Rabu, 21 Oktober 2009

Absurditas Politik di Cikeas

Oleh Anwari WMK

Jika peristiwa politik di Cikeas pada 17-19 Oktober 2009 kembali disimak 50 tahun lagi dari sejak kini, hal fundamental apa yang dapat ditangkap? Katakanlah pada 2059 seorang kandidat doktor ilmu politik tengah menulis disertasi tentang pembentukan kabinet era demokrasi pasca-Orde Baru. Apa yang bakal dia tulis tatkala sampai pada pembahasan peristiwa politik di Cikeas pada tanggal 17 hingga 19 Oktober 2009? Mungkinkah bakal lahir kesimpulan, bahwa peristiwa Cikeas sungguh-sungguh merupakan suatu kecerdasan pada kancah perpolitikan nasional dalam konteks pembentukan formasi kabinet pemerintahan? Ataukah, peristiwa Cikeas malah disimpulkan sebagai absurditas khas perpolitikan Indonesia yang menghamba pada politik pencitraan, terutama setelah berlalunya kuasa otoriter Orde Baru?

Tentu, kini, pertanyaan-pertanyaan ini merupakan pengandaian. Tetapi justru, dengan pertanyaan-pertanyaan sengak inilah kita mendeteksi dari sejak sekarang, seberapa signifikan sebenarnya peristiwa politik yang berlangsung di Cikeas.

Sebagaimana diketahui, selama tiga hari menjelang pelantikan presiden dan wakil presiden pada 20 Oktober 2009, Presiden (terpilih) Susilo Bambang Yudhoyono bersama Wakil Presiden (terpilih) Boediono memanggil kandidat menteri Kabinet Indonesia Bersatu jilid dua, untuk masa bakti 2009-2014. Tak tanggung-tanggung, silih berganti para calon menteri bertandang menuju kediaman Susilo Bambang Yudhoyono, di Puri Indah Cikeas, Gunung Putri, Bogor, Jawa Barat. Wartawan media cetak dan elektronik pun tumpah ruah di Cikeas. Tanpa bisa dibendung, dramaturgi politik lantas tercipta dan menerobos masuk ruang publik (public sphere) melalui breaking news media-media elektronik. Tak kalah serunya, media cetak nasional pun memberitakannya sebagai headline. Tetapi sensibilitas yang bisa dirasakan dari sejak saat itu juga ialah tidak menariknya peristiwa politik Cikeas karena dua alasan.

Kabanggaan Menjadi Menteri

Pertama, peristiwa politik Cikeas hanyalah mempertontonkan kenyataan yang tak perlu, yaitu kebanggaan menggenggam jabatan menteri. Uraian berikut merupakan penjelasan betapa political event di Cikeas itu memang merupakan sesuatu yang absurd.

Pada satu pihak, media massa berbicara tentang peristiwa Cikeas sebagai ajang bagi presiden terpilih dan wakil presiden terpilih menguji 34 calon menteri. Para calon menteri juga diminta menandatangani “Kontrak Kinerja” dan “Pakta Integritas”. Kotrak Kinerja mencakup: (1) Kesanggupan bekerja dan dievaluasi terus-menerus untuk diteruskan atau diberhentikan sebagai menteri, (2) Menyelesaikan target kerja 100 hari, (3) Menyelesaikan target kerja satu tahun, (4) Menyelesaikan target kerja lima tahun. Ada pun Pakta Integritas, mencakup: (1) Kesanggupan kerja dengan standar perilaku , (2) Melakukan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, (3) Melaksanakan tata kelola pemerintahan yang baik, (4) Siap diberhentikan jika tidak menjalankan standar perilaku.

Pada lain pihak, informasi yang kemudian dilansir media massa cetak edisi 18 Oktober 2009 menggambarkan situasi para calon menteri yang tengah diuji dengan narasi kalimat pemberitaan yang spesifik. Bahwa, ketika dilakukan pemanggilan terhadap masing-masing kandidat menteri, Presiden Yudhoyono mengawalinya dengan wawancara serta menguraikan tugas dan tanggung jawab para calon menteri sesuai dengan bidangnya. Setelah itu, sang presiden menanyakan kesanggupan para calon menteri untuk menjalankan tugas-tugasnya. Selanjutnya, para calon menteri diminta menandatangani Kontrak Kinerja dan memaraf Pakta Integritas di atas kertas bermeterai. Para kandidat menteri kemudian memberikan penjelasan kepada pers di halaman pendapa rumah Presiden Yudhoyono. Apa yang dapat dimengerti dari narasi pemberitaan ini?

Datang dan perginya calon menteri di Cikeas itu disudahi dengan senyum mengembang para kandidat menteri. Pembacaan secara semiotik terhadap semua ini membawa kita pada konklusi: masih menggumpal kebanggaan menjadi menteri dalam kabinet pemerintahan. Padahal, perkembangan politik sejak era pasca-Orde Baru telah sedemikian rupa mengikis sendi-sendi kekuasaan otoriter. Dari kenyataan ini lantas bergulir proses desakralisasi secara total kekuasaan politik yang menemukan ujungnya pada hilangnya makna jabatan menteri. Tak seperti di zaman Orde Baru, jabatan menteri telah kehilangan makna superlatifnya pada era reformasi. Era kepresidenen Abdurrahman Wahid malah ditengarai sebagai “era gonta-ganti menteri”. Itulah mengapa, opini publik diwarnai pencuatan aspirasi agar para menteri dalam kabinet terdiri dari kaum profesional dengan keahlian dan kompetensi yang dapat dibanggakan untuk penanganan suatu bidang.

Apa boleh buat, audisi calon menteri di Cikeas mempertontonkan keanehan dari apa yang dimengerti publik tentang seorang menteri. Dalam editorial bertajuk “Reality Show Seleksi Menteri”, Media Indonesia edisi 19 Oktober 2009 lalu menampilkan narasi seperti ini: “Banyaknya kandidat menteri itu menunjukkan betapa kekuasaan menjadi magnet yang menggoda. Kekuasaan diburu dengan berbagai cara oleh mereka yang belum mendapatkannya. Sebaliknya kekuasaan dipertahankan dengan berbagai cara pula oleh mereka yang telah mendekapnya.” Editorial Media Indonesia juga menyuguhkan narasi seperti ini: “Ritual seleksi calon menteri dibuat tahap demi tahap yang menegangkan. Para menteri yang masih menjabat harap-harap cemas dan aktivis partai dibikin deg-degan. Puncaknya ketika para kontestan dipanggil satu per satu menghadap Presiden.”

Inilah praksis politik yang sepenuhnya bernuansa psikologis. Inilah sebuah upaya yang dimaksudkan untuk menunjukkan kepada publik betapa masih pentingnya jabatan menteri. Sementara kontras dengan itu, publik sendiri sudah tak memandang penting jabatan menteri. Lebih tak penting lagi jika ternyata sang menteri miskin kontribusi terhadap upaya besar memajukan Indonesia sebagai sebuah bangsa. Secara kategoris, perspektif publik yang sedemikian kritis terhadap jabatan menteri itu mengemuka dalam serangkaian talk-news di berbagai stasiun radio di Jakarta.

Evolusi Panggung Politik

Kedua, peristiwa politik Cikeas hanyalah proses evolusi untuk menjadikan rumah kediaman Yudhoyono kini berfungsi menjadi episentrum terbentuknya elite pada puncak perpolitikan nasional. Ini jelas memiliki makna simbolik untuk jangka panjang. Ditilik berdasarkan perspektif antropologis, kediaman Yudhoyono di Cikeas kini diskenariokan sedemikian rupa menjadi sebuah lungguh bagi trah baru kekuasaan politik negeri ini, di luar cakupan trah Soekarno di sekitar kediaman Megawati Soekarnoputri di kawasan jalan Teuku Umar (Menteng, Jakarta Pusat), trah Soeharto di sekitar kawasan jalan Cendana (Menteng, Jakarta Pusat) atau pun trah Abdurrahman Wahid di sekitar Ciganjur (Jagakarsa, Jakarta Selatan).

Memang, setelah kurun waktu 2014, Yudhoyono tak mungkin lagi mencalonkan diri sebagai presiden. Sebab, Pasal 7 Undang-Undang Dasar 1945 mengandung klausul yang melarang siapapun menduduki jabatan Presiden RI lebih dari dua periode. Pasal tersebut tegas menyebutkan, “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.” Maka, mustahil Yudhoyono—seberapa pun tinggi popularitasnya—maju menjadi presiden untuk ketiga kalinya.

Sungguh pun demikian, salah satu putra Yudhoyono—Edhi Baskoro Yudhoyono—kini menampakkan tanda-tanda menjadi penguasa politik di masa depan. Edhi Baskoro kini anggota DPR dari Partai Demokrat. Bila Yudhoyono sekarang sukses menskenariokan kediamannya di Cikeas menjadi sebuah panggung politik pada level nasional, maka ia telah memberi jalan yang mudah bagi sang putra—atau sanak famili yang lain—untuk juga menjadi presiden di masa depan. Dengan imajinasi mampu memenangkan pertarungan seperti telah dimenangkan Yudhoyono, sang putra bisa dengan saksama menggunakan kediaman Yudhoyono kini agar sepenuhnya berfungsi sebagai lungguh untuk menyampaikan woro-woro politik di masa depan demi memuluskan pertarungan memperebutkan kepemimpinan nasional.

Itulah mengapa, audisi calon menteri di kediaman Yudhoyono di Cikeas, tak lebih dan tak kurang hanyalah absurditas yang berjalan mengikuti logika politik pencitraan. Audisi itu kosong dari pembaruan politik dalam maknanya yang fundamental. Jangan heran jika audisi itu bukanlah garansi demi menemukan figur-figur menteri yang bekerja untuk bangsa dan negara. Sang menteri malah bekerja untuk dirinya sendiri. Begitulah!

Jakarta, 20 Oktober 2009

Tidak ada komentar: