Rabu, 15 Agustus 2007

Rivalitas terhadap Calon Independen

Oleh
Anwari WMK
Peneliti dan Penulis Buku di LP3ES, Jakarta

Mahkamah Konstitusi (MK) menggebrak perpolitikan nasional dengan terobosan standing legal. Pada 23 Juli 2007, MK mengeluarkan keputusan dalam simpul yang tegas: halal bagi calon independen ikut berlaga dalam kompetisi politik Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara langsung, di manapun di persada Nusantara. Sebelum jatuhnya keputusan ini, kita menemukan fakta bahwa Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menutup peluang tampilnya calon independen dalam Pilkada. Misalnya dalam pasal 59 ayat (1) UU No. 32/2004 terdapat klausul anti-calon independen: “Peserta pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah pasangan calon yang diusulkan secara berpasangan oleh partai politik atau gabungan partai politik”. Inilah klausul yang menempatkan partai politik pada posisi diterminan bagi siapa pun untuk tampil sebagai kandidat dalam Pilkada. Kini, standing legal telah menempatkan partai politik bukan lagi penentu tunggal kehadiran figur-figur kandidat di arena pertarungan Pilkada.

Namun ternyata, partai politik (Parpol) tak tinggal diam. Parpol menghablurkan resistensi yang tak kepalang tanggung terhadap bakal munculnya calon-calon independen. Sehari setelah keluarnya keputusan MK, para pentolan Parpol berbicara tentang bahaya runtuhnya seluruh upaya penguatan sistem politik ke depan. Parpol melakukan serangan balik, dan MK ditengarai mengulirkan blunder besar dalam perpolitikan nasional. Seperti diduga sebelumnya, kalangan Parpol melakukan apa yang kurang lebih dapat digambarkan sebagai “rivalitas melawan calon independen”. Inilah yang dapat menjelaskan mengapa pada akhirnya para pemimpin Parpol berbicara tentang keharusan bagi calon independen—yang sesungguhnya memberatkan—untuk mendapatkan dukungan sebesar 15% dari jumlah total pemilih (Media Indonesia, 4 Agustus 2007, hlm.1). Andi Mattalatta, politikus Golkar, bahkan berkata seperti ini: “Calon independen harus dicalonkan rakyat dan bukan cari tanda tangan rakyat. … ..Memang melahirkan seorang pemimpin memerlukan syarat yang kuat. Jangan menggadaikan kepentingan rakyat” (Kompas, 4 Agustus 2007, hlm. 1).

Rivalitas kalangan Parpol menghadang kehadiran tokoh independen mendapatkan respons balik dari MK. Pada satu sisi, pentolan Parpol berbicara tentang Pilkada yang jalan terus sesuai jadwal, sekali pun tanpa kepesertaan calon independen. Sebelum dilakukan revisi terhadap UU No. 32/2004, maka prasyarat pelaksanaan Pilkada tak berubah, sehingga setiap kandidat diusung oleh Parpol atau gabungan Parpol. Di lain sisi, Wakil Ketua MK Laica Marzuki justru berbicara tentang keharusan penundaan pelaksanaan Pilkada di seluruh Tanah Air setelah keluarnya Keputusan MK Nomor 5/PUU-V/2007. Dasar pemikiran yang melandasi kaharusan ini adalah belum terbitnya aturan mengenai calon independen. Bertakzim pada logika Laica Marzuki, tidak sah bilamana pelaksanaan Pilkada masih mengacu pada aturan lama (Republika, 4 Agustus 2007, hlm. 1).

Interpretasi terhadap ucapan para petinggi Parpol dan pernyataan MK membersitkan munculnya pandangan-pandangan dialektis, menyerupai benturan opini secara tajam. Di kalangan Parpol muncul skenario untuk tak serta-merta mendorong Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) melakukan revisi terhadap UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. Oleh DPR, skenario ini dirancang bersama presiden (lihat “hati-hati Merevisi UU No. 32/2004” dalam editorial Indo Pos, 4 Agustus 2007, hlm. 4) dengan argumentasi berupa mustahilnya menerbitkan Perpu lantaran tak ada kondisi memaksa. Itulah mengapa, Sekretaris Jenderal DPP Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan melontarkan pernyataan, bahwa pembahasan revisi UU No. 32/2004 tak bisa dipastikan berlangsung cepat (Koran Tempo, 4 Agustus 2007, hlm. A6). Ketua DPR Agung Laksono malah berbicara tentang kesalahan MK lantaran telah timbul keruwetan dalam Pilkada yang tengah dan atau bakal berlangsung di berbagai daerah (Kompas, 5 Agustus 2007, hlm. 1). Dengan sendirinya, MK diposisikan sebagai kambing hitam jika maraknya tuntutan kehadiran calon independen mencetuskan kisruh dalam ajang kompetisi politik Pilkada.

Sungguh pun demikian, MK menampik segenap tudingan sebagai penyebab pokok timbulnya keruwetan Pilkada. Staf ahli MK Refli Harun menyinggung persoalan tumpulnya kewenangan DPR dan lumpuhnya lembaga kepresiden. Padahal dua lembaga itulah yang semestinya merancang-bangun aturan main baru Pilkada berdasarkan semangat yang terkandung dalam Keputusan MK Nomor 5/PUU-V/2007. Keruwetan terjadi, menurut Refli Harun, karena DPR sebagai representasi Parpol resisten terhadap calon perseorangan, sedangkan presiden tak mau menerbitkan Perpu (Kompas, 5 Agustus 2007, hlm.1). Apa yang kemudian terbuka untuk diinterpretasikan lebih lanjut, termaktub ke dalam penjelasan berikut.

Pertama, semua ini tak dapat dilepaskan dari keberadaan Parpol pada era pasca-Orde Baru. Ketika rezim kekuasaan Soeharto tumbang, maka seketika itu pula membahana tuntutan agar diberlakukan politik multipartai di Indonesia. Transisi demokrasi pada era pasca-Orde Baru pun pada akhirnya ikut ditentukan oleh bekerjanya sistem politik multipartai. Persoalannya, sistem politik multipartai lumpuh saat diharapkan mampu mengagregasi dan mengartikulasikan aspirasi rakyat. Parpol bahkan kosong dari ideologi pembelaan terhadap rakyat serta mengusung kepentingan sempit para aktor yang terlibat di dalamnya. Bukan saja Parpol lantas gagal menjalankan misi profetik pendidikan politik, lebih tragis lagi Parpol memainkan peran broker untuk siapa pun yang hendak tampil sebagai kandidat dalam Pilkada. Dari sini kemudian dikenal luas “mahar politik”. Seseorang bisa diusung menjadi kandidat Gubernur, Bupati atau Wali Kota oleh sebuah atau beberapa Parpol sejauh mampu membayar “mahar politik”. Inilah oligarki Parpol dalam maknanya yang buruk. Sehingga, Keputusan MK Nomor 5/PUU-V/2007 harus disimak ke dalam kaitan konteks dengan kehendak secara menyeluruh mengamputasi kecamuk “mahar politik” dalam proses Pilkada.

Kedua, kritisisme terhadap Keputusan MK Nomor 5/PUU-V/2007 sejatinya tak dibaca secara linear semata sebagai resistensi yang digulirkan kalangan Parpol. Dalam perspektif berbeda, kritisisme terhadap MK harus ditemukan kaitan maknanya dengan bahaya munculnya petualang (free rider) yang tampil sebagai calon independen. Diteksi terhadap free rider itu penting dilakukan agar calon independen tak diisi oleh komprador neoliberalisme, tokoh yang disusupkan kaum mafia atau figur pelindung bagi para koruptor. Jika free rider macam ini yang tampil ke permukaan maka Pilkada tak memiliki resonansi apa pun dengan upaya mewujudkan cita-cita kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Dengan demikian berarti, kritisisme terhadap Keputusan MK Nomor 5/PUU-V/2007 niscaya dibaca secara cerdas sebagai upaya agar tak muncul kenyataan tragis dalam kehidupan bangsa ini: lepas dari mulut macan jatuh ke mulut buaya. Artinya, jangan sampai oligarki Parpol habis namun celakanya digantikan borjuasi perseorangan.

Ketiga, segala bentuk percekcokan mengiringi munculnya Keputusan MK Nomor 5/PUU-V/2007 harus mulai disibak implikasinya bagi masa depan praksis demokrasi. Sekarang saja mencuat sinyal bakal bergulirnya relasi krusial pada rentang hubungan antara kekuasaan eksekutif dan legislatif di daerah. Pesan sangat tegas yang termaktub dalam resistensi kalangan Parpol adalah perkembangan masa depan yang tak sehat oleh kuatnya perlawanan parlemen terhadap calon perseorangan. Inilah suatu bentuk perlawanan yang hanya mempertegas timbulnya krisis dalam tata kelola pemerintahan. Padahal, jauh lebih elegan jika kalangan Parpol menerima dengan ikhlas kehadiran calon independen. Setelah itu, dengan ikhlas pula memasuki agenda edukasi politik secara sangat canggih agar benar-benar lahir eksponen dan kader Parpol yang jauh lebih mempuni dibandingkan calon perseorangan. Mengapa ancaman tak ditangkap sebagai tantangan?●

Tidak ada komentar: