan serta akses informasi yang memadai?

Publik selalu dibombardir pemberitaan tentang pelajar Indonesia yang mampu tampil sebagai juara dunia dalam olimpiade fisika, matematika, biologi dan sebagainya. Apresiasi dalam maknanya yang positif, penting ditorehkan menyambut kenyataan ini. Sungguh pun demikian, keberhasilan meraih kejuaraan di tingkat dunia itu selalu disertai oleh catatan buruk tentang sistem. Bahwa keberhasilan itu bukan merupakan resultante dari sistem pendidikan nasional. Itulah keberhasilan yang digebrakkan melalui upaya-upaya individual siswa dan sekolah, bukan lahir dari prakarsa sistemik pendidikan nasional. Para siswa yang mampu tampil sebagai juara di mancanegara justru merupakan anomali dari sistem pendidikan nasionalyang karut-marut.

Seandainya Ki Hadjar Dewantara (2 Mei 1889 – 26 April 1959) kini hadir dan menyaksikan realisme yang memilukan itu, apa yang akan ia katakan?

Dewantara, sebagaimana kita tahu, seorang tokoh besar yang tak habis-habisnya berpikir tantang sukma dan rasionalitas pendidikan. Sukma pendidikan dalam perspektif Dewantara adalah membuka seluas-luasnya akses pendidikan kepada setiap anak manusia tanpa preferensi asal-usul keturunan, ras, etnisitas dan sukuisme. Pendidikan harus ditegaskan sebagai public domain dan karena itu harus tunduk pada diktum public sphere. Sebagai konsekuensinya, praksis pendidikan harus memberikan pengakuan secara seksama terhadap setiap talenta yang inherent ke dalam diri para subyek didik. Mengingkari semua ini sama saja maknanya dengan meluluhlantakkan hakikat sesungguhnya pendidikan.

Rasionalitas pendidikan dalam perspektif Dewantara adalah akomodasi seluruh proses pendidikan ke dalam sebuah sistem yang terukur, cermat, transparan serta bersih dari berbagai tipu muslihat. Inilah sistem pendidikan yang menjunjung tinggi kemanusian. Dengan rasionalitas semacam ini sangat bisa dimengerti mengapa Dewantara tak hanya dikenal luas sebagai pemikir (the thinker) pendidikan. Di atas segalanya, Dewantara arsitek bagi berdirinya institusi pendidikan yang kemudian dikenal luas sebagai “Taman Siswa”.

Hubungan antara “sukma” dan “sistem” itulah yang mengondisikan dunia pendidikan berada dalam sebuah kompleksitas proses. Dengan pengucapan yang sangat cerdas, Dewantara menyebut kompleksitas proses itu ke dalam tiga nomenklatur yang sangat terkenal: ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani. Inilah nomenklatur yang berbicara tentang dimensi kosmis keagungan manusia. Ia berbicara tentang tipologi manusia yang berdiri di depan (ing ngarsa sung tulada), hadir di tengah (ing madya mangun karsa) dan muncul di belakang (tut wuri handayani).

Pendidikan mengajarkan kepada manusia Indonesia untuk yakin akan makna penting peran-peran spesifik yang bersenyawa dengan realiats hidup kolektif. Itulah mengapa, pendidikan harus mengapresiasi distribusi peran manusia dalam kehidupan kolektif. Mereka yang berdiri di depan sebagai pemimpin, memberikan tauladan kebajikan. Mereka yang berdiri di tengah tampil sebagai inovator, menstimuli lahirnya prakarsa-prakarsa baru yang mencertahkan. Dan mereka yang berdiri di belakang, seksama berperan sebagai motivator demi tercapainya kemajuan.

Disorientasi yang kini membuat Indonesia sempoyongan sebagai bangsa sesungguhnya bertitik tolak dari ketidakjelasan peran sosial. Pemimpin berubah menjadi pecundang, inovator bekerja sebagai medioker dan motivator bergerak dengan pamrih. Padahal, Dewantara memandang nyinyir semua perkara semacam ini. Seandainya Dewantara hadir kini….. [o]

Tidak ada komentar: