Senin, 30 Juni 2008

Mengapa Pembangunan Elitis?

Oleh
Anwari WMK

DARI dulu hingga kini, kritisisme terhadap tata kelola negara dipresentasikan ke dalam pertanyaan hipotetik: mengapa pembangunan terlampau elitis dan sekaligus mengabaikan kaum periferal? Inilah pertanyaan fundamental lantaran mengambil titik tolak dari begitu dahsyatnya dampak yang ditimbulkan oleh kecamuk elitisme. Dampak tak terperikan itu ialah keterserakan kaum periferal hingga tersuruk di orbit terluar dinamika perekonomian nasional. Kaum periferal lalu menjadi unikum atau kumpulan anak-anak bangsa yang tak tersentuh oleh proses pembangunan. Apa yang kemudian patut dicatat adalah ambivalensi yang sangat serius. Pada satu sisi, gelora pembangunanisme mencuat sebagai mantra selama era kekuasaan Orde Baru. Namun pada lain sisi, pertanyaan hipotetik di atas menggelinding secara diam-diam dalam berbagai komunitas intelektual.
Selama era Orde Baru, trickle down effect atau efek menetes ke bawah diberlakukan sebagai pendekatan untuk merancang dan mengaplikasikan program-program pembangunan. Secara sadar—bahkan secara gegap gempita— trickle down effect dibela oleh para elite pengelola negara. Trickle down effect diasumsikan sebagai preskripsi atau resep untuk menanggulangi segenap kemungkinan timbulnya kesenjangan dalam pembangunan ekonomi. Namun dalam praktiknya, trickle down effect gagal mewujudkan pemerataan akan hasil-hasil pembangunan. Para cendekiawan pengeritik rezim kekuasaan lalu menengarai trickle down effect sebagai fundamen pembangunanisme Orde Baru yang elitis. Sangat bisa dimengerti, mengapa tamatnya kekuasaan rezim Orde Baru disambut kalangan aktivis pro-demokrasi melalui munculnya aneka imajinasi tentang tata kelola negara di Indonesia yang sepenuhnya bersih dari elitisme.
Ternyata, harapan berhenti sekadar sebagai keinginan. Pembangunan yang elitis tak pernah memasuki fase diskontinum. Sungguh pun rezim kekuasaan otoriter Orde Baru telah terkubur dalam perut bumi sejarah, pembangunan terus-menerus bercorak elitis. Sulit dibantah fakta dan kenyataan, bahwa Indonesia sebagai bangsa kini memang tengah memasuki musim semi demokrasi. Tapi tragisnya, pembangunan yang elitis tetap tak dapat diamputasi oleh proses maupun kekuatan demokratisasi. Dengan sendirinya, pembangunan yang elitis merupakan sebuah garis kontinum dalam bentangan panjang sejarah politik bangsa ini dari sejak Orde Baru hingga kini. Tanpa bisa dielakkan, demokrasi lalu berada dalam pertaruhan besar, yaitu sejauhmana pergumulan demokrasi mampu mendekonstruksi pembangunan yang elitis itu.
Konstatasi Abdurrahman Wahid merupakan klarifikasi lebih lanjut, betapa sesungguhnya pembangunan yang terlalu elitis terus berjalan hingga dewasa ini (Kompas, 30 Juni 2008, hlm. 4). Abdurrahman Wahid berbicara tentang korupsi dan kesenjangan kaya-miskin sebagai fakta keras yang mengindikasikan masih berlanjutnya pembangunan yang elitis. Korupsi dan kesenjangan kaya-miskin merupakan konsekuensi logis dari pembangunan yang elitis itu. Bahkan, kenaikan harga bahan bakar minyak atau BBM per 24 Mei 2008 diidentifikasi Abdurrahman Wahid sebagai opsi yang dipicu oleh bersimaharajalelanya korupsi. Dengan demikian, Indonesia sebagai bangsa tak mengalami perubahan secara signifikan. Tata kelola negara pun gagal melakukan lompatan kuantum agar sepenuhnya tersucikan dari pembangunan yang elitis. Musim semi demokrasi sejak 1998, apa boleh buat, bukanlah momentum untuk mempurifikasi tata kelola negara dari pengaruh elitisme. Posisi Indonesia kini sama dan sebangun dengan situasi di masa Orde Baru. Maka, yang dibutuhkan kemudian prakarsa besar mengakhiri pembangunan yang elitis. Berbagai hal yang dijelaskan berikut merupakan solusi untuk mengakhiri “reinkarnasi” pembangunan yang elitis.
Pertama, tata kelola negara di Indonesia kini memasuki fase time of no return untuk sepenuhnya berpijak pada kebenaran obyektif (lihat editorial “Kita Perlu Objektif”, Seputar Indonesia, 30 Juni 2008, hlm. 6). Usaha bina negara (state craft) selama lebih setengah abad sejak Indonesia merdeka hanya membuka ruang bagi hadirnya kaum medioker dalam pengelolaan negara. Akibatnya, negara didekati berdasarkan sudut pandang miopik sebagai sebuah basis material yang tiada taranya. Pada giliran selanjutnya, para aktor pengelola negara terlibat dalam pesta pora penjarahan secara besar-besaran terhadap hal ihwal yang masuk dalam kategori kekayaan negara. Apa yang kemudian lazim kita saksikan ialah tak adanya pengorbanan di kalangan aktor pengelola negara. Justru, muncul skenario—seperti melalui peraturan dan perundang-undangan—agar negara berkorban memperkaya aktor-aktor pengelola negara. Bukan saja korupsi lantas dimaknai sebagai sesuatu yang normal, lebih dari itu para aktor pengelola negara kian leluasa memperkukuh “imperium” elitisme. Solusi paling relevan mengatasi perkara ini adalah mengedepankan prinsip-prinsip objektivitas dalam proses rekrutmen aktor-aktor pengelola negara.
Kedua, pembangunan yang elitis bertitik tolak dari hipokritas kekuasaan politik. Pada era demokrasi liberal kini tersedia ruang bagi setiap aktor politik untuk menyatakan secara asertif ideologi dan haluan politik kesejahteraan rakyat. Dan dalam praktik politik selama kurang lebih satu dekade berjalan, telah terjadi pengungkapan secara asertif berbagai macam ideologi dan haluan politik. Masalahnya, para aktor politik yang masuk ke dalam pergumulan demokrasi liberal bias pada upaya mendulang kekuasaan semata (lihat editorial “Menabung Kecemasan Mendulang Kekuasaan”, Jurnal Nasional, 30 Juni 2008, hlm. 10). Hipokritas yang kemudian tak terelakkan kemunculannya tercermin secara sangat kuat pada politik pencitraan melalui penghamburan uang dalam jumlah besar. Para aktor politik tampil ke ruang publik dengan mengusung retorika kesejahteraan rakyat. Implikasi buruk yang ditimbulkan adalah tak adanya keikhlasan otentik untuk memberikan kesejahteraan kepada masyarakat. Inilah pencitraan yang menegasikan perihnya penderitaan kaum miskin di negeri ini (lihat editorial “Etika Politik”, Republika, 30 Juni 2008, hlm. 6). Dari sini lalu lahir gagasan neoliberal untuk dicangkokkan pada kebijakan negara, namun dibungkus dengan kemasan sosial-demokrasi. Contoh kongkretnya, kenaikan harga BBM yang dikompensasi dengan bantuan tunai langsung atau BLT. Maka, solusinya, politik pencitraan harus digantikan dengan conscience atau politik adi luhung yang menjunjung tinggi hati nurani.
Ketiga, ideologi ekonomi merupakan sebab lain munculnya pembangunan elitis. Mengacu UUD 1945, ideologi ekonomi Indonesia adalah sosial-demokrasi. Celakanya, kabinet ekonomi kini justru mengarahkan perekonomian nasional pada fundamentalisme pasar (lihat editorial “Jangan Lagi Taken for Granted”, Invertor Daily, 30 Juni 2008, hlm. 7). Para menteri di Kabinet ekonomi merawat pembangunan yang elitis. Mereka adalah the wrong persons dalam kabinet.
Alhasil, tersedia solusi ke arah penyelesaian pembangunan yang elitis. Hanya saja, subyektivitas, hipokritas dan penghambaan terhadap fundamentalisme pasar terlanjur membentuk status qou kekuasaan. Pembangunan elitis bakal terus bergulir di Indonesia.[]

Tanggapan terhadap tulisan ini dapat dikirimkan ke:
*
anwari_wmk@plasa.com

Tidak ada komentar: