Senin, 30 Juni 2008

Mengapa Pembangunan Elitis?

Oleh
Anwari WMK

DARI dulu hingga kini, kritisisme terhadap tata kelola negara dipresentasikan ke dalam pertanyaan hipotetik: mengapa pembangunan terlampau elitis dan sekaligus mengabaikan kaum periferal? Inilah pertanyaan fundamental lantaran mengambil titik tolak dari begitu dahsyatnya dampak yang ditimbulkan oleh kecamuk elitisme. Dampak tak terperikan itu ialah keterserakan kaum periferal hingga tersuruk di orbit terluar dinamika perekonomian nasional. Kaum periferal lalu menjadi unikum atau kumpulan anak-anak bangsa yang tak tersentuh oleh proses pembangunan. Apa yang kemudian patut dicatat adalah ambivalensi yang sangat serius. Pada satu sisi, gelora pembangunanisme mencuat sebagai mantra selama era kekuasaan Orde Baru. Namun pada lain sisi, pertanyaan hipotetik di atas menggelinding secara diam-diam dalam berbagai komunitas intelektual.
Selama era Orde Baru, trickle down effect atau efek menetes ke bawah diberlakukan sebagai pendekatan untuk merancang dan mengaplikasikan program-program pembangunan. Secara sadar—bahkan secara gegap gempita— trickle down effect dibela oleh para elite pengelola negara. Trickle down effect diasumsikan sebagai preskripsi atau resep untuk menanggulangi segenap kemungkinan timbulnya kesenjangan dalam pembangunan ekonomi. Namun dalam praktiknya, trickle down effect gagal mewujudkan pemerataan akan hasil-hasil pembangunan. Para cendekiawan pengeritik rezim kekuasaan lalu menengarai trickle down effect sebagai fundamen pembangunanisme Orde Baru yang elitis. Sangat bisa dimengerti, mengapa tamatnya kekuasaan rezim Orde Baru disambut kalangan aktivis pro-demokrasi melalui munculnya aneka imajinasi tentang tata kelola negara di Indonesia yang sepenuhnya bersih dari elitisme.
Ternyata, harapan berhenti sekadar sebagai keinginan. Pembangunan yang elitis tak pernah memasuki fase diskontinum. Sungguh pun rezim kekuasaan otoriter Orde Baru telah terkubur dalam perut bumi sejarah, pembangunan terus-menerus bercorak elitis. Sulit dibantah fakta dan kenyataan, bahwa Indonesia sebagai bangsa kini memang tengah memasuki musim semi demokrasi. Tapi tragisnya, pembangunan yang elitis tetap tak dapat diamputasi oleh proses maupun kekuatan demokratisasi. Dengan sendirinya, pembangunan yang elitis merupakan sebuah garis kontinum dalam bentangan panjang sejarah politik bangsa ini dari sejak Orde Baru hingga kini. Tanpa bisa dielakkan, demokrasi lalu berada dalam pertaruhan besar, yaitu sejauhmana pergumulan demokrasi mampu mendekonstruksi pembangunan yang elitis itu.
Konstatasi Abdurrahman Wahid merupakan klarifikasi lebih lanjut, betapa sesungguhnya pembangunan yang terlalu elitis terus berjalan hingga dewasa ini (Kompas, 30 Juni 2008, hlm. 4). Abdurrahman Wahid berbicara tentang korupsi dan kesenjangan kaya-miskin sebagai fakta keras yang mengindikasikan masih berlanjutnya pembangunan yang elitis. Korupsi dan kesenjangan kaya-miskin merupakan konsekuensi logis dari pembangunan yang elitis itu. Bahkan, kenaikan harga bahan bakar minyak atau BBM per 24 Mei 2008 diidentifikasi Abdurrahman Wahid sebagai opsi yang dipicu oleh bersimaharajalelanya korupsi. Dengan demikian, Indonesia sebagai bangsa tak mengalami perubahan secara signifikan. Tata kelola negara pun gagal melakukan lompatan kuantum agar sepenuhnya tersucikan dari pembangunan yang elitis. Musim semi demokrasi sejak 1998, apa boleh buat, bukanlah momentum untuk mempurifikasi tata kelola negara dari pengaruh elitisme. Posisi Indonesia kini sama dan sebangun dengan situasi di masa Orde Baru. Maka, yang dibutuhkan kemudian prakarsa besar mengakhiri pembangunan yang elitis. Berbagai hal yang dijelaskan berikut merupakan solusi untuk mengakhiri “reinkarnasi” pembangunan yang elitis.
Pertama, tata kelola negara di Indonesia kini memasuki fase time of no return untuk sepenuhnya berpijak pada kebenaran obyektif (lihat editorial “Kita Perlu Objektif”, Seputar Indonesia, 30 Juni 2008, hlm. 6). Usaha bina negara (state craft) selama lebih setengah abad sejak Indonesia merdeka hanya membuka ruang bagi hadirnya kaum medioker dalam pengelolaan negara. Akibatnya, negara didekati berdasarkan sudut pandang miopik sebagai sebuah basis material yang tiada taranya. Pada giliran selanjutnya, para aktor pengelola negara terlibat dalam pesta pora penjarahan secara besar-besaran terhadap hal ihwal yang masuk dalam kategori kekayaan negara. Apa yang kemudian lazim kita saksikan ialah tak adanya pengorbanan di kalangan aktor pengelola negara. Justru, muncul skenario—seperti melalui peraturan dan perundang-undangan—agar negara berkorban memperkaya aktor-aktor pengelola negara. Bukan saja korupsi lantas dimaknai sebagai sesuatu yang normal, lebih dari itu para aktor pengelola negara kian leluasa memperkukuh “imperium” elitisme. Solusi paling relevan mengatasi perkara ini adalah mengedepankan prinsip-prinsip objektivitas dalam proses rekrutmen aktor-aktor pengelola negara.
Kedua, pembangunan yang elitis bertitik tolak dari hipokritas kekuasaan politik. Pada era demokrasi liberal kini tersedia ruang bagi setiap aktor politik untuk menyatakan secara asertif ideologi dan haluan politik kesejahteraan rakyat. Dan dalam praktik politik selama kurang lebih satu dekade berjalan, telah terjadi pengungkapan secara asertif berbagai macam ideologi dan haluan politik. Masalahnya, para aktor politik yang masuk ke dalam pergumulan demokrasi liberal bias pada upaya mendulang kekuasaan semata (lihat editorial “Menabung Kecemasan Mendulang Kekuasaan”, Jurnal Nasional, 30 Juni 2008, hlm. 10). Hipokritas yang kemudian tak terelakkan kemunculannya tercermin secara sangat kuat pada politik pencitraan melalui penghamburan uang dalam jumlah besar. Para aktor politik tampil ke ruang publik dengan mengusung retorika kesejahteraan rakyat. Implikasi buruk yang ditimbulkan adalah tak adanya keikhlasan otentik untuk memberikan kesejahteraan kepada masyarakat. Inilah pencitraan yang menegasikan perihnya penderitaan kaum miskin di negeri ini (lihat editorial “Etika Politik”, Republika, 30 Juni 2008, hlm. 6). Dari sini lalu lahir gagasan neoliberal untuk dicangkokkan pada kebijakan negara, namun dibungkus dengan kemasan sosial-demokrasi. Contoh kongkretnya, kenaikan harga BBM yang dikompensasi dengan bantuan tunai langsung atau BLT. Maka, solusinya, politik pencitraan harus digantikan dengan conscience atau politik adi luhung yang menjunjung tinggi hati nurani.
Ketiga, ideologi ekonomi merupakan sebab lain munculnya pembangunan elitis. Mengacu UUD 1945, ideologi ekonomi Indonesia adalah sosial-demokrasi. Celakanya, kabinet ekonomi kini justru mengarahkan perekonomian nasional pada fundamentalisme pasar (lihat editorial “Jangan Lagi Taken for Granted”, Invertor Daily, 30 Juni 2008, hlm. 7). Para menteri di Kabinet ekonomi merawat pembangunan yang elitis. Mereka adalah the wrong persons dalam kabinet.
Alhasil, tersedia solusi ke arah penyelesaian pembangunan yang elitis. Hanya saja, subyektivitas, hipokritas dan penghambaan terhadap fundamentalisme pasar terlanjur membentuk status qou kekuasaan. Pembangunan elitis bakal terus bergulir di Indonesia.[]

Tanggapan terhadap tulisan ini dapat dikirimkan ke:
*
anwari_wmk@plasa.com

Kamis, 26 Juni 2008

Angket DPR, Brutalitas Mahasiswa

Oleh
Anwari WMK
anwari_wmk@plasa.com

Pada edisi 25 Juni 2008, halaman muka surat-surat kabar diwarnai oleh narasi pemberitaan tentang dua hal yang muncul secara simultan sehari sebelumnya, yaitu; (1) lolosnya usulan Hak Angket (baca: hak menyelidiki) anggota DPR-RI demi menguak kesalahan kebijakan pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) sejak 24 Mei 2008, dan (2) brutalitas mahasiswa dalam aksi demo di luar gedung DPR/MPR. Dengan perspektifnya masing-masing, setiap surat kabar berusaha menyorot secara kritis dua peristiwa tersebut. Beberapa surat kabar fokus pada pembicaraan tentang brutalitas demo mahasiswa. Koran Tempo, misalnya, di halaman depan menurunkan berita bertajuk “Demo Brutal”. Bahkan di halaman A2, Koran Tempo menampilkan berita bertajuk “Warga Kecam Aksi Anarki”. Narasi pemberitaan ini berbicara tentang posisi peserta demo manakala diteropong dari sisi kepentingan umum. Bukan menolong, mereka malah menyengsarakan rakyat. Kesepakatan anggota DPR menggulirkan Hak Angket, pada akhirnya dikonstruksi Koran Tempo dalam pemberitaan semata menjadi semacam side line terhadap berita demo brutal.

Indo Pos mengambil posisi paralel dengan Koran Tempo. Atas dasar ini, Indo Pos menurunkan berita besar bertajuk “Demo Mahasiswa Makin Anarkis”. Dengan disertai sejumlah foto, brutalitas demo mahasiswa digambarkan Indo Pos dengan narasi kalimat: Lempar bom molotov ke areal DPR, bakar mobil polisi dan plat merah. Di halaman 13 pada edisi yang sama, Indo Pos menurunkan berita bertajuk “Ribuan Penumpang Bus Way Terlantar”. Tak cukup hanya itu, Indo Pos pun mempublikasikan editorial berjudul “Perjuangan Moral Tak Patut dengan Anarki”. Editorial ini berbicara tentang dilema gerakan mahasiswa Indonesia pasca-Orde Baru. Pada satu sisi, gerakan mahasiswa masih mengusung perjuangan moral. Tetapi pada lain sisi, gerakan mahasiswa terjerembab ke dalam praksis demokrasi anarkis. Editorial Indo Pos lalu menyuguhkan narasi kalimat seperti ini: “Tak pelak yang jadi “korban” ialah rakyat yang justru tengah diperjuangkan kepentingannya oleh para mahasiswa”.

Dari sini pertanyaan bernada kritikal muncul ke permukaan: Adakah hubungan kausalitas antara demo brutal mahasiswa dan lolosnya usulan Hak Angket di DPR? Media Indonesia dan The Jakarta Post memberi jawaban “ya” terhadap pertanyaan ini. Media Indonesia menurunkan headline bertajuk “Demonstran Tekan DPR dan Angket Pun Lolos”. Sementara, The Jakarta Post menampilkan kalimat: “Facing pressure from students on the street, the House of Representative decided Tuesday, by an open vote, to conduct a review of the government unpopular fuel price policy”. Dengan demikian jelas pada akhirnya, brutalitas dalam demo mahasiswa menjadi semacam prasyarat bagi lolosnya usulan Hak Angket DPR. Dari dua surat kabar ini kita sesungguhnya mendapatkan informasi yang sangat penting, betapa tidak otentiknya gagasan dan pemikiran yang mendasari terbentuknya konsensus di DPR untuk menjalankan Hak Angket.

Sekadar catatan, voting yang melibatkan 360 anggota yang hadir dalam Rapat Paripurna DPR menghasilkan komposisi suara 233 orang anggota menyatakan dukungannya terhadap pelaksanaan Hak Angket dan 127 orang anggota menolak. Praktis, penolakan hanya dilakukan oleh Fraksi Partai Golkar (F-PG) dan Fraksi Partai Demokrat (F-PD). Namun tragisnya, satu dari 86 anggota F-PG menyatakan dukungannya terhadap pelaksanaan Hak Angket. Sehingga, secara keseluruhan, formasi dukungan terhadap Hak Angket sebagai berikut: Partai Golkar (1), PDI-P (75), PPP (36), PAN (36), PKB (27), PKS (34), BPD (7), PBR (10), PDS (7). Formasi ketidaksetujuan mencakup PG (85) dan PD (42).

Melalui editorialnya bertajuk “Ekspresi Kemuakan Kepada Kekuasaan”, Media Indonesia menafsirkan formasi dukungan Hak Angket itu sebagai akibat dari kembalinya demonstrasi jalanan sebagai panglima. DPR yang biasanya plintat-plintut dalam menggunakan Hak Angket dan Hak Interpelasi (baca: hak bertanya), akhirnya takluk di bawah tekanan parlemen jalanan. “Selama ini”, tulis editorial Media Indonesia, “penggunaan Hak Angket dan Hak Interpelasi cuma menjadi mainan DPR. Itulah yang diantisipasi demonstran bakal terjadi. Dan, memang dari sikap fraksi yang disampaikan pada pemandangan umum dalam sidang DPR jelas tampak kecenderungan menolak Hak Angket dan Hak Interpelasi itu.”

Manakala disimpulkan, ada tiga bentuk pergumulan politik dalam proses lahirnya konsensus penggunaan Hak Angket di DPR pada 24 Juni 2008 itu. Pertama, pandangan umum fraksi-fraksi. Kedua, lobi antarfraksi melalui skorsing rapat paripurna. Ketiga, voting untuk menentukan jumlah dukungan terhadap penggunaan Hak Angket. Dalam pandangan umum fraksi-fraksi, pendukung Hak Angket mencakup PDI-P, PKB, BPD, PBR dan PAN. Fraksi-fraksi yang menolak Hak Angket karena lebih memilih pelaksanaan Hak Interpelasi mencakup PG, PD, PPP, PKS dan PDS. Ternyata, skorsing yang diisi oleh lobi antarfraksi mengubah peta dukungan terhadap pelaksanaan Hak Angket. Terbukti dalam voting, PPP, PKS dan PDS balik arah untuk kemudian mendukung pelaksanaan Hak Angket. Realisme inilah yang kemudian digambarkan sebagai adanya “dinamika lobi antarfraksi” (Pikiran Rakyat, 25 Juni 2008, hlm, 1 dan 7). Atau dalam istilah Kompas, “penuh kejutan, di luar dugaan”. Namun pertanyannya kemudian, bagaimana membaca realitas ini?

Kita tahu, apa yang terjadi pada 24 Mei 2008 itu adalah berubahnya usulan Hak Angket beberapa orang anggota DPR menjadi Hak Angket kelembagaan DPR berkenaan dengan kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM. Inilah sebuah teknikalitas politik yang belum masuk secara sungguh-sungguh ke dalam pelaksanaan Hak Angket itu sendiri. Hal mendasar yang dibutuhkan kemudian ialah pembentukan Panitia Khusus Angket DPR RI yang anggotanya dari berbagai fraksi. Setelah itu, DPR melakukan penyelidikan bersama terhadap kebijakan pemerintah terkait kenaikan harga BBM. Dengan demikian pula, sesungguhnya jalan masih panjang untuk sampai pada kesimpulan, bahwa pelaksanaan Hak Angket memberikan kemaslahatan pada bangsa ini.

Maka, hal krusial yang penting dicatat dari sejak sekarang terkait dengan tiga situasi. Pertama, seperti dibeberkan Media Indonesia dan The Jakarta Post, besarnya dukungan terhadap pelaksanaan Hak Angket terutama dikonsidikan oleh munculnya tekanan-tekanan kaum demonstran yang berserak di luar gedung DPR/MPR. Kedua, para pendukung Hak Angket sesungguhnya tengah memanfaatkan momentum untuk memperbaiki citra DPR yang coreng-moreng oleh berbagai macam skandal (lihat editorial “Hak Angket dan Ambivalensi DPR”, Seputar Indonesia, 26 Juni 2008, hlm. 6). Ketiga, perjuangan untuk menjalankan Hak Angket tak disertai oleh kejelasan konsepsi. Balik arahnya beberapa fraksi untuk kemudian mendukung pelaksanaan Hak Angket setelah lobi antarfraksi justru membuktikan terjadinya kekosongan konsepsi. Fraksi yang balik arah ini hanya melontarkan argumen yang bernuansa normatif, seperti “Hak Angket diarahkan untuk membedah karut-marut kebijakan energi nasional” (Republika, 25 Juni 2008, hlm.1).

Bagaimana pun, Hak Angket penting digulirkan untuk menyelidiki sosok sesunguhnya dari “hantu” neoliberalisme dalam kebijakan kenaikan harga BBM. Celakanya, segenap argumentasi dan sepak terjang DPR yang mengawali pengguliran Hak Angket itu tumpul dari pemahaman bersimaharajalelanya kekuatan dahsyat neoliberalisme pada tubuh kabinet ekonomi. DPR tidak mengusung amanat penderitaan rakyat melalui Hak Angket itu. Semuanya hanyalah pencitraan. Tak lebih dan tak kurang.[]

Kamis, 05 Juni 2008

Kebangkitan Nasional Kaum Neolib

Oleh
Anwari WMK
anwari_wmk@plasa.com

Jika 20 Mei 2008 dijadikan milestone melakukan refleksi kritis demi menengok ke belakang pada pelataran 100 tahun perjalanan bangsa, hal mendasar apa yang patut dicatat? Juga, manakala 20 Mei 2008 dijadikan milestone melakukan prognosa futuristik hingga 100 tahun ke depan, bagaimana nasib bangsa ini? Agaknya, jawab terhadap dua pertanyaan inilah yang coba dibentangkan editorial media massa nasional menyambut seabad Kebangkitan Nasional. Tentu, editorial setiap surat kabar mengusung aksentuasi spesifik. Tapi, seluruh narasi yang dikemukakan memiliki benang merah seperti termaktub ke dalam dua kalimat tanya itu. Editorial surat-surat kabar nasional juga mengemukakan sebuah kongklusi. Bahwa, kelahiran Budi Utomo pada 20 Mei 1908 mencetuskan ingatan kolektif tentang Indonesia sebagai bangsa. Sementara, tekstur ke-Indonesia-an dalam ingatan kolektif adalah kemajemukan. Dari tekstur itu lahir dan tumbuh nasionalisme.

Namun jalan berliku menuju masa depan sejak 20 Mei 1908, justru acapkali menjerumuskan anak-anak bangsa ke dalam situasi punahnya ingatan kolektif. Tak mengherankan jika hampir separuh waktu dari 100 tahun sejak 20 Mei 1908 diwarnai tergerusnya ruang publik (public sphere). Antara sadar dan tidak, kita menyaksikan ketercerai-beraian Indonesia dari kerangka bangsa akibat ulah anak-anak bangsanya sendiri. Seabad Kebangkitan Nasional lalu ditandai oleh munculnya otokritik tentang Indonesia yang compang-camping. Persis sebagaimana kemudian dinarasikan dalam berita utama harian Media Indonesia (19 Mei 2008, hlm. 1), momen seratus tahun Kebangkitan Nasional dibahasakan sebagai “Indonesia Memasuki Kebangkrutan Nasional”. Dalam editorialnya pada edisi yang sama, Media Indonesia menohok kesadaran kita bahwa selama seratus tahun, Indonesia tak mengalami kebangkitan apa-apa.

Betapa seriusnya ketergerusan public sphere itu tampak menonjol pada terlampau besarnya desakan kepentingan yang sepenuhnya menyeruak dari ruang privat. Segenap kehendak dan obsesi yang bergemuruh di ruang privat dengan mudahnya merangsak masuk menuju ruang publik. Padahal, 100 tahun lampau, para tokoh yang membidani kelahiran Budi Utomo begitu takzim mendeklarasikan pembersihan ruang publik dari segenap ambisi yang bercorak privat. Sebab, hanya dengan pembersihan semacam ini nasion ke-Indonesia-an bisa dirajut, bahkan menghasilkan negara modern yang menjunjung tinggi humanisme transendental. Apa boleh buat, kesadaran agung para pendiri Budi Utomo itu semakin kehilangan resonansinya di kelak kemudian hari. Ini pula yang dapat menjelaskan, mengapa peringatan Kebangkitan Nasional setiap tahunnya terbentur jalan buntu untuk sekadar ramai sebagai seremoni.

Tampil dengan editorial berjudul “Redefining Nationalism”, harian The Jakarta Post (May 19th, 2008, pp. 6) berbicara tentang diversitas dalam ke-Indonesia-an yang justru memancing timbulnya pertarungan antarsesama anak bangsa. Lagi-lagi, public sphere berada dalam spektrum ketergerusan yang luar biasa dahsyatnya oleh ketamakan orang per orang. Sementara, ketamakan itu menemukan persemaiannya di ruang privat. Ketamakan inilah yang kemudian memasuki fase kecanggihan politik dan komunikasi untuk sepenuhnya berfungsi sebagai penggada demi memperebutkan sumber-sumber daya alam, serta demi memperluas dan memperdalam bersimaharajalelanya korupsi. The Jakarta Post lalu menulis seperti ini; “Instead of being a rallying point to move the nation forward, nationalism in the hands of leaders in independence Indonesia today has became tool for narrow political objectives.” Ini pula yang dapat menjelaskan, mengapa pelan tapi pasti, pada akhirnya, tak ada lagi manusia-manusia agung di kancah perpolitikan Indonesia. Tak ada lagi manusia agung yang memiliki kebesaran jiwa merawat public sphere agar tetap sehat walafiat.

Sebagai titik dalam bentangan historis, milestone yang muncul pada 20 Mei 1908 memiliki ketersambungan makna dengan peristiwa besar pada 17 Agustus 1945. Kebangkitan Nasional mencetuskan resonansi yang sangat kuat ke arah timbulnya Proklamasi Kemerdekaan. Inilah substansi pokok yang termaktub ke dalam editorial Kompas edisi 19 Mei 2008, bertajuk “100 Tahun Kebangkitan Nasional”. Jika kemunculan Budi Utomo pada 1908 mendedahkan kuatnya pemikiran dan kesadaran kebangsaan, maka Proklamasi 17 Agustus 1945 mempertontonkan sebuah praksis berbangsa dan bernegara. Tetapi ironi yang kemudian mencuat ke permukaan justru hadir secara bersamaan dengan peringatan satu abad Kebangkitan Nasional. Antara 20 Mei 1908 dan 17 Agustus 1945 terjadi pemaknaan secara mendalam terhadap hakikat kebangsaan. Tetapi, rentang waktu antara 17 Agustus 1945 hingga 20 Mei 2008 justru memperlihatkan panorama kelumpuhan Indonesia dalam berbagai bidang kehidupan. Bukan saja politik kesejahteraan rakyat gagal diwujudkan dalam kenyataan, gemuruh demokrasi pun terpelanting ke pelataran proseduralisme yang tiada taranya.

Dalam situasi muram semacam itu, di sana sini masih menggeliat optimisme. Pertama, Indonesia diasumsikan mampu menyelesaikan problem elitisme pada aras kuasa politik. Pada satu sisi, elitisme memosisikan negara pada sebuah setting yang berseberangan jauh dengan masyarakat. Tuntutan rakyat akan hakikat demokrasi direspons negara dengan demokrasi prosedural. Elitisme lalu hadir dengan wataknya yang sangat buruk: menegasikan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat (lihat editorial “Sesudah 100 Tahun Bangkit”, Koran Tempo, 19 Mei 2008, hlm. A2). Pada lain sisi, sikap optimis menyelesaikan perkara ini terkait erat dengan penguatan peran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kedua, urgensi untuk kembali mengedepankan peran strategis industri manufaktur dalam perekonomian nasional merupakan optimisme dalam bentuknya yang lain. Pemaknaan lebih lanjut Kebangkitan Nasional lalu tak dapat dilepaskan dari pengedepanan peran industri manufaktur dalam garda besar ketahanan ekonomi bangsa (lihat editorial “Momentum Kebangkitan Industri Nasional”, Sindo, 20 Mei 2008, hlm. 6). Gerak dinamis perekonomian nasional ke depan, dengan sendirinya, diasumsikan berjalin kelindan dengan optimisme mengembangkan industri manufaktur.

Sungguh pun demikian, optimisme ini potensial merosot untuk sekadar menjadi ilusi ketika kepemimpinan nasional gagal menghalau masuknya anasir Neoliberalisme (Neolib) dalam pengelolaan negara. Penguasaan sektor produksi, jasa dan perdagangan oleh kekuatan asing ternyata bukan sekadar teknis dan strategi investasi (lihat editorial “Pemimpin yang Baik, Kunci Kemajuan”, harian Investor Daily, 19 Mei 2008, hjlm. 4). Kaum Neolib dari kalangan anak-anak bangsa sendiri telah mengambil posisi sebagai komprador atau kaki tangan kebertekuk-lututan secara bulat-bulat perekonomian nasional bangsa ini pada kekuatan besar imperialisme dan kolonialisme abad XXI. Begitu besarnya akomodasi kepemimpinan nasional terhadap kaum Neolib, maka, diakui atau tidak, kita kini tengah menyaksikan kebangkitan nasional kaum Neolib.[]

Mengelola Negara Tanpa Pamrih

Oleh
Anwari WMK
anwari_wmk@plasa.com

Bagi saudagar besar semacam M. Jusuf Kalla, terlibat pengelolaan negara secara tulus bukanlah perkara sulit. Dengan kekayaan keluarganya, ia mampu mengatasi kecilnya pendapatan sebagai Wakil Presiden dibandingkan dengan besarnya dana yang harus dikeluarkan untuk menjalankan tugas-tugas kenegaraan. Itulah mengapa, keluarga besar Kalla menyediakan dana hingga Rp 60 juta per bulan untuk M. Jusuf Kalla (lihat Tempo, No. 3712/12-18 Mei 2008, hlm. 41). Dengan dana tombokan ini dua hal hendak dicapai. Pertama, M. Jusuf Kalla diharapkan tenang menjalankan tugasnya sebagai Wakil Presiden. Kedua, M. Jusuf Kalla diharapkan mampu tak mengotori kekuasaan yang ia emban dengan, misalnya, melakukan tindak pidana korupsi. Maka, sangat bisa dimengerti, mengapa ketika berlangsung peluncuran buku Damai di Aceh karya mantan Menteri Hukum dan HAM Hamid Awaluddin, di Jakarta (16 Mei 2008), M. Jusuf Kalla begitu fasih berbicara tentang bagaimana mengurus negara dengan tulus.

Sesuatu yang lantas penting digarisbawahi dari ucapan M. Jusuf Kalla adalah seperti berikut. Berbagai persoalan di negeri ini bagaimana pun rumit dan sulitnya, bisa diselesaikan dengan baik. Syaratnya, semua itu dilaksanakan dengan kejujuran, keikhlasan dan kepercayaan. Contoh persoalan yang termasuk paling rumit dan sulit di negeri ini, antara lain, konflik Aceh yang bisa diselesaikan dengan kejujuran dan keikhlasan. Kata M. Jusuf Kalla lagi, “Saya yakin, dengan kepribadian, kejujuran dan keikhlasan serta upaya mendekatkan dengan persoalannya, serumit dan sesulit apa pun persoalan negeri ini, pasti bisa diselesaikan. Konflik Aceh yang sudah 30 tahun tidak bisa diselesaikan ini akhirnya bisa diselesaikan dengan baik dan terjalinnya perdamaian di Aceh”. Di atas segalanya, biaya sebesar Rp 3 miliar yang dibutuhkan untuk membicarakan serangkian perundingan perdamaian Aceh di bawah pimpinan Hamid Awaluddin di pihak Indonesia, dipenuhi oleh keluarga besar Kalla (Kompas, 18 Mei 2008, hlm. 2).

Mungkin, tak terlampau berlebihan jika impresi ketulusan dan keikhlasan dalam pengelolaan negara versi M. Jusuf Kalla disimpulkan sebagai heroisme dalam formatnya yang lain. Di tengah kuatnya tarikan untuk melihat negara semata sebagai sumber daya yang teramat besar untuk diperebutkan secara sangat sengit, ketulusan dalam aksentuasi M. Jusuf Kalla menjadi semacam oase di padang gurun gersang. Pada masa Orde Baru kita mengira, hanya jejaring di lingkaran inti rezim kekuasaan yang begitu obsesif mengeruk berbagai sumber daya ekonomi dan politik yang inherent dalam negara. Lingkaran inti rezim kekuasaan Orde Baru dengan mudahnya kita identifikasi sebagai episentrum bagi berlangsungnya reproduksi nepotisme, kolusi dan korupsi. Ternyata, berlalunya rezim kekuasaan Orde Baru membuka lebar-lebar kotak pandora tentang buruknya pengeloaan negara di berbagai lini. Obsesi besar untuk mengusai aneka sumber daya yang inherent dalam negara ternyata mendistorsi tata kelola negara di berbagai lini.

Tata kelola negara pada era reformasi lalu menorehkan catatan yang tak kalah buruknya dibandingkan dengan tata kelola negara pada era Orde Baru. Dengan realisme ini, maka hampir tidak ada satu hari pun publikasi media masa bersih dari narasi pemberitaan tentang korupsi. Pejabat publik dalam statusnya sebagai si tertuduh dalam tindak pidana korupsi di kelembagaan eksekutif maupun legislatif, memenuhi halaman koran-koran nasional dan daerah. Bahkan, pejabat-pejabat yudikatif pun terseret-seret ke dalam pusaran korupsi. Pada satu sisi, kita dibuat muak berhadapan dengan narasi berita semacam ini. Di lain sisi, sulit dibantah bahwa inilah fakta kongkret di seputar punahnya keikhlasan dan kejujuran dalam mengelola negara. Muara dari semua narasi tentang korupsi ialah terlampau kuatnya pamrih dalam tata kelola negara. Dengan kata lain, sangat sedikit jumlah penjabat negara yang bekerja tanpa pamrih. Sebagian terbesarnya justru bekerja dengan pamrih. Inilah yang dapat menjelaskan, mengapa gejala narsisme begitu kuat mewarnai tata bicara, tata laku dan tata sikap pengelola negara. Saat berhadapan dengan publik, misalnya, para pejabat negara terbiasa membangun kesadaran palsu. Mereka membius publik melalui serangkaian pidato dan pengucapan yang sepintas lalu berspiritkan kebangsaan. Padahal, di balik pengucapan bersukmakan kebangsaan itu muncul motif-motif penguasaan segala sumber daya yang inherent dalam negara.

Ketulusan dalam hal mengelola negara, seperti dikatakan M. Jusuf Kalla, merupakan sebuah anomali. Tendensi umum pengelolaan negara justru dengan pamrih. Ketika pamrih ini terpilin secara sangat kuat untuk kemudian melahirkan kenyataan buruk nepotisme, kolusi dan korupsi, Indonesia sebagai bangsa lalu kehilangan harga diri. Dengan kepamrihannya, para pejabat negara tak dapat dijadikan sandaran dan atau penopang ke arah terciptanya daya saing Indonesia di dunia internasional. Bahkan, titian jalan menuju daya saing global dimanfaatkan sebagai ajang perluasan korupsi dalam segala bentuknya. Jual beli kuota ekspor tekstil dan munculnya persoalan ekspor fiktif, merupakan beberapa nokhtah persoalan yang lahir dari kecenderungan besarnya pamrih dalam mengelola negara. Contoh soal yang lain, tercermin pada munculnya aneka ragam pungli dalam proses pelayanan publik. Bahkan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengingatkan akan sesuatu yang membahayakan bagi masa depan bangsa ini, yaitu munculnya aneka Peraturan Daerah (Perda) yang sepenuhnya berjiwa kolonial.

Ketulusan mengelola negara dalam contoh nyata kehidupan Wakil Presiden M. Jusuf Kalla jelas merupakan kenyataan yang menyerupai partikularitas di tengah kecenderungan besar pejabat negara bekerja penuh pamrih. Malah, ketulusan dalam contoh ini potensial mengundang timbulnya sinisme. Bahwa hanya politikus berlatar belakang saudagar mampu tampil sebagai penjabat negara tanpa pamrih. Di luar latar belakang saudagar, seorang politikus berada dalam kerentanan yang luar biasa dahsyatnya untuk kemudian tampil sebagai pejabat negara penuh pamrih. Sinisme ini lalu mencetuskan pesimisme, bahwa dari sejak sekarang hingga ke masa depan, negeri ini takkan pernah memiliki lagi pejabat yang berkarya dengan tulus.

Prognosa masa depan yang serba suram semacam ini harus diatasi secara seksama dan dengan segera. Hal pokok yang penting terlebih dahulu dikedepankan adalah mengbongkar mitos, bahwa hanya politikus berlatar belakang saudagar mampu berperan sebagai pejabat negara yang tulus. Politikus dari berbagai macam latar belakang apa pun mampu mendedahkan dirinya sebagai pejabat negara yang jujur. Syaratnya, memosisikan jabatan mengelola negara murni sebagai panggilan kebangsaan serta bukan sebagai karir atau pekerjaan. Jika syarat ini dipenuhi, maka terjawab kerinduan akan hadirnya pejabat yang mengabdi pada rakyat. Inilah pejabat yang jauh dari watak dominasi dan hegemoni.

Jika para pendiri bangsa ini mampu menjadi pejabat jujur semacam itu, mengapa pejabat negara di zaman sekarang tidak? Mengapa?[]