Kamis, 15 April 2010

Relasi Penguasa-Pengusaha

Oleh
Anwari WMK

Dinamika kekuasaan di Indonesia tak pernah sepi dari problema relasi penguasa-pengusaha. Pada zaman otoritarianisme Orde Baru, penguasa sedemikian rupa mengondisikan agar jejaring kekuasaan (the web of power) menjadi tempat bergantung kalangan pengusaha. Maju mundurnya korporasi-korporasi skala besar diupayakan sedemikian rupa sejalan dengan ambisi memperkaya diri kalangan pejabat negara. Itulah mengapa, hampir tidak ada usaha-usaha korporasi skala besar yang steril dari pengaruh politik penguasa. Perusahaan-perusahaan transnasional pun hanya mungkin mendapatkan ruang untuk menggulirkan direct investment pada berbagai lapangan ekonomi yang tersebar di berbagai penjuru Nusantara, yakni manakala telah menjalin joint venture dengan pengusaha lokal. Sementara, “pengusaha lokal” dimaksud tak lain dan tak bukan adalah aktor ekonomi yang berkolaborasi dengan jejaring kekuasaan.

Bercermin pada realitas tersebut tak berlebihan jika kemudian dikatakan, bahwa pengusaha menjadi subordinat penguasa. Langsung maupun tak langsung, tercipta hubungan tuan dan hamba. Penguasa berkedudukan sebagai tuan, dan pengusaha sebagai hamba. Jika penguasa tampil sebagai super-ordinat, pengusaha terpilin sebagai sub-ordinat. Begitu seriusnya persoalan ini, berbagai tipologi kekuasaan dalam negara berlomba menjadi super-ordinat demi mengawal relasi penguasa-pengusaha. Bukan saja pejabat penentu kebijakan ekonomi yang terus dipertuan oleh kalangan pengusaha, tetapi juga penjabat-pejabat dalam bidang hukum. Tak mengherankan jika sukses seorang pengusasa di zaman Orde Baru ikut pula ditentukan oleh gradasi hubungan dengan pejabat Polri, Kejaksaan Agung dan dengan aparat hukum pada umumnya.

Terutama setelah Orde Baru berlalu, muncul kesimpulan umum tentang sesuatu yang sesungguhnya memalukan sebagai bangsa. Bahwa relasi penguasa-pengusaha yang sedemikian rupa itu merefleksikan timbulnya abnormalitas pada keseluruhan jaringan hubungan antara politik dan perekonomian. Kenyataan ini lalu melahirkan ambigu. Pada satu sisi, tetap berlaku aksioma tentang gerak maju perekonomian nasional yang membutuhkan daya dukung politik. Politik tetap dipersepsi sebagai variabel pendorong timbulnya kemajuan ekonomi. Terlebih lagi tatkala perekonomian nasional kian terseret ke dalam pusaran globalisasi, makin terasa urgensi daya dukung politik. Melalui visi industrial yang kompetitif, politik memberi arah pada perekonomian agar bergerak di jalur yang semestinya.

“Pola tuan-hamba yang mendistorsi rentang relasi penguasa-pengusaha telah mengondisikan timbulnya kemajuan-kemajuan semu dalam perekonomian nasional. Bukan saja demoralisasi mewarnai sepak terjang kalangan pengusaha, lebih dari itu tercipta situasi non-creating value.”



Tetapi pada lain sisi, pola tuan-hamba yang mendistorsi rentang relasi penguasa-pengusaha telah mengondisikan timbulnya kemajuan-kemajuan semu dalam perekonomian nasional. Bukan saja demoralisasi mewarnai sepak terjang kalangan pengusaha, lebih dari itu tercipta situasi non-creating value. Kenikmatan yang dirasakan oleh para pengusaha berbanding terbalik dengan kemampuan menghasilkan produk-produk unggulan yang diperhitungkan di fora internasional. Perekonomian nasional lalu disesaki oleh kehadiran para aktor yang sepenuhnya berorientasi profit, namun abai terhadap misi profetik mewujudkan keunggulan kompetitif. Meminjam perspektif humanis Mohandas Gandhi tentang dosa dunia (sins in the world), itulah realisme wealth without work.

Pertanyaan yang kemudian menarik dikedepankan, bagaimana perkembangan setelah berlalunya(the passing away) kekuasaan rezim Orde Baru? Bagaimana pola relasi penguasa-pengusaha pada era pasca-Orde Baru?

Pelan tapi pasti, terkuak ke permukaan bahwa terjadi perubahan pola relasi penguasa-pengusaha. Tidak seperti pada era Orde Baru, kalangan pengusaha pada akhirnya mempertontonkan kemampuan untuk menemukan keseimbangan baru dalam merajut relasi dengan penguasa. Bahkan, mulai muncul fakta-fakta mengejutkan di mana para pengusaha mulai berupaya untuk mengeser pola relasi. Para pengusaha mulai berakrobat untuk menemukan suatu cara merebut posisi super-ordinat. Sebagai konsekuensinya, para penguasa diskenariokan sedemikian rupa sebagai subordinat. Dengan kata lain, telah terjadi upaya pembalikan posisi dalam relasi penguasa-pengusaha.

Paling tidak, ada dua contoh soal yang menggambarkan adanya pergeseran relasi penguasa-pengusaha. Pertama, terkuaknya tindakan seorang pengusaha bernama Anggodo Widjojo dalam sebuah proses peradilan di Mahkamah Konstitusi. Realitas yang terungkap di sini adalah determinasi yang dirancang oleh seorang pengusaha secara faktual justru menentukan arah dan opsi keputusan para pejabat negara dalam bidang hukum. Dengan kekuatan uang, pengusaha benar-benar digdaya mendikte penguasa. Pada titik ini muncul gejala yang membahayakan proses tata kelola negara: penguasa telah menghamba kepada pengusaha.

Kedua, pengusaha tampil sebagai kekuatan koreksi terhadap penguasa. Dalam konteks perseteruan Aburizal Bakrie versus Sri Mulyani Indrawati berkenaan dengan skandal Bank Century, kita menyaksikan timbulnya perubahan pola relasi penguasa-pengusaha. Melalui upaya koreksi, pengusaha membangun kekuatan kritis terhadap penguasa. Namun, inilah upaya koreksi yang diwarnai oleh begitu banyak pamrih. Kekuatan politik yang berada di bawah pengaruh Aburizal Bakrie didayagunakan sedemikian rupa untuk mempertontonkan keterlibatan Sri Mulyani Indrawati dalam skandal Bank Century. Mau tak mau, Sri Mulyani Indrawati goyah posisinya sebagai Menteri Keuangan.

Apa yang dapat digarisbawahi ialah munculnya titik balik dalam relasi penguasa-pengusaha? Dalam konteks Anggodo Widjojo, kita menyaksikan kerapuhan penguasa bidang hukum. Penguasa begitu mudahnya dibeli untuk memuluskan kepentingan pengusaha. Tanpa bisa dielakkan, pengusaha menjadi elemen pokok terus berkecamuknya mafia peradilan di Indonesia. Dalam konteks Aburizal Bakrie, kita menyimak timbulnya upaya koreksi kalangan pengusaha terhadap penguasa penentu kebijakan ekonomi. Masalahnya, upaya koreksi ini tak berpijak pada obyektivitas. Dengan sendirinya, upaya koreksi ini bukanlah pilar penentu tegaknya rasionalitas dalam kebijakan ekonomi. Semua arus balik ini tak memberikan kontribusi positif terhadap perekonomian nasional.[]

Reproduksi Kekerasan

Oleh Anwari WMK

Koja, Tajung Priok. Rabu, 14 April 2010. Teater kekerasan berlangsung di sini. Terjadi benturan kolosal antara Satuan Polisi Pamong Prapaja (Satpol PP) dan warga masyarakat. Seperti lazimnya, media massa lalu ambil bagian: peristiwa kekerasan di Koja lantas diutuhkan sebagai narasi utama pemberitaan. Koja, Tanjung Priok, di sepanjang hari Rabu itu, benar-benar menjadi panggung kekerasan bagi luka yang menganga serta bagi darah yang tumpah sia-sia.

Esok harinya, 15 April 2010, media massa tampil dengan narasi pemberitaan yang hampir serupa. Bahwa, bentrokan dipicu rencana Pemerintah Provinsi DKI menggusur sebagian lokasi makam Mbah Priok yang dikeramatkan. Warga, terutama yang mengatasnamakan ahli waris tanah, berusaha mempertahankan pemakaman Mbah Priok. Memang, tanah sengketa itu makam Habib Hasan bin Muhammad Al Haddad atau Al Imam Al Arif Billah Al Habib Hasan Bin Muhammad Al Haddad. Saudagar Arab itu meninggal pada 1756, lantaran kapalnya dihantam badai di laut utara Jakarta.

Konflik atas tanah pemakaman itu bisa dijelaskan secara sederhana dan gamblang. Lokasi yang diidentifikasi sebagai ‘pemakaman Mbah Priok’ merupakan Tempat Pemakaman Umum (TPU) Dobo. Luas TPU yang berlokasi di Jalan Dobo, Jakarta Utara, itu mencapai 145,2 hektar. Para ahli waris Habib Hasan mengklaim tanah itu sebagai milik mereka berdasarkan hak Eigedom Verponding No. 4341 dan No. 1780. Pada September 1999, ahli waris Habib Hasan membangun makam Mbah Priok serta sebuah pendopo. Ternyata, makam Mbah Priuk itu banyak dikunjungi peziarah dari berbagai daerah.


Sementara pada pelataran lain, PT Pelindo II mengklaim memiliki tanah TPU Dobo itu berdasarkan sertifikat Hak Pengelolaan Nomor 1/Koja Utara, yang diterbitkan oleh Kantor Pertanahan Jakarta Utara, pada 21 Januari 1987. Berdasarkan sertifikat itu PT Pelindo II berniat memperluas terminal bongkar muat peti kemas sesuai rencana induk pelabuhan. Apalagi, sejak 1999 hak penggunaan kawasan pelabuhan sudah diberikan pemerintah kepada perusahaan Hongkong Hutchison Port Holding. Melalui anak perusahannya bernama Grosbeak Pte Ltd, Hutchison Port Holding menguasai 51% saham Jakarta International Container Terminal (JICT), sedangkan 49% saham lainnya dikuasai Pelindo II.

Ledakan konflik yang mencuat ke permukaan dipicu oleh tubrukan dua kepentingan. Para ahli waris Habib Hasan merasa berhak mempertahankan kompleks pemakaman Mbah Priok. Sementera Pelindo II, merasa berhak memanfaatkan tanah tersebut sebagai areal perluasan terminal peti kemas, berdasarkan keabsahan pada tingkat legal formal. Pada 2010 Pelindo II lalu melakukan dua hal. Pertama, meminta bantuan hukum kepada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk membongkar bangunan pendopo di sekitar makam Mbah Priok—yang ditengarai tak memiliki Ijin Mendirikan Bangunan (IMB). Kedua, makam Mbah Priok akan diperluas dan dipercantik, sehingga tetap berfungsi sebagai tujuan ziarah spiritual.

Betrok antara Satpol PP dan warga masyarakat pecah tatkala Pemerintah Kota Jakarta Utara menertibkan bangunan Gapura Mbah Priok di TPU Dobo. Betrokan bermula dengan lemparan botol minuman energi ke arah warga yang bergerombol. Setelah itu, Satpol PP merangsak masuk ke dalam areal TPU Dobo. Sebagian warga ditangkap di areal pekuburan. Tak ayal lagi, peristiwa ini memicu ledakan kemarahan warga. Aksi-reaksi pun menjadi tak terelakkan. Warga mengamuk dengan merusak, menggulingkan dan membakar mobil Satpol PP.

Rekapitulasi atas peristiwa kekerasan ini menunjukkan: dua orang tewas dan puluhan orang terluka. Sementara, kendaraan yang dirusak massa mencakup 30 mobil Satpol PP, enam mobil polisi, tiga alat berat dan satu water cannon. Praktis, bentrokan ini membuat Tanjung Priok lumpuh. Baik warung, toko maupun tempat usaha di sepanjang Jalan Jampea serta di sekitar RSUD Koja, tutup. Truk-truk tujuan Cilincing terjebak kepungan massa. Gambaran menyeramkan di lokasi bentrokan tampak mencolok oleh onggokan bangkai mobil, truk dan sepeda motor yang hangus terbakar.

Bagaimana narasi kekerasan ini dimengerti hakikat dan maknanya? Tak ada kata yang tepat melukiskan semua ini selain menyebutnya sebagai “reproduksi kekerasan” dalam bentuknya yang begitu telanjang. Kepentingan untuk mempertahankan kuburan telah bertubrukan dengan kepentingan perluasan terminal peti kemas di kawasan pelabuhan. Mendadak sontak, publik mengekspresikan kekecewaan terhadap metode kekerasan yang dengan gegap gempita dipertontonkan oleh ratusan pasukan Satpol PP. Sangat bisa dimengerti pada akhirnya, mengapa di sepanjang Rabu hingga malam hari bahkan hingga Kamis esok harinya jejaring sosial facebook diwarnai kritik, caci maki dan sumpah serapah publik terhadap Satpol PP.

Dalam editorialnya bertajuk “Menyesalkan Insiden Priok”, Koran Tempo edisi 15 April 2010 menulis narasi kalimat seperti ini: “Huru-hara yang meletup di Tanjung Priok jelas menggambarkan kegagalan pemerintah daerah menengahi sengketa tanah. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta seharusnya mengutamakan penyelesaian secara damai, dan bukannya main gusur. Sebab, cara ini hanya memancing kekerasan, bahkan kerusuhan.”

“Langkah gegabah itulah”, tulis editorial Koran Tempo selanjutnya, “yang menimbulkan insiden berdarah di kawasan makam Mbah Priok kemarin. Pemerintah DKI nekat mengerahkan Satuan Polisi Pamong Praja untuk mengusir penduduk yang mempertahankan makam dan lahan sekitarnya. Bentrokan tak terhindarkan. Korban pun berjatuhan dari kedua belah pihak. Seorang polisi pamong praja tewas, dan lebih dari seratus orang terluka. Kejadian ini juga menyulut aksi pembakaran sejumlah mobil. Kantor terminal peti kemas di Koja, Jakarta Utara, tak jauh dari lokasi makam, bahkan dijarah.”

Tanpa tedeng aleng-aleng, editorial ini sesungguhnya berbicara tentang kegagalan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tampil sebagai wasit yang adil terhadap sengketa tanah yang telah tersulut berbilang tahun. Tampak mencolok di sini, pemerintah lebih berpihak pada kepentingan Pelindo II. Relasi-relasi kultural dari keberadaan makam Mbah Priok lantas dimengerti sebagai sesuatu yang sama sekali tak bermakna, dan karena itu dilecehkan.


Apa yang penting digarisbawahi di sini ialah penyikapan pemerintah yang lebih memandang penting logika hukum. Editorial Koran Tempo lalu menambahkan catatan seperti ini: “Pemerintah daerah mestinya tidak menggusur secara serampangan. Dari sisi hukum, sesuai dengan putusan pengadilan, kawasan makam Habib Hasan bin Muhammad al-Hadad alias Mbak Priok memang milik PT Pelindo II. Tapi, masalahnya, ahli waris dan penduduk yang mempertahankan lahan ini juga punya alasan historis yang tak kalah masuk akal dibanding pertimbangan hukum formal.”

Dalam aksentuasi berbeda, Jawa Pos menyoroti kekerasan di Tanjung Priok itu. Melalui editorialnya bertajuk “Pelajaran dari Makam Mbah Priok”, Jawa Pos menulis: “Peristiwa seperti di makam Mbah Priok itu sebenarnya juga banyak terjadi di daerah lain. Sejumlah peristiwa penggusuran yang berakhir dengan ricuh serta memakan korban jiwa juga terjadi karena pendekatan represif itu. Sering penguasa mengambil keputusan untuk menggunakan kekuatan fisik, padahal masih ada ruang dialog.”

Dengan ini semua, jelas duduknya perkara. Pemerintah merupakan mesin yang mereproduksi kekerasan. Diakui atau tidak, begitulah realitasnya.[]

Kamis, 08 April 2010

Feodalisme dalam Praktik Demokrasi

Oleh Anwari WMK

Implementasi demokrasi bukanlah garansi ke arah lahirnya model pengelolaan politik secara rasional. Aneh bin ajaib, justru dalam atmosfer demokrasi masih bertahan perpolitikan bercorak feodalistik. Ingin tahu faktanya, tengok perkembangan politik di tingkat nasional selama April-Mei 2010. Fakta dimaksud terkait erat dengan terpilihnya kembali Megawati Soekarnoputri untuk ketiga kalinya sebagai Ketua Umum PDI-P. Fakta lainnya, berjalin kelindan dengan “perebutan restu Yudhoyono” di kalangan kandidat Ketua Umum Partai Demokrat.

Tentu saja, PDI-P dan Partai Demokrat disebut di sini sekadar sebagai contoh soal. Dalam skala pembicaraan lebih luas, hampir secara keseluruhan partai-partai politik di Tanah Air mengidap tekstur feodalisme. Mungkin, hanya Partai Golkar, PPP dan PKS yang sementara ini tak identik dengan tokoh besar pendirinya. Tengok, misalnya, PKB, PAN, Gerinda maupun Hanura. Keberadaannya tak bisa dilepaskan dari sosok Abdurrahman Wahid, Amien Rais, Prabowo Subianto maupun Wiranto. Kuatnya pengaruh tokoh-tokoh besar ini hanya mengukuhkan berjalannya pola relasi patron-klien dalam kepemimpinan partai.

Dalam konteks PDIP, feodalisme tak bisa dilepaskan dari posisi dan kedudukan Megawati sebagai Ketua Umum. Fakta yang tersingkapkan ke atas permukaan menunjukkan, di bawah kepemimpinan Megawati PDIP justru diperhadapkan dengan masalah besar penurunan kinerja. Semula, di bawah kepemimpinan Megawati, PDIP keluar sebagai pemenang dalam Pemilu 1999. Namun pada dua Pemilu berikutnya, perolehan suara PDIP tergerus. Jika pada Pemilu 1999 PDIP memenangi 33,74% suara, pada Pemilu 2004 merosot menjadi 18,53%, dan merosot lagi menjadi 14,03% pada Pemilu 2009. Semua ini merupakan konsekuensi logis dari kekecewaan pendukung PDIP di akar rumput terhadap kepemimpinan Megawati saat menjadi Presiden RI selama kurun waktu 2001-2004.

Anehnya, dalam Kongres III PDIP di Sanur, Bali, Megawati kembali terpilih sebagai ketua umum. Sebagai satu-satunya kandidat ketua umum, Megawati bahkan dipilih kembali secara aklamasi. Apa yang bisa dibaca dari kenyataan ini, kader-kader PDIP yang tengah berlaga di dalam kongres tak memandang penting kekecewaan kalangan swing voters. Sedemikian rupa, para kader yang terlibat kongres justru menempatkan Megawati sebagai sosok penuh kultus. Maka, dipandang tak penting fakta kemerosotan kinerja PDIP. PDIP yang statis di bawah kepemimpinan Megawati, dipandang sebagai satu hal. Sementara, memilih kembali Megawati merupakan hal lain. PDIP sebagai sebuah tatanan sistem lalu tak lebih penting dibandingkan personalitas Megawati. Di sini, kebesaran personal melampaui kebesaran organisasional.

Dalam konteks Partai Demokrat, Kompas (8 April 2010, hlm. 4) menulis narasi kalimat seperti ini: “Memperebutkan restu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang juga Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat. Itulah yang sedang dilakukan para bakal calon ketua umum partai pemenang Pemilihan Umum 2009 tersebut belakangan ini.”

"PDIP yang statis di bawah kepemimpinan Megawati, dipandang sebagai satu hal. Sementara, memilih kembali Megawati merupakan hal lain. PDIP sebagai sebuah tatanan sistem lalu tak lebih penting dibandingkan personalitas Megawati. Di sini, kebesaran personal melampaui kebesaran organisasional."


Melalui pengungkapan secara subtil, narasi kalimat yang dikemukakan Kompas mengekspresikan kedudukan Yodhoyono sebagai patron yang tiada taranya. Tak mengherankan jika Andi A. Malarangeng melandasakan pencalonanya sebagai kandidat Ketua Umum Partai Demokrat berdasarkan logika kebersamaan dirinya dengan Presiden Yudhoyono dan keluarganya selama enam tahun terakhir. Marzuki Alie, kandidat yang lain, berbicara tentang pujian Yudhoyono bahwa Marzuki merupakan orang bertanggung jawab, pekerja keras, dan all out. Begitu juga klaim Anas Urbaningrum, Yodhoyono telah memintanya agar Partai Demokrat dijadikan partai modern.

Kita menyimak di sini, orkestrasi bertahannya feodalisme-transaksional. Betapa semuanya harus dibayar mahal melalui ketidak-bermaknaan kompetisi politik secara rasional.[]

Dataran Pertarungan Politik

Anwari WMK

Sebagaimana lazimnya kompetisi politik, para politikus tampil ke depan untuk memperlihatkan dirinya sebagai yang terbaik. Pada setiap kompetisi politik tercipta sebuah panggung yang mempertontonkan adegan politikus melawan politikus lain. Baik pada era otoriter maupun pada zaman demokrasi, begitulah pertautan eksistensial antarpolitikus di Indonesia. Dengan sendirinya, politik membuncah sebagai medan laga pertarungan memperebutkan atom-atom kekuasaan. Maka, pertarungan politikus versus politikus lain merupakan hukum besi (iron law) dalam hal memperebutkan kuasa politik. Inilah suatu bentuk pertarungan yang dinilai patut dan wajar, serta dikaji oleh para ilmuwan sosial-politik sebagai suatu bentuk keadaban.

Hanya saja, muncul kemudian realitas baru selama kurang lebih lima tahun berselang. Bahkan, inilah realitas yang hampir tak ada presedennya sebelumnya. Bahwa, pertarungan politik tidak melulu urusan aktor-aktor politik beserta inner circle yang melingkupinya. Di atas segalanya, publik pun dikondisikan oleh sebuah situasi agar juga terlibat memberikan penilaian terhadap totalitas pertarungan politik. Kompetisi politik, dengan sendirinya, tak semata berada dalam spektrum sempit pengejawantahan ambisi merebut kuasa politik. Lebih dari itu, pertarungan antar-politikus melibatkan penilaian publik.

Pertarungan memperebutkan posisi ketua umum pada sebuah partai politik, misalnya, tak lagi berada dalam satu setting yang semata memosisikan publik sebagai penonton yang pasif. Pandangan dan penilaian publik malah diwadahi ke dalam suatu mekanisme jajak pendapat. Dengan demikian berarti, publik sengaja diposisikan sebagai elemen lain penentu kemenangan pertarungan politik. Kian tampak jelas, publik tak lagi semata penonton. Tetapi juga, ditabalkan sebagai penilai. Dengan demikian berarti, ada semacam evolusi terhadap keberadaan publik.

"Apa yang bisa dimengerti dari kenyataan ini ialah pertarungan politik dengan dataran yang melebar. Tampak jelas di sini, bagaimana sebuah lembaga survei “melayani” seorang kandidat ketua umum sebuah partai politik. Apakah lembaga survei obyektif, itulah masalah berikutnya."

Semula muncul aksioma seperti ini. Tanpa keterlibatan publik dalam hal memberikan pandangan dan penilaian, kompetisi memperebutkan posisi ketua umum partai politik dijamin bisa terus berlangsung. Pada titik ini muncul sebuah real-politik, bahwa pandangan dan penilaian publik bukanlah faktor primer penentu siapa pemenang dan siapa pecundang. Namun pada perkembangan selanjutnya, muncul aksioma baru. Pandangan dan penilaian publik bukan lagi variabel marginal. Para kandidat ketua umum partai politik merasa penting dan perlu mempertimbangkan secara saksama pandangan dan penilaian publik.

Tanpa bisa dielakkan, para kandidat ketua umum partai politik lalu merasa urgen mendekati lembaga-lembaga survei. Melalui riset dan observasi yang dilakukan lembaga-lembaga survei itulah seorang kandidat ketua umum mengukur dan menakar tingkat elektabilitasnya. Melalui riset dan observasi lembaga-lembaga survei itulah kandidat ketua umum partai politik berupaya menemukan ketepatan informasi berkenaan dengan posisi dirinya, sebagai pemenang atau malah pecundang.

Pada contoh kasus pertarungan memperebutkan posisi ketua umum Partai Demokrat dalam konggres di Bandung, 21-23 Mei 2010, kita menyaksikan satu hal: bagaimana dua orang kandidat beradu data survei (Seputar Indonesia, 8 April 2010, hlm. 4). Berdasarkan data survei LP3ES, Anas Urbaningrung mengklaim dirinya sebagai kandidat paling layak memimpin Partai Demokrat selama lima tahun ke depan. Sementara dengan menggunakan data survei Cirus Surveyor, Andi A. Malarangeng juga melakukan klaim yang sama. Alhasil, data survei LP3ES dan Cirus Surveyor menjadi acuan bagi dua kandidat untuk kemudian mengklaim dirinya sebagai yang terbaik.

Apa yang bisa dimengerti dari kenyataan ini ialah pertarungan politik dengan dataran yang melebar. Tampak jelas di sini, bagaimana sebuah lembaga survei “melayani” seorang kandidat ketua umum sebuah partai politik. Apakah lembaga survei obyektif, itulah masalah berikutnya.[]

Rabu, 07 April 2010

Batas Demarkasi Kecamuk Korupsi


Oleh Anwari WMK

Pada akhirnya, hukuman mati bagi para koruptor benar-benar mencuat ke permukaan sebagai isu super seksi. Suara-suara segelintir orang yang menghendaki agar penghukuman jangan sampai sama dan sebangun dengan pembunuhan, ternyata kalah nyaring dibandingkan dengan suara-suara yang menyerukan diberlakukannya hukuman mati bagi para koruptor. Bahkan, suara-suara yang mengusung anti-hukuman mati itu mendadak sontak dirasakan sebagai sebuah anomali manakala disimak berdasarkan teropong sosiologi korupsi. Kalau pun suara-suara anti-hukuman mati berlandaskan pandangan-pandangan filosofis, tetap saja suara-suara ini dirasakan sebagai “romantisme-humanistik”, yang telah kehilangan pesona misi profetiknya. Inilah suara-suara yang ditahbiskan sebagai sesuatu yang sama sekali tak relevan manakala dikait-hubungkan dengan kecamuk korupsi yang sungguh-sungguh destruktif.

Apa yang kemudian menarik untuk kita catat adalah ini. Isu super seksi hukuman mati merupakan semiotika yang bergerak di atas permukaan kesadaran publik berkenaan dengan batas-batas demarkasi kecamuk korupsi. Sudah barang pasti dapat diprediksikan dari sejak sekarang, bahwa hukuman mati mustahil diberlakukan dalam waktu cepat sebagai sebuah hukum positif. Baik pemerintah, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) maupun lembaga-lembaga penegak hukum berada dalam satu titik konvergens untuk menampik hukuman mati. Sebab jika benar diberlakukan, hukuman mati bergulir sebagai bumerang yang bakal menggilas aktor-aktor pemerintahan, DPR dan aparat hukum. Bukankah mereka yang sejauh ini terpilin ke dalam orkestrasi korupsi?

Pada titik ini lantas bisa dimengerti, mengapa hanya Prof. Dr. Mahfud MD yang asertif berbicara tentang hukuman mati bagi para koruptor. Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) ini seakan bertindak sebagai muadzin ke arah pelaksanaan hukuman mati, dengan koruptor sebagai sasarannya. Ia seakan membunyikan lonceng peringatan, bahwa tanpa hukuman mati mustahil korupsi di negeri ini bisa disikat habis. Di tengah munculnya keraguan dan kegamangan kalangan penegak hukum, Mahfud MD justru mempertontonkan argumentasi tentang hukuman mati sebagai metode paling solutif membabat habis korupsi.

Tentu saja, wacana hukuman mati yang berhenti sebatas isu super seksi ini merupakan manifestasi secara subtil batas-batas demarkasi kecamuk korupsi. Inilah wacana yang menghablur ke ruang publik dan serasa sedap didiskusikan. Tetapi di balik itu, mengejawantah tiga gugusan persoalan yang sungguh-sungguh merefleksikan terbetuknya batas-batas demarkasi kecamuk korupsi.

"Kecamuk korupsi memang terus terjadi. Sungguh pun demikian, mulai tampak tanda-tanda, bahwa kecamuk korupsi itu diperhadapkan dengan batas-batas demarkasi. Artinya, silahkan para koruptor berpesta pora, dengan segala kelancungannya."


Pertama, korupsi dalam hubungannya dengan negara gagal khas Indonesia. Baik cabang-cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, yudikatif, maupun jajaran birokrasi publik, secara keseluruhan merupakan anasir negara yang berbeda secara diametral dibandingkan dengan masyarakat dan perekonomian. Letak perbedaan itu terkait erat dengan legitimasi dan kewenangan untuk turut serta menentukan keberlanjutan eksistensi masyarakat dan perekonomian. Tatkala anasir-anasir negara ini terseret ke dalam pusaran korupsi yang tiada taranya, maka terjadi disharmoni pada aras hubungan segitiga “negara-masyarakat-perekonomian”. Bukan saja negara tak inspiratif bagi pengelolaan lebih lanjut masyarakat dan perekonomian, lebih dari itu negara gagal memberikan respons secara cerdas terhadap aneka ragam tantangan yang sekonyong-konyong muncul ke permukaan.

Akibat kecamuk korupsi, negara dalam realitas Indonesia kesulitan memahami dirinya sendiri. Sejalan dengan bentangan historis sejak Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, proses evolusi ternyata tak mengondisikan negara menjadi lebih baik. Justru dengan didukung oleh kecanggihan teknikalitas korupsi, negara malah berjalan mundur. Selain korupsi, tak ada kebanggaan yang patut dipertontonkan oleh aktor-aktor pengelola negara. Karena itu pula, tak ada penyebutan yang sahih demi menandai semua ini selain mengatakannya sebagai “norak”, “memalukan” dan bahkan “menjijikkan”. Sangat bisa dimengerti pada akhirnya, mengapa pengucapan-pengucapan tentang keberhasilan negara oleh jejaring rezim yang tengah berkuasa justru dimengerti publik sebagai retorika dan pencitraan yang amat sangat narsis. Maka, benar-benar terasa batas demarkasi kecamuk korupsi.

Kedua, korupsi dalam kaitannya dengan dispora perekonomian. Sulit memungkiri fakta dan kenyataan, Indonesia kaya akan sumber-sumber daya produktif. Bukan saja lantaran terdapat endowment berupa sumber daya alam dengan magnitude besar, lebih dari itu tersedia beragam talenta ke arah pengembangan industri kreatif. Selain itu, tak terkatakan lagi jika Indonesia berada dalam posisi strategis sebagai pasar gemuk di kawasan Asia Tenggara yang mampu menyerap dalam skala besar berbagai macam produk. Tragisnya, anasir-anasir negara gagal memahami secara cerdas segenap kenyataan ini. Sebagai akibatnya, negara lumpuh saat diharapkan mampu melakukan pengorganisasian terhadap seluruh potensi perekonomian agar sepenuhnya faktual dan aktual.

Diaspora perekonomian tampak mencolok pada kegagalan pemerintah dalam hal memberikan garansi terhadap ketercukupan faktor masukan produksi. Energi gas, misalnya, gagal diarahkan sebagai basis penguatan industri manufaktur di dalam negeri. Pemerintah malah membiarkan gas diekspor dengan harga murah. Langsung maupun tak langsung, pemerintah Indonesia memberikan kontribusi ke arah terciptanya nilai tambah industri di negara-negara lain. Mengapa ini terjadi? Jelas, semuanya terkait erat dengan kecamuk korupsi dalam balutan rente ekonomi. Ketika kemudian kian mengkristal tuntutan agar pemerintah berperan memperkuat keberadaan faktor masukan produksi industri, maka penghentian kecamuk korupsi merupakan keniscayaan tak terelakkan. Mengkhiri kecamuk korupsi lantas menjadi aksioma untuk memajukan perekonomian bangsa ini. Tak pelak lagi, inilah batas demarkasi kecamuk korupsi.

Ketiga, korupsi dalam kaitannya dengan akumulasi kebencian masyarakat. Observasi secara generik membawa kita pada satu kesimpulan: semakin kuatnya penolakan masyarakat terhadap korupsi. Jika semula ada penerimaan secara diam-diam terhadap perilaku korup, titik balik kemudian terjadi. Pelan tapi pasti, masyarakat berada dalam satu fase kesadaran untuk memandang korupsi bukan sebagai kelaziman. Timbulnya kesadaran kolektif semacam ini tak bisa dilepaskan dari skandal mafia kasus perpajakan yang membelit pegawai golongan IIIA di Subdirektorat Banding Ditjen Pajak, Gayus Tambunan. Kebencian masyarakat terhadap korupsi inilah yang turut serta mengukuhkan timbulnya batas-batas demarkasi kecamuk korupsi.

Bagaimana pun, korupsi memiliki ruang untuk tumbuh dan berkembang hanya manakala masyarakat menerimanya sebagai suatu kelaziman. Terutama sejak era Orde Baru, sedemikian rupa masyarakat terkondisikan menerima kehadiran korupsi sebagai kewajaran. Tak bisa dielakkan, sejak era Orde Baru itulah korupsi bermetamorfosis menjadi domain kultural. Korupsi tidak lagi dimengerti sebagai penyimpangan, tetapi justru diposisikan sebagai prasyarat saat masyarakat harus berhubungan dengan anasir-anasir negara. Cuma saja, skandal Gayus Tambunan mengubah segalanya. Domain kultural korupsi kini terdekonstruksikan oleh kecamuk korupsi di bidang perpajakan. Seakan blessing in disguise, skandal Gayus Tambunan mengondisikan terciptanya batas demarkasi kecamuk korupsi.

Alhasil, sebagai salah satu negara terkorup di dunia, Indonesia mulai memasuki babakan baru perjalanan historisnya bergumul dengan korupsi. Kecamuk korupsi memang terus terjadi. Sungguh pun demikian, mulai tampak tanda-tanda, bahwa kecamuk korupsi itu diperhadapkan dengan batas-batas demarkasi. Artinya, silahkan para koruptor berpesta pora, dengan segala kelancungannya. Hanya saja, atmosfer baru lahir: tak pernah ada pesta yang tak berakhir. Koruptor pada berbagai tingkatan, mau tak mau, harus memasuki titik kulminasi, bahwa enough is enough.[]

Rabu, 24 Februari 2010

Industri Pansus


oleh Anwari WMK

BAHASA Indonesia terus berkembang menjadi alat komunikasi yang hidup. Kata-kata baru atau bentukan kata-kata baru muncul ke permukaan. Bahkan, kemunculan itu begitu semarak. Bentukan kata-kata baru yang tak terbayangkan sebelumnya, toh pada akhirnya muncul ke permukaan. “Industri Pansus” merupakan bentukan kata baru yang mewarnai media massa. “Pansus” yang dimaksudkan di sini adalah Panitia Khusus Angket DPR RI tentang Bank Century.

Tak tanggung-tanggung, kata “Industri Pansus” itu dikemukakan oleh Wakil Presiden Boediono. Saat bertatap muka dengan jajaran Pengurus Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) di Istana Wakil Presiden, Jakarta, Boediono menyatakan kekhawatirannya bakal terjadi Industri Pansus (Seputar Indonesia, 30 Januari 2010). Ini terkait dengan kecenderungan yang terpilin di parlemen, di mana semua persoalan bangsa diskenariokan hendak diselesaikan melalui pembentukan Pansus.

Dengan cara pengungkapan sederhana, Boediono seakan-akan berkata, “Sedikit-sedikit Pansus, sedikit-sedikit Pansus.” Boleh jadi, ini merupakan suatu bentuk kejengkelan seorang wakil presiden kepada parlemen. Maklum, Boediono sedang terseret ke dalam skandal Bank Century. Sementara, DPR membentuk Pansus Angket untuk menyelidiki skandal Bank Century tersebut.

Namun terlepas dari masalah kejengkelan yang bergemuruh dalam dirinya, Boediono toh telah melontarkan sebuah istilah yang, diakui atau tidak, mewarnai perkembangan Bahasa Indonesia. Karena itu pula, penting memaknai apa sesungguhnya hakikat yang terkandung dalam istilah “Industri Pansus”.

Tak pelak lagi, pernyataan Boediono bernuansa menyindir. Ini karena, sudah enam Pansus Angket terbentuk sejak 2005, dalam era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Pansus-pansus itu adalah Pansus Angket Kenaikan Harga BBM yang dicetuskan dalam sidang paripurna DPR 31 Mei 2005, Pansus Angket Kebijakan Impor Beras yang terbentuk pada 24 Januari 2006, Pansus Angket Kenaikan Harga BBM yang digulirkann DPR pada 24 Juni 2008, Pansus Angket Penyelenggaraan Haji pada 2008, Pansus Angket Daftar Pemilih Tetap Pemilu pada 2009, dan Pansus Angket Bank Century yang digulirkan pada Desember 2009. Lima Pansus Angket tidak jelas hasilnya. Sedangkan Pansus Angket ke-6 tengah bergulir tatkala Boediono melontarkan istilah “Industri Pansus”.

Sebenarnya, Boediono berbicara tentang ketidakbecusan Pansus manakala difungsikan sebagai metode penyelesaian masalah bangsa. Pansus Angket memang mudah dibentuk di parlemen. Tapi juga mudah menguap tanpa kejelasan arah. Ini merupakan suatu bentuk teknikalitas politik yang tak bermakna. Pansus hanya representasi kepentingan subyektif para politikus di parlemen.

Dengan istilah “Industri Pansus”, Boediono seakan mengingatkan bangsa ini. Bahwa permainan politik di parlemen dengan begitu mudahnya mampu dan digdaya mereproduksi Pansus. Hanya tragisnya, kehadiran berbagai Pansus tak memberikan kontribusi positif terhadap membaiknya kehidupan bangsa. Pansus bahkan hanyalah suatu bentuk tawar-menawar politik yang tak memberi maslahat terhadap realitas hidup masyarakat.

Segalanya lalu menjadi jelas. Jika ke depan nanti masih juga muncul Pansus Angket yang tak bermakna di parlemen, sebut saja itu “Industri Pansus”. Maka, sudah selayaknya manakala istilah “Industri Pansus” masuk ke dalam cakupan lema (entry) dalam kamus Bahasa Indonesia. Mungkin, istilah “Industri Pansus” hilang bersama waktu jika aneka Pansus yang dibentuk DPR bukanlah sandiwara kepalsuan, tapi sepenuhnya memperjuangkan kedaulatan rakyat.[]

Industri Pansus

Oleh Anwari WMK

BAHASA Indonesia terus berkembang menjadi alat komunikasi yang hidup. Kata-kata baru atau bentukan kata-kata baru muncul ke permukaan. Bahkan, kemunculan itu begitu semarak. Bentukan kata-kata baru yang tak terbayangkan sebelumnya, toh pada akhirnya muncul ke permukaan. “Industri Pansus” merupakan bentukan kata baru yang mewarnai media massa. “Pansus” yang dimaksudkan di sini adalah Panitia Khusus Angket DPR RI tentang Bank Century.

Tak tanggung-tanggung, kata “Industri Pansus” itu dikemukakan oleh Wakil Presiden Boediono. Saat bertatap muka dengan jajaran Pengurus Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) di Istana Wakil Presiden, Jakarta, Boediono menyatakan kekhawatirannya bakal terjadi Industri Pansus (Seputar Indonesia, 30 Januari 2010). Ini terkait dengan kecenderungan yang terpilin di parlemen, di mana semua persoalan bangsa diskenariokan hendak diselesaikan melalui pembentukan Pansus.

Dengan cara pengungkapan sederhana, Boediono seakan-akan berkata, “Sedikit-sedikit Pansus, sedikit-sedikit Pansus.” Boleh jadi, ini merupakan suatu bentuk kejengkelan seorang wakil presiden kepada parlemen. Maklum, Boediono sedang terseret ke dalam skandal Bank Century. Sementara, DPR membentuk Pansus Angket untuk menyelidiki skandal Bank Century tersebut.

Namun terlepas dari masalah kejengkelan yang bergemuruh dalam dirinya, Boediono toh telah melontarkan sebuah istilah yang, diakui atau tidak, mewarnai perkembangan Bahasa Indonesia. Karena itu pula, penting memaknai apa sesungguhnya hakikat yang terkandung dalam istilah “Industri Pansus”.

Tak pelak lagi, pernyataan Boediono bernuansa menyindir. Ini karena, sudah enam Pansus Angket terbentuk sejak 2005, dalam era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Pansus-pansus itu adalah Pansus Angket Kenaikan Harga BBM yang dicetuskan dalam sidang paripurna DPR 31 Mei 2005, Pansus Angket Kebijakan Impor Beras yang terbentuk pada 24 Januari 2006, Pansus Angket Kenaikan Harga BBM yang digulirkann DPR pada 24 Juni 2008, Pansus Angket Penyelenggaraan Haji pada 2008, Pansus Angket Daftar Pemilih Tetap Pemilu pada 2009, dan Pansus Angket Bank Century yang digulirkan pada Desember 2009. Lima Pansus Angket tidak jelas hasilnya. Sedangkan Pansus Angket ke-6 tengah bergulir tatkala Boediono melontarkan istilah “Industri Pansus”.

Sebenarnya, Boediono berbicara tentang ketidakbecusan Pansus manakala difungsikan sebagai metode penyelesaian masalah bangsa. Pansus Angket memang mudah dibentuk di parlemen. Tapi juga mudah menguap tanpa kejelasan arah. Ini merupakan suatu bentuk teknikalitas politik yang tak bermakna. Pansus hanya representasi kepentingan subyektif para politikus di parlemen.

Dengan istilah “Industri Pansus”, Boediono seakan mengingatkan bangsa ini. Bahwa permainan politik di parlemen dengan begitu mudahnya mampu dan digdaya mereproduksi Pansus. Hanya tragisnya, kehadiran berbagai Pansus tak memberikan kontribusi positif terhadap membaiknya kehidupan bangsa. Pansus bahkan hanyalah suatu bentuk tawar-menawar politik yang tak memberi maslahat terhadap realitas hidup masyarakat.

Segalanya lalu menjadi jelas. Jika ke depan nanti masih juga muncul Pansus Angket yang tak bermakna di parlemen, sebut saja itu “Industri Pansus”. Maka, sudah selayaknya manakala istilah “Industri Pansus” masuk ke dalam cakupan lema (entry) dalam kamus Bahasa Indonesia. Mungkin, istilah “Industri Pansus” hilang bersama waktu jika aneka Pansus yang dibentuk DPR bukanlah sandiwara kepalsuan, tapi sepenuhnya memperjuangkan kedaulatan rakyat.[]

Kamis, 18 Februari 2010

Bahaya Punahnya Otentisitas

Oleh Anwari WMK

Pelan tapi pasti, kian tersingkap fakta dan kenyataan. Betapa sesungguhnya, realitas hidup kolektif di Indonesia mulai kehilangan otentisitasnya. Kalau pun masih tersisa otentisitas, maka otentisitas itu pun mulai digerus oleh gelombang kepunahan secara sangat dahsyat. Sementara tragisnya, punahnya otentistas merupakan akibat logis dari sikap hidup, perilaku dan tindakan yang terlampau pragmatik-komersialistik. Akibat lebih lanjut dari kenyataan ini, ruang publik gagal mencetuskan inspirasi-inspirasi baru nan memukau. Para aktor politik dan ekonomi yang nyemplung ke dalam ruang publik pun tak membawa serta dramaturgi yang inspiratif. Justru, para aktor itu tiba-tiba tampak sebagai monster pemburu rente yang tiada taranya.

Tragedi demi tragedi lalu mengkristal sebagai atmosfer memilukan bagi Indonesia. Politik lantas kehilangan kedigdayaannya memperjuangkan kehendak umum (public interest). Sementara perekonomian, lumpuh saat diharapkan mampu mewujudkan keunggulan kompetitif bangsa. Apa boleh buat, amanat penderitaan rakyat tersingkirkan dari arena pergumulan politik dan ekonomi. Tak pelak lagi, begitulah potret Indonesia pada abad XXI kini. Maka, hanya ada satu jalan yang mungkin ditempuh Indonesia sebagai bangsa, yaitu sungguh-sungguh menghidupkan kembali sukma otentisitas.

Penting dicatat, bahwa dengan otentisitas berarti, ada upaya saksama mempertahankan kesejatian diri yang agung. Dengan otentisitas, manusia merambah menuju puncak kesempuraan hidup melampaui binatang-binatang. Segala sesuatu yang manusiawi sungguh-sungguh diupayakan berdimensi transenden. Dengan otentisitas, timbul progresivitas demi meraih kebenaran hakiki. Dengan otentisitas, Indonesia bukanlah sekadar wilayah tempat berhimpunnya sekumpulan manusia dari berbagai macam puak. Lebih dari itu, melalui otentisitas terbentuk format kolektivitas manusia yang menjungjung tinggi sportivitas, kejujuran dan integritas. Otentisitas inilah yang meneguhkan timbulnya pandangan dunia desa mawa cara, negara mawa tata, sabrang damar panuluh.

Ketiadaan Otentisitas

Manakala saksama menelisik pesan-pesan filosofis yang termaktub di balik teks Pembukaan UUD 1945, maka serta-merta kita menemukan hakikat otentisitas Indonesia sebagai sebuah bangsa. Masalahnya kemudian, anak-anak bangsa di negeri ini terseret ke dalam arus besar punahnya otentisitas. Tragisnya lagi, punahnya otentisitas menemukan episentrumnya di lembaga-lembaga pendidikan tinggi. Maka, semakin terkuak ke permukaan, betapa sesungguhnya lembaga-lembaga pendidikan tinggi yang pada dasarnya terhormat itu justru diharu-biru oleh hadirnya dosen, profesor dan calon profesor yang tak lain dan tak bukan hanyalah plagiator. Tanpa bisa dielakkan, perguruan tinggi menjadi ladang subur tumbuhnya plagiarisme.

Sesuatu yang kemudian penting dikatakan adalah ini: muncul sekumpulan dosen, profesor dan calon profesor yang kehilangan rasa malu menjiplak dan mengklaim karya-karya akademis orang lain sebagai miliknya. Bahkan, karya-karya mahasiswa mereka sendiri sengaja dibajak untuk keperluan kum akademik. Demi meraih posisi guru besar, misalnya, banyak dosen memilih jalan yang mudah, serta menampik jalan yang benar. Kita lalu melihat keanehan yang tiada taranya pada bangsa ini. Guru besar yang plagiator tak memberi kontribusi signifikan terhadap kemajuan ilmu pengetahuan. Besarnya populasi guru besar tak berbanding lurus dengan apa yang pernah disinggung Soedjatmoko sebagai “penambahan cadangan ilmu”.

Pertanyaan yang kemudian mencuat ke permukaan terkait dengan hakikat dan logika pencapaian akademis di perguruan tinggi. Apa sesungguhnya yang mendasari keberadaan seseorang sehingga patut menyandang status profesor atau guru besar? Adakah takaran obyektif untuk bisa menyimpulkan bahwa seseorang memang layak menyandang status guru besar? Dalam okasionalitas apa seseorang dipandang patut mempertontonkan gelar guru besar? Ternyata, pertanyaan-pertanyaan ini memiliki kaitan makna dengan beberapa dimensi.

Pertama, upaya meraih status guru besar kini memang rentan terjerembab ke dalam plagiarisme. Dalam headline-nya pada edisi 18 Februari 2010, harian Kompas mengungkap penjiplakan yang kian merebak pada berbagai perguruan tinggi di Tanah Air. Dengan beragam modus, maka dosen, guru besar dan calon guru besar menjiplak karya-karya akademik orang lain. Headline ini menegaskan satu hal: bukan saja mahasiswa yang terpilin ke dalam tindakan jiplak-menjiplak, tetapi juga dosen, guru besar dan calon guru besar. Semuanya bermula dari berlakunya aturan main. Bahwa karya ilmiah ditetapkan sebagai faktor determinan pengurusan kenaikan jabatan dosen di perguruan tinggi, hingga mencapai derajat guru besar.

Kedua, karya-karya ilmiah yang dijadikan dasar kenaikan jabatan dosen di perguruan tinggi merupakan karya-karya ilmiah yang tak terpublikasikan secara luas. Sehingga dengan demikian, tak ada supervisi yang bersifat kritis terhadap seluruh karya ilmiah tersebut. Sebuah kesaksian menyebutkan, penjiplakan karya-karya ilmiah di Indonesia telah berlangsung sejak lama. Bahkan, penjiplakan itu telah sedemikian rupa bermetamorfosis menjadi habit dalam totalitas dinamika perguruan tinggi. Tak pelak lagi, inilah instanisme yang begitu terang benderang. Ibarat narkoba, penjiplakan merupakan tindakan haram yang dirasakan nikmat untuk dilakukan. Bahkan, dilakukan secara berulang-ulang.

Ketiga, plagiarisme mengambil titik tolak dari upaya eksploitasi kalangan mahasiswa oleh kalangan dosen, guru besar dan calon guru besar. Para mahasiswa dalam konteks ini, dikondisikan untuk melaksanakan agenda-agenda penelitian. Hasil-hasil penelitian itulah yang kemudian diklaim sebagai karya akademis dosen, guru besar dan calon guru besar di perguruan tinggi. Apa yang bisa kita simpulkan dari kenyataan ini ialah terbentuknya pola relasi subyek-obyek. Dosen, guru besar dan calon guru besar memosisikan dirinya sebagai subyek, sementara mahasiswa disudutkan semata sebagai obyek.

Jelas kiranya, ketiadaan otentisitas itu merupakan tantangan besar bagi Indonesia dalam memasuki pergumulan abad XXI. Ketiadaan otensitas yang sedemikian rupa itu justru telah melumpuhkan kelembagaan pendidikan tinggi untuk sepenuhnya berperan sebagai center of excellence dalam kehidupan masyarakat. Karena itu, mutlak ditemukan sebuah jalan keluar demi memecahkan masalah ketiadaan otentisitas.

Jalan Keluar

Tantangan besar abad XXI memperhadapkan Indonesia pada pilihan sulit. Tatkala bangsa-bangsa lain telah melakukan lompatan kuantum demi mencapai kemajuan, Indonesia masih berputar-putar pada persoalan elementer ketahanan pangan, ketidaktercukupan energi dan buruknya infrastruktur. Mau tak mau, Indonesia harus menyelesaikan dua persoalan kembar. Indonesia harus dengan segera menyelesaikan problema-problema elementer, serta sekaligus mengejar ketertinggalan dari bangsa-bangsa lain. Mengacu pada kemampuan mencetak lapisan sumber daya manusia yang bermutu, pendidikan tinggi berdiri di garda depan dalam hal menyelesaikan persoalan kembar itu.

Pada titik ini kita lantas diperhadapkan dengan keharusan untuk mereformulasi pendidikan tinggi. Hal yang niscaya dilakukan adalah mempurifikasi kedudukan guru besar dari noda hitam plagiarisme. Caranya, setiap guru besar diharuskan menulis minimal satu buku ilmiah setiap tahun. Setelah terbit, substansi buku ilmiah itu dibentangkan untuk diperdebatkan di ruang publik demi mempertimbangkan tingkat kesahihan dan kualitasnya. Sebagai konsekuensinya, status guru besar mutlak dicabut manakala syarat ini tak dipenuhi. Inilah cara paling beradab mengeleminasi plagiarisme. Bahkan, inilah cara paling masuk akal merawat otentisitas.

Moral dari tulisan ini sangatlah sederhana: keharusan menyimak mara bahaya punahnya otentisitas. Tanpa otensitas, Indonesia bakal diperhadapkan dengan kemerosotan untuk sekadar menjadi bangsa abal-abal dalam pergaulan global.[]

Rabu, 27 Januari 2010

Negara yang Sakaratul Maut

Oleh Anwari WMK

Demi memahami eksistensi para pengelola negara, ternyata tidaklah terlalu penting menimang aspek nama dan sebutan. Secara kategoris, para pengelola negara bisa berarti “pejabat”, “aparat”, “pamong” atau “pegawai negeri sipil”. Disimak berdasarkan perspektif sosiologis, nama dan sebutan tersebut menggambarkan adanya peran, fungsi dan kedudukan seseorang dalam jagat pengelolaan negara. Tetapi kategorisasi ini bukanlah diferensiasi yang sungguh-sungguh bermakna manakala dibandingkan dengan kecenderungan yang hampir seragam mewarnai tata laku para pengelola negara. Artinya, ada semacam similaritas di antara para pejabat negara. Similiritas itu, anehnya, berupa perburuan honor di luar gaji pokok. Keberhasilan mendapatkan honor itu pun menentukan secara telak tingkat kerajinan mereka bekerja sebagai pengelola negara.

Dalam detik.com edisi 27 Januari 2010 disebutkan, bukan rahasia lagi jika pejabat di berbagai kementerian banyak yang menerima honor di luar gaji pokok. Fakta ini kemudian mencetuskan kebiasaan buruk. Antusiasme dan tingkat kerajinan bekerja sebagai aparat negara benar-benar dideterminasi oleh ada tidaknya honor-honor. Jika jumlah honor yang diterima tak memadai, maka timbul situasi disinsetif. Kemunculan honor-honor itu tak bisa dilepaskan dari latar belakang pembentukan panitia atau sejenis komite dalam sebuah kementerian. Saat panitia atau komite benar-benar riil terbentuk, maka saat itu pula digulirkann usulan pengadaan honor-honor. Tragisnya, tak ada standarisasi berkenaan dengan besaran honor. Itulah mengapa, semakin tinggi tanggung jawab, maka semakin besar pula honor yang diterima.

Apa yang bisa kita mengerti dari kenyataan ini? Honor-honor diposisikan sebagai suatu bentuk “penghargaan” terhadap pelaksanaan tugas di luar tugas-tugas rutin. Artinya, jika komponen honor-honor tidak ada, maka itu merupakan pertanda tak adanya pelaksanaan tugas di luar tugas-tugas rutin. Tapi mengapa kini muncul usulan untuk menghapuskan honor-honor tersebut? Bukankah dengan penghapusan honor-honor itu berarti satu poin penghargaan sengaja ditiadakan? Mungkinkan ini merupakan sinyal terjadinya penggusuran terhadap berbagai item pekerjaan di luar tugas rutin? Ataukah memang, honor-nonor itu sesungguhnya merupakan suatu bentuk kesalahan yang tak terkoreksikan dalam jangka waktu lama?

Tentu, penghapusan honor-honor itu masih bergulir sebatas retorika, sehingga terbuka beberapa kemungkinan. Isu penghapusan bisa berarti peniadaan sama sekali komponen honor dalam maknanya yang riil. Atau, honor-honor tetap ada, namun dengan penamaan yang berbeda. Pokok soalnya di sini adalah honor yang telah sedemikian rupa berfungsi sebagai faktor stimulan timbulnya dinamika kerja pengelola negara. Ini jelas merupakan suatu kelancungan. Sebab, bagaimana mungkin seseorang yang telah mendedahkan dirinya terlibat aktif dalam pengelolaan negara ternyata hanya bersedia bekerja berdasarkan determinasi tunggal “honor-honor”. Bukankah dengan demikian berarti, impuls yang mendorong berlangsungnya pengelolaan negara bukan lagi cita-cita dan kehendak luhur mengapa negara ini dilahirkan?

Mungkin terkesan absurd dan mengada-ada jika kita berbicara tentang eksistensi para pengelola negara yang bekerja dengan upah rendah. Bukan saja upah rendah itu harus ditentang lantaran melecehkan kemanusiaan, tetapi upah rendah harus ditolak karena mengingkari arti penting meritokrasi dalam tata kelola organisasi secara baik. Atas dasar ini, mutlak diberlakukan sebuah keputusan politik yang memungkinkan para pihak pengelola negara hidup berkecukupan. Hanya saja, hidup berkecukupan berbeda secara diametral dengan hidup berkemewahan. Dalam konteks hidup berkecukupan termaktub pilihan hidup untuk menjadi seorang asketik. Artinya, jangan pernah bermimpi menjadi pengelola negara manakala masih ada kehendak yang tak terbendung untuk hidup berkemewahan. Sementara tragisnya, honor-honor dalam konteks persoalan di atas merupakan suatu bentuk kemewahan yang sengaja dirancang mendopleng pada apa yang disebut “pekerjaan-pekerjaan di luar tugas rutin”.

Persoalan ini lalu membawa kita pada telaah secara saksama terhadap dua hal yang sekilas pintas bertolak belakang satu sama lain. Diferensiasi antara “tugas rutin” dan “di luar tugas rutin” sesungguhnya merupakan kategorisasi yang sangat longgar serta tak memiliki kejelasan batas-batas dan definisi manakala disimak berdasarkan perspektif kepemimpinan dan manajemen. Sangat mungkin, item-item yang tercakup ke dalam kategori “di luar tugas rutin” ternyata secara substansial bertumpang tindih dengan item-item yang termaktub ke dalam kategori “tugas rutin”. Perbedaan antara “tugas rutin” dan “di luar tugas rutin” pun ternyata hanyalah semu belaka. Perbedaan ini merupakan teknikalitas demi mewujudkan ambisi untuk hidup berkemewahan yang dikamuflasekan pada keseluruhan proses tata kelola negara. Dengan kata lain, pengelolaan negara telah dimanipulasi sedemikian rupa menjadi ajang pengerukan sumber daya finansial. Pada titik ini, semakin sulit membayangkan bakal munculnya figur-figur asketik yang bekerja secara pro-bono dalam proses pengelolaan negara.

Mau tak mau, dari sini tersingkap pandangan dunia (Weltanschauung) pengelola negara. Pertama, tak ada lagi keikhlasan otentik dalam proses pengelolaan negara. Baik “pejabat”, “aparat”, “pamong” maupun “pegawai negeri sipil” hanyalah sekumpulan para aktor yang aktif melakukan perburuan finansial dalam kancah negara. Jika generasi pertama setelah Indonesia merdeka melakukan pengelolaan negara dengan disertai kesadaran untuk hidup sederhana atau bersahaja, maka sangatlah sulit kini menemukan figur-figur pengelola negara semacam itu. Tak berlebihan jika kemudian dikatakan, bahwa aktor-aktor pengelola negara kini dideterminasi oleh basis material.

Kedua, determinasi basis material itu kini benar-benar menemukan aktualisasinya pada kecenderungan lahirnya organ-organ kekuasaan negara yang independen (independent regulatory body) serta munculnya cabang kekuasaan eksekutif (state auxiliary agency). Jika kemunculan independent regulatory body berupa lahirnya “komisi-komisi negara”, maka kehadiran state auxiliary agency mengambil format “badan”, “dewan”, atau “tim” (lihat editorial Kompas, 27 Januari 2010: “Seputar Birokrasi Kekuasaan”). Untuk membuktikan bahwa hal ini merupakan elemen yang tercakup dalam determinasi basis material, semuanya dapat disimak dari dasar hukum pembentukan independent regulatory body maupun state auxiliary agency yang berupa undang-undang, keputusan presiden, atau peraturan pemerintah. Ketidakseragaman dasar hukum ini merupakan indikasi mencolok betapa sesungguhnya keberadaan aktor-aktor pengelola negara kini tak lain dan tak bukan hanyalah petualang yang terus mencari celah menggerus sumber daya finansial yang tersimpan dalam berbagai institusi negara. Jangan heran pula jika kini hampir mustahil menemukan tokoh-tokoh pengelola negara yang jujur dan hidup sederhana seperti halnya Baharuddin Lopa.

Dari kenyataan yang memilukan ini lahir implikasi buruk yang tak terperikan. Para aktor pengelola negara merupakan elemen bangsa yang tak mungkin lagi diharapkan mampu tampil ke depan mengemban tugas kebangsaan dengan mengusung spirit pengorbanan agung demi kejayaan Indonesia. Pragmatisme telah sedemikian rupa mendistorsi tugas-tugas kebangsaan para pengelola negara. Jika aksioma manajemen dan kepemimpinan abad XXI meniscayakan berlakunya prinsip over sacrifice, maka prinsip tersebut mustahil diwujudkan dalam realitas hidup aktor-aktor pengelola negara kini.

Apa boleh buat, para pengelola negara kini merupakan antitesis terhadap cita-cita berdirinya Indonesia merdeka. Jangan heran jika orientasi dan perilaku “pejabat”, “aparat”, “pamong” dan “pegawai negeri sipil” hanya menjerumuskan negara ke dalam stadium sakit yang teramat parah. Bukan saja compang-camping eksistensinya, negara kini benar-benar berada dalam fase sakaratul maut.[]

Pendidikan Menangkap Realitas

Oleh Anwari WMK

Tak sepenuhnya benar pandangan yang menyebutkan bahwa siswa di Indonesia terasing dari realitas. Pandangan semacam ini bertitik tolak dari tradisi dalam proses pembelajaran yang fokus pada pemenuhan target kurikulum. Pada jenjang pendidikan dasar dan menengah, besarnya fokus perhatian terhadap kurikulum diasumsikan menjadi sebab fundamental timbulnya keterputusan hubungan antara pendidikan dan realitas hidup masyarakat. Siswa dimengerti sebagai subyek didik yang terasing dari masyarakatnya. Pandangan ini lalu menyalahkan keadaan, lantaran proses pendidikan disimpulkan benar-benar berada dalam posisi disintegratif dengan realitas hidup masyarakat.

Manakala kita saksama mengobservasi keseharian siswa di lembaga pendidikan manapun di Tanah Air, maka akan didapatkan fakta dan kenyataan, bahwa pada derajat tertentu para siswa memiliki berbagai perspektif tentang realitas hidup masyarakat. Dengan kapasitas subyektif masing-masing, setiap siswa memiliki pemahaman terhadap realitas hidup masyarakat. Jika para siswa diminta menjelaskan realitas hidup masyarakat, baik secara lisan maupun dengan tulisan, maka dalam ranah kognitif mereka telah terkonfigurasi pemahaman yang spesifik terhadap masyarakat—dengan puspa ragam persoalannya. Tak sedikit dari siswa bahkan bisa menggambarkan penderitaan dan duka nestapa masyarakat korban lumpur panas Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur.

Akselerasi

Kita tahu, sistem kemasyarakatan yang terus berjalan hingga kini di Indonesia masih diwarnai oleh relasi-relasi primordialistik, dan bahkan sektarianistik. Pada berbagai aspek kehidupan masihlah dominan relasi primordialistik dan sektarianistik. Dalam situasi demikian, sistem kemasyarakatan di Indonesia belum bercorak individualistik. Implikasinya bagi setiap siswa sebagai individu tampak pada terbentuknya sensitivitas terhadap realitas. Para siswa kita masih “anak-anak masyarakat” yang primordialistik dan sektarianistik. Dengan sendirinya, anak-anak kita memiliki probabilitas untuk memahami secara natural realitas hidup masyarakat.

Maka, persoalan kita pada akhirnya tak sepenuhnya berhubungan dengan kosongnya pemahaman siswa terhadap realitas hidup masyarakat. Dalam ranah kognitif siswa telah tercipta basis pemahaman terhadap realitas hidup masyarakat. Persoalannya kemudian terkait dengan keniscayaan untuk melakukan akselerasi pemahaman pada tingkat individual siswa terhadap berbagai realitas yang terhampar dalam kehidupan masyarakat. Akselerasi pemahaman itulah yang sejauh ini tak sepenuhnya disentuh oleh kalangan guru.

Dengan peta persoalan semacam ini, pendidikan menangkap realitas masyarakat menjadi jelas arah dan pengembangannya. Pendidikan menangkap realitas tak perlu lagi mempersoalkan ada tidaknya pengetahuan tentang masyarakat dalam ranah kognitif siswa. Sebab, pengetahuan tentang masyarakat itu sudah ada. Hal mendasar yang kemudian dibutuhkan adalah akumulasi secara lebih besar pengetahuan dan pemahaman berkenaan dengan realitas hidup masyarakat.

Metodologi

Imperatif untuk mengakselerasi pengetahuan siswa terhadap realitas hidup masyarakat mempersyaratkan adanya metodologi pemahaman. Sebagaimana telah terpatri sebagai diktum dalam filsafat ilmu, akumulasi pengetahuan hanya mungkin dilakukan manakala ada ketepatan metodologi. Terlebih lagi, pendidikan menangkap realitas meniscayakan proses belajar mengajar menjadi salah satu fungsi dari lingkungan secara keseluruhan. Dalam konteks ini, analisis terhadap pemberitaan media massa dapat dikembangkan sebagai metodologi untuk mengakselerasi pemahaman.

Pada tataran yang bersifat teknis, metodologi ini dapat diimplementasikan secara sederhana. Setiap siswa dikondisikan memilih salah satu persoalan kemasyarakatan yang mengemuka dalam pemberitaan media massa nasional. Siswa lalu diarahkan untuk mengeksplorasi masalah-masalah substantif media massa serta diminta menemukan solusi terhadap masalah tersebut. Dengan bimbingan intensif dari kalangan guru, analisis berita ini bisa dilakukan secara individual oleh setiap siswa.

Pelan tapi pasti, melalui upaya ini muncul terobosan untuk mengukuhkan kehadiran pendidikan menangkap realitas. Melalui analisis berita, pendidikan menangkap realitas lebih mudah diimplementasikan. Semoga dengan cara ini, terjadi peningkatan mutu pendidikan nasional.[]

Senin, 25 Januari 2010

Pendidikan dan Modernisasi Bangsa

Di Indonesia, hubungan antara pendidikan dan modernisasi masih dilematis dan membingungkan.

Secara prinsipil, modernisasi merupakan proses transformasi sosio-kultural. Dengan modernisasi berarti diupayakan terciptanya kemajuan dalam berbagai aspek kehidupan. Itulah mengapa, modernisasi meniscayakan terjadinya perubahan nilai, perubahan norma, struktur dan institusi. Dimensi lama [dalam nilai, norma, struktur dan institusi] yang sudah tak relevan, digantikan oleh dimensi baru. Pada titik inilah modernisasi amat sangat membutuhkan pendidikan. Bahkan, pendidikan merupakan prasyarat untuk melaksanakan segenap agenda modernisasi.

Sangatlah jelas, pendidikan merupakan domain yang memungkinkan agenda perubahan nilai, norma, struktur dan institusi disimulasikan serta dicanangkan membentuk kesadaran kolektif. Tanpa kejelasan peran pendidikan, sangatlah sulit membayangkan modernisasi bakal mampu mencapai tujuan-tujuan luhurnya yang mulia. Maka, pendidikan merupakan wilayah yang memungkinkan segenap aspek dalam modernisasi dibicarakan secara saksama.

Hubungan antara pendidikan dan modernisasi pun tampak jelas pada besarnya kebutuhan akan literacy. Dengan literacy berarti, modernisasi memiliki kejelasan konsepsi dan pemikiran. Terlebih lagi, modernisasi mengusung spirit persamaan, kebebasan dan kemanusiaan. Dengan spirit itu berarti, modernisasi bukanlah gagasan dan kehendak yang remeh-temeh. Sebagai konsekuensinya, dibutuhkan literacy. Tanpa daya dukung penyebaran literacy, melalui proses-proses pendidikan, dengan sendirinya sulit mengarahkan spirit modernisasi mampu mendatangkan maslahat terhadap orang banyak.

Hanya saja, tidaklah sederhana hubungan modernisasi dan pendidikan. Di Indonesia, hubungan tersebut masih dilematis dan membingungkan. Pengakuan bahwa pendidikan merupakan prasyarat modernisasi tak dengan sendirinya memosisikan pendidikan berada dalam kedudukan terhormat. Malah, proses-proses modernisasi melecehkan dan menisbikan pendidikan. Pada derajat tertentu, esensi dan eksistensi pendidikan benar-benar diporak-porandakan oleh proses-proses modernisasi.

Dalam contoh kasus pembangunan Banjir Kanal Timur (BKT) di DKI Jakarta, kita mencatat dua hal yang kontras. Pada satu sisi, BKT merupakan wujud konkret dari agenda modernisasi. Tujuannya, membebaskan rakyat Jakarta dari ancaman dehumanisasi yang dibawa serta oleh kecamuk banjir. Dengan sendirinya, BKT merupakan teknikalitas yang relevan dan masuk akal untuk membebaskan Jakarta dari ancaman permanen bencana banjir. Tapi pada lain sisi, BKT mengganggu akses keluar-masuk ke sejumlah lembaga pendidikan. Dengan fakta ini kita menyaksikan kenyataan yang amat tragis: betapa sesungguhnya sebuah agenda modernisasi menisbikan peran dan fungsi lembaga-lembaga pendidikan.

Sebagaimana dapat dicatat, akses jalan tersingkat menuju lima sekolah di Cipinang Besar Selatan, Jakarta Timur, makin jauh setelah jalan lintas diubah menjadi Kanal Timur. Lima sekolah ini terpaksa harus menerima takdir buruk disengsarakan oleh keberadaan BKT. Dengan sangat terpaksa, siswa dan guru harus menempuh jalan memutar untuk bisa sampai ke sekolah-sekolah tersebut. Tragisnya, hanya ada satu jalan memutar, sehingga berlangsung ”perebutan ruang publik” pada saat datang dan pulang sekolah. Lima sekolah dimaksud adalah SMA Negeri 100, SMP Negeri 149, SD Negeri 02, SD Negeri 13, dan SD Negeri 14. Khusus di lingkungan SMA Negeri 100, hujan lebat 20 menit menciptakan genangan air 20 cm. Inilah genangan yang terjadi setelah ujung saluran air menuju Kanal Timur yang semula lebar, berubah menjadi sempit.

Realitas ini mencederai hubungan yang niscaya antara pendidikan dan modernisasi. Apa yang dengan telanjang bisa kita saksikan dan sekaligus bisa kita rasakan adalah pragmatisme pembangunan infrastruktur. Begitu kuatnya pragmatisme itu, sampai-sampai mengorbankan pendidikan. Sekolah yang mengusung peran universal pencerdasan umat manusia justru diporak-porandakan eksistensinya oleh keberadaan sebuah infrastruktur.

Anwari WMK

Nestapa Guru Non-PNS

Guru-guru non-PNS justru dilecehkan oleh kalangan pemerintahan yang bertanggungjawab langsung terhadap tata kelola pendidikan.

Datanglah ke berbagai daerah dan perhatikan secara saksama nasib guru-guru non-Pengawai Negeri Sipil (PNS). Serta-merta Anda akan mendapatkan fakta dan kenyataan memilukan. Betapa sesungguhnya, guru-guru non-PNS dilecehkan keberadannya. Secara struktural fungsional, mereka diposisikan ke dalam derajat lebih rendah dibandingkan guru PNS. Tak mengherankan jika di berbagai daerah sangat terasa munculnya diferensiasi atau perbedaan antara guru PNS dan guru non-PNS. Mereka yang masuk ke dalam kategori guru PNS diposisikan lebih bermartabat dibandingkan guru non-PNS. Maka, dalam kancah pendidikan nasional mencuat diskriminasi terhadap keberadaan guru non-NPS. Tak mengherankan jika dari tahun ke tahun, keberadaan guru-guru non-PNS turut serta mewarnai hamparan persoalan pendidikan di negeri ini.

Secara kategoris, apa yang disebut “guru non-PNS” mencakup guru swasta, guru tidak tetap, guru honorer, dan guru wiyata bhakti. Pada satu sisi, kehadiran mereka dibutuhkan sebagai jawaban terhadap ketidakmampuan pemerintah menyediakan tenaga guru sesuai kebutuhan. Itulah mengapa, guru-guru non-PNS terlibat aktif dalam proses-proses pendidikan di sekolah-sekolah negeri maupun swasta. Tapi pada lain sisi, guru-guru non-PNS tak mendapatkan perlindungan memadai dari pihak pemerintah. Kehadiran mereka yang sangat bermakna dalam memenuhi kebutuhan akan tenaga kependidikan justru kontras dengan perlakuan yang mereka terima. Nuansa diskriminatif ini terus berlangsung hingga kini.

Sertifikasi merupakan contoh kongkret dari terjadinya diskriminasi. Sebagaimana dapat dicatat, terjadi ketimpangan dalam hal kuota sertifikasi, yaitu 75% untuk guru PNS dan 25% untuk guru non-PNS. Tetapi dalam realisasinya, hanya 10% guru-guru non-PNS masuk ke dalam cakupan sertifikasi. Gambaran lain dari adanya diskriminasi tercermin pada subsidi tunjangan fungsional guru swasta sebesar Rp 200.000 per bulan yang ternyata tak diterima oleh semua guru swasta.

Dalam Rapat Koordinasi Pimpinan Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) di Balikpapan (24 Januari 2010), kembali mengemuka tuntutan agar pemerintah segera merealisasikan perlindungan demi memperbaiki kesejahteraan dan karier guru-guru non-PNS. "Kami meminta pemerintah merealisasikan adanya peraturan pemerintah guru non-PNS paling lama tahun ini. Pasalnya, kesenjangan guru PNS dan non-PNS, terutama para guru wiyata bhakti dan guru tidak tetap semakin lebar," kata Sulistiyo, Ketua Umum Pengurus Besar PGRI.

Tak pelak lagi, tuntutan ini dilatarbelakangi diskriminasi yang melecehkan keberadaan guru-guru non-PNS. Sebagaimana diketahui, pemerintah telah menyatakan komitmennya terhadap guru-guru PNS untuk memberikan gaji minimal Rp 2 juta per bulan. Pemerintah juga mencanangkan agar guru-guru PNS meningkat kualitasnya serta berkesempatan mengikuti pendidikan dan pelatihan. Sementara terhadap guru-guru non-PNS, tak ada komitmen semacam ini. Seorang guru tidak tetap yang bekerja di lembaga pendidikan swasta, misalnya, hampir mustahil mendapatkan perlindungan dan pengayoman pemerintah sebagaimana diberikan kepada guru-guru PNS. Pada pelataran lain, nestapa guru-guru non-PNS terkait erat dengan dua hal, yaitu pendapatan yang jauh di bawah upah minimum regional dan ketidakpastian untuk diangkat menjadi guru tetap berstatus PNS.

Boleh dikata, apa yang mengemuka dalam rapat Koordinasi Pimpinan PGRI di Balikpapan itu hanyalah pengulangan terhadap masalah lama. Pemerintah telah mengondisikan sedemikian rupa agar guru-guru berstatus PNS mendapatkan prioritas dalam hal kesejahteraan dan profesionalisme. Sangat bisa dimengerti pada akhirnya mengapa guru-guru non-PNS yang jumlahnya kini sekitar 1,2 juta orang telah mencuat sebagai isu politik di tingkat nasional. Pada titik ini pula kita melihat kegagalan sistem pendidikan nasional.

Anwari WMK