Kamis, 15 Oktober 2009

Negativitas Menjadi Oposisi

Oleh Anwari WMK

Menjadi oposisi merupakan obsesi yang salah, kehendak yang janggal dan cita-cita yang keliru. Begitulah perspektif yang berkecamuk dalam benak tokoh-tokoh politik Indonesia kontemporer. Karena itu pula, dalam percaturan kekuasaan, partai-partai politik diarahkan sedemikian rupa untuk tak memandang penting outstanding sebagai oposisi. Sebagian besar partai politik lalu tergiring masuk ke dalam bangunan koalisi di bawah orkestrasi Partai Demokrat. Bahkan, inilah koalisi super jumbo yang sepenuhnya diarahkan untuk memberikan basis dukungan politik terhadap pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, selama kurun waktu 2009-2014. Namun, tak adanya kehendak menjadi oposisi itulah yang kemudian mewarnai pemberitaan media massa. Nada penyesalan sungguh-sungguh mewarnai pemberitaan media massa.

Dalam editorialnya pada edisi 15 Oktober 2009 (hlm. 6) berjudul “Bangga Menjadi Oposisi”, harian Seputar Indonesia melihat perpolitikan Indonesia tengah berada di jalan sesat, lantaran menampik kehadiran oposisi. Editorial Seputar Indonesia lalu mengusung narasi kalimat seperti ini: “Kelompok oposisi yang berkewajiban mengkritik kebijakan penguasa agar tidak melenceng adalah bagian dari apa yang disebut checks and balances. Semua orang sepakat kekuasaan harus dikontrol dan diawasi terus-menerus, kalau tidak kekuasaan itu pasti korup. Kalau penguasanya korup, negara bangkrut dan rakyat sengsara. Kalau sudah demikian, yang salah bukan hanya penguasanya, tapi juga masyarakatnya: kenapa mereka tidak ada yang mau jadi oposisi?”

Panorama Oposisi

Dalam editorial tersebut, pembacaan secara kritis terhadap arti penting oposisi dikait-hubungkan dengan kemungkinan buruk yang mewarnai jagat kekuasaan politik pasca-Pemilu 2009. Tanpa oposisi, kekuasaan seorang presiden dibiarkan terpilin menjadi obesitas dalam hal menggelembungkan basis dukungan partai-partai politik. Sementara kontras dengan itu, kekuasaan menjadi kian bercorak patrimonial. Sebagai konsekuensinya, rakyat terus-menerus termarjinalkan dari totalitas kekuasaan politik. Semua ini tak lepas dari obsesi untuk menghadirkan stabilitas permanen pemerintahan yang kuat, selama lima tahun ke depan. Dengan koalisi besar berarti, dukungan parlemen terhadap pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menjadi sangat kuat. Sebagian besar partai politik mengukuhkan soliditas pemerintahan Yudhoyono. Apa boleh buat, tak ada persemaian subur ke arah tumbuhnya kekuatan oposisi.

Tentu saja, negativitas terhadap oposisi tak hanya mencuat di jagat politik setelah tuntasnya Pemilu 2009. Negativitas terhadap kehadiran partai oposisi bukanlah gejala baru. Tatkala perpolitikan nasional masuk ke dalam fase reformasi sejak akhir dekade 1990-an, ada kebutuhan terhadap hadirnya partai oposisi. Melalui keberadaan partai oposisi, pertarungan politik diwarnai oleh munculnya gagasan-gagasan brilian yang bersifat alternatif dan sekaligus bermakna terobosan ke arah terwujudnya kesejahteraan rakyat. Intelektual sekaliber Nurcholish Madjid pun lalu berbicara secara repetitif agar bangsa ini belajar membentuk partai oposisi. Partai oposisi, kata Nurcholish Madjid, memiliki kemuliaan yang setara dengan partai penguasa. Bahkan Nurcholish Madjid menganalogikan tak adanya oposisi dalam praktik demokrasi dengan “ban mobil yang kempes”. Tanpa oposisi, perjalanan demokrasi niscaya terseok-seok.

Sayangnya, himbauan profetik Nurcholish Madjid itu berlalu bersama angin. Terhitung sejak Pemilu 1999, belum jua hadir partai oposisi dalam maknanya yang utuh. Memang, pada pasca-Pemilu 2004, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) mengibarkan bendera oposisi dan mengklaim dirinya sebagai pelopor kehadiran partai oposisi di Indonesia. Pada tataran praksis, partai pimpinan Megawati Soekarnoputri ini mencitrakan dirinya sebagai partai oposisi dalam hubungannya dengan kabinet pemerintahan. Itulah mengapa, portofolio kementerian dalam Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) selama kurun waktu 2004-2009 tak melibatkan kader-kader PDI-P. Sungguh pun begitu, tak ada narasi besar yang sungguh-sungguh produktif dihasilkan partai ini dalam kedudukannya sebagai oposisi. Rasionalitas yang mendasari pilihan oposisi hanyalah rivalitas personal Megawati Soekarnoputri versus Susilo Bambang Yudhoyono. Oposisi PDI-P lalu merupakan kelanjutan logis dari pertarungan lama Megawati Soekarnoputri melawan Susilo Bambang Yudhoyono.

Sangat bisa dimengerti pada akhrinya, mengapa PDI-P yang mengklaim oposisi itu gagal menawarkan sistem perekonomian alternatif—yang secara diametral seharusnya berbeda dengan opsi sistem ekonomi rezim Yudhoyono. Neoliberalisme yang sedemikian rupa merangsak perekonomian nasional selama era rezim Yudhoyono, ternyata hanya direspons PDI-P sebatas menggelorakan ekonomi kerakyatan. Bagaimana model tata kelola ekonomi kerakyatan dalam perspektif PDI-P, ternyata tak pernah jelas hakikat maupun logikanya. Tanpa bisa dielakkan, selama kurun waktu 2004-2009 muncul panorama oposisi. Tetapi, inilah oposisi yang tak pernah jelas landasan filosofinya, dan lantaran itu pula tak pernah jelas cetak-biru sistem perekonomian yang ditawarkan.

Geneologi Negativitas

Perkembangan politik setelah berakhirnya Pemilu 2009 menyingkapkan kenyataan tragis. Bahwa sesungguhnya, di Indonesia, belum pernah ada partai oposisi dalam maknanya yang genuine. Pernyataan Ketua Dewan Pertimbangan Pusat PDI-P Taufik Kiemas justru menganulir berbagai klaim selama lima tahun sejak 2004 tentang kedudukan PDI-P sebagai partai oposisi. Dalam suatu kesempatan, Taufik Kiemas berbicara di hadapan pers bahwa sistem politik Indonesia tak mengenal oposisi. Pada kesempatan lain, Taufik Kiemas menyinggung tentang kemungkinan kader-kader PDI-P masuk ke dalam jajaran KIB jilid dua.

Dengan menyebut tak adanya oposisi dalam maknanya yang genuine, maka tugas pokok kita pada akhirnya menelusuri geneologi negativitas terhadap oposisi. Dan ternyata, negativitas itu timbul karena adanya tiga sebab. Pertama, ranah politik di Indonesia terus-menerus berada dalam satu sentakan untuk tak memungkinkan menerima kehadiran kekuatan oposisi. Dari dulu hingga kini, ranah politik di Indonesia diwarnai kesadaran palsu (false consciousness) di seputar nikmatnya duduk di atas singgasana kekuasaan eksekutif. Pengawasan badan legislatif pada berbagai tingkatan, misalnya, didasari oleh psiko-politik yang memandang dengan perasaan iri eksistensi kekuasaan eksekutif. Bangunan argumentasi yang bernuansa kritis di parlemen dilandaskan pada perasaan underdog kekuasaan legislatif berhadapan dengan kekuasaan eksekutif. Selama psiko-politik ini tak dapat dibongkar, maka selama itu pula tak ada prakondisi ke arah terbentuknya kekuatan oposisi.

Kedua, ranah personal aktor-aktor politik di Tanah Air steril dari pemahaman tentang kemuliaan partai oposisi. Ini karena, aktor-aktor politik telah sejak lama kehilangan spirit pengorbanan, terbelenggu mental menerabas, serta terjebak ke dalam rawa-rawa pragmatisme. Semua ini merupakan akibat dari kuatnya tendensi untuk mencari kenikmatan personal dalam politik. Bukan saja politik di Indonesia lalu bercorak libidal, lebih dari itu kaum politikus berada dalam perburuan abadi untuk mendapatkan sebanyak mungkin comfort zone di belantara kekuasaan. Kristalisasi atas semua ini adalah narsisme aktor-aktor politik yang tiada taranya di ruang publik. Maka, absurd jika kemudian mengharapkan adanya asketisisme dalam politik. Dari kemulian, politik telah bergeser jauh menjadi kebinatangan.

Ketiga, perpolitikan nasional tak memiliki kejelasan filosofi, baik pada tataran konsepsi maupun pada level aksi. Kenyataan ini merupakan akibat tak terperikan dari hilangnya sensibilitas terhadap dimensi makrokosmos kehidupan umat manusia. Bukan saja kemudian kaum politikus membangun kesadaran teologis yang compang-camping, tak kalah pentingnya juga mereka terpenjara ke dalam pandangan dunia partikularistik. Sebagai konsekuensinya, kaum politikus tak memiliki kapasitas yang lebih dari cukup untuk menyimak puspa ragam persoalan bangsa secara obyektif. Lebih tak mungkin lagi memahami problema kebangsaan secara holistik.

Jelas pada akhirnya, negativitas menjadi oposisi bertitik tolak dari sebab yang tak sederhana serta mencetuskan akibat yang rumit.

Jakarta, 15 Oktober 2009

Tidak ada komentar: