Jumat, 25 Desember 2009

Listrik dan Peradaban

Oleh Anwari WMK

Dalam beberapa tahun terakhir, muncul “drama” yang sama sekali tak menghibur di seputar pemadaman aliran listrik. Secara sporadis di beberapa muncul respons berupa serangkaian protes terhadap Perusahaan Listrik Negara (PLN). Publik di daerah menggugat, mengapa kritis listrik tak kunjung tuntas diselesaikan? Mengapa masalah listrik selama kurang lebih sepuluh tahun sejak bergulirnya era demokrasi justru kontras dengan ancangan rezim Orde Baru sebelumnya yang begitu sigap mengupayakan ketersediaan listrik? Apakah listrik lebih memadai ketersediannya justru pada era kekuasaan otoritarian ketimbang pada era kekuasaan demokratis?

Sesungguhnya, serangkaian gugatan ini sejalan dengan kerugian masyarakat dan dunia usaha akibat pemadaman listrik. Terlebih lagi tatkala peran listrik semakin terintegrasi menjadi input factor dalam proses produksi ekonomi di berbagai penjuru Nusantara, maka pemadaman benar-benar dirasakan sebagai persoalan. Pada akhirnya, krisis listrik bukan saja menghablur sebagai persoalan laten, tetapi sekaligus mencuat sebagai problema yang bersifat manifest. Upaya saksama mengakhiri pemadaman listrik dengan sendirinya menjadi kerangka solusi terhadap masalah energi di Indonesia. Dengan mempertimbangkan berbagai dinamika ekonomi dan politik yang berada dalam spektrum demokrasi dewasa ini, solusi masalah energi ini harus bersifat menyeluruh.

Solusi Semu

Tak dapat dielakkan, listrik merupakan inti dari ketersediaan utilitas publik dalam bidang energi. Bagi masyarakat lapis bawah, misalnya, sama sekali tidak ada kemutlakan untuk memiliki kendaraan bermotor, yang nota bene membutuhkan ketersediaan energi berupa bahan bakar minyak (BBM). Tetapi terhadap energi listrik, masyarakat bawah memiliki kebutuhan yang dapat didefinisikan dan dikategorisasi dengan sangat jelas. Sebagai sebuah satuan energi, listrik bukan saja strategis, tetapi juga populis. Menghentikan sama sekali pemadaman listrik jelas merupakan tugas kebangsaan yang mulia.

Tragisnya, argumentasi yang terekspresikan berkenaan dengan tak terelakkannya pemadaman listrik, secara keseluruhan merupakan argumentasi dengan substansi yang berat dan rumit. Terutama jika harus dicerna oleh publik luas dari kalangan bawah, terasa benar berat dan rumitnya argumentasi itu. Krisis listrik diilustrasikan bukan semata sebagai akibat persoalan pembangkit. Lebih dari itu, krisis listrik juga digambarkan bertautan erat dengan transmisi atau infrastruktur untuk bisa sampai menjangkau konsumen. Argumentasi inilah yang mewarnai pembicaraan tentang listrik dalam artikulasi pimpinan teras PLN, pemerintah maupun DPR. Tetapi di balik argumentasi ini muncul tiga agenda tersembunyi.

Pertama, argumentasi ini merupakan suatu bentuk tekanan dan desakan secara subtil terhadap masyarakat agar sepenuhnya memaklumi jika sewaktu-waktu terjadi serangkaian pemadaman listrik. Argumentasi ini merupakan soft power yang mendesakkan suatu kepentingan terselubung demi mengondisikan masyarakat agar diam menerima timbulnya krisis listrik. Di sini, listrik dimengerti secara miopik oleh PLN, pemerintah dan DPR sebagai problema instrumental. Sekalipun berperan fundamental dalam dinamika kebudayaan, listrik tidak ditransendensikan sebagai salah satu pilar penting tegaknya peradaban. Dengan sendirinya, strategi pengembangan kelistrikan tak memiliki kejelasan resonansi dengan apa yang pernah dikemukakan Sudjatmoko berkenaan dengan “pembangunan sebagai masalah kebudayaan”.

Kedua, argumentasi itu berjalin kelindan dengan ambisi financial engineering berdasarkan logika formal pembangunan pembangkit dan transmisi. Itulah mengapa, dalam beberapa waktu terakhir gemuruh pembicaraan tentang listrik bernuansa komersial-kapitalistik. Baik pembangunan pembangkit maupun transmisi, lebih dideterminasi oleh pengaturan strategi demi mendapatkan kredit sindikasi dalam jumlah besar. Sekadar catatan, sumber pendanaan untuk proyek pembangkit listrik 10.000 megawatt telah mencapai 100%. Nilai total keseluruhan pendanaan mencapai US$ 5,56 miliar ditambah Rp 23,2 triliun atau sekitar Rp 78 triliun hingga Rp 79 triliun. Sementara untuk transmisi, sindikasi Bank Mandiri dan BCA untuk 26 proyek di Jawa mencapai Rp 2,6 triliun, sindikasi BNI dan BRI untuk 20 proyek di luar Jawa sebesar Rp 1,9 triliun, serta BCA yang membiayai tiga proyek gas dan kabel bawah tanah di Jawa senilai Rp 327 miliar. Semua ini tak bisa sepenuhnya dilepaskan dari financial engineering bernuansa komersial-kapitalistik.

Ketiga, argumentasi itu memiliki kaitan erat dengan kepentingan memenangkan satu jenis energi sebagai input factor pembangkit listrik. Kita tahu, sejak lama muncul upaya mendesakkan geotermal agar efektif berfungsi sebagai sumber energi pada pembangkit tenaga listrik. Kini, terbitnya Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 32 Tahun 2009 tentang Harga Patokan Pembelian Tenaga Listrik oleh PT PLN dari Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi merupakan bukti adanya dukungan politik ke arah pengedepanan peran geotermal. Peraturan ini menetapkan harga listrik tertinggi dari pembangkit listrik panas bumi sebesar US$ 9,7 atau Rp 921,5 per kilowatt hour (kWh).

Hal yang kemudian penting digarisbawahi adalah ini: muncul suatu bentuk pertarungan untuk mengeruk keuntungan besar dari sebuah upaya yang di atas permukaan dicitrakan hendak menyelamatkan listrik dari krisis. Inilah solusi semu masalah energi. Di sini, para pihak yang terlibat pemecahan masalah terjebak ke dalam logika reduksionis perburuan rente. Lantaran itu pula, mereka kesulitan mengaitkan listrik dengan peradaban. Bahkan, dipandang absurd mengaitkan listrik dengan peradaban.

Pilar Peradaban

Tanpa disertai kejelasan posisi sebagai pilar peradaban, maka berbagai strategi yang dimaksudkan untuk mengatasi krisis listrik cenderung bergeser menjadi model penyelesaian yang bersifat parsial-partikular. Pembenahan pada level internal PLN pun takkan memberikan harapan berarti jika listrik sebagai pilar peradaban belum terkristalisasi membentuk paradigma berpikir. Begitu juga halnya dengan hadirnya generasi baru kepemimpinan di PLN, takkan serta-merta mengubah haluan pengelolaan listrik di Indonesia menjadi lebih baik. Semuanya bergantung dan ditentukan oleh terbentuknya kesadaran yang utuh tentang listrik sebagai pilar peradaban.

Sebagai pilar peradaban, peran fundamental listrik terkait erat dengan dua hal. Pertama, listrik merupakan basis tercetusnya kemajuan sosial dan ekonomi selama kurun waktu peradaban industrial, yang bergulir sejak abad XVIII. Tanpa kehadiran energi listrik, sulit dibayangkan peradaban industrial mencapai tingkat kecanggihannya sebagaimana kita saksikan dewasa ini. Kedua, listrik merupakan satu jenis energi yang secara komparatif berada dalam posisi lebih tinggi dibandingkan dengan energi fosil. Jika watak energi fosil polutif, listrik justru merupakan energi ramah lingkungan. Situasi yang muncul kini bahkan digambarkan sebagai the danger of peak oil, sehingga energi listrik berkedudukan lebih tinggi dibandingkan dengan energi fosil.

Pada derajat tertentu, pemahaman akan listrik sebagai pilar peradaban melahirkan implikasi yang tak sederhana terhadap kekuasaan politik. Para pemimpin nasional di negara mana pun kini, tak mungkin lagi berpijak pada pandangan lama tentang listrik semata sebagai “penerangan”. Listrik justru harus dimengerti sebagai tulang punggung terjadinya revolusi informasi. Pada keseluruhan perkembangan informasi itu, kecepatan proses transmisi data ikut ditentukan oleh ketersediaan listrik secara memadai. Itulah mengapa, kepemimpinan nasional harus memahami satu hal, bahwa blackout energi listrik menimbulkan dampak yang jauh lebih dramatis dibandingkan dengan ketiadaan energi fosil. Blackout energi listrik menimbulkan malapetaka bagi kelanjutan masyarakat kontemporer.

Apa yang kemudian dikenal sebagai catastrophic consequences dari blackout energi listrik ialah munculnya pause for a moment dalam gerak dinamik peradaban mutakhir. Peradaban tiba-tiba memasuki titik jedah yang serius akibat terputusnya jaringan listrik. Berbagai dimensi dalam kehidupan umat manusia tiba-tiba dilanda kemandegan dalam maknanya yang serius. Kehidupan yang semula berbijak pada aglomerasi kecanggihan teknologi, tiba-tiba berakhir dalam sebuah “terminal pemberhentian” akibat punahnya energi listrik. Dengan demikian berarti, blackout energi listrik mengubah segenap realitas—sosial, ekonomi dan budaya—untuk sepenuhnya sekadar menjadi fatamorgana.

Sayangnya, di Indonesia, listrik belum memasuki ranah pemaknaan baru sebagai pilar peradaban. Listrik dengan berbagai persoalan yang mengiringinya, masih dimengerti secara miopik sekadar sebagai realitas yang sepenuhnya teknis-instrumental. Para pihak yang terkait erat dengan tata kelola listrik belum juga membangun kesadaran utuh tetang listrik dalam kedudukannya sebagai pilar peradaban. Lebih tragis lagi, tata kelola listrik di Indonesia masih terdistorsi oleh perilaku korupsi.[]

Rabu, 23 Desember 2009

Untukmu Kaum Miskin

Oleh Anwari WMK

Biaya mahal pelayanan kesehatan di rumah sakit bukanlah cerita baru. Paling tidak sejak dekade 1980-an, komersialisasi pelayanan kesehatan telah sedemikian rupa muncul ke permukaan dan sekaligus dirasakan sebagai persoalan besar. Rumah sakit memang terus mempertahankan eksistensinya di tengah kancah kehidupan masyarakat. Rumah sakit terus berupaya menjadi bagian tak terpisahkan dari masyarakat. Tetapi keberadaannya di tengah masyarakat disertai oleh sikap yang keliru dan disertai oleh pendekatan yang salah. Rumah sakit cenderung untuk hanya memandang masyarakat sebagai obyek yang absah dieksploitasi. Hubungan rumah sakit dan masyarakat pun lalu berevolusi menjadi hubungan bercorak subyek-obyek. Rumah sakit memosisikan dirinya sebagai subyek dan masyarakat disudutkan semata sebagai obyek. Dalam situasi demikian, hanya kaum kaya yang dipandang layak mendapatkan pelayanan kesehatan.

Perkembangan setelah dekade 1980-an mempertontonkan timbulnya cerita-cerita pilu. Baik pada rumah sakit pemerintah maupun pada rumah sakit swasta muncul berbagai narasi penceritaan tentang kaum miskin yang gagal mendapatkan pelayanan kesehatan secara manusiawi. Kaum miskin ditolak berobat ke rumah sakit, berdasarkan alasan ketiadaan dan ketidaktercukupan biaya. Bukan saja tiba-tiba kaum miskin menjadi saksi terhadap ganasnya komersialisasi pelayanan rumah sakit. Lebih dari itu, kaum miskin diposisikan sebagai aktor sosial yang—langsung maupun tidak langsung—teraniaya oleh praksis pelayanan kesehatan. Di sini kita lantas menyaksikan secara terang benderang, betapa sesungguhnya rumah sakit merupakan institusi sosial yang amat sangat pongah. Sejak dekade 1980-an itu, biaya mahal berobat ke rumah sakit benar-benar mengkristal menjadi narasi besar (the grand narrative) dalam konteks penyelenggaraan pelayanan kesehatan.

Pada sekitar dekade 1990-an, muncul diskursus sosial yang secara keseluruhan menggugat keberadaan rumah sakit di Tanah Air. Diskursus sosial itu secara telak berbicara tentang sesuatu yang teramat janggal: “kaum miskin dilarang sakit”. Pokok soal dalam diskursus sosial ini adalah kemustahilan orang miskin mendapatkan pelayanan secara memadai dari sebuah rumah sakit. Sekalipun penyakit dan penderitan kaum miskin mutlak disembuhkan melalui sebuah rumah sakit, ternyata tak secara otomatis membuahkan aksioma agar rumah sakit sepenuhnya peduli terhadap kaum miskin. Dengan menghamba pada pola pembiayaan yang sepenuhnya komersialistik, rumah sakit di Indonesia malah cenderung menyingkirkan kaum miskin dari skema pelayanan kesehatan.

Tragisnya, “kaum miskin dilarang sakit” bukanlah satu-satunya persoalan yang membelit keberadaan rumah sakit sejak dekade 1980-an. Dalam menjalankan fungsinya, acapkali rumah sakit justru diperhadapkan dengan masalah malpraktik. Sejak dekade 1980-an itu, malpraktik bahkan tak habis-habisnya mewarnai pemberitaan media massa. Jika segala sesuatu yang terungkap melalui media massa merupakan puncak gunung es suatu permasalahan, maka dapat dikatakan bahwa dalam realitas sesungguhnya malpraktik berlangsung secara eksesif. Apa yang aneh di sini ialah malpraktik yang menihilkan makna profesionalisme. Semestinya, dengan komersialisasi, rumah sakit memiliki kapasitas bekerja profesional, sehingga tak perlu muncul masalah malpraktik. Ternyata, kaum kaya pun merupakan pihak yang tak luput dari ancaman malpraktik.

Dengan sendirinya, rumah sakit mereproduksi persoalan kembar. Terhadap mereka yang tak mampu membayar mahal, rumah sakit melakukan upaya-upaya sistematis menihilkan keberadaan kaum miskin. Terhadap mereka yang mampu membayar mahal, rumah sakit justru terbelenggu ke dalam spiral persoalan malpraktik. Ujung dari semua ini ialah runtuhnya kewibawaan dokter. Mengingat keberadaan rumah sakit tak pernah bisa dilepaskan dari peran dokter, maka memburuknya citra rumah sakit berimbas terhadap posisi sosial kalangan dokter.

Di tengah kancah kehidupan masyarakat masih banyak dokter yang menjunjung tinggi kebajikan. Observasi hingga ke kota-kota kecil di berbagai pelosok Nusantara menunjukkan, sesungguhnya masih ada dokter yang dicintai dan dihormati masyarakat. Tak sedikit dari para dokter itu yang personalitasnya melegenda sebagai tokoh yang lebih banyak memberi ketimbang menerima. Bukan saja lantaran sang dokter menerapkan tarif murah, tetapi juga memiliki empati terhadap kaum miskin. Masalahnya, keberadaan dokter semacam ini kian tertutupi oleh komersialisasi pelayanan kesehatan. Rumah sakit telah mencetuskan atmosfer yang melabelisasi para dokter sebagai elemen komersialisasi pelayanan kesehatan.

Dengan kompleksitas persoalan semacam itu, terobosan apa yang lalu penting dipertimbangkan? Mungkinkah ditemukan suatu cara dan strategi untuk mengakhiri problema “orang miskin dilarang sakit”? Sungguh, tak ada jawaban pasti terhadap pertanyaan tersebut. Problema sosial “kaum miskin dilarang sakit” bakal terus bergulir ke masa depan. Terlebih lagi tatkala sebuah rumah sakit didirikan untuk tujuan akumulasi kapital, absurd mengharapkan lahirnya suatu model pelayanan kesehatan murah yang dapat diakses kaum miskin.

Namun demikian, masih ada setetes harap kaum miskin memiliki kesempatan dilayani dalam praksis pelayanan kesehatan. Setetes harap dimaksud terkait dengan berdirinya Rumah Sakit Umum Pendidikan (RSUP) Universitas Airlangga (Unair), Surabaya. Sejalan dengan latar belakang pendiriannya yang menghabiskan dana APBN sebesar Rp 590 miliar, maka kaum miskin merupakan subyek yang bakal diakomodasi secara luas dalam sistem pelayanan RSUP Unair.

Harapan kita kemudian, semoga dalam perjalanannya ke depan RSUP Unair tak berubah menjadi rumah sakit yang bercorak komersialistik. Sehingga dengan demikian, kaum miskin benar-benar menemukan oase dalam hal pelayanan kesehatan.[]

Senin, 02 November 2009

Batas-batas Politik Pencitraan

Oleh Anwari WMK

Mau tak mau, bangsa ini harus belajar memahami suatu hal. Betapa sesungguhnya, politik pencitraan memiliki batas-batasnya sendiri. Dalam praksis demokrasi liberal pencitraan memang berperan memenangkan pertarungan politik. Tetapi, pencitraan yang begitu banal justru mengkristalisasi rekayasa demi mengubah sesuatu yang superfisial menjadi hakiki. Juga melalui pencitraan, seorang tokoh politik sengaja digambarkan sebagai sosok yang peduli nasib wong cilik. Sang tokoh politik serta-merta diilustrasikan sebagai sosok yang bersedia hidup sederhana. Bahkan, sang tokoh politik didedahkan sebagai pribadi religius. Maka, pencitraan mengubah dunia politik yang libidal menjadi seolah-olah humanistik. Secara demikian, tak terelakkan jika narsisme menemukan perwujudannya secara sangat vulgar melalui pencitraan.

Kini, kita menyaksikan pencitraan yang berlebihan mulai mengganggu akal sehat. Pencitraan yang tak habis-habisnya membombardir ruang publik justru mempertontonkan ucapan dan laku seorang tokoh melampaui kelaziman. Contohnya, pencitraan yang terlampau obsesif mewarnai kepemimpinan nasional. Hal yang kemudian tak terlekkan mencuat ke permukaan ialah tendensi jajaran pemerintahan dalam garis komando kepemimpinan nasional. Seluruh jajaran pemerintahan merasa telah melakukan hal-hal fundamental tatkala sukses menggebrak dengan pencitraan. Di sini kita menemukan kembali sabdo pandito ratu: segala sesuatu dianggap final tatkala sudah diucapkan, tanpa harus dilaksanakan. Kata-kata teramputasi dari tindakan.

Derap Pencitraan

Selama kurun waktu 2004-2009, jajaran pemerintahan di Indonesia diwarnai derap pencitraan. Baik media cetak maupun elektronik diwarnai iklan atau advertorial tentang kehebatan departemen atau kementerian serta pemerintahan daerah. Observasi secara random terhadap media cetak nasional membawa kita pada kesimpulan: jajaran pemerintahan pada berbagai lini terpilin ke dalam upaya memperebutkan pencitraan. Kita lalu menyaksikan munculnya komunikasi politik yang sepenuhnya diwarnai aura pencitraan kalangan pemerintah. Ekses negatif lalu menyeruak ke permukaan. Contohnya, termaktub ke dalam fakta berikut.

Pada 29 hingga 30 Oktober 2009, di Jakarta berlangsung Rembug Nasional (National Summit) membicarakan agenda ekonomi, politik dan kesejahteraan. Tak tanggung-tanggung, perhelatan akbar ini dihadiri 1.424 pemangku kepentingan, dari sejak pemerintahan daerah, akademisi, lembaga swadaya masyarakat (LSM), seluruh menteri dan departemen, serikat pekerja hingga asosiasi-asosiasi usaha dan profesi. Bagi rezim yang tengah berkuasa, Rembug Nasional ini merupakan ajang pencitraan. Rembug Nasional memberi ruang kepada Presiden mengemukan visi misi pembangunan lima tahun ke depan.

Tragisnya, Rembug Nasional gagal mencetuskan pencitraan seperti diharapkan. Selama 30 hingga 31 Oktober 2009, headlines media cetak dan breaking news media elektronik diwarnai pemberitaan tentang episode teranyar perseteruan “buaya versus cicak”, yang tak lain dan tak bukan adalah perseteruan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) melawan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Semestinya, Rembug Nasional mendominasi headlines media cetak dan breaking news media elektronik selama 30 hingga 31 Oktober 2009. Ternyata, harapan merupakan satu hal, dan kenyataan merupakan hal lain. Dengan demikian, Rembug Nasional dirundung kegagalan bertubi-tubi. Bukan saja secara substansial Rembug Nasional tak menjanjikan terobosan besar demi mengarahkan perekonomian nasional menuju pelataran yang lebih baik, lebih dari itu Rembug Nasional mempertontonkan kooptasi pencitraan Presiden oleh upaya pencitraan jajaran Polri.

Dalam pertarungannya melawan KPK, Polri gagal merebut pencitraan. Kegagalan itu bahkan begitu tragis, persis sebagai terbentang ke dalam kronologi peristiwa berikut. Pertama, pada 15 Oktober 2009 Bambang Widjojanto (ketua tim kuasa hukum Bibit S. Rianto dan Chandra M. Hamzah) berbicara tentang data yang menunjukkan terjadinya rekayasa ke arah kriminalisasi terhadap Bibit S. Rianto dan Chandra M. Hamzah sebagai Wakil Ketua KPK. Kedua, pada 21 Oktober 2009 Bibit S. Rianto berbicara tentang bukti rekaman percakapan pejabat Polri dan Kejaksaan Agung serta saksi dugaan penyuapan sudah ada di tangan Ketua Sementara KPK. Ketiga, pada 26 Oktober 2009 media cetak dan elektronik mulai memberitakan transkripsi rekaman percakapan yang berisikan upaya pelemahan KPK oleh Polri dan Kejaksaan Agung. Keempat, pada 27 Oktober 2009 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono merasa dicatut namanya dalam transkripsi rekaman tersebut. Kelima, pada 28 Oktober 2009 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meminta pencatutan namanya diusut tuntas. Keenam, pada 29 Oktober 2009 Bibit S. Rianto dan Chandra M. Hamzah ditahan di Mabes Polri.

Tampak dari kronologi peristiwa itu, penahanan Bibit S. Rianto dan Chandra M. Hamzah terjadi pada hari pertama pelaksanaan Rembug Nasional. Mendadak sontak, breaking news media elektronik dan headlines media-media cetak esok harinya, lebih memandang penting mewartakan penahanan Bibit S. Rianto dan Chandra M. Hamzah, ketimbang Rembug Nasional. Sebagai sebuah peristiwa, Rembug Nasional lantas termarginalkan oleh berita penahanan Bibit S. Rianto dan Chandra M. Hamzah. Sisi lain dari kenyataan ini, Polri tampil dengan tindakan membabi-buta. Selama dua minggu sebelum penahanan Bibit S. Rianto dan Chandra M. Hamzah, citra Polri tampak begitu coreng-moreng. Tak mengherankan jika salah satu alasan penahanan Bibit S. Rianto dan Chandra M. Hamzah ialah karena dua tokoh KPK itu mempengaruhi dinamika opini publik.

Kebenaran Absolut

Hal yang kemudian menarik digarisbawahi adalah ini. Sedahsyat apapun politik pencitraan digebrakkan ke tengah kancah kehidupan masyarakat, toh pada akhirnya terbentur limitasi-limitasi tertentu. Kebenaran absolut memiliki kemampuan korektif terhadap pencitraan. Tatkala pencitraan mengingkari kebenaran absolut, maka seketika itu pula pencitraan tampak janggal dan mulai kehilangan rasionalitasnya. Pencitraan tampak mencolok sebagai tricky yang disesaki aura tipu-menipu.

Dalam contoh kasus penahanan Bibit S. Rianto dan Chandra M. Hamzah, batas-batas pencitraan dapat disimak ke dalam konteks memperebutkan pencitraan dalam tubuh pemerintahan. Tak terelakkan jika sektor per sektor pemerintahan berkompetisi menjadi yang terbaik dalam hal pencitraan. Hanya saja, kompetisi di mana pun sama saja. Di samping ada the winner, selalu muncul the losser. Dampak buruk yang kemudian bergulir ialah kompetisi jajaran pemerintahan pada ranah pencitraan justru memporak-porandakan strategi komunikasi politik rezim kekuasaan. Rembug Nasional, misalnya, telah dirancang sedemikian rupa menjadi suatu model pencitraan rezim kekuasaan di hadapan pemerintah daerah, LSM, serikat pekerja, asosiasi usaha dan asosiasi profesi. Ternyata, pencitraan rezim kekuasaan ini diporak-porandakan oleh pelaksanaan otoritas Polri untuk menahan dua tokoh KPK. Hal yang absurd di sini terefleksikan ke dalam pertanyaan: mengapa penahanan tak dilakukan setelah rampungnya pelaksanaan Rembug Nasional? Agaknya, obsesi terhadap pencitraan menyudutkan Polri ke dalam tindakan membabi buta. Sebagai akibatnya, Rembug Nasional gagal merebut tempat secara memadai pada kancah pemberitaan media massa.

Hikmah dari semua ini hanyalah satu: sudah saatnya rezim kekuasaan bekerja bukan untuk pencitraan yang begitu narsistis. Dari sejak sekarang hingga ke masa depan, rezim kekuasaan di negeri ini niscaya untuk memperjuangkan terwujudnya kebenaran absolut yang terpatri ke dalam terciptanya masyarakat adil makmur. Wahai para pengendali rezim kekuasaan, berhentilah Anda bermain-main dengan pencitraan. Kalau tidak, Anda bakal terbentur batas-batas pencitraan. Di mata publik, eksistensi Anda lalu tampak amat sangat absurd.[]

Jakarta, 1 November 2009

Minggu, 25 Oktober 2009

Pencitraan di Depan Menteri

Oleh Anwari WMK

Bagaimana pun, personalitas politik Susilo Bambang Yudhoyono tak pernah bisa dilepaskan dari pencitraan (image building). Bagi Yudhoyono, pencitraan telah sedemikian rupa mengkristal menjadi sebuah metode untuk memperlihatkan eksistensi dirinya di ruang publik. Seakan, ia tak punya cara lain untuk mempertontonkan siapa dirinya, selain melalui pencitraan. Sekali pun hanya di depan jajaran menteri Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II yang ia pimpin, pencitraan itu terus berlangsung, tanpa titik jedah. Itu terbukti dari suasana yang terbangun selama berlangsungnya sidang paripurna KIB II yang untuk pertama kalinya diselenggarakan pada 23 Oktober 2009. Sekilas pintas, dalam sidang kabinet paripurna itu Yudhoyono berupaya memberikan aksentuasi agar para menteri yang baru diangkat memasang target lebih ambisius demi kemajuan pemerintahan selama lima tahun ke depan. Hanya saja, segenap aksentuasi itu tak lain dan tak bukan adalah pencitraan.

Sebagai sebuah peristiwa politik, sidang kabinet paripurna itu menyerupai klimaks sebuah sinetron. Bagaimana tidak? Pada 17 hingga 19 Oktober 2009, Yudhoyono menyelenggarakan “audisi calon menteri” di kediamannya, di Cikeas, Bogor, Jawa Barat. Pada 20 Oktober 2009, Yudhoyono dilantik Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) menjadi presiden RI untuk periode 2009-2014. Esok harinya pada 21 Oktober 2009, Yudhoyono mengumumkan nama-nama menteri dan pejabat setingkat menteri yang tercakup ke dalam susunan KIB II. Pada 22 Oktober 2009, Yudhoyono melantik menteri dan pejabat setingkat menteri KIB II. Dan pada 23 Oktober 2009, seluruh figur yang dilantik sehari sebelumnya menjadi peserta sidang kabinet paripurna untuk pertama kalinya. Dari serangkaian peristiwa itu, sosok Yudhoyono mewarnai headline dan breaking news media massa nasional. Dari sejak tanggal 17 hingga 23 Oktober sosok Yudhoyono telah menjadi fokus pemberitaan media massa. Apa yang bisa dikatakan dari semua itu jika bukan pencitraan?

Narasi Pencitraan

Dengan mengambil tempat di Gedung Sekretariat Negara, sidang kabinet paripurna itu dilakukan secara terbuka untuk diliput media massa. Semuanya berjalan by designed. Di sini Yudhoyono melontarkan pesan kepada dua tingkatan audiens. Para menteri dan pejabat setingkat menteri yang hadir dalam sidang kabinet paripurna itu adalah audiens yang secara langsung bertatap muka dengan Yudhoyono. Sementara, publik di luar garis demarkasi Gedung Sekretariat Negara dan tersebar di seantero Nusantara adalah audiens berikutnya yang lebih bercorak imajiner. Sungguh pun memperlihatkan dirinya sebagai pemimpin yang tegas di hadapan para menteri, Yudhoyono sesungguhnya hendak berbicara tentang kehebatan dirinya kepada publik luas di seluruh Indonesia. Sangat mungkin sesungguhnya jika sidang kabinet paripurna itu dilakukan secara tertutup. Tapi, demi pencitraan, opsi ini tidak ia ambil.

Dari sini kemudian tercipta narasi pencitraan. Selama kurang lebih satu setengah jam, Yudhoyono mempertontonkan kepada publik bahwa ia tengah memperkenalkan kepada para menteri realitas dan spektrum pemerintahan yang ia pimpin. Simak baik-baik, bagaimana para menteri begitu antusias mencatat segenap hal ihwal yang diucapkan Yudhoyono dalam sidang kabinet paripurna itu. Sayangnya, narasi pencitraan Yudhoyono tak memiliki kandungan makna yang secara fundamental dapat dijadikan landasan pijak untuk mereformulasi hubungan masyarakat dan pemerintah. Sementara, hubungan masyarakat dan pemerintahan itu merupakan relasi antara mangsa dan pemangsa. Narasi pencitraan Yudhoyono tak membuka harapan menuju berakhirnya orientasi pemerintahan sebagai predator terhadap masyarakat.

Ketika Yudhoyono menyinggung tentang kode etik berperilaku kalangan menteri, sesuatu yang ditekankan ialah tak diperkenankannya meteri saling menyerang dan mendiskreditkan satu sama lain. Pembicaraan di kabinet pada umumnya, kata Yudhoyono, berklasifikasi rahasia dan terbatas. Pertentangan atau perbedaan pendapat dalam kabinet tidak boleh ditampilkan kepada publik. Yudhoyono juga berbicara tentang prosedur permitaan izin kepada presiden jika seorang menteri hendak melaksanakan berbagai kegiatan di luar negeri. Narasi pencitraan yang semacam ini sesungguhnya merupakan sesuatu yang aneh bin ajaib. Secara substansial, Yudhoyono hanyalah berbicara tentang kaidah-kaidah yang mendasari hubungan dirinya sebagai presiden dengan para menteri. Apa urgensi pembicaraan semacam ini dengan masyarakat luas? Bukankah ini urusan internal KIB II dan semuanya bersangkut paut dengan prosedur dan mekanisme kerja kabinet? Mengapa pembicaraan tentang hal ini tak dilakukan tertutup saja, tanpa liputan pers? Bukankah semua itu urusan Anda sendiri Tuan Presiden dengan para menteri yang Anda pimpin?

Pada titik inilah kita menyaksikan secara terang-benderang, betapa ambisi untuk melakukan pencitraan merupakan satu hal dan narasi dalam proses pencitraan merupakan hal lain. Di sini kita menemukan sesuatu yang perlu diucapkan presiden di hadapan para menteri tetapi sama sekali tidak perlu diucapkan presiden di hadapan publik. Sejauh presiden tak mampu menghentikan gerak sentrifugal pemerintahan sebagai predator terhadap masyarakat, maka sejauh itu pula pembeberan tentang kode etik perilaku para menteri tidaklah bermakna apa-apa bagi masyarakat.

Janji Pemerintahan

Dalam sidang kabinet paripurna itu, rangkaian lain dari pencitraan tercermin pada munculnya pembicaraan tentang target pemerintahan. Dalam konteks ini, Yudhoyono berbicara tentang ancangan pertumbuhan ekonomi sebesar 7% atau lebih pada akhir periode KIB II tahun 2014. Yudhoyono juga berbicara tentang program reduksi angka kemiskinan dan penciptaan lapangan kerja demi mengurangi pengangguran. Semunya dibahasakan dengan kalimat “harus berjalan efektif”. Bersamaan dengan itu, penegakan hukum dan pemberantasan korupsi diprioritaskan. Yudhoyono juga memberikan penekanan akan arti penting pembangunan inklusif dan berkeadilan antarsektor dan antardaerah. Pada titik persoalan itu, good governance, sekali lagi, dikedepankan sebagai prinsip yang dipandang relevan. Dengan demikian berarti, tak terelakkan kelanjutan reformasi birokrasi. Jika pada sektor pendidikan mendesak diberlakukan reformasi pendidikan tahap kedua, dalam bidang kesehatan sudah tiba saatnya melaksanakan reformasi tahap pertama.

Yudhoyono pun memandang penting berbicara tentang tagline atau semboyan pemerintahan yang dinarasikan ke dalam Bahasa Inggris. Yudhoyono lalu sibuk menjelaskan arti tiga tagline ke hadapan para menteri. Tagline pertama adalah ”Change and Continuity”. Sebagian program KIB I periode 2004-2009 perlu dilanjutkan sejauh masih relevan. Namun juga dibutuhkan perubahan dan perbaikan jika program KIB I tak mencapai sasaran. Tagline kedua adalah ”De-bottlenecking, Acceleration, and Enhancement”. Dalam konteks ini Yudhoyono berbicara tentang ”kemacetan” dalam berbagai bidang, seperti tata ruang dan perizinan. Jalan keluar mesti dicari sebagai bagian dari upaya menguraikan hambatan. Percepatan diarahkan untuk meringkas proses yang bertele-tele. Tagline ketiga adalah ”Unity, Together We Can”. Di sini Yudhoyono berbicara tentang sinergi antar-menteri dalam KIB II.

Sebagai tindakan komunikasi, semua itu merupakan pengucapan presiden di hadapan para menteri. Hanya saja, sasaran sesungguhnya dari tindakan komunikasi itu adalah khalayak luas. Masalahnya pada level substansi, dalam komunikasi itu hanya terkandung janji pemerintahan. Aneh bin ajaib, melalui sidang kabinet paripurna itu Yudhoyono kembali melakukan aksi kampanye. Agaknya, Yudhoyono tak yakin kalau dirinya menjabat presiden. Yudhoyono masih sibuk meletupkan pencitraan. Bahkan, pencitraan di hadapan menteri.[]

Jakarta, 25 Oktober 2009.

Rabu, 21 Oktober 2009

Absurditas Politik di Cikeas

Oleh Anwari WMK

Jika peristiwa politik di Cikeas pada 17-19 Oktober 2009 kembali disimak 50 tahun lagi dari sejak kini, hal fundamental apa yang dapat ditangkap? Katakanlah pada 2059 seorang kandidat doktor ilmu politik tengah menulis disertasi tentang pembentukan kabinet era demokrasi pasca-Orde Baru. Apa yang bakal dia tulis tatkala sampai pada pembahasan peristiwa politik di Cikeas pada tanggal 17 hingga 19 Oktober 2009? Mungkinkah bakal lahir kesimpulan, bahwa peristiwa Cikeas sungguh-sungguh merupakan suatu kecerdasan pada kancah perpolitikan nasional dalam konteks pembentukan formasi kabinet pemerintahan? Ataukah, peristiwa Cikeas malah disimpulkan sebagai absurditas khas perpolitikan Indonesia yang menghamba pada politik pencitraan, terutama setelah berlalunya kuasa otoriter Orde Baru?

Tentu, kini, pertanyaan-pertanyaan ini merupakan pengandaian. Tetapi justru, dengan pertanyaan-pertanyaan sengak inilah kita mendeteksi dari sejak sekarang, seberapa signifikan sebenarnya peristiwa politik yang berlangsung di Cikeas.

Sebagaimana diketahui, selama tiga hari menjelang pelantikan presiden dan wakil presiden pada 20 Oktober 2009, Presiden (terpilih) Susilo Bambang Yudhoyono bersama Wakil Presiden (terpilih) Boediono memanggil kandidat menteri Kabinet Indonesia Bersatu jilid dua, untuk masa bakti 2009-2014. Tak tanggung-tanggung, silih berganti para calon menteri bertandang menuju kediaman Susilo Bambang Yudhoyono, di Puri Indah Cikeas, Gunung Putri, Bogor, Jawa Barat. Wartawan media cetak dan elektronik pun tumpah ruah di Cikeas. Tanpa bisa dibendung, dramaturgi politik lantas tercipta dan menerobos masuk ruang publik (public sphere) melalui breaking news media-media elektronik. Tak kalah serunya, media cetak nasional pun memberitakannya sebagai headline. Tetapi sensibilitas yang bisa dirasakan dari sejak saat itu juga ialah tidak menariknya peristiwa politik Cikeas karena dua alasan.

Kabanggaan Menjadi Menteri

Pertama, peristiwa politik Cikeas hanyalah mempertontonkan kenyataan yang tak perlu, yaitu kebanggaan menggenggam jabatan menteri. Uraian berikut merupakan penjelasan betapa political event di Cikeas itu memang merupakan sesuatu yang absurd.

Pada satu pihak, media massa berbicara tentang peristiwa Cikeas sebagai ajang bagi presiden terpilih dan wakil presiden terpilih menguji 34 calon menteri. Para calon menteri juga diminta menandatangani “Kontrak Kinerja” dan “Pakta Integritas”. Kotrak Kinerja mencakup: (1) Kesanggupan bekerja dan dievaluasi terus-menerus untuk diteruskan atau diberhentikan sebagai menteri, (2) Menyelesaikan target kerja 100 hari, (3) Menyelesaikan target kerja satu tahun, (4) Menyelesaikan target kerja lima tahun. Ada pun Pakta Integritas, mencakup: (1) Kesanggupan kerja dengan standar perilaku , (2) Melakukan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, (3) Melaksanakan tata kelola pemerintahan yang baik, (4) Siap diberhentikan jika tidak menjalankan standar perilaku.

Pada lain pihak, informasi yang kemudian dilansir media massa cetak edisi 18 Oktober 2009 menggambarkan situasi para calon menteri yang tengah diuji dengan narasi kalimat pemberitaan yang spesifik. Bahwa, ketika dilakukan pemanggilan terhadap masing-masing kandidat menteri, Presiden Yudhoyono mengawalinya dengan wawancara serta menguraikan tugas dan tanggung jawab para calon menteri sesuai dengan bidangnya. Setelah itu, sang presiden menanyakan kesanggupan para calon menteri untuk menjalankan tugas-tugasnya. Selanjutnya, para calon menteri diminta menandatangani Kontrak Kinerja dan memaraf Pakta Integritas di atas kertas bermeterai. Para kandidat menteri kemudian memberikan penjelasan kepada pers di halaman pendapa rumah Presiden Yudhoyono. Apa yang dapat dimengerti dari narasi pemberitaan ini?

Datang dan perginya calon menteri di Cikeas itu disudahi dengan senyum mengembang para kandidat menteri. Pembacaan secara semiotik terhadap semua ini membawa kita pada konklusi: masih menggumpal kebanggaan menjadi menteri dalam kabinet pemerintahan. Padahal, perkembangan politik sejak era pasca-Orde Baru telah sedemikian rupa mengikis sendi-sendi kekuasaan otoriter. Dari kenyataan ini lantas bergulir proses desakralisasi secara total kekuasaan politik yang menemukan ujungnya pada hilangnya makna jabatan menteri. Tak seperti di zaman Orde Baru, jabatan menteri telah kehilangan makna superlatifnya pada era reformasi. Era kepresidenen Abdurrahman Wahid malah ditengarai sebagai “era gonta-ganti menteri”. Itulah mengapa, opini publik diwarnai pencuatan aspirasi agar para menteri dalam kabinet terdiri dari kaum profesional dengan keahlian dan kompetensi yang dapat dibanggakan untuk penanganan suatu bidang.

Apa boleh buat, audisi calon menteri di Cikeas mempertontonkan keanehan dari apa yang dimengerti publik tentang seorang menteri. Dalam editorial bertajuk “Reality Show Seleksi Menteri”, Media Indonesia edisi 19 Oktober 2009 lalu menampilkan narasi seperti ini: “Banyaknya kandidat menteri itu menunjukkan betapa kekuasaan menjadi magnet yang menggoda. Kekuasaan diburu dengan berbagai cara oleh mereka yang belum mendapatkannya. Sebaliknya kekuasaan dipertahankan dengan berbagai cara pula oleh mereka yang telah mendekapnya.” Editorial Media Indonesia juga menyuguhkan narasi seperti ini: “Ritual seleksi calon menteri dibuat tahap demi tahap yang menegangkan. Para menteri yang masih menjabat harap-harap cemas dan aktivis partai dibikin deg-degan. Puncaknya ketika para kontestan dipanggil satu per satu menghadap Presiden.”

Inilah praksis politik yang sepenuhnya bernuansa psikologis. Inilah sebuah upaya yang dimaksudkan untuk menunjukkan kepada publik betapa masih pentingnya jabatan menteri. Sementara kontras dengan itu, publik sendiri sudah tak memandang penting jabatan menteri. Lebih tak penting lagi jika ternyata sang menteri miskin kontribusi terhadap upaya besar memajukan Indonesia sebagai sebuah bangsa. Secara kategoris, perspektif publik yang sedemikian kritis terhadap jabatan menteri itu mengemuka dalam serangkaian talk-news di berbagai stasiun radio di Jakarta.

Evolusi Panggung Politik

Kedua, peristiwa politik Cikeas hanyalah proses evolusi untuk menjadikan rumah kediaman Yudhoyono kini berfungsi menjadi episentrum terbentuknya elite pada puncak perpolitikan nasional. Ini jelas memiliki makna simbolik untuk jangka panjang. Ditilik berdasarkan perspektif antropologis, kediaman Yudhoyono di Cikeas kini diskenariokan sedemikian rupa menjadi sebuah lungguh bagi trah baru kekuasaan politik negeri ini, di luar cakupan trah Soekarno di sekitar kediaman Megawati Soekarnoputri di kawasan jalan Teuku Umar (Menteng, Jakarta Pusat), trah Soeharto di sekitar kawasan jalan Cendana (Menteng, Jakarta Pusat) atau pun trah Abdurrahman Wahid di sekitar Ciganjur (Jagakarsa, Jakarta Selatan).

Memang, setelah kurun waktu 2014, Yudhoyono tak mungkin lagi mencalonkan diri sebagai presiden. Sebab, Pasal 7 Undang-Undang Dasar 1945 mengandung klausul yang melarang siapapun menduduki jabatan Presiden RI lebih dari dua periode. Pasal tersebut tegas menyebutkan, “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.” Maka, mustahil Yudhoyono—seberapa pun tinggi popularitasnya—maju menjadi presiden untuk ketiga kalinya.

Sungguh pun demikian, salah satu putra Yudhoyono—Edhi Baskoro Yudhoyono—kini menampakkan tanda-tanda menjadi penguasa politik di masa depan. Edhi Baskoro kini anggota DPR dari Partai Demokrat. Bila Yudhoyono sekarang sukses menskenariokan kediamannya di Cikeas menjadi sebuah panggung politik pada level nasional, maka ia telah memberi jalan yang mudah bagi sang putra—atau sanak famili yang lain—untuk juga menjadi presiden di masa depan. Dengan imajinasi mampu memenangkan pertarungan seperti telah dimenangkan Yudhoyono, sang putra bisa dengan saksama menggunakan kediaman Yudhoyono kini agar sepenuhnya berfungsi sebagai lungguh untuk menyampaikan woro-woro politik di masa depan demi memuluskan pertarungan memperebutkan kepemimpinan nasional.

Itulah mengapa, audisi calon menteri di kediaman Yudhoyono di Cikeas, tak lebih dan tak kurang hanyalah absurditas yang berjalan mengikuti logika politik pencitraan. Audisi itu kosong dari pembaruan politik dalam maknanya yang fundamental. Jangan heran jika audisi itu bukanlah garansi demi menemukan figur-figur menteri yang bekerja untuk bangsa dan negara. Sang menteri malah bekerja untuk dirinya sendiri. Begitulah!

Jakarta, 20 Oktober 2009

Kamis, 15 Oktober 2009

Negativitas Menjadi Oposisi

Oleh Anwari WMK

Menjadi oposisi merupakan obsesi yang salah, kehendak yang janggal dan cita-cita yang keliru. Begitulah perspektif yang berkecamuk dalam benak tokoh-tokoh politik Indonesia kontemporer. Karena itu pula, dalam percaturan kekuasaan, partai-partai politik diarahkan sedemikian rupa untuk tak memandang penting outstanding sebagai oposisi. Sebagian besar partai politik lalu tergiring masuk ke dalam bangunan koalisi di bawah orkestrasi Partai Demokrat. Bahkan, inilah koalisi super jumbo yang sepenuhnya diarahkan untuk memberikan basis dukungan politik terhadap pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, selama kurun waktu 2009-2014. Namun, tak adanya kehendak menjadi oposisi itulah yang kemudian mewarnai pemberitaan media massa. Nada penyesalan sungguh-sungguh mewarnai pemberitaan media massa.

Dalam editorialnya pada edisi 15 Oktober 2009 (hlm. 6) berjudul “Bangga Menjadi Oposisi”, harian Seputar Indonesia melihat perpolitikan Indonesia tengah berada di jalan sesat, lantaran menampik kehadiran oposisi. Editorial Seputar Indonesia lalu mengusung narasi kalimat seperti ini: “Kelompok oposisi yang berkewajiban mengkritik kebijakan penguasa agar tidak melenceng adalah bagian dari apa yang disebut checks and balances. Semua orang sepakat kekuasaan harus dikontrol dan diawasi terus-menerus, kalau tidak kekuasaan itu pasti korup. Kalau penguasanya korup, negara bangkrut dan rakyat sengsara. Kalau sudah demikian, yang salah bukan hanya penguasanya, tapi juga masyarakatnya: kenapa mereka tidak ada yang mau jadi oposisi?”

Panorama Oposisi

Dalam editorial tersebut, pembacaan secara kritis terhadap arti penting oposisi dikait-hubungkan dengan kemungkinan buruk yang mewarnai jagat kekuasaan politik pasca-Pemilu 2009. Tanpa oposisi, kekuasaan seorang presiden dibiarkan terpilin menjadi obesitas dalam hal menggelembungkan basis dukungan partai-partai politik. Sementara kontras dengan itu, kekuasaan menjadi kian bercorak patrimonial. Sebagai konsekuensinya, rakyat terus-menerus termarjinalkan dari totalitas kekuasaan politik. Semua ini tak lepas dari obsesi untuk menghadirkan stabilitas permanen pemerintahan yang kuat, selama lima tahun ke depan. Dengan koalisi besar berarti, dukungan parlemen terhadap pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menjadi sangat kuat. Sebagian besar partai politik mengukuhkan soliditas pemerintahan Yudhoyono. Apa boleh buat, tak ada persemaian subur ke arah tumbuhnya kekuatan oposisi.

Tentu saja, negativitas terhadap oposisi tak hanya mencuat di jagat politik setelah tuntasnya Pemilu 2009. Negativitas terhadap kehadiran partai oposisi bukanlah gejala baru. Tatkala perpolitikan nasional masuk ke dalam fase reformasi sejak akhir dekade 1990-an, ada kebutuhan terhadap hadirnya partai oposisi. Melalui keberadaan partai oposisi, pertarungan politik diwarnai oleh munculnya gagasan-gagasan brilian yang bersifat alternatif dan sekaligus bermakna terobosan ke arah terwujudnya kesejahteraan rakyat. Intelektual sekaliber Nurcholish Madjid pun lalu berbicara secara repetitif agar bangsa ini belajar membentuk partai oposisi. Partai oposisi, kata Nurcholish Madjid, memiliki kemuliaan yang setara dengan partai penguasa. Bahkan Nurcholish Madjid menganalogikan tak adanya oposisi dalam praktik demokrasi dengan “ban mobil yang kempes”. Tanpa oposisi, perjalanan demokrasi niscaya terseok-seok.

Sayangnya, himbauan profetik Nurcholish Madjid itu berlalu bersama angin. Terhitung sejak Pemilu 1999, belum jua hadir partai oposisi dalam maknanya yang utuh. Memang, pada pasca-Pemilu 2004, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) mengibarkan bendera oposisi dan mengklaim dirinya sebagai pelopor kehadiran partai oposisi di Indonesia. Pada tataran praksis, partai pimpinan Megawati Soekarnoputri ini mencitrakan dirinya sebagai partai oposisi dalam hubungannya dengan kabinet pemerintahan. Itulah mengapa, portofolio kementerian dalam Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) selama kurun waktu 2004-2009 tak melibatkan kader-kader PDI-P. Sungguh pun begitu, tak ada narasi besar yang sungguh-sungguh produktif dihasilkan partai ini dalam kedudukannya sebagai oposisi. Rasionalitas yang mendasari pilihan oposisi hanyalah rivalitas personal Megawati Soekarnoputri versus Susilo Bambang Yudhoyono. Oposisi PDI-P lalu merupakan kelanjutan logis dari pertarungan lama Megawati Soekarnoputri melawan Susilo Bambang Yudhoyono.

Sangat bisa dimengerti pada akhrinya, mengapa PDI-P yang mengklaim oposisi itu gagal menawarkan sistem perekonomian alternatif—yang secara diametral seharusnya berbeda dengan opsi sistem ekonomi rezim Yudhoyono. Neoliberalisme yang sedemikian rupa merangsak perekonomian nasional selama era rezim Yudhoyono, ternyata hanya direspons PDI-P sebatas menggelorakan ekonomi kerakyatan. Bagaimana model tata kelola ekonomi kerakyatan dalam perspektif PDI-P, ternyata tak pernah jelas hakikat maupun logikanya. Tanpa bisa dielakkan, selama kurun waktu 2004-2009 muncul panorama oposisi. Tetapi, inilah oposisi yang tak pernah jelas landasan filosofinya, dan lantaran itu pula tak pernah jelas cetak-biru sistem perekonomian yang ditawarkan.

Geneologi Negativitas

Perkembangan politik setelah berakhirnya Pemilu 2009 menyingkapkan kenyataan tragis. Bahwa sesungguhnya, di Indonesia, belum pernah ada partai oposisi dalam maknanya yang genuine. Pernyataan Ketua Dewan Pertimbangan Pusat PDI-P Taufik Kiemas justru menganulir berbagai klaim selama lima tahun sejak 2004 tentang kedudukan PDI-P sebagai partai oposisi. Dalam suatu kesempatan, Taufik Kiemas berbicara di hadapan pers bahwa sistem politik Indonesia tak mengenal oposisi. Pada kesempatan lain, Taufik Kiemas menyinggung tentang kemungkinan kader-kader PDI-P masuk ke dalam jajaran KIB jilid dua.

Dengan menyebut tak adanya oposisi dalam maknanya yang genuine, maka tugas pokok kita pada akhirnya menelusuri geneologi negativitas terhadap oposisi. Dan ternyata, negativitas itu timbul karena adanya tiga sebab. Pertama, ranah politik di Indonesia terus-menerus berada dalam satu sentakan untuk tak memungkinkan menerima kehadiran kekuatan oposisi. Dari dulu hingga kini, ranah politik di Indonesia diwarnai kesadaran palsu (false consciousness) di seputar nikmatnya duduk di atas singgasana kekuasaan eksekutif. Pengawasan badan legislatif pada berbagai tingkatan, misalnya, didasari oleh psiko-politik yang memandang dengan perasaan iri eksistensi kekuasaan eksekutif. Bangunan argumentasi yang bernuansa kritis di parlemen dilandaskan pada perasaan underdog kekuasaan legislatif berhadapan dengan kekuasaan eksekutif. Selama psiko-politik ini tak dapat dibongkar, maka selama itu pula tak ada prakondisi ke arah terbentuknya kekuatan oposisi.

Kedua, ranah personal aktor-aktor politik di Tanah Air steril dari pemahaman tentang kemuliaan partai oposisi. Ini karena, aktor-aktor politik telah sejak lama kehilangan spirit pengorbanan, terbelenggu mental menerabas, serta terjebak ke dalam rawa-rawa pragmatisme. Semua ini merupakan akibat dari kuatnya tendensi untuk mencari kenikmatan personal dalam politik. Bukan saja politik di Indonesia lalu bercorak libidal, lebih dari itu kaum politikus berada dalam perburuan abadi untuk mendapatkan sebanyak mungkin comfort zone di belantara kekuasaan. Kristalisasi atas semua ini adalah narsisme aktor-aktor politik yang tiada taranya di ruang publik. Maka, absurd jika kemudian mengharapkan adanya asketisisme dalam politik. Dari kemulian, politik telah bergeser jauh menjadi kebinatangan.

Ketiga, perpolitikan nasional tak memiliki kejelasan filosofi, baik pada tataran konsepsi maupun pada level aksi. Kenyataan ini merupakan akibat tak terperikan dari hilangnya sensibilitas terhadap dimensi makrokosmos kehidupan umat manusia. Bukan saja kemudian kaum politikus membangun kesadaran teologis yang compang-camping, tak kalah pentingnya juga mereka terpenjara ke dalam pandangan dunia partikularistik. Sebagai konsekuensinya, kaum politikus tak memiliki kapasitas yang lebih dari cukup untuk menyimak puspa ragam persoalan bangsa secara obyektif. Lebih tak mungkin lagi memahami problema kebangsaan secara holistik.

Jelas pada akhirnya, negativitas menjadi oposisi bertitik tolak dari sebab yang tak sederhana serta mencetuskan akibat yang rumit.

Jakarta, 15 Oktober 2009

Rabu, 14 Oktober 2009

Tamatnya Kedaulatan Kata-kata

Oleh Anwari WMK

Kedaulatan kata-kata (the sovereignty of words) dalam jagat narasi kebangsaan, pada akhirnya memasuki fase kepunahan. Setelah sejak Orde Baru ruang publik di Indonesia dibombardir oleh kuasa kata otoriter, pada akhirnya ruang publik diharu-biru oleh tamatnya kedaulatan kata-kata. Fakta tentang hal itu sepenuhnya tercermin pada hilangnya ayat tembakau dalam Pasal 113 Undang-Undang Kesehatan. Inilah undang-udang yang keabsahannya telah ditetapkan Dewan Perwkilan Rakyat (DPR) bersama pemerintah melalui Rapat Paripurna tanggal 14 September 2009. Pada 28 September 2009, dokumen undang-undang tersebut dikirimkan ke Sekretariat Negara dengan disertai surat pengantar Ketua DPR periode 2004-2009. Dengan dikirim ke Sekretariat Negara berarti, undang-undang tersebut memasuki proses selanjutnya untuk diumumkan pada Lembaran Negara. Namun, heboh yang lantas mencuat ke permukaan berjalin kelindan dengan hilangnya Ayat (2) pada Pasal 113 Undang-Undang Kesehatan. Maka, dengan sangat gamblang dipertontonkan, bahwa kata-kata telah kehilangan kedaulatannya.

Apa yang dimaksud dengan “kedaulatan kata-kata” di sini bermula dari lahirnya konsensus politik di parlemen. Sejalan dengan prinsip konstitusionalisme, konsensus politik itu kemudian dituangkan menjadi narasi yang “utuh” ke dalam sebuah undang-udang. Sementara, konsensus itu sendiri merupakan kelanjutan logis dari kehendak dan aspirasi rakyat yang dikelola oleh para politikus melalui kelembagaan parlemen. Secara demikian berarti, setiap kata yang termaktub ke dalam undang-undang tak lagi bersifat equivokal. Kata demi kata dalam undang-undang telah tertransformasi menjadi univokal. Itulah mengapa, pada setiap undang-undang terdapat lampiran yang menjelaskan maksud setiap bab, pasal dan ayat. Lantaran telah berdimensi univokal, setiap kata dalam undang-undang memiliki kedaulatan yang tak terbantahkan. Maka, tak mungkin kata-kata itu diubah setelah disepakati melalui Rapat Paripurna. Dan lebih tidak mungkin lagi jika dihilangkan sama sekali. Anehnya, itulah yang terjadi pada ayat tembakau dalam Undang-Undang Kesehatan.

Substansi yang Hilang

Ayat (2) yang hilang dari Pasal 113 Undang-Undang Kesehatan itu mengandung substansi sebagai berikut. “Zat adiktif sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) meliputi tembakau, produk yang mengandung tembakau, produk cairan dan gas yang bersifat adiktif yang penggunaannya dapat menimbulkan kerugian bagi dirinya dan/atau masyarakat sekelilingnya.” Bagaimana memahami hilangnya ayat tembakau ini? Tangan siapakah yang usil sehingga menghilangkan ayat tembakau dan sekaligus menggusur kedaulatan kata-kata?

Berkenaan dengan hilangnya ayat tembakau itu, harian Kompas edisi 14 Oktober 2009 (hlm. 6) sampai merasa perlu menurunkan sebuah editorial dengan judul menggelegar: “Skandal Politik Tembakau”. Editorial ini menggarisbawahi munculnya apa yang disebut “kudeta redaksional” melalui hilangnya Ayat (2) pada Pasal 113 Undang-Undang Kesehatan. Dalam editorialnya Kompas lalu membentangkan perspektif kritis seperti ini: “Kita memandang hilangnya “ayat tembakau” dalam UU Kesehatan bukanlah semata-mata masalah teknis. Kita sependapat dengan pengamat kesehatan Kartono Mohammad bahwa hilangnya “ayat tembakau” harus diusut tuntas oleh Badan Kehormatan DPR, termasuk kemudian ditangani kepolisian. Hilangnya “ayat tembakau” memunculkan kecurigaan adanya intervensi pihak luar, yang keberatan dengan pencantuman ayat soal tembakau dalam UU Kesehatan”.

Dengan editorialnya itu Kompas berbicara secara asertif kepada publik luas, bahwa hilangnya ayat tembakau bukanlah kesalahan yang bersifat aksidental, tetapi justru kesalahan yang bersifat substansial. Hilangnya ayat tembakau itu bukan sekadar akibat dari salah ketik, dan bukan pula kekeliruan di seputar copy dan paste pada program pengolah kata di komputer. Itulah mengapa, pada bagian lain editorialnya Kompas menulis seperti ini: “Perilaku gerilya politik seperti menyelundupkan ayat—menghilangkan atau menambahkan ayat di luar kesepakatan DPR dan pemerintah—adalah sebuah kejahatan politik yang tidak bisa ditoleransi”. Makna yang dengan serta-merta bisa ditangkap dari narasi editorial ini ialah munculnya kekuatan besar di balik hilangnya ayat tembakau dalam Undang-Undang Kesehatan. Dan sebagaimana kemudian dilansir oleh sejumlah radio penyiaran di Jakarta melalui berita dan wawancara selama Rabu pagi 14 Oktober 2009, kekuatan besar dimaksud tak lain dan tak bukan adalah industri rokok dan para kompradornya.

Namun hal yang kemudian penting dicatat adalah ini. Peristiwa hilangnya ayat tembakau dalam Undang-Undang Kesehatan jelas takkan berada dalam pelukan abadi pemberitaan media massa. Sejalan dengan begitu beragamnya isu yang terus bergulir, peristiwa hilangnya ayat tembakau bakal berlalu bersama angin. Sungguh pun begitu, peristiwa tersebut merefleksinya beratnya problema konstitusionalisme di negeri ini. Hal yang bisa kita simpulkan ialah proses terciptanya sebuah undang-udang melalui kelembagaan DPR dengan mudahnya diporak-porandakan oleh kepentingan bercokol (vested interest). Sudah dalam keadaan demikian, kaum vested interest telah sejak lama mendeterminasi keberadaan DPR serta mempengaruhi agenda legislasi parlemen.

Dari kenyataan buruk ini maka bahaya besar dalam jangka panjang terkait erat dengan keberlanjutan eksistensi Indonesia sebagai sebuah bangsa. Editorial Kompas lalu mengusung narasi kalimat yang sepenuhnya berisikan peringatan menghadapi bahaya besar di masa depan. Tulis editorial Kompas: “Cara kasar seperti itu, jika dibiarkan, bakal mengancam eksistensi negara hukum dan sistem demokrasi deliberatif yang sedang mau kita bangun. Hilangnya atau ditambahkannya sebuah ayat—di luar kesepakatan politik DPR dan pemerintah—jelas akan mempengaruhi nasib seluruh bangsa ini, termasuk pemerintah, DPR dan seluruh rakyat.” Pesan paling penting dari narasi kalimat editorial ini ialah mengakhiri seluruh kecenderungan punahnya kedaulatan kata-kata.

Parlemen yang Profan

Menteri Sekretaris Negara Hatta Radjasa memberikan kesaksian, bahwa ayat yang hilang setelah persetujaun Rapat Paripurna DPR pernah terjadi pada dokumen Rancangan Undang-Undang (RUU) Perkeretaapian dan RUU Tata Ruang. Dengan demikian berarti, hilangnya ayat tembakau dalam Undang-Undang Kesehatan bukanlah absurditas politik yang terjadi untuk pertama kalinya. Artinya, ada preseden buruk menjelang atau sebelum hilangnya ayat tembakau dalam Undang-Undang Kesehatan. Dari pengalaman buruk ini Hatta Radjasa lalu menarik sebuah konklusi. Bahwa hilangnya ayat dalam RUU yang sudah disetujui Rapat Paripurna DPR merupakan persoalan yang sangat mendasar. Itulah mengapa, perlu ada shock therapy untuk mencegahnya agar tak menjadi habitus hingga ke masa depan. Terlebih lagi, satu ayat dalam sebuah undang-undang dihasilkan melalui proses legislasi selama berbulan-bulan.

Tak bisa tidak, pada akhirnya, sorotan harus diarahkan ke parlemen. Sebab, parlemen merupakan institusi politik yang amat profan. Jika di masa Orde Baru berfungsi sebagai stempel karet kekuasaan otoriter, pada era Orde Reformasi parlemen jusrtu berubah menjadi mesin yang terus-menerus mereproduksi berbagai skandal korupsi. Jajak pendapat publik lalu menunjukkan, bahwa bersama kejaksaan dan kepolisian parlemen merupakan lembaga negara terkorup di Indonesia. Bukan saja kemudian banalitas politik tumbuh subur di parlemen, lebih dari itu profanitas merasuk ke dalam totalitas eksistensial parlemen.

Dengan profanitas berarti, para politikus di parlemen sama sekali tak merasa bersalah sekali pun tak habis-habisnya menista rakyat. Pengusuran ayat dalam RUU yang sudah final jelas “hanyalah” hal kecil bagi parlemen. Tak mengherankan jika Sekjen DPR Nining Indra Saleh mengangap biasa-biasa saja raibnya satu ayat dalam Undang-Undang Kesehatan (Media Indonesia, 14 Oktober 2009, hlm. 1). Tak berlebihan jika kemudian disimpulan, parlemen Indonesia di masa kini merupakan kekuatan besar yang berada di balik tamatnya kedaulatan kata-kata. Maka, terhadap parlemen, waspadalah..... waspadalah, ... waspadalah ....!

Jakarta, 14 Oktober 2009

Sabtu, 10 Oktober 2009

Pandangan Dunia Pemimpin Politik

Oleh Anwari WMK

Di Oslo, Norwegia, Komite Nobel memilih Presiden Amerika Serikat (AS) Barack Obama sebagai tokoh penerima hadiah Nobel Perdamaian 2009. Mendadak sontak, dunia terkejut, tetapi kemudian menyambut dan memberikan aplaus. Obama dinilai pantas menerima Nobel Perdamaian. Ia telah melakukan upaya spektakuler demi memperkuat diplomasi internasional serta merentangkan kerja sama global dan mengusung visi tentang dunia yang damai. Komite Nobel juga menggarisbawahi visi penting Obama tentang dunia tanpa senjata nuklir. Dalam kedudukannya sebagai Presiden AS, visi Obama telah menstimuli perlucutan senjata nuklir. Konsekuensi dari semua itu, Obama menciptakan iklim politik internasional baru, sehingga pendekatan multilateral kembali mendapat panggung, bahkan melalui pengedepanan peran Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan organisasi-organisasi internasional.

Pertanyaan yang kemudian menarik dimunculkan, adakah makna filosofis di balik penganugerahan Nobel Perdamaian kepada Barack Obama? Bagaimana memahami hubungan antara Nobel Perdamaian 2009 dengan sosok dan personalitas politik Obama?

Pandangan Dunia

Pembacaan secara semiotik menunjukkan, Nobel Perdamaian untuk Obama merupakan pertanda akan adanya pengakuan terhadap kemenangan sebuah pandangan dunia (Weltanschauung) seorang pemimpin politik. Sudah mafhum diketahui banyak orang, personalitas politik Obama tak lepas dari posisi dirinya dalam rentang panjang sejarah perpolitikan AS. Dalam konstelasi global abad XXI, dunia sesungguhnya tengah menyaksikan hadirnya senjakala AS sebagai sebuah negara adidaya. Tak mengherankan jika Obama mewarisi kepemimpinan politik AS yang compang-camping. Bahkan, inagurasi yang menobatkan dirinya sebagai pemimpinan AS pada Januari 2009 digelayuti “awan hitam” krisis perekonomian global. Sementara tragisnya, krisis perekonomian global itu episentrumnya di AS dan memperlihatan dentuman hebat pada September 2008 melalui rontoknya bank-bank investasi berskala besar.

Tetapi dahsyatnya, Obama bukan saja tercatat sebagai keturunan Afro-Amerika pertama yang berhasil menduduki kursi kepresiden AS. Lebih dari itu, ia mengambil suatu penyikapan yang hampir utopis saat menyentuh persoalan-persoalan diplomasi dan hubungan antar-bangsa di dunia. Politik luar negeri AS yang semula unilateral, ia belokkan menjadi multilateral. Di atas panggung politik dunia, Obama lalu tampil dengan mengusung spirit Kantian yang sepenuhnya mengibarkan cita-cita perpetual peace. Jika selama beberapa tahun sebelumnya politik luar negeri AS berpijak pada paradigma realpolitik yang mengagungkan struggle for power, Obama justru menempuh haluan lain. Ia memandang penting humanitarianism dan world government yang menjunjung tinggi moralitas. Dengan kata lain, Obama pemimpin politik AS yang menampik opsi politik machiavellis saat harus merancang bangun hubungan antar-bangsa di dunia.

Ketika pada 22 Januari 2009 Obama mengangkat mantan Senator George Mitchell sebagai Utusan Khusus Presiden AS untuk Timur Tengah, maka semakin terang benderang Weltanschauung Obama yang bercorak Kantian. George Mitchell adalah tokoh yang memiliki kemampuan untuk melihat secara obyektif konflik dan kekerasan yang tak berujung pangkal di Timur Tengah. Terutama dalam konteks pertarungan abadi Israel-Palestina, George Mitchell merupakan figur yang mampu melihat keburukan adalah keburukan dan kebaikan adalah kebaikan. Dengan penunjukan George Mitchell itu sekaligus Obama hendak memperlihatkan kepada dunia bahwa Israel dan Palestina tak boleh terus mengobarkan kekerasan berdarah-darah. Enough is enough. Itulah mengapa, Obama mengecam upaya Israel membangun permukiman Yahudi di Tepi Barat.

Weltanschauung Obama juga tercermin pada penutupan penjara Guantanamo serta melarang penyikasaan terhadap tahanan dari kalangan yang sejauh ini dituduh teroris. Pada April 2009 Obama pun menyampaikan pesan rekonsilisasi pada dunia Muslim di depan para pemimpin Yahudi, Kristen dan Islam. Inti dari pesan rekonsiliasi itu ialah tekad dan kepastian, bahwa AS takkan pernah berperan melawan Islam. Ketika pada 4 Juni 2009 berbicara tentang cetak-biru dalam hubungan baru AS-Islam, Obama berupaya memperbaiki citra AS di dunia Muslim. Dalam pernyataannya yang bersukmakan perdamaian, Obama bahkan mengutip Taurat, Bibel dan Al Qur’an.

Bukan Pemimpin Salon

Dengan pandangan dunia yang telah diperlihatkan itu, Obama bukanlah pemimpin salon dalam bidang politik. Setiap ucapan yang ia lontarkan dan setiap opsi yang ia ambil bukanlah gincu atau lipstik untuk tujuan sempit meraup popularitas di dalam negeri. Diakui atau tidak, visi politiknya tentang Timur Tengah menohok keberadaan negara Israel. Pada derajat tertentu, Obama menempuh jalan yang berseberangan dengan lobi-lobi Yahudi Amerika, yang dikenal tangguh dan berpengaruh luas. Sebagai kekuatan invisible dalam kancah perpolitikan Amerika, lobi-lobi Yahudi bisa dengan mudah menjungkalkan kekuasaan seorang presiden. Agaknya, Obama tak gentar menghadapi tantangan ini. Visi besarnya yang humanitarianistik mengalahkan ketakutannya terhadap dahsyatnya tantangan yang mungkin digebrakkan oleh lobi-lobi Yahudi Amerika.

Bagaimana kita bisa sampai pada kesimpulan bahwa Obama bukanlah pemimpin salon di bidang politik dan lantaran itu layak mendapatkan Nobel Perdamaian?

Pada awal April 2009, Obama bertemu Perdana Menteri Inggris Gordon Brown, Presiden Rusia Dmitry Medvedev, Presiden China Hu Jintao, dan Ratu Elizabeth II dari Inggris. Pertemuan itu merupakan simbolisme dari kuat dan kukuhnya kehendak Obama mewujudkan kerangka kerja multilateralisme dalam merajut hubungan internasional dan untuk keperluan pengaturan perekonomian global. Jika sekadar pemimpin salon, Obama takkan melakukan upaya-upaya ini. Mengapa? Di dalam negeri AS sesunguhnya menguat pandangan yang bercorak merkantilistik. Di tengah dahsyatnya serbuan produk-produk murah dari Republik Rakyat China, para pelaku ekonomi AS berada dalam suatu titik inklinasi untuk dengan serta-merta berpijak pada paradigma merkantilistik. Dengan mengatasnamakan nasionalisme ekonomi, timbul kecenderungan di kalangan pelaku ekonomi AS untuk menggunakan senjata proteksionisme dan atau isolasionisme. Obama, ternyata, tak berpihak pada cara pandang ini. Ia justru berupaya berdiri di garda depan terwujudnya multilateralisme yang pada gilirannya memberikan dampak positif terhadap perekonomian dunia.

Ketika pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) di Pittsburg, 24-25 September 2009, tampil sebagai aktor penentu terjadinya peralihan peran G-8 menjadi G-20, sekali lagi Obama membuktikan bahwa dirinya bukanlah pemimpin salon. Ia mendorong secara sangat kuat agar forum informal G-20 resmi berkedudukan menggantikan G-8. Dengan demikian berarti, terbentuk forum informal yang cakupan anggotanya terdiri atas negara-negara dengan kemampuan kumulatif hingga 90% dalam hal menciptakan Produk Domestik Bruto (PDB) global. Hal mendasar yang termaktub ke dalam visi Obama tentang G-20 ialah pembukaan koridor secara sangat luas agar diskusi tentang berbagai permasalahan pelik di dunia tak lagi dilakukan secara eksklusif oleh segelintir negara yang tergabung ke dalam G-8. Diskusi dan upaya menemukan solusi terhadap masalah-masalah pelik dunia oleh Obama diskenariokan agar melibatkan lebih banyak negara. Pada titik ini, benar-benar terpantul visi world government pada diri seorang Obama.

Maka, sudah seharusnya jika momentum penganugerahan Nobel Perdamaian kepada Obama menginspirasi pemimpin-pemimpin politik di dunia untuk memiliki kejelasan Weltanschauung dan jangan lagi bertakzim pada pencitraan untuk sekadar menjadi pemimpin salon.

Jakarta, 10 Oktober 2009

Rabu, 07 Oktober 2009

Kendaraan Politik Bagi Rakyat

Oleh Anwari WMK

Tatkala hendak memperebutkan kursi kekuasaan, mendadak sontak para aktor politik berbicara tentang rakyat. Mereka beradu akting di ruang publik dengan mengusung citra diri sebagai pejuang sejati mewujudkan kesejahteraan rakyat. Dalam kompetisi memperebutkan kekuasaan itu, rakyat lalu dijunjung setinggi langit. Personalitas seorang politikus tiba-tiba diwarnai aura kepedulian tanpa batas dalam hal mewujudkan kedaulatan rakyat. Tetapi jelas, semuanya hanyalah aksi di atas panggung. Semuanya hanyalah lipstik dan polesan. Tak lebih dan tak kurang.

Apa yang bisa kita catat selama ini ialah timbulnya paradoks dalam perpolitikan nasional. Pada satu sisi, politik merupakan panggilan kebangsaan, dan karena itu tak pernah bergeser menjadi profesi. Dengan terjun ke dunia politik, seseorang sesungguhnya berada dalam satu titik kesadaran untuk menghibahkan diri sepenuhnya memenuhi panggilan kebangsaan. Maka, para politikus adalah pejuang yang mengusung misi besar memajukan dan memakmurkan bangsa. Tapi pada lain sisi, politik di Indonesia menjadi ladang berburu pekerjaan. Tata kelola politik dilumuri pamrih materi. Tak mengherankan pada akhirnya, politikus di negeri ini menjadi monster pemburu rente yang korup. Dengan sendirinya, politikus di Indonesia merupakan figur yang antoganistik.

Pemimpin Partai

Hingga perpolitikan nasional menerobos masuk ke dalam kurun waktu pasca-Orde Baru, sandiwara pembelaan terhadap rakyat tampak menonjol pada saat Pemilu Legislatif maupun tatkala berlangsung Pemilu Presiden. Politikus yang ambisius duduk di parlemen atau yang begitu obsesif meraih jabatan presiden, menebar janji untuk sepenuhnya membahagiakan rakyat. Kampanye Pemilu lantas menjadi sebuah siklus yang riuh redah oleh corong penyebaran janji. Sebagai imbalannya, sang politikus meminta dukungan suara dari rakyat, melalui pencontrengan di bilik-bilik suara.

Kini, sebuah cerita baru bergulir. Sandiwara pembelaan terhadap rakyat pun mewarnai perebutan kursi ketua umum sebuah partai politik. Contohnya, perebutan jabatan Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Golongan Karya (Golkar). Dalam Musyawarah Nasional ke-8 di Pekanbaru, Riau (5-8 Oktober 2009), empat orang politikus tampil sebagai kandidat Ketua Umum DPP Partai Golkar. Mereka adalah Aburizal Bakrie, Surya Paloh, Hutomo Mandala Putra dan Yuddy Chrisnandi. Mereka sama-sama berbicara tentang rakyat serta melontarkan resep politik bagaimana menyekahterakan rakyat. Begitu artikulatifnya pembicaraan tentang rakyat dalam Munas ke-8 itu, tak berlebihan jika dikatakan inilah sensasi baru dalam jagat perpolitikan nasional.

Memang, Munas atau Muktamar partai-partai selain Golkar telah pula membicarakan nasib rakyat. Tetapi, hanya dalam Munas ke-8 Golkar pembicaraan tentang rakyat membahana dari kandidat ketua umum. Derajat pembicaraan tentang rakyat dalam konteks Munas ke-8 Partai Golkar sama artikulatifnya dengan pembicaraan tentang rakyat selama masa kampanye Pemilu. Padahal, para kandidat Ketua Umum Partai Golkar itu tak sedang berhadapan dengan rakyat secara vis-à-vis—seperti pada musim Pemilu.

Rakyat dalam Perspektif

Hanya saja, pembicaraan tentang rakyat dalam konteks ini berada dalam perspektif yang sumir. Pembacaan secara saksama terhadap konstatasi yang dilontarkan empat kandidat Ketua Umum DPP Partai Golkar secara keseluruhan justru tanpa kejelasan esoterisme. Apa yang sesungguhnya dimaksud dengan “rakyat” dalam berondongan kata-kata empat kandidat Ketua Umum DPP Partai Golkar, tak lebih hanyalah retorika. Kata “rakyat” dalam pelataran ini masih terpaku pada pengertian yang dangkal. Tak ada kedalaman konsepsi yang mendasari segenap pembicaraan tentang rakyat.

Dalam Kompas edisi 5 Oktober 2009, Yuddy Chrisnandi berbicara tentang rakyat sehubungan dengan penurunan suara Partai Golkar pada Pemilu Legislatif 2009. Nomenklatur “rakyat” terpatri ke dalam narasi kalimat Yuddy seperti ini: ”Suara Partai Golkar turun disebabkan faktor kepemimpinan yang tidak solid dan merakyat, mengabaikan kekuatan lain, serta merasa puas pada capaian sebelumnya. Pemimpin seharusnya mampu menggerakkan seluruh jajaran turun ke bawah serta menjaga persatuan sehingga terbangun soliditas. Pemilu lalu semua berjalan sendiri. Reposisi politik Partai Golkar juga tidak jelas, partai pemerintah atau oposisi yang senantiasa mendukung cita-cita rakyat. Kader yang membela rakyat malah diperingatkan. Akibatnya, Golkar dilupakan rakyat.”

Dalam konteks ideologi, Yuddy juga berbicara tentang rakyat dengan narasi kalimat seperti ini: Golkar itu nasionalis religius kerakyatan. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa mengukuhkan sebagai partai religius. Komitmen Golkar melindungi NKRI dari pertentangan ideologi, separatisme, atau SARA dengan membingkai kebhinnekaan. Pembangunan nasional harus ditujukan untuk rakyat. Tujuan ini mulai melemah. Golkar juga bukan partai agama yang berpihak hanya pada Islam, Kristen, Hindu, Buddha, atau satu golongan. Karena itu, harus berjuang semaksimal mungkin agar semua peraturan diterima secara adil oleh seluruh rakyat.”

Hutomo Mandala Putra juga menggunakan nomenklatur “rakyat” demi mengklarifikasi mengapa akhirnya ia maju sebagai kandidat Ketua Umum Partai Golkar. Kata Hutomo Mandala Putra, ”Saya membawa visi-misi lebih jelas tentang karya-kekaryaan dan ekonomi rakyat. Golkar selama ini hanya dimanfaatkan elite politiknya. Ke depan, Golkar harus lebih membantu rakyat mewujudkan cita-citanya. Golkar juga harus lebih tegas menjaga kedaulatan bangsa. Saat Orde Lama, kita bertambah Papua. Orde Baru, bertambah Timtim. Tapi, saat Reformasi kehilangan Timtim, Sipadan, Ligitan.”

Saat menyinggung kemestian-kemestian baru yang niscaya dilakukan Golkar, Hutomo Mandala Putra berbicara tentang rakyat dengan konstruk kalimat seperti ini: “Golkar harus mewujudkan cita-cita rakyat secepatnya, tidak perlu menunggu Pemilu. Sudah saatnya kita berkarya sekarang ini. Karena itu, sejak awal saya tidak ingin terlibat praktik ”dagang sapi” atau pragmatisme. Saya harus mengedepankan program-program yang harus dilaksanakan Golkar di daerah-daerah jika ingin menang di 2014.”

Dalam wawancara dengan harian Seputar Indonesia (6 Oktober 2009), Hutomo Mandala Putra berbicara tentang konsep Trikarya untuk keperluan membesarkan Golkar. Salah satu poin dalam konsep Trikarya itu berbunyi: “Partai Golkar harus dijadikan kendaraan politik rakyat untuk mewujudkan harapannya”. Dua poin yang lain adalah: (1) Keharusan bagi Golkar menjadi partai independen, mandiri dan dinamis, serta (2) Partai Golkar mewujudkan wajib belajar 12 tahun secara gratis untuk sekolah negeri dan pelayanan kesehatan gratis yang berkualitas.

Sungguh pun demikian, pembicaraan tentang rakyat tak menukik pada kedalaman filosofi. Di sini, pembicaraan tentang rakyat bernuansa banalitas. Itu karena, masih bertahan relasi subyek-obyek di dunia politik. Para aktor politik tak habis-habisnya memosisikan diri sebagai subyek. Sementara rakyat, disudutkan sebagai obyek. Itulah mengapa, pembicaraaan tentang rakyat terjebak ke dalam logika formal, bukan resultante dari dialektika lahir batin bersama rakyat itu sendiri. Maka, pembicaraan tentang fungsi partai politik sebagai kendaraan politik bagi rakyat jelas masih sebatas utopia. “Kendaraan politik bagi rakyat” hanyalah isu temporer menghadapi Munas. Maka, dengan cepat isu ini bakal berlalu bersama angin.

Jakarta, 7 Oktober 2009

Kamis, 17 September 2009

Humanisme Islam Abad XXI

Oleh Anwari WMK

Apakah humanisme Islam dapat diimplementasikan dalam pelataran hidup umat manusia pada abad XXI, ternyata merupakan sebuah tanda tanya besar. Tetap tak ada jawaban pasti hingga kini, apakah humanisme Islam memiliki tempat yang istimewa dalam perkembangan sejarah kaum Muslim pada abad XXI.

Memang, Islam hadir sebagai agama berpengaruh di dunia justru karena mengandung ajaran yang menjunjung tinggi humanisme. Islam memandang bermakna kehidupan umat manusia (Al Qur’an, 21/Al Anbiyaa’: 10). Itulah mengapa, sejak abad X Islam berhasil mendorong lahirnya kebudayaan dan peradaban yang kemudian memberikan penekanan pada pentingnya warisan ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani Kuno. Inilah yang kemudian ditengarai sebagai “Renaisans Islam”. Sekitar dua abad kemudiaan setelah itu, yakni pada abad XII, Renaisans Islam diduplikasi oleh Renaisans Barat (lihat Joel L Kraemer, Renaisans Islam: Kebangkitan Intelektual dan Budaya pada Abad Pertengahan. Terjemahan Asep Saefullah. [Bandung: Mizan, 2003], hlm. 24).

Apa yang kemudian bisa disimpulkan adalah ini. Jika Renaisans Islam pada abad X merupakan momentum waktu bagi terjadinya penyerapan terhadap warisan ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani Kuno, maka Renaisans abad XII di Barat merupakan sebuah kurun waktu bagi terjadinya penyerapan terhadap warisan Yunani Kuno dan warisan Islam dalam bidang ilmu pengetahuan dan filsafat.

Realitas Suram

Pertanyaannya kemudian, apakah pengalaman historis memasuki fase Renaisans abad X itu dapat dijadikan landasan pijak pada abad XXI kini agar Islam kembali mengedepankan arti penting humanisme?

Ternyata, jawaban terhadap pertanyaan tersebut tidaklah cukup mengembirakan. Abad XXI kini justru ditandai oleh munculnya apa yang disebut the problem with Islam (lihat Sam Harris, The End of Faith: Religion, Terror, and the Future of Reason [London: The Free Press, 2005], hlm. 108-152). Etika, epistemologi dan praksis kehidupan umat Islam kini tak sejalan dengan cita-cita humanisme Islam yang muncul pada abad X. Realitas yang terbentang dalam kehidupan kaum Muslim pada abad XXI kini justru mengingkari keagungan Islam sendiri sebagai agama yang mampu menyuntikkan spirit untuk menjunjung tinggi ilmu pengetahuan (Al Qur’an, 58/Al Mujaadilah:11).

Umat Islam malah lekat dengan gambaran radikalisme, terorisme dan keterbelakangan dalam bidang sosial maupun ekonomi. Umat Islam yang besar secara kuantitas bukanlah kekuatan yang berdiri di garda depan perkembangan dahsyat ilmu pengetahuan dan filsafat. Umat Islam benar-benar laksana buih di lautan yang dihempaskan ombak ke pantai. Para cendekiawan Muslim yang sadar akan kenyataan ini lantas berhadapan dengan pertanyaan besar: Apakah abad XXI kini merupakan episode keterjatuhan umat Islam hingga pada titik nadir yang sangat dalam?

Realitas suram dalam kehidupan umat Islam pada abad XXI dapat disimak pada berbagai kontras yang terjadi antara dulu dan kini. Ketika para ilmuwan Muslim pada abad pertengahan berhasil menemukan aljabar, mengembangkan ilmu pengetahuan eksperimental serta menerjamahkan karya-karya Plato dan Aristoteles dalam bidang filsafat, humanisme Islam abad X sesungguhnya memiliki bentuk secara lebih kongkret dibandingkan dengan humanisme sekuler yang berkembang kemudian di Eropa sejak sekitar abad XII. Mengingat tak pernah ada jejak anti-ilmu pengetahuan yang tertoreh ke dalam Al Qur’an, maka warisan paling berharga dari Renaisans Islam adalah the great kingdom of reason.

Itulah mengapa, secara substansial, kaum Muslim tak pernah berada dalam satu titik pertentangan antara rasio dan dan wahyu (reason and revelation).
Sebagaimana tampak pada pengaruhnya di Eropa Barat melalui jalan penyebaran Islam di Spanyol, keberagamaan kaum Muslim benar-benar melahirkan kebudayaan dan peradaban. Sementara, kebudayaan dan peradaban itu memberi tempat secara terhormat kepada humanisme. Sayangnya, kenyataan itu tak cukup diapresiasi pada abad XXI kini. Umat Islam telah mencerai-beraikan keyakinan keagamaan mereka dengan humanisme. Tak mengherankan jika muncul pola-pola keberagamaan yang garang, tetapi kemudian dibanggakan sebagai suatu bentuk keber-Islam-an yang gagah perkasa.

Pada berbagai negara bangsa dengan umat Islam sebagai yang terbesar secara demografis, perbenturan wahyu dan rasio benar-benar mengemuka sebagai persoalan. Tragisnya lagi, persoalan tersebut mengejawantah ke dalam dunia politik. Praktik keberagamaan Islam dalam konteks ini benar-benar kehilangan watak humanistiknya. Atas nama Islam, sekelompok orang dengan mudahnya mengembangkan radikalisme dan terseret ke dalam aksi-aksi teror. Bukan saja umat Islam semakin tampak gamblang kejumudannya, lebih dari itu ekspresi keber-Islam-an kaum Muslim telah sedemikian rupa mengingkari arti penting penghargaan terhadap humanisme.

Islam di Indonesia

Di Indonesia, umat Islam mengambil pilihan-pilihan politik tanpa disertai oleh kesadaran yang utuh terhadap tantangan humanisme abad XXI. Berapa banyak partai Islam yang lahir selama kurun waktu pasca-Orde Baru, ternyata tidaklah memiliki kejelasan koherensi dengan tantangan untuk kembali mengutuhkan humanisme Islam yang begitu agung sebagaimana tampak pada perkembangan selama abad X. Partai-partai Islam justru hadir hanya untuk mempertegas kecenderungan politisasi agama. Dengan demikian berarti, Islam hanya dijadikan basis legitimasi untuk meraih kekuasaan politik. Maka, bukan hal yang aneh jika kehadiran partai-partai Islam selama kurun waktu pasca-Orde Baru tak berbanding lurus dengan Renaisans Islam. Bahkan, Renaisans Islam tak tercakup ke dalam agenda partai politik Islam.

Dalam contoh soal lahirnya qanon atau peraturan daerah di Aceh berisikan hukum jinayat, sekali lagi sebuah persoalan dalam kaitannya dengan humanisme Islam muncul ke permukaan. Salah satu bentuk sanksi yang disahkan dalam hukum jinayat itu adalah hukuman rajam hingga meninggal dunia bagi pelaku zina yang terbukti serta pelakunya sudah memiliki pasangan resmi atau telah menikah. Partai-partai Islam yang mendukung qanon ini sesungguhnya tak cukup memiliki argumentasi untuk menjelaskan bahwa pelaksanaan hukum jinayat koherens dengan humanisme Islam pada abad XXI. Seorang politikus dari sebuah partai Islam hanya berbicara tentang tak adanya alasan untuk menunda pengesahan dan penerapan hukum jinayat dan hukum acara jinayat di Aceh. Namun apa landasan pelaksanaan hukum jinayat sejalan dengan realitas sosiologis masyarakat Aceh, ternyata tak pernah jelas filosofinya.

Dalam humanisme Islam, manusia didewasakan untuk mencapai kesadaran eksistensial melalui pedagogi yang bersifat dialogis. Humanisme Islam meniscayakan tak adanya distorsi antara dimensi sakral dan profan, baik pada realitas hidup personal yang kreatif maupun dalam orde kemasyarakatan yang dinamis. Artikulasi peran sosiologis seseorang di tengah kancah kehidupan publik dipersyaratkan oleh tak adanya benturan antara dimensi sakral dan profan (Al Qur’an, 91/Asy-Syams: 9). Pedagogi dalam konteks humanisme Islam melahirkan perilaku sakral dalam ruang profan. Inilah hakikat rahmatan lil ‘alamin dalam maknanya yang hakiki. Maka, masyarakat zero perzinaan bukanlah resultante dari berlakunya hukum jinayat, tetapi lebih karena berlangsungnya pedagogi humanisme Islam.

Masyarakat zero perzinahan, dengan demikian, dikonstruksi melalui: (1) ketepatan materi dan proses pengajaran dalam dunia pendidikan, (2) terwujudnya keadilan sosial dan ekonomi, serta (3) terselenggaranya kesetaraan gender dalam relasi maskulinitas-feminitas. Ini berarti, dibutuhkan cara hidup berbangsa dan bernegara berlandaskan pada kebenaran. Tentu saja, pembicaraan tentang perzinahan dalam konteks ini hanyalah sebuah contoh soal yang mengilustrasikan adanya jalan pragmatis partai-partai politik Islam. Mereka lebih memilih upaya-upaya heroik melalui jalan legal-formal ketimbang mengambil opsi pedagogis ke arah terwujudnya humanisme Islam.

Jelas pada akhirnya, bahwa pada abad XXI Islam di Indonesia belum merupakan sesuatu yang menarik. Seperti di belahan dunia Muslim yang lain, Islam di Indonesia masih harus bercermin untuk memperbaiki diri. Dan apa boleh buat, cermin itu adalah Renaisans Islam yang pernah ada dalam sejarah.

Jakarta, 17 September 2009

Rabu, 16 September 2009

Muhammadiyah dan Politik

Oleh Anwari WMK

Sejak era pasca-Orde Baru, hubungan Muhammadiyah dan politik mengalami pergeseran perspektif. Pada satu sisi, pasca-Orde Baru merupakan sebuah kurun waktu yang memberi ruang secara sangat luas bagi berlangsungnya liberalisasi politik. Kenyataan ini kontras dengan perkembangan selama Orde Baru yang menggiring perpolitikan nasional ke dalam situasi monolitik. Namun pada lain sisi, perpolitikan Indonesia pada era pasca-Orde Baru bercorak multipartai. Realitas baru ini menimbulkan akibat yang tak sederhana bagi organisasi keagamaan semacam Muhammadiyah. Kader dan tokoh Muhammadiyah ikut aktif dalam aneka partai politik, bahkan terlibat ke dalam proses pendirian partai-partai politik. Dari rahim organisasi keagamaan semacam Muhammadiyah lahir partai-partai politik.

Muhammadiyah lalu ikut terseret ke dalam metamorfosis politik bangsa ini. Pada era Orde Baru perpolitikan Muhammadiyah hanya fokus pada upaya menangkal berbagai mudarat yang dicetuskan oleh kekuasaan rezim otoriter. Pada era pasca-Orde Baru Muhammadiyah diperhadapkan dengan kepentingan kader dan anggota yang terobsesi merebut sumber-sumber kekuasaan melalui berbagai macam partai politik. Itulah mengapa, perpolitikan Muhammadiyah diwarnai oleh pergeseran perspektif sejak era pasca-Orde Baru.

Perpolitikan Muhammadiyah

Kini, pembacaan terhadap perpolitikan Muhammadiyah menjadi menarik karena dua hal. Pertama, jajaran Pimpinan Pusat Muhammadiyah terus berupaya meyakinkan publik, bahwa Muhammadiyah bukanlah organisasi politik par excellence. Muhammadiyah tak terlibat dan takkan terseret ke dalam kegiatan politik praktis. Muhammadiyah tetap perpijak pada kesejatian dirinya sebagai penjaga moral bagi bangsa ini. Amal usaha Muhammadiyah dalam bidang sosial, pendidikan dan kesehatan di seantero Nusantara harus tetap dimengerti ke dalam kaitan konteks dengan peran sebagai penjaga moral bagi bangsa ini. Peran kebangsaan Muhammadiyah semacam inilah yang dibahasakan M. Amien Rais selama satu dekade terakhir Orde Baru sebagai high politics.

Dengan demikian, aspek-aspek politik yang disentuh Muhammadiyah berada dalam orbit pencapaian kemaslahatan kolektif bangsa ini. Pernyataan para tokoh di jajaran Pimpinan Pusat Muhammadiyah merupakan penegasan secara repetitif akan adanya sebuah opsi moralitas yang memosisikan Muhammadiyah bukan sebagai pemain pada kancah politik nasional.

Kedua, tak sedikit dari kader dan tokoh Muhammadiyah berkontribusi pada pendirian Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Bulan Bintang (PBB) dan Partai Matahari Bangsa (PMB). Fakta ini merupakan indikasi, betapa keterlibatan secara aktif warga Muhammadiyah ke dalam kancah politik praktis—melalui pendirian partai-partai politik baru—bersifat heterogen. Sekali pun Muhammadiyah meng-endorse berdirinya PAN, tak dapat dibendung jika kader-kader Muhammadiyah yang lain ikut membidani lahirnya PBB dan PMB.

Tokoh, kader dan warga Muhammadiyah, dengan demikian, tak mengunakan saluran aspirasi politik yang bersifat monolitik. Bahkan, sebelum berdirinya partai-partai tersebut, selama era Orde Baru cukup banyak kader Muhammadiyah yang aktif di Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan di Golongan Karya (Golkar). Manfaat yang dapat dipetik dari kenyataan ini ialah persebaran aspirasi warga Muhammadiyah melalui berbagai macam partai politik. Tetapi kelemahannya, soliditas Muhammadiyah terancam oleh proses disintegrasi oleh penonjolan kepentingan tokoh-tokoh Muhammadiyah yang saling berkompetisi satu sama lain memperebutkan sumber-sumber kekuasaan politik.

Pasca-Pemilu 2009

Perkembangan selama Pemilu 2009 mempertontonkan adanya rivalitas sengit PMB versus PAN. Demi memperebutkan suara warga Muhammadiyah, rivalitas ini sangat terasakan vibrasinya di berbagai kantong konstituen politik Muhammadiyah. Bahkan, organisasi Muhammadiyah terancam dilanda disintegrasi oleh timbulnya rivalitas PMB versus PAN. Masalahnya, PMB tak mendapatkan suara signifikan dalam Pemilu 2009. PMB gagal mendudukkan wakilnya di parlemen. Kenyataan ini mencetuskan sebuah implikasi. Bahwa untuk selanjutnya, hubungan Muhammadiyah dan perpolitikan nasional bersinggungan dengan keberadaan PAN. Benar bahwa para kader dan warga Muhammadiyah memiliki pilihan bebas mendukung partai politik selain PAN yang memiliki kursi di parlemen. Tetapi relasi kuasa eksekutif negeri ini hingga 2014 hanya memungkinkan masuknya tokoh-tokoh Muhammadiyah melalui PAN.

Sebagai dua domain berlainan, relasi antara Muhammadiyah dan perpolitikan nasional membutuhkan PAN sebagai jembatan. Diakui atau tidak, inilah realitas yang tak terelakkan selama kurun waktu 2009-2014. Aspirasi warga Muhammadiyah dalam bidang politik tak bisa mengelak dari keberadaan PAN. Pengingkaran terhadap kenyataan ini justru mengancam efektivitas artikulasi kepentingan warga Muhammadiyah dalam bidang politik. Tetapi persoalan lain yang tersembul ke permukaan terkait dengan tingkat akomodasi PAN terhadap aspirasi politik Muhammadiyah. Hingga tahun 2014 sesungguhnya tak ada kepastian, apakah PAN mengemban kesejatian politik untuk sepenuhnya berfungsi sebagai saluran aspirasi Muhammadiyah.

Logika politik yang berkembang dewasa ini menegaskan, Muhammadiyah dan PAN bertekad memperkuat dukungan kepada pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono hingga tahun 2014. Tak tanggung-tanggung, tekad politik ini dikemukakan Ketua Majelis Pertimbangan Pusat PAN dan tokoh penting Muhammadiyah, Amien Rais, dalam perhelatan buka puasa bersama antara keluarga besar Muhammadiyah dan Presiden Yudhoyono di Jakarta, pada 14 September 2009. Sekilas pintas, logika politik ini menempatkan Muhammadiyah dalam posisi paralel dengan PAN untuk mendukung rezim kekuasaan 2009-2014 di bawah kepemimpinan Presiden Yudhoyono. Hanya saja, diktum Muhammadiyah yang tak berpolitik praktis justru menggulirkan adanya logika politik yang lain. Logika politik ini justru memosisikan PAN berdiri di depan Muhammadiyah saat harus membangun relasi dengan rezim kekuasaan Yudhoyono. Apa boleh buat, Muhammadiyah menjadi follower yang bergerak di belakang PAN untuk dapat menjalin relasi dengan rezim kekuasaan.

Melalui pernyataannya yang lugas dalam acara buka puasa bersama itu, Amien Rais berbicara tentang arti penting memperkuat dukungan Muhammadiyah pada pemerintahan selama lima tahun mendatang. Muhammadiyah, kata Amien Rais, berkepentingan untuk turut serta menyukseskan kepemimpinan nasional mendatang, sebagai perwujudan dari komitmen berbagi tanggung jawab atas masa depan bangsa. ”Kita mempererat dukungan kepada Presiden sebagai kepala pemerintahan,” ucap Amien Rais. ”Saya tidak menggarisbawahi pentingnya berbagi kekuasaan, tetapi berbagi tanggung jawab. Ini lebih penting bagi Muhammadiyah,” kata Amien Rais lagi.

Pertanyaan krusialnya kemudian, apakah seluruh eksponen Pimpinan Pusat Muhammadiyah legowo menerima realitas politik ke depan berdasarkan skenario Amien Rais itu? Jawabnya, “tidak”. Itu tercermin pada ketidakhadiran Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Din Syamsuddin dalam perhelatan buka puasa bersama antara keluarga besar Muhammadiyah dan Presiden Yudhoyono. Hubungan Muhammadiyah dan perpolitikan nasional mendatang menurut versi Amien Rais takkan sepenuhnya seiring dan sejalan dengan apa yang dikehendaki Din Syamsuddin. Muhammadiyah mungkin takkan pernah bisa mengelakkan dirinya untuk membangun relasi dengan kuasa politik selama lima tahun ke depan. Tetapi relasi dengan versi siapa, itulah masalahnya.

Apa yang kemudian menarik digarisbawahi dengan demikian adalah pentingnya untuk kembali memikirkan keniscayaan bagi Muhammadiyah melahirkan sebuah manifesto politik. Seiring dengan perguliran demokrasi di negeri ini selama kurang lebih satu dasawarsa berjalan, Muhammadiyah sejatinya memiliki haluan baru berpolitik. Apalagi, perguliran demokrasi selama kurang lebih satu dasawarsa itu tak memiliki kejelasan koherensi dengan tujuan-tujuan bernegara sebagaimana termaktub ke dalam Pembukaan UUD 1945. Manifesto poltik merupakan paradigma politik bagi Muhammadiyah dalam menjalin relasi dengan kuasa rezim. Sehingga, jalinan relasi kuasa tak lagi berlandaskan perspektif orang per orang yang cenderung subyektif.

Jakarta, 16 September 2009

Jalan Buntu Pemberantasan Korupsi

Oleh Anwari WMK

Pelan tapi pasti, akhirnya tersingkapkan ke permukaan mengapa begitu banyak elemen negara yang menghendaki lumpuhnya institusi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Tak tanggung-tanggung, elemen negara yang begitu ambisius meluluh lantakkan keberadaan KPK adalah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Kejaksaan Agung dan Kepolisian Republik Indonesia (Polri). Dengan demikian, KPK sesungguhnya tengah terkepung untuk kemudian dijerembabkan ke dalam jurang kehancuran yang dalam. Untuk beberapa waktu ke depan bangsa ini benar-benar diperhadapkan dengan tantangan besar kehancuran KPK. Dan tatkala KPK sudah tamat riwayatnya, maka Indonesia sebagai sebuah bangsa benar-benar terpilin ke dalam ideologi dan praksis korupsi yang tiada taranya. Benar belaka tesis Bung Hatta, korupsi dalam realitas Indonesia bermetamorfosis menjadi kebudayaan.

Dengan cara dan upayanya masing-masing, DPR, Kejaksaan Agung dan Polri mengondisikan terjadinya jalan buntu pemberantasan korupsi. Mengingat KPK merupakan ikon pemberantasan korupsi di Indonesia, maka langkah yang dipandang “tepat” adalah menghancurkan eksistensi KPK. Kewenangan KPK lalu diupayakan untuk diamputasi. Sehingga, KPK hanya melakukan penyidikan dan tidak melakukan penuntutan. KPK sungguh-sungguh diposisikan sebagai obyek di tengah tarian kematian yang pelakon-pelakonnya mencakup DPR, Kejaksaan Agung dan Polri.

Logika Negativitas

DPR merupakan elemen negara yang begitu artikulatif mengedepankan logika negativitas terhadap keberadaan KPK. Di dalam kelembagaan DPR muncul suara-suara yang pada dasarnya menyesalkan terlampau luas dan besarnya kewenangan KPK dalam proses eradikasi korupsi di Indonesia. Dari sejak penyelidikan, penyidikan hingga penuntutan, KPK benar-benar tampil sebagai lembaga super body di Indonesia. Juga karena posisinya yang super body itulah KPK dengan mudah menjadikan DPR sebagai sasaran tembak pemberantasan korupsi. Bukan hal aneh jika kemudian sejumlah anggota DPR dijebloskan ke penjara oleh KPK atas tindak pidana korupsi.

Logika negativitas terhadap KPK di lingkungan DPR menegaskan bahwa kehadiran KPK hanya mencetuskan timbulnya dualisme dalam penuntutan kasus korupsi. Menurut logika ini, seharusnya hanya ada satu lembaga yang berwenang menuntut kasus-kasus hukum, termasuk penuntutan korupsi. Karena itu, merupakan kecelakaan sejarah tatkala KPK diberi wewenang untuk melakukan penuntutan. Sejatinya, penuntutan hanya berada di tangan Kejaksaan, persis sebagaimana diimperatifkan ke dalam Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan. Apalagi, jelas dinyatakan dalam undang-undang tersebut bahwa jaksa merupakan satu kesatuan. Sehingga dengan demikian, jaksa yang berada di KPK tak terpisahkan dari pengawasan dan kewenangan penuntutan Kejaksaan Agung.

Dengan menggugat dualisme penuntutan itu, maka, dengan sendirinya, mencuat pula logika negativitas terhadap kewenangan KPK melakukan penyadapan. Dalam konteks negativitas DPR itu, kita menyaksikan betapa “penuntutan” dan “penyadapan” merupakan dua kata kunci yang menegaskan posisi KPK sebagai lembaga super body dalam proses eradikasi korupsi di Indonesia. Rekayasa politik yang bergulir dari kelembagaan DPR kini adalah mencerabut dua kewenangan tersebut melalui Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi.

Korupsi, Lanjutkan!

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada 19 Desember 2006 mengharuskan adanya undang-undang tentang Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi. Putusan MK ini mendukung upaya-upaya besar KPK memberantas anasir korupsi dalam tubuh bangsa Indonesia. Putusan MK, dengan sendirinya, merupakan upaya saksama untuk memperkuat kewenangan KPK secara total, termasuk dalam hal penuntutan dan penyadapan. Tetapi oleh DPR, putusan MK itu dipelintir—melalui proses legislasi—justru untuk mengebiri kewenangan KPK dalam hal melakukan penuntutan dan penyadapan. DPR telah mempermainkan hak legislasi yang digenggamnya justru untuk mengerdilkan kelembagaan KPK. Tanpa bisa dielakkan, di DPR tengah berlangsung sebuah rekayasa politik ke arah berlanjutnya korupsi. DPR seakan berada dalam satu aksentuasi yang teramat kuat untuk mengatakan “korupsi, lanjutkan!”.

Diakui atau tidak, DPR kini merupakan faktor krusial bagi masa depan pemberantasan korupsi di Indonesia. Logika instrumental yang berkembang dalam lingkungan DPR justru membawa proses pemberantasan korupsi ke dalam sebuah jalan buntu. Dualisme penuntutan yang dipersoalkan hanyalah sebuah pintu masuk menuju jalan buntu pemberantasan korupsi. Kian luasnya penentangan masyarakat terhadap RUU Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi merupakan respons secara lugas terhadap kehendak besar DPR yang tak terbendung untuk menciptakan jalan buntu pemberantasan korupsi.

Apa yang dapat dimengerti dari rekayasa DPR menciptakan jalan buntu pemberantasan korupsi terkait dengan watak politik Indonesia yang sejauh ini memang korup. Usaha-usaha meraih kekuasaan politik di Indonesia merupakan usaha yang bertali-temali dengan sogok, suap dan money politics. Secara demikian, domain kekuasaan politik di Indonesia merupakan ladang bagi tumbuh suburnya korupsi. Sejalan dengan terjadinya pergeseran pendulum kekuasaan di mana parlemen berada dalam posisi yang sangat kuat berhadadapan dengan pemerintah, maka muncul dispersi atau penyebaran perilaku korup. Baik pengawasan badan legislatif terhadap badan eksekutif, penyusunan anggaran negara maupun berbagai proses dalam kaitannya dengan program legislasi nasional (Prolegnas) memungkinkan DPR untuk berkembang menjadi ladang subur tumbuhnya korupsi.

Sejak pasca-Pemilu 1999, DPR menjadi magnet baru ke arah bergeloranya tindakan korupsi. Setiap elemen pemerintahan yang berhubungan dengan DPR harus juga dengan saksama melakukan sharing korupsi bersama DPR. Realitas inilah yang mampu menjelaskan, mengapa DPR yang tampak galak di atas permukaan tak lebih hanyalah sandiwara untuk mencapai tujuan yang lebih besar: menikmati kue korupsi secara kolektif dengan aktor-aktor penggerak roda pemerintahan. Inilah korupsi berjamaah dengan dampaknya yang tak terperikan pada luluh lantaknya daya saing bangsa pada berbagai aspek kehidupan.

Perilaku korup DPR yang ugal-ugalan itu kemudian terhalang oleh pemberantasan korupsi di bawah orkestrasi KPK. DPR yang turut serta membidani lahirnya KPK melalui Prolegnas 2002, pada akhirnya merasa sedang memelihara anak macan. Setelah KPK benar-benar memiliki taring untuk melakukan penyidikan, penyadapan, penangkapan dan penuntutan kasus-kasus korupsi, maka serta-merta anggota DPR menjadi sasaran bidik KPK. Ambisi DPR untuk menggergaji kewenangan KPK kini merupakan tamparan balik terhadap “anak macan” yang telah “menerkam” kaum koruptor itu.

Dualisme penuntutan yang dipersoalkan DPR sesungguhnya tak memiliki kesahihan argumentasi. Dalam sistem hukum nasional, dualisme penuntutan bukanlah hal yang salah. Itulah mengapa, dualisme juga mewarnai proses-proses penyidikan, yakni melibatkan Polri dan Kejaksaan. Sehingga, Polri dan Kejaksaan sama-sama mendapatkan keabsahan sebagai pihak yang berwenang melakukan penyidikan. Dualisme yang haram dalam sistem hukum nasional bertali-temali dengan putusan pengadilan. Artinya, tak boleh ada putusan pengadilan yang bersifat dualistik. Sementara dalam penyidikan dan penuntutan sesungguhnya tak dikenal dualisme.

Logika instrumental yang berkembang dalam lingkungan DPR dengan memberi titik tekan pada “dualisme penuntutan”, jelas hanyalah argumen yang bercorak parsial partikular. Hal mendasar yang hendak dicapai melalui argumen tersebut adalah menciptakan jalan buntu bagi pemberntasan korupsi. DPR kini berada dalam situasi time of no return untuk menisbikan secara total kelembagaan KPK. Maka, sesuatu yang kemudian mendesak dilakukan terkait dengan dua hal.

Pertama, memperkuat barisan civil society untuk melakukan penentangan terhadap DPR. Kedua, mendorong presiden agar mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) demi menyelamatkan KPK. Jika dua hal ini juga gagal diwujudkan, maka “korupsi, lanjutkan!”.

Jakarta, 14 September 2009