Selasa, 01 Juli 2008

Politik Tanpa Otentisitas

Oleh
Anwari WMK

Politik dalam praktik terlampau jauh dimengerti sebagai “seni dari berbagai kemungkinan”. Politik dalam praktik juga dimengerti sebagai teknikalitas untuk mempertegas realisme tentang “siapa mendapatkan apa dan bagaimana” (who gets what and how), persis seperti dinubuahkan Harold Joseph Laski (1893-1950), ilmuwan politik Inggris yang kesohor itu. Sebagai akibatnya, muncul sebuah diktum, bahwa tak ada kawan lawan abadi dalam politik, sebab yang ada hanyalah kepentingan abadi. Dengan logika ini, para aktor politik merasa nyaman mencecap dan untuk terus-menerus bergumul dengan pragmatisme. Tetapi dengan demikian pula, aktor-aktor politik kian jauh terseret ke dalam aksi-reaksi kekuasaan. Tatkala semua ini mengkristal sebagai habitus, para aktor politik dengan mudahnya terjatuh ke dalam derajat yang sangat rendah, yaitu berpolitik tanpa memiliki kejelasan otentisitas. Semua ini membuka koridor secara sangat luas ke arah timbulnya penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) secara sangat serius.

Terhitung sejak era pasca-Orde Baru Soeharto, arena perpolitikan nasional tak habis-habisnya diwarnai pertarungan parlemen versus presiden. Melalui berbagai hentakan politik yang mencuat dari Senayan, dua lembaga negara itu tak pernah kehabisan skenario dan amunisi untuk saling melukai secara politik satu sama lain. Presiden yang indecisive, cenderung lambat saat harus mengambil keputusan politik dan atau saat harus melakukan tindakan politik. Sebaliknya parlemen, terus-menerus menggelorakan ambisi untuk menemukan kesalahan-kesalahan dalam ranah kekuasaan eksekutif. Inilah sebuah situasi berkenaan dengan parliament heavy yang diberlakukan sebagai pentungan untuk memukul kekuasaan eksekutif. Menjelang Pemilihan Umum atau Pemilu 2009, pertarungan parlemen versus presiden kian terasa auranya. Bahkan, pertarungan itu kemudian didedahkan sebagai anasir pencitraan yang diasumsikan ampuh memenangkan Pemilu 2009.

Masalahnya, segenap pertarungan itu hadir bersamaan waktu dengan bangkitnya kritisisme publik terhadap negara. Para aktor politik penentu jalannya kekuasaan eksekutif dan legislatif sama-sama dilihat publik dengan kacamata kritis. Politik tanpa otentisitas lalu tampak begitu terang benderang. Isu kerakyatan atau pembelaan terhadap rakyat yang dihembuskan oleh para pihak di atas panggung kekuasaan eksekutif dan legislatif dicibir sebagai sandiwara belaka. Publik sangat paham, bahwa tak ada substansi kerakyatan pada aras perjuangan politik di kelembagaan eksekutif maupun legislatif. Segenap perjuangan politik di dua kelembagaan negara itu tak memiliki kejelasan relevansi dengan amanat penderitaan rakyat. Paling tidak hingga setahun menjelang Pemilu 2009, ranah kekuasaan eksekutif dan legislatif tak memiliki kejelasan agenda dalam hal realisasi dan aktualisasi politik kesejahteraan rakyat. Dalam pertarungan kekuasaan eksekutif versus legislatif, “arkeologi” yang kemudian ditunggu publik adalah ranah kekuasaan mana yang mempertontonkan aroma super stupid.

Tatkala pada 24 Juni 2008 DPR menyetujui pelaksanaan Hak Angket untuk menyelidiki kebijakan yang mendasari kenaikan harga bahan bakar minyak atau BBM per 24 Mei 2008, publik benar-benar dikondisikan untuk menyaksikan betapa DPR telah mendedahkan politik tanpa otentisitas. Pertama, Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS), Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (F-PPP), dan Fraksi Partai Damai Sejahtera (F-PDS) semula menyatakan setuju untuk menggunakan Hak Interpelasi. Belakangan, melalui proses lobi antarfraksi, fraksi-fraksi itu "membelot" dengan menyetujui penggunaan Hak Angket. Dalam editorialnya bertajuk “Etika Politik”, harian Jurnal Nasional (1 Juli 2008) mengemukakan sesuatu yang sama sekali tak otentik dalam konteks perpolitikan parlemen, persis sebagaimana tertera dalam kalimat: “Dengan "mengatasnamakan" hati nurani rakyat mereka memilih untuk tak sepaham dengan kebijakan pemerintah yang sebenarnya juga ditelurkan oleh orangnya sendiri.” Editorial Jurnal Nasional juga mengusung narasi kalimat seperti ini: “Tinggallah Fraksi Partai Demokrat dan Fraksi Partai Golkar yang tetap pada komitmennya, mendukung kebijakan pemerintahan SBY-JK. Ini memang merupakan konsekuensi logis sebagai partai penyangga koalisi, tidak seperti yang dilakukan F-PKS dan F-PPP.”

Terlepas dari posisi Jurnal Nasional sebagai koran partisan lantaran menjalankan fungsi komunikasi pendukung Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, apa yang dapat kita tangkap dalam konteks ini adalah catatan tentang tak adanya glorifikasi pemikiran mengapa F-PPP dan F-PKS kemudian balik arah untuk meninggalkan usulan Hak Interpelasi dan menggantinya dengan usulan Hak Angket. Pergeseran fokus dua fraksi ini—dari Hak Interpelasi ke Hak Angket—sungguh-sungguh kosong dari pemikiran besar, mendasar dan komprehensif. Sebagai sebuah opsi politik, pergeseran fokus ini malah tak memiliki aura idealisme, bahkan terkesan untuk hanya menggelorakan pragmatisme. Hingga beberapa saat kemudian setelah jatuhnya keputusan bahwa DPR sebagai institusi menggunakan Hak Angket, F-PPP dan F-PKS belum jua menjelaskan kredo dan manifesto politik mereka mengapa pada akhirnya menggeser fokus dari opsi Hak Interpelasi menjadi Hak Angket. Inilah fakta kongkret tentang politik tanpa otentisitas. Dalam bahasa sederhana, dua fraksi ini hanyut ke dalam arus lobi-lobi politik, tanpa mampu mempertahankan outstanding politiknya yang otentik.

Kedua, politik tanpa otentisitas semakin kental mewarnai kelembagaan DPR setelah kian mencolok tendensi bahwa usulah pelaksanaan Hak Angket memiliki kaitan erat dengan teknikalitas politik menyambut Pemilu legislatif 2009. Dalam editorialnya bertajuk “Mengawal Hak Angket”, Media Indonesia (1 Juli 2008) mengemukakan narasi kalimat seperti ini: “Sepekan lagi kampanye pun dimulai. Dan, Hak Angket itu lolos di DPR di bawah tekanan demonstrasi yang hebat. Dari sudut pandang ini, ihwal mencari popularitas sangat menonjol. Itulah yang dilakukan PPP, PKS, dan PDS, banting setir mendukung hak angket agar mendapat citra positif membela kepentingan rakyat.” Editorial Media Indonesia juga menulis seperti ini: “Padahal, PPP dan PKS merupakan bagian dari pemerintah. Kedua partai itu duduk di kabinet yang mengambil keputusan menaikkan harga BBM. Namun demi kepentingan popularitas, kedua partai mendadak sontak berubah melawan pemerintah.”

Apa yang dapat kita tangkap dari perspektif yang diusung editorial Media Indonesia ialah Hak Angket yang niscaya untuk diposisikan sebagai pilar fundamental tegaknya prinsip check and balances dalam tata kelola negara di Indonesia. Hak Angket yang berarti hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap kebijakan pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, justru tak memungkinkan Hak Angket diperlakukan sebagai barang mainan untuk pencitraan. Hak Angket tak mungkin dilaksanakan hanya berlandaskan pemikiran-pemikiran dangkal, parsial partikular. Pelaksanaan Hak Angket harus menghasilkan sebuah konstruksi check and balances kekuasaan secara berwibawa lantaran dirancang bangun oleh para negarawan. Masalahnya, DPR kini defisit negarawan. Kita begitu kesulitan menemukan sosok politisi negarawan di kelembagaan DPR.

Maka, tanpa bisa dielakkan, Hak Angket harus mampu membongkar jejaring kolusi, korupsi dan nepotisme dalam tata kelola industri Migas nasional. Pelaksanaan Hak Angket harus disertai kecerdasan DPR mengakhiri takdir yang telah menjadikan kekayaan Migas kutukan bagi bangsa ini. Lahirkan sebuah format politik Migas nasional—seperti ditegaskan Bung Karno—bebas dari hegemoni-dominasi neoimperialisme. Jika tidak, politik tanpa otentisitas bakal terus bergemuruh.[]

Tanggapan atas tulisan ini dapat dikirimkan ke: anwari_wmk@plasa.com atau anwari_kpj@yahoo.com.

1 komentar:

infogue mengatakan...

artikel anda :

http://politik.infogue.com/
http://politik.infogue.com/politik_tanpa_otentisitas

promosikan artikel anda di www.infogue.com dan jadikan artikel anda yang terbaik dan terpopuler menurut pembaca.salam blogger!!!