Kamis, 08 April 2010

Feodalisme dalam Praktik Demokrasi

Oleh Anwari WMK

Implementasi demokrasi bukanlah garansi ke arah lahirnya model pengelolaan politik secara rasional. Aneh bin ajaib, justru dalam atmosfer demokrasi masih bertahan perpolitikan bercorak feodalistik. Ingin tahu faktanya, tengok perkembangan politik di tingkat nasional selama April-Mei 2010. Fakta dimaksud terkait erat dengan terpilihnya kembali Megawati Soekarnoputri untuk ketiga kalinya sebagai Ketua Umum PDI-P. Fakta lainnya, berjalin kelindan dengan “perebutan restu Yudhoyono” di kalangan kandidat Ketua Umum Partai Demokrat.

Tentu saja, PDI-P dan Partai Demokrat disebut di sini sekadar sebagai contoh soal. Dalam skala pembicaraan lebih luas, hampir secara keseluruhan partai-partai politik di Tanah Air mengidap tekstur feodalisme. Mungkin, hanya Partai Golkar, PPP dan PKS yang sementara ini tak identik dengan tokoh besar pendirinya. Tengok, misalnya, PKB, PAN, Gerinda maupun Hanura. Keberadaannya tak bisa dilepaskan dari sosok Abdurrahman Wahid, Amien Rais, Prabowo Subianto maupun Wiranto. Kuatnya pengaruh tokoh-tokoh besar ini hanya mengukuhkan berjalannya pola relasi patron-klien dalam kepemimpinan partai.

Dalam konteks PDIP, feodalisme tak bisa dilepaskan dari posisi dan kedudukan Megawati sebagai Ketua Umum. Fakta yang tersingkapkan ke atas permukaan menunjukkan, di bawah kepemimpinan Megawati PDIP justru diperhadapkan dengan masalah besar penurunan kinerja. Semula, di bawah kepemimpinan Megawati, PDIP keluar sebagai pemenang dalam Pemilu 1999. Namun pada dua Pemilu berikutnya, perolehan suara PDIP tergerus. Jika pada Pemilu 1999 PDIP memenangi 33,74% suara, pada Pemilu 2004 merosot menjadi 18,53%, dan merosot lagi menjadi 14,03% pada Pemilu 2009. Semua ini merupakan konsekuensi logis dari kekecewaan pendukung PDIP di akar rumput terhadap kepemimpinan Megawati saat menjadi Presiden RI selama kurun waktu 2001-2004.

Anehnya, dalam Kongres III PDIP di Sanur, Bali, Megawati kembali terpilih sebagai ketua umum. Sebagai satu-satunya kandidat ketua umum, Megawati bahkan dipilih kembali secara aklamasi. Apa yang bisa dibaca dari kenyataan ini, kader-kader PDIP yang tengah berlaga di dalam kongres tak memandang penting kekecewaan kalangan swing voters. Sedemikian rupa, para kader yang terlibat kongres justru menempatkan Megawati sebagai sosok penuh kultus. Maka, dipandang tak penting fakta kemerosotan kinerja PDIP. PDIP yang statis di bawah kepemimpinan Megawati, dipandang sebagai satu hal. Sementara, memilih kembali Megawati merupakan hal lain. PDIP sebagai sebuah tatanan sistem lalu tak lebih penting dibandingkan personalitas Megawati. Di sini, kebesaran personal melampaui kebesaran organisasional.

Dalam konteks Partai Demokrat, Kompas (8 April 2010, hlm. 4) menulis narasi kalimat seperti ini: “Memperebutkan restu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang juga Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat. Itulah yang sedang dilakukan para bakal calon ketua umum partai pemenang Pemilihan Umum 2009 tersebut belakangan ini.”

"PDIP yang statis di bawah kepemimpinan Megawati, dipandang sebagai satu hal. Sementara, memilih kembali Megawati merupakan hal lain. PDIP sebagai sebuah tatanan sistem lalu tak lebih penting dibandingkan personalitas Megawati. Di sini, kebesaran personal melampaui kebesaran organisasional."


Melalui pengungkapan secara subtil, narasi kalimat yang dikemukakan Kompas mengekspresikan kedudukan Yodhoyono sebagai patron yang tiada taranya. Tak mengherankan jika Andi A. Malarangeng melandasakan pencalonanya sebagai kandidat Ketua Umum Partai Demokrat berdasarkan logika kebersamaan dirinya dengan Presiden Yudhoyono dan keluarganya selama enam tahun terakhir. Marzuki Alie, kandidat yang lain, berbicara tentang pujian Yudhoyono bahwa Marzuki merupakan orang bertanggung jawab, pekerja keras, dan all out. Begitu juga klaim Anas Urbaningrum, Yodhoyono telah memintanya agar Partai Demokrat dijadikan partai modern.

Kita menyimak di sini, orkestrasi bertahannya feodalisme-transaksional. Betapa semuanya harus dibayar mahal melalui ketidak-bermaknaan kompetisi politik secara rasional.[]

1 komentar:

sastrapelangi mengatakan...

ketika politik utama melandaskan pada ketokohan, maka karya dan kerja keras akan dikesampingkan, negeri ini kembali ke masa raja-raja penguasa :(