Kamis, 15 April 2010

Reproduksi Kekerasan

Oleh Anwari WMK

Koja, Tajung Priok. Rabu, 14 April 2010. Teater kekerasan berlangsung di sini. Terjadi benturan kolosal antara Satuan Polisi Pamong Prapaja (Satpol PP) dan warga masyarakat. Seperti lazimnya, media massa lalu ambil bagian: peristiwa kekerasan di Koja lantas diutuhkan sebagai narasi utama pemberitaan. Koja, Tanjung Priok, di sepanjang hari Rabu itu, benar-benar menjadi panggung kekerasan bagi luka yang menganga serta bagi darah yang tumpah sia-sia.

Esok harinya, 15 April 2010, media massa tampil dengan narasi pemberitaan yang hampir serupa. Bahwa, bentrokan dipicu rencana Pemerintah Provinsi DKI menggusur sebagian lokasi makam Mbah Priok yang dikeramatkan. Warga, terutama yang mengatasnamakan ahli waris tanah, berusaha mempertahankan pemakaman Mbah Priok. Memang, tanah sengketa itu makam Habib Hasan bin Muhammad Al Haddad atau Al Imam Al Arif Billah Al Habib Hasan Bin Muhammad Al Haddad. Saudagar Arab itu meninggal pada 1756, lantaran kapalnya dihantam badai di laut utara Jakarta.

Konflik atas tanah pemakaman itu bisa dijelaskan secara sederhana dan gamblang. Lokasi yang diidentifikasi sebagai ‘pemakaman Mbah Priok’ merupakan Tempat Pemakaman Umum (TPU) Dobo. Luas TPU yang berlokasi di Jalan Dobo, Jakarta Utara, itu mencapai 145,2 hektar. Para ahli waris Habib Hasan mengklaim tanah itu sebagai milik mereka berdasarkan hak Eigedom Verponding No. 4341 dan No. 1780. Pada September 1999, ahli waris Habib Hasan membangun makam Mbah Priok serta sebuah pendopo. Ternyata, makam Mbah Priuk itu banyak dikunjungi peziarah dari berbagai daerah.


Sementara pada pelataran lain, PT Pelindo II mengklaim memiliki tanah TPU Dobo itu berdasarkan sertifikat Hak Pengelolaan Nomor 1/Koja Utara, yang diterbitkan oleh Kantor Pertanahan Jakarta Utara, pada 21 Januari 1987. Berdasarkan sertifikat itu PT Pelindo II berniat memperluas terminal bongkar muat peti kemas sesuai rencana induk pelabuhan. Apalagi, sejak 1999 hak penggunaan kawasan pelabuhan sudah diberikan pemerintah kepada perusahaan Hongkong Hutchison Port Holding. Melalui anak perusahannya bernama Grosbeak Pte Ltd, Hutchison Port Holding menguasai 51% saham Jakarta International Container Terminal (JICT), sedangkan 49% saham lainnya dikuasai Pelindo II.

Ledakan konflik yang mencuat ke permukaan dipicu oleh tubrukan dua kepentingan. Para ahli waris Habib Hasan merasa berhak mempertahankan kompleks pemakaman Mbah Priok. Sementera Pelindo II, merasa berhak memanfaatkan tanah tersebut sebagai areal perluasan terminal peti kemas, berdasarkan keabsahan pada tingkat legal formal. Pada 2010 Pelindo II lalu melakukan dua hal. Pertama, meminta bantuan hukum kepada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk membongkar bangunan pendopo di sekitar makam Mbah Priok—yang ditengarai tak memiliki Ijin Mendirikan Bangunan (IMB). Kedua, makam Mbah Priok akan diperluas dan dipercantik, sehingga tetap berfungsi sebagai tujuan ziarah spiritual.

Betrok antara Satpol PP dan warga masyarakat pecah tatkala Pemerintah Kota Jakarta Utara menertibkan bangunan Gapura Mbah Priok di TPU Dobo. Betrokan bermula dengan lemparan botol minuman energi ke arah warga yang bergerombol. Setelah itu, Satpol PP merangsak masuk ke dalam areal TPU Dobo. Sebagian warga ditangkap di areal pekuburan. Tak ayal lagi, peristiwa ini memicu ledakan kemarahan warga. Aksi-reaksi pun menjadi tak terelakkan. Warga mengamuk dengan merusak, menggulingkan dan membakar mobil Satpol PP.

Rekapitulasi atas peristiwa kekerasan ini menunjukkan: dua orang tewas dan puluhan orang terluka. Sementara, kendaraan yang dirusak massa mencakup 30 mobil Satpol PP, enam mobil polisi, tiga alat berat dan satu water cannon. Praktis, bentrokan ini membuat Tanjung Priok lumpuh. Baik warung, toko maupun tempat usaha di sepanjang Jalan Jampea serta di sekitar RSUD Koja, tutup. Truk-truk tujuan Cilincing terjebak kepungan massa. Gambaran menyeramkan di lokasi bentrokan tampak mencolok oleh onggokan bangkai mobil, truk dan sepeda motor yang hangus terbakar.

Bagaimana narasi kekerasan ini dimengerti hakikat dan maknanya? Tak ada kata yang tepat melukiskan semua ini selain menyebutnya sebagai “reproduksi kekerasan” dalam bentuknya yang begitu telanjang. Kepentingan untuk mempertahankan kuburan telah bertubrukan dengan kepentingan perluasan terminal peti kemas di kawasan pelabuhan. Mendadak sontak, publik mengekspresikan kekecewaan terhadap metode kekerasan yang dengan gegap gempita dipertontonkan oleh ratusan pasukan Satpol PP. Sangat bisa dimengerti pada akhirnya, mengapa di sepanjang Rabu hingga malam hari bahkan hingga Kamis esok harinya jejaring sosial facebook diwarnai kritik, caci maki dan sumpah serapah publik terhadap Satpol PP.

Dalam editorialnya bertajuk “Menyesalkan Insiden Priok”, Koran Tempo edisi 15 April 2010 menulis narasi kalimat seperti ini: “Huru-hara yang meletup di Tanjung Priok jelas menggambarkan kegagalan pemerintah daerah menengahi sengketa tanah. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta seharusnya mengutamakan penyelesaian secara damai, dan bukannya main gusur. Sebab, cara ini hanya memancing kekerasan, bahkan kerusuhan.”

“Langkah gegabah itulah”, tulis editorial Koran Tempo selanjutnya, “yang menimbulkan insiden berdarah di kawasan makam Mbah Priok kemarin. Pemerintah DKI nekat mengerahkan Satuan Polisi Pamong Praja untuk mengusir penduduk yang mempertahankan makam dan lahan sekitarnya. Bentrokan tak terhindarkan. Korban pun berjatuhan dari kedua belah pihak. Seorang polisi pamong praja tewas, dan lebih dari seratus orang terluka. Kejadian ini juga menyulut aksi pembakaran sejumlah mobil. Kantor terminal peti kemas di Koja, Jakarta Utara, tak jauh dari lokasi makam, bahkan dijarah.”

Tanpa tedeng aleng-aleng, editorial ini sesungguhnya berbicara tentang kegagalan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tampil sebagai wasit yang adil terhadap sengketa tanah yang telah tersulut berbilang tahun. Tampak mencolok di sini, pemerintah lebih berpihak pada kepentingan Pelindo II. Relasi-relasi kultural dari keberadaan makam Mbah Priok lantas dimengerti sebagai sesuatu yang sama sekali tak bermakna, dan karena itu dilecehkan.


Apa yang penting digarisbawahi di sini ialah penyikapan pemerintah yang lebih memandang penting logika hukum. Editorial Koran Tempo lalu menambahkan catatan seperti ini: “Pemerintah daerah mestinya tidak menggusur secara serampangan. Dari sisi hukum, sesuai dengan putusan pengadilan, kawasan makam Habib Hasan bin Muhammad al-Hadad alias Mbak Priok memang milik PT Pelindo II. Tapi, masalahnya, ahli waris dan penduduk yang mempertahankan lahan ini juga punya alasan historis yang tak kalah masuk akal dibanding pertimbangan hukum formal.”

Dalam aksentuasi berbeda, Jawa Pos menyoroti kekerasan di Tanjung Priok itu. Melalui editorialnya bertajuk “Pelajaran dari Makam Mbah Priok”, Jawa Pos menulis: “Peristiwa seperti di makam Mbah Priok itu sebenarnya juga banyak terjadi di daerah lain. Sejumlah peristiwa penggusuran yang berakhir dengan ricuh serta memakan korban jiwa juga terjadi karena pendekatan represif itu. Sering penguasa mengambil keputusan untuk menggunakan kekuatan fisik, padahal masih ada ruang dialog.”

Dengan ini semua, jelas duduknya perkara. Pemerintah merupakan mesin yang mereproduksi kekerasan. Diakui atau tidak, begitulah realitasnya.[]

Tidak ada komentar: