Senin, 20 Agustus 2007

Sensibilitas Merdeka

Oleh
Anwari WMK
Peneliti & Penulis Buku di LP3ES, Jakarta

Makin tua usia Republik, kian rapuh kemerdekaan. Bagaimana cerita ini mesti dibentangkan demi menyelamatkan Indonesia agar terus bertahan hingga ke masa depan? Apa boleh buat, mutlak harus dikatakan sekarang juga, bahwa generasi baru bangsa Indonesia kini hanyalah pewaris Republik. Para founding father-lah sesungguhnya pemilik sejati Republik. Mengapa? Jawabnya, sangatlah jelas: para founding father itulah figur-figur yang berhasil memulai penjelajahan eksistensial demi membangun imajinasi tentang Republik. Setelah itu, para founding father pula yang menghantarkan diri mereka sendiri ke tengah altar pengorbanan agung demi berakhirnya kolonialisme-imperialisme. Soekarno, Hatta, Sjahrir dan lainnya tak hanya bergerak pada taratan intelektualisme saat harus menguncang kejumawaan kekuatan hegemoni global pada ranah politik dan ekonomi. Lebih dari itu, mereka mengada (to be) ke dalam aktivisme kemerdekaan. Inilah yang oleh tajuk rencana Kompas (18 Agustus 2007) dibahasakan dengan kalimat: “Pandangan, sikap, dan tujuan perjuangan dan pergulatan para Bapak Bangsa sungguh berdimensi dan bermakna sejarah yang mendahului zaman, lengkap dan amat sangat aktual hingga kini dan selanjutnya.”

Tak berlebihan jika kemudian disimpulkan, bahwa gelombang generasi baru yang datang kemudian hanyalah penyempurna imajinasi tentang Republik. Maka, konsensus dasar tentang ke-Indonesia-an menurut rancang-bangun para founding father bukan saja mutlak diselamatkan, tetapi juga harus dimaknai lebih jauh dan mendalam. Kita membutuhkan upaya-upaya rejuvenile terhadap kemerdekaan dengan mengusung keikhlasan otentik para founding father. Di sinilah peliknya. Sebab, satu soal kemudian mencuat ke permukaan. Generasi baru bangsa Indonesia di masa kini memperlihatkan diri sebagai sosok yang digdaya mengatur arah Republik ke depan. Tetapi segenap pemikiran dan sepak terjang generasi baru ini tak sepenuhnya kongruwen dengan cita-cita kebangsaan para founding father. Didukung oleh kedahsyatan dalam melakukan olah pikir dan olah kata-kata, generasi baru semacam ini membangun imajinasi lain tentang Indonesia. Sebuah imajinasi yang sesungguhnya ahistoris jika diverifikasi melalui teropong intelektualisme dan aktivisme founding father.

Secara kategoris, para founding father berpikir tentang bangunan politik dan perekonomian nasional berlandaskan prinsip sosial demokrasi. Pancasila merupakan ideologi negara yang di dalamnya termaktub logika sosial demokrasi. Inilah pandangan dunia (Weltanschauung) yang menegasikan segala bentuk penindasan dan penistaan manusia atas manusia. Oleh para founding father, sosial demokrasi dimengerti sebagai format paling mutakhir transmutasi kesadaran gotong royong khas Indonesia demi tegaknya humanisme-transendental. Jika kita saksama membaca gagasan-gagasan kebangsaaan para founding father kita akan mendapatkan kesan yang teramat dalam, betapa sosial demokrasi merupakan pilihan yang tidak aksidental sifatnya.

Justru, jatuhnya pilihan terhadap Weltanschauung ini dilandaskan pada historisitas Indonesia sebagai sebuah bangsa. Bahkan, pola-pola kebudayaan yang bekembang dalam realitas hidup masyarakat Indonesia dipahami sebagai modal sosial yang menemukan pendewasaannya dalam praktik sosial demokrasi. Realisme paling penting dari Weltanschauung ini ialah kontrak sosial (social contract) tidaklah dimengerti sebagai perjanjian azasi antara negara dan individu-individu. Kontrak sosial justru dipahami sebagai terjadinya pertautan hubungan negara dan komunitas demi lahirnya masyarakat adil makmur. Untuk bisa menjalin kontrak sosial dengan negara, individu-individu justru diniscayakan untuk terlebih dahulu membangun kesadaran ekstensial ke dalam keharibaan komunitas. Imperatif yang kemudian tak terelakkan kehadirannya adalah komunitas sebagai bagunan sosial dilandasi oleh trust individu dalam hubungannya dengan individu lain. Maka, haram bagi setiap komunitas bekerja dan berfungsi sebagai mesin penindasan terhadap individu-individu.

Pelan tapi pasti, sukma sosial demokrasi ini memudar dari struktur kesadaran generasi baru bangsa Indonesia. Distimuli oleh kian terbukanya akses terhadap pendidikan umum sejak dekade 1970-an, relasi antar-individu dalam komunitas mulai dilanda pergeseran makna. Trust yang semula mendasari jalinan hubungan antar-individu dalam komunitas, sejak dekade 1970-an justru digeser oleh proses pendidikan menjadi jalinan relasi kuasa penuh pamrih. Tak bisa dielakkan, kontrak sosial pun akhirnya membentang antara negara dan individu. Dampak psiko-sosial yang ditimbulkan sungguh sangat tragis. Mobilitas vertikal seorang individu untuk mencapai ranah kekuasaan negara benar-benar meminggirkan makna trust pada jalinan hubungan antar-individu dalam komunitas. Perburuan terhadap kekuasaan politik (pursuit for political power) lalu menjadi kelanjutan logis egoisme individu. Inilah yang kemudian ditengarai sebagai inklinasi ke-Indonesia-an yang kian menjauh dari cita-cita kemerdekaan para founding father. Pada pendulum inilah kita kemudian berbicara tentang kebebasan berdemokrasi yang tanpa arah.

Sebuah pertanyaan yang terkesan nakal lalu berbunyi seperti ini: apa yang salah dengan kebebasan berdemokrasi? Jawaban terhadap pertanyan ini dapat disingkapkan melalui potret buruk bangsa ini akibat bekerjanya sistem demokrasi tanpa arah. Inilah realisme yang mencuat sejak era pasca-Orde Baru serta secara mencolok ditandai oleh karut-marutnya tata kelola politik dan perekonomian. Tanpa bisa dielakkan, bergema kembali sinyal peringatan Bung Hatta, bahwa kehidupan demokrasi sangat ditentukan oleh adanya rasa tanggung jawab.

Pada ranah perekonomian nasional, praktik demokrasi tanpa arah mempertegas kehadiran satu hal serta mengundang kehadiran hal lain. Sesuatu yang dipertegas kehadirannya adalah perburuan rente. Hingga sekitar satu dekade sejak tumbangnya rezim Orde Baru Soeharto yang otoriter itu, perekonomian nasional Indonesia jauh dari kemampuan melahirkan keunggulan kompetitif dalam kancah persaingan industri global. Tak dapat ditepiskan, perburuan rente telah menguras energi sosial aktor-aktor ekonomi dan kaum borjuasi untuk hanya fokus pada misi profit serta mengabaikan misi profetik. Ini pula yang dapat menjelaskan, mengapa hingga kini tak ada inovator sejati dalam kancah perekonomian nasional.

Pada pelataran lain, sesuatu yang diundang kehadirannya dalam perekonomian nasional—di bawah tarian tango demokrasi tanpa arah—adalah kapitalisme bencana alam (disaster capitalism). Musibah besar yang diledakkan Lapindo Brantas di Sidoarjo, Jawa Timur, merupakan potret amat telanjang berkenaan dengan kehadiran disaster capitalism. Bukan saja degradasi lingkungan berlansung secara sangat dramatis, lebih dari itu terjadi penistaan yang tiada tarannya terhadap manusia, lingkungan sosial dan lingkungan budaya sebuah masyarakat. Hampir tak ada yang bisa membantah, disaster capitalism ala Lapindo Brantas itu merupakan sumber malapetaka yang tiada taranya. Di sini kita menyaksikan kegagalan korporasi membangun sensibilitas terhadap kemerdekaan anak-anak bangsa. Bahkan, inilah cara kerja korporasi yang menghidupkan kembali sukma imperialisme-kolonialisme di atas Bumi Pertiwi.

Dalam ranah politik, praktik demokrasi tanpa arah bergerak dinamik dalam ruang lebar banalitas korupsi. Aparat lalu berada dalam titik pertaruhan yang amat serius, lantaran tak habis-habisnya mereproduksi moral hazard dalam pengelolaan negara dan pemerintahan. Alih-alih demokrasi bebas macam ini menggusur mentalitas lama yang dipenuhi aura korupsi, justru malah mendorong praktik korupsi menelusup masuk hingga ke berbagai lini pengelolaan negara dan pemerintahan (lihat editorial “Perjuangan Melawan Korupsi”, Koran Tempo, 16 Agustus 2007, hlm. A2). Mau tak mau, kita lalu menyaksikan musnahnya kebenaran obyektif dalam tata kelola negara dan pemerintahan. Wajar jika kemudian dikatakan, bahwa pada kelembagaan negara dan pemerintahan sudah tak ada lagi ruang yang benar-benar bersih dari najis kotor korupsi.

Pada 17 Agustus 2007, kemerdekaan memang telah berlangsung selama 62 tahun. Sayangnya, totalitas persoalan yang dibentangkan di atas benar-benar menyudutkan generasi baru bangsa ini pada ketiadaaan sensibilitas terhadap kemerdekaan. Dalam lubuk hati yang dalam kita lalu bertanya, masihkah Indonesia merdeka? Bukankah di antara anak-anak bangsa telah saling menjajah satu sama lain?●

Jakarta, 17 Agustus 2007

Rabu, 15 Agustus 2007

Mencari Format Pengendalian Ekonomi

Oleh
Anwari WMK
Peneliti dan Penulis Buku di LP3ES, Jakarta

Pada akhirnya, Dana Moneter Internasional (IMF) mengumandangkan pengakuan jujur yang penting untuk direspons secara cerdas. Institusi supra-negara ini menegasikan pedagogi yang diucapkan secara berulang-ulang di masa lampau berkenaan dengan arti penting liberalisasi aliran modal. Kini, IMF bebicara tentang sesuatu yang sebaliknya. Bukti-bukti menjadi sangat jelas kini bahwa, menurut IMF, liberalisasi modal bukanlah sumber kecemerlangan bagi pertumbuhan ekonomi. Justru, liberalisasi modal menjadi sebab fundamental timbulnya volatilitas pada perekonomian nasional. Dari pengakuan jujur ini lantas muncul kesimpulan yang tak kepalang tanggung, bahwa di banyak negara berkembang liberalisasi modal bukanlah solusi. Sehingga sangat bisa dimengerti, mengapa India dan China mampu mengenjot pertumbuhan ekonomi tinggi dan terhindar dari hempasan krisis moneter Asia pada tahun 1997. India dan China merupakan dua emerging market Asia yang menolak kerangka politik perekonomian yang tersimpul ke dalam liberalisasi modal (Kompas, 13 Agustus 2007, hlm. 1).

Dalam konteks pembicaraan ini, liberalisasi modal hampir sama dan sebangun maknanya dengan “rezim devisa bebas”. Indonesia merupakan salah satu negara berkembang penganut rezim devisa bebas itu. Dengan demikian, keluar masuknya modal secara bebas di Indonesia tak dipandang sebagai kesalahan sistemik. Maka, Indonesia pun menjadi ajang keluar masuknya hot money di bawah pengendalian kekuatan investor asing. Sesuai dengan wataknya sebagai investasi jangka pendek yang fokus pada portfolio, hot money sangat leluasa masuk ke Indonesia untuk mendapatkan imbal hasil yang sangat tinggi. Namun ketika pasar uang di Indonesia kering dari imbal hasil yang sangat tinggi, maka dengan bebas pula hot money lari keluar dari Indonesia. Tak cukup hanya itu, rezim devisa bebas yang bekerja di Indonesia memungkinkan investor asing membeli saham perbankan nasional. Perbankan yang secara substansial berfungsi sebagai jantung bagi perekonomian nasional, struktur kepemilikannya benar-benar terbuka terhadap pemodal asing. Rezim devisa bebas pun mendeterminasi sistem nilai tukar mata uang. Dalam hal ini, nilai rupiah dibiarkan mengambang bebas, sehingga kapan saja nilai tukar rupiah bisa berfluktuasi terhadap mata uang asing.

Seakan hendak menohok kerangka sistemik pasar uang di Indonesia, IMF lantas berbicara tentang mustahilnya liberalisasi modal diskenariokan sebagai landasan pijak terciptanya pertumbuhan ekonomi. Limbung dan gonjang-ganjingnya perekonomian nasional akibat liberalisasi modal, secara tak langsung justru dinyatakan sebagai kekeliruan menurut cara pandang baru IMF. Padahal, sebagaimana kita tahu, IMF justru yang menyodorkan terapi liberalisasi modal untuk keperluan penyelesaian krisis moneter di Indonesi pada akhir dekade 1990-an. Karena itu, pertanyaan yang kemudian mengemuka adalah ini: Apakah upaya anulir politik perekonomian yang dikedepankan IMF berkenaan dengan arti penting liberalisasi modal tu sekaligus merupakan pengakuan dosa IMF?

Masalahnya, sebelum jelas benar formulasi jawaban atas pertanyaan ini, rezim devisa bebas ternyata merupakan hal yang muskil dicerabut dari tengah kancah perekonomian nasional. Ini karena, anasir-anasisr neoliberalisme menancapkan pengaruhnya secara sangat kuat pada berbagai kementerian ekonomi Kabinet Indonesia Bersatu (KIB). Pengakuan IMF tentang kesalahan mendasar liberalisasi modal—sebagai strategi penguatan pasar uang dan pasar modal di suatu negara—dengan sendirinya menyerupai upaya “menggarami air laut”. Pengakuan itu takkan membersitkan pengaruh secara signifikan terhadap arah masa depan pengelolaan modal di Indonesia. Hanya saja, dengan kenyataan ini pula pasar uang di Indonesia terseret ke dalam ketidakpastian yang keruh. Pada giliran selanjutnya, terus berjalannya liberalisasi modal potensial mencetuskan pandangan-pandangan kritis terhadap rezim politik yang tengah berkuasa.

Munculnya pengakuan bahwa liberalisasi modal bukanlah sumber bagi pertumbuhan ekonomi, niscaya untuk disimak ke dalam perkembangan jangka panjang perekonomian nasional Indonesia. Memang untuk saat ini, sulit mengharapkan bahwa KIB benar-benar digdaya melahirkan kerangka politik perekonomain yang sepenuhnya mampu berfungsi sebagai kekuatan koreksi terhadap liberalisasi modal. Unsur-unsur neolib yang bercokol dalam KIB sungguh-sungguh tak memungkinkan Indonesia mengerem laju perguliran liberalisasi modal. Bahkan, rasionalitas yang bisa diprediksikan bakal muncul dari impresi kaum neolib dalam KIB adalah penegasan kembali liberalisasi modal sebagai kenyataan yang tak terbendung sebagai kelanjutan dari rezim devisa bebas yang berjalan sejak era Orde Baru. Namun beyond tendensi rezim politik yang kini tengah berkuasa, “pengakuan dosa” IMF itu mutlak untuk dijadikan titik tolak dalam merancang-bangun model-model pengendalian ekonomi di masa depan, berdasarkan beberapa alasan.

Pertama, Bank Indonesia (BI) bakal terus diperhadapkan pada problema kemampuan menahan keluarnya hot money untuk mencari dataran pijak di negara lain. Ketika gejolak finansial benar-benar berskala global, maka mau tak mau terjadi arus keluar hot money dengan maginitude yang sangat besar. Pada giliran selanjutnya, BI takkan mungkin lagi mampu untuk sekadar sesumbar dengan menyatakan dirinya siap melakukan intervensi terhadap rupiah. Jika ternyata intervensi berupa pembelian dollar dalam jumlah besar dilakukan, maka konsekuensi yang ditimbulkan adalah leonjakan inflasi. Ini sekaligus menunjukkan, bahwa arus keluar hot money dalam jumlah besar hanya mendorong rupiah terpuruk ke titik nadir dan mencetuskan tekanan serius pada Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). Jika situasi ini yang benar-benar mencuat ke permukaan maka untuk kesekian kalinya Indonesia digulung oleh gelombang krisis moneter. Tak ada teknikalitas yang relevan dikedepankan demi mengatasi kepelikan ini selain melakukan pembatasan, atau bahkan mengamputasi, arus liberalisasi modal.

Kedua, liberalisasi modal di Indonesia kini sesungguhnya berada dalam fase yang amat telanjang dan sekaligus membahayakan kepentingan nasional. Kenyataan buruk ini tercermin pada konstatasi Menko Perekonomian Boediono: penyesuaian apa pun diperlukan agar kebijakan moneter sesuai dengan situasi dalam konteks global (Republika, 14 Agustus 2007, hlm. 1). Dalam konteks masih sangat rapuhnya sektor riil serta dalam situasi masih rendahnya tingkat daya saing industri manufaktur dalam kancah persaingan global, liberalisasi modal di Indonesia merupakan sesuatu yang benar-benar aneh bin ajaib. Sedemikian rupa, Indonesia menduplikasi corak liberalisasi modal yang berjalan di negara-negara maju. Tragisnya, semua ini ditimpali oleh tak adanya strategi menyeluruh penguatan sektor riil. Perekonomian nasional Indonesia lalu benar-benar didistorsi oleh kepincangan antara gerak dinamik sektor moneter dan rapuhnya sektor riil. Kedigdayaan sektor moneter semakin tak menemukan paralelitasnya dengan sektor riil. Atas dasar ini, format pengendalian ekonomi dibutuhkan agar terjadi kesinambungan formasi makro-mikro dalam perekonomian nasional.

Ketiga, langkah koreksi terhadap liberalisasi modal sesungguhnya dibutuhkan untuk mengakhiri timbulnya disorientasi dalam tata kelola perekonomian nasional. Persis ketika pemenang Hadiah Nobel Perdamaian Muhammad Yunus datang memberikan Presidential Lecture di Istana Negara, tampak mencolok betapa seriusnya disorientasi dalam tata kelola perekonomian nasional. Dalam situasi tak adanya spirit nasionalisme di kalangan bankir dan lantaran itu bankir lebih memosisikan dirinya sebagai rentenir, Muhammad Yunus justru hadir dengan menawarkan konsepsi banking for the poors. Kita kemudian tersentak sadar, bahwa secara faktual konsepsi ini sulit diwujudkan ke dalam kenyataan. Kecuali, jika telah ada format pengendalian terhadap perekonomian nasional melalui koreksi secara mendasar terhadap liberalisasi modal.

Artikel ini pernah dimuat di Business News, edisi 15 Agustus 2007

Kaum Muda dan Demokrasi

Oleh
Anwari WMK
Peneliti & Penulis Buku di LP3ES, Jakarta

Ketika pada Mei 1998 Soeharto menyatakan mundur sebagai presiden setelah berkuasa kurang lebih 32 tahun, maka sejak saat itu Indonesia memasuki sebuah kurun waktu historis dalam perkembangan politik. Itulah sebuah kurun waktu yang dikenal sebagai “musim semi demokrasi”. Selama sekitar empat dasawarsa sejak Dekrit Presiden 1959 hingga saat mundurnya Soeharto, tidak ada kebebasan politik dalam pengertiannya yang substansial. Pembatasan jumlah partai politik, tidak adanya kebebasan pers serta sempitnya ruang gerak organisasi kemasyarakatan (Ormas) dan lembaga swadaya masyarakat (LSM), merupakan potret buram dalam kehidupan politik nasional hingga berakhirnya kekuasaan Soeharto. Karena itu, sangat bisa dimengerti mengapa Indonesia pasca-Soeharto pada akhirnya tercitrakan sebagai negara yang—meminjam istilah mingguan terkemuka The Economist—mencorong lantaran menyerupai the shinning democracy of the world.

Hal yang tentu saja kemudian menarik diperhatikan adalah ini: Musim semi demokrasi yang bergulir pada era pasca-Orde Baru mencetuskan implikasi yang sama sekali tak sederhana. Pertama, terjadi pergeseran orientasi berpikir dalam kehidupan masyarakat menurut kerangka kerja liberalisme politik. Baik pada tataran filosofi maupun pada tindakan praktis, politik lalu dimengerti sebagai wilayah untuk mengartikulasikan kebebasan pribadi dan kemajuan sosial. Setiap orang, pada akhirnya, bukan saja boleh dan leluasa terjun ke tengah pusaran politik. Lebih dramatis lagi dari itu, setiap orang sungguh-sungguh bebas untuk mengartikulasikan berbagai tuntutan dalam bidang politik atau tuntutan apa saja yang dicetuskan melalui jalur politik. Indonesia pun pada akhirnya gaduh dengan berbagai peristiwa politik, dari sejak demo yang mengambil panggung jalan raya, cekcok antar-elite politik hingga pada pendirian partai politik dan konflik dalam tubuh partai politik.

Kedua, kaum muda merupakan elemen dari bangsa ini yang terpikat dan paling terpesona untuk terjun ke kancah politik. Bukan saja bagi kaum muda politik berubah menjadi sesuatu yang sangat menarik, lebih dari itu politik telah mengobarkan harapan-harapan baru, mencetuskan impian-impian baru. Politik lalu menjadi semacam ranah (domain) untuk menjajal kemampuan diri kaum muda agar ikut serta terlibat dalam pengelolaan kehidupan kolektif. Politik juga menjadi wahana sosial baru bagi kaum muda untuk mampu meraih kehormatan diri di tengah kancah kehidupan masyarakat yang kian kompetitif. Kenyataan inilah yang mampu menjelaskan, mengapa kalangan muda merupakan bagian terbesar dari bangsa ini yang banyak menggerakkan kehidupan politik. Begitu besarnya keterlibatan kaum muda dalam dunia politik, hingga sampai pada satu titik di mana peran kaum muda itu menyentuh pengelolaan partai-partai politik.

Disimak sekilas lalu, tak ada yang salah dari dua hal ini. Apalagi, mustahil bagi Indonesia untuk menarik mundur laju sejarah agar terhindar dari liberalisme politik. Indonesia kini, bahkan hingga ke masa depan, merupakan sebuah negara yang semakin mengukuhkan bekerjanya liberalisme politik. Tetapi dengan demikian, bukan berarti Indonesia sama sekali bersih dari persoalan-persoalan di seputar pelaksanaan demokrasi. Pada satu sisi, demokrasi memang memungkinkan terjadinya pemilihan presiden secara langsung dan pemilihan kepala daerah secara langsung. Tetapi demokrasi bukan hanya itu. Demokrasi merupakan instrumen yang memungkinkan lahirnya konsensus rasional di ruang publik. Sementara, konsensus rasional di ruang publik itu sendiri merupakan prasyarat untuk mewujudkan segenap kehendak menjadi kenyataan. Di sinilah masalahnya. “Kehendak” yang dimaksudkan di sini tak lain dan tak bukan adalah keinginan rakyat untuk hidup dalam kesejahteraan dan kemakmuran.

Jika digambarkan ke dalam sebuah skema, maka akan didapatkan penjelasan seperti berikut:

[] Demokrasi mengakomodasi kehendak rakyat.
[] Kesejahteraan dan kemakmuran merupakan hal yang paling riil termaktub ke dalam kehen-dak rakyat.
[] Berjalannya sistem demokrasi sama dan sebangun maknanya dengan terwujudnya kesejahte-raan dan kemakmuran rakyat.

Pertanyaannya kemudian, apakah demokrasi yang berjalan di Indonesia benar-benar berhasil mewujudkan kehendak rakyat akan kesejahteraan dan kemakmuran? Ternyata, jawabnya: “tidak”. Mengapa?

Demokrasi berhenti sekadar berfungsi sebagai teknikalitas untuk memperluas akses kaum muda memasuki dunia politik. Demokrasi mandeg sekadar sebagai peluang bagi kalangan muda memasuki dunia politik. Karena itu, besarnya jumlah kaum muda yang terjun ke kacah politik bukanlah jaminan bahwa politik dapat digerakkan menjadi mesin yang digdaya mewujudkan cita-cita kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Kaum muda lalu tak sepenuhnya bisa diharapkan mampu berperan sebagai kekuatan yang paling menentukan terjadinya pengukuhan demokrasi sebagai garda besar terciptanya kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.

Kaum muda yang kemudian menyandang identitas sebagai aktor politik pada akhirnya cenderung untuk hanya terlibat dalam pertarungan kepentingan subyektif. Bahkan lebih tragis lagi dari itu, kaum muda yang berperan sebagai aktor politik hanya memperkuat dan memperdalam kecenderungan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang memang sudah sejak lama mengharu-biru bangsa ini. Perlahan tapi pasti, kaum muda yang mendedahkan dirinya sebagai aktor politik kini tak sepenuhnya dapat diharapkan mampu melakukan terobosan besar agar demokrasi benar-benar sama dan sebangun maknanya dengan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.●

Mataram, 24 Juni 2007

Rivalitas terhadap Calon Independen

Oleh
Anwari WMK
Peneliti dan Penulis Buku di LP3ES, Jakarta

Mahkamah Konstitusi (MK) menggebrak perpolitikan nasional dengan terobosan standing legal. Pada 23 Juli 2007, MK mengeluarkan keputusan dalam simpul yang tegas: halal bagi calon independen ikut berlaga dalam kompetisi politik Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara langsung, di manapun di persada Nusantara. Sebelum jatuhnya keputusan ini, kita menemukan fakta bahwa Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menutup peluang tampilnya calon independen dalam Pilkada. Misalnya dalam pasal 59 ayat (1) UU No. 32/2004 terdapat klausul anti-calon independen: “Peserta pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah pasangan calon yang diusulkan secara berpasangan oleh partai politik atau gabungan partai politik”. Inilah klausul yang menempatkan partai politik pada posisi diterminan bagi siapa pun untuk tampil sebagai kandidat dalam Pilkada. Kini, standing legal telah menempatkan partai politik bukan lagi penentu tunggal kehadiran figur-figur kandidat di arena pertarungan Pilkada.

Namun ternyata, partai politik (Parpol) tak tinggal diam. Parpol menghablurkan resistensi yang tak kepalang tanggung terhadap bakal munculnya calon-calon independen. Sehari setelah keluarnya keputusan MK, para pentolan Parpol berbicara tentang bahaya runtuhnya seluruh upaya penguatan sistem politik ke depan. Parpol melakukan serangan balik, dan MK ditengarai mengulirkan blunder besar dalam perpolitikan nasional. Seperti diduga sebelumnya, kalangan Parpol melakukan apa yang kurang lebih dapat digambarkan sebagai “rivalitas melawan calon independen”. Inilah yang dapat menjelaskan mengapa pada akhirnya para pemimpin Parpol berbicara tentang keharusan bagi calon independen—yang sesungguhnya memberatkan—untuk mendapatkan dukungan sebesar 15% dari jumlah total pemilih (Media Indonesia, 4 Agustus 2007, hlm.1). Andi Mattalatta, politikus Golkar, bahkan berkata seperti ini: “Calon independen harus dicalonkan rakyat dan bukan cari tanda tangan rakyat. … ..Memang melahirkan seorang pemimpin memerlukan syarat yang kuat. Jangan menggadaikan kepentingan rakyat” (Kompas, 4 Agustus 2007, hlm. 1).

Rivalitas kalangan Parpol menghadang kehadiran tokoh independen mendapatkan respons balik dari MK. Pada satu sisi, pentolan Parpol berbicara tentang Pilkada yang jalan terus sesuai jadwal, sekali pun tanpa kepesertaan calon independen. Sebelum dilakukan revisi terhadap UU No. 32/2004, maka prasyarat pelaksanaan Pilkada tak berubah, sehingga setiap kandidat diusung oleh Parpol atau gabungan Parpol. Di lain sisi, Wakil Ketua MK Laica Marzuki justru berbicara tentang keharusan penundaan pelaksanaan Pilkada di seluruh Tanah Air setelah keluarnya Keputusan MK Nomor 5/PUU-V/2007. Dasar pemikiran yang melandasi kaharusan ini adalah belum terbitnya aturan mengenai calon independen. Bertakzim pada logika Laica Marzuki, tidak sah bilamana pelaksanaan Pilkada masih mengacu pada aturan lama (Republika, 4 Agustus 2007, hlm. 1).

Interpretasi terhadap ucapan para petinggi Parpol dan pernyataan MK membersitkan munculnya pandangan-pandangan dialektis, menyerupai benturan opini secara tajam. Di kalangan Parpol muncul skenario untuk tak serta-merta mendorong Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) melakukan revisi terhadap UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. Oleh DPR, skenario ini dirancang bersama presiden (lihat “hati-hati Merevisi UU No. 32/2004” dalam editorial Indo Pos, 4 Agustus 2007, hlm. 4) dengan argumentasi berupa mustahilnya menerbitkan Perpu lantaran tak ada kondisi memaksa. Itulah mengapa, Sekretaris Jenderal DPP Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan melontarkan pernyataan, bahwa pembahasan revisi UU No. 32/2004 tak bisa dipastikan berlangsung cepat (Koran Tempo, 4 Agustus 2007, hlm. A6). Ketua DPR Agung Laksono malah berbicara tentang kesalahan MK lantaran telah timbul keruwetan dalam Pilkada yang tengah dan atau bakal berlangsung di berbagai daerah (Kompas, 5 Agustus 2007, hlm. 1). Dengan sendirinya, MK diposisikan sebagai kambing hitam jika maraknya tuntutan kehadiran calon independen mencetuskan kisruh dalam ajang kompetisi politik Pilkada.

Sungguh pun demikian, MK menampik segenap tudingan sebagai penyebab pokok timbulnya keruwetan Pilkada. Staf ahli MK Refli Harun menyinggung persoalan tumpulnya kewenangan DPR dan lumpuhnya lembaga kepresiden. Padahal dua lembaga itulah yang semestinya merancang-bangun aturan main baru Pilkada berdasarkan semangat yang terkandung dalam Keputusan MK Nomor 5/PUU-V/2007. Keruwetan terjadi, menurut Refli Harun, karena DPR sebagai representasi Parpol resisten terhadap calon perseorangan, sedangkan presiden tak mau menerbitkan Perpu (Kompas, 5 Agustus 2007, hlm.1). Apa yang kemudian terbuka untuk diinterpretasikan lebih lanjut, termaktub ke dalam penjelasan berikut.

Pertama, semua ini tak dapat dilepaskan dari keberadaan Parpol pada era pasca-Orde Baru. Ketika rezim kekuasaan Soeharto tumbang, maka seketika itu pula membahana tuntutan agar diberlakukan politik multipartai di Indonesia. Transisi demokrasi pada era pasca-Orde Baru pun pada akhirnya ikut ditentukan oleh bekerjanya sistem politik multipartai. Persoalannya, sistem politik multipartai lumpuh saat diharapkan mampu mengagregasi dan mengartikulasikan aspirasi rakyat. Parpol bahkan kosong dari ideologi pembelaan terhadap rakyat serta mengusung kepentingan sempit para aktor yang terlibat di dalamnya. Bukan saja Parpol lantas gagal menjalankan misi profetik pendidikan politik, lebih tragis lagi Parpol memainkan peran broker untuk siapa pun yang hendak tampil sebagai kandidat dalam Pilkada. Dari sini kemudian dikenal luas “mahar politik”. Seseorang bisa diusung menjadi kandidat Gubernur, Bupati atau Wali Kota oleh sebuah atau beberapa Parpol sejauh mampu membayar “mahar politik”. Inilah oligarki Parpol dalam maknanya yang buruk. Sehingga, Keputusan MK Nomor 5/PUU-V/2007 harus disimak ke dalam kaitan konteks dengan kehendak secara menyeluruh mengamputasi kecamuk “mahar politik” dalam proses Pilkada.

Kedua, kritisisme terhadap Keputusan MK Nomor 5/PUU-V/2007 sejatinya tak dibaca secara linear semata sebagai resistensi yang digulirkan kalangan Parpol. Dalam perspektif berbeda, kritisisme terhadap MK harus ditemukan kaitan maknanya dengan bahaya munculnya petualang (free rider) yang tampil sebagai calon independen. Diteksi terhadap free rider itu penting dilakukan agar calon independen tak diisi oleh komprador neoliberalisme, tokoh yang disusupkan kaum mafia atau figur pelindung bagi para koruptor. Jika free rider macam ini yang tampil ke permukaan maka Pilkada tak memiliki resonansi apa pun dengan upaya mewujudkan cita-cita kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Dengan demikian berarti, kritisisme terhadap Keputusan MK Nomor 5/PUU-V/2007 niscaya dibaca secara cerdas sebagai upaya agar tak muncul kenyataan tragis dalam kehidupan bangsa ini: lepas dari mulut macan jatuh ke mulut buaya. Artinya, jangan sampai oligarki Parpol habis namun celakanya digantikan borjuasi perseorangan.

Ketiga, segala bentuk percekcokan mengiringi munculnya Keputusan MK Nomor 5/PUU-V/2007 harus mulai disibak implikasinya bagi masa depan praksis demokrasi. Sekarang saja mencuat sinyal bakal bergulirnya relasi krusial pada rentang hubungan antara kekuasaan eksekutif dan legislatif di daerah. Pesan sangat tegas yang termaktub dalam resistensi kalangan Parpol adalah perkembangan masa depan yang tak sehat oleh kuatnya perlawanan parlemen terhadap calon perseorangan. Inilah suatu bentuk perlawanan yang hanya mempertegas timbulnya krisis dalam tata kelola pemerintahan. Padahal, jauh lebih elegan jika kalangan Parpol menerima dengan ikhlas kehadiran calon independen. Setelah itu, dengan ikhlas pula memasuki agenda edukasi politik secara sangat canggih agar benar-benar lahir eksponen dan kader Parpol yang jauh lebih mempuni dibandingkan calon perseorangan. Mengapa ancaman tak ditangkap sebagai tantangan?●