Jumat, 25 Desember 2009

Listrik dan Peradaban

Oleh Anwari WMK

Dalam beberapa tahun terakhir, muncul “drama” yang sama sekali tak menghibur di seputar pemadaman aliran listrik. Secara sporadis di beberapa muncul respons berupa serangkaian protes terhadap Perusahaan Listrik Negara (PLN). Publik di daerah menggugat, mengapa kritis listrik tak kunjung tuntas diselesaikan? Mengapa masalah listrik selama kurang lebih sepuluh tahun sejak bergulirnya era demokrasi justru kontras dengan ancangan rezim Orde Baru sebelumnya yang begitu sigap mengupayakan ketersediaan listrik? Apakah listrik lebih memadai ketersediannya justru pada era kekuasaan otoritarian ketimbang pada era kekuasaan demokratis?

Sesungguhnya, serangkaian gugatan ini sejalan dengan kerugian masyarakat dan dunia usaha akibat pemadaman listrik. Terlebih lagi tatkala peran listrik semakin terintegrasi menjadi input factor dalam proses produksi ekonomi di berbagai penjuru Nusantara, maka pemadaman benar-benar dirasakan sebagai persoalan. Pada akhirnya, krisis listrik bukan saja menghablur sebagai persoalan laten, tetapi sekaligus mencuat sebagai problema yang bersifat manifest. Upaya saksama mengakhiri pemadaman listrik dengan sendirinya menjadi kerangka solusi terhadap masalah energi di Indonesia. Dengan mempertimbangkan berbagai dinamika ekonomi dan politik yang berada dalam spektrum demokrasi dewasa ini, solusi masalah energi ini harus bersifat menyeluruh.

Solusi Semu

Tak dapat dielakkan, listrik merupakan inti dari ketersediaan utilitas publik dalam bidang energi. Bagi masyarakat lapis bawah, misalnya, sama sekali tidak ada kemutlakan untuk memiliki kendaraan bermotor, yang nota bene membutuhkan ketersediaan energi berupa bahan bakar minyak (BBM). Tetapi terhadap energi listrik, masyarakat bawah memiliki kebutuhan yang dapat didefinisikan dan dikategorisasi dengan sangat jelas. Sebagai sebuah satuan energi, listrik bukan saja strategis, tetapi juga populis. Menghentikan sama sekali pemadaman listrik jelas merupakan tugas kebangsaan yang mulia.

Tragisnya, argumentasi yang terekspresikan berkenaan dengan tak terelakkannya pemadaman listrik, secara keseluruhan merupakan argumentasi dengan substansi yang berat dan rumit. Terutama jika harus dicerna oleh publik luas dari kalangan bawah, terasa benar berat dan rumitnya argumentasi itu. Krisis listrik diilustrasikan bukan semata sebagai akibat persoalan pembangkit. Lebih dari itu, krisis listrik juga digambarkan bertautan erat dengan transmisi atau infrastruktur untuk bisa sampai menjangkau konsumen. Argumentasi inilah yang mewarnai pembicaraan tentang listrik dalam artikulasi pimpinan teras PLN, pemerintah maupun DPR. Tetapi di balik argumentasi ini muncul tiga agenda tersembunyi.

Pertama, argumentasi ini merupakan suatu bentuk tekanan dan desakan secara subtil terhadap masyarakat agar sepenuhnya memaklumi jika sewaktu-waktu terjadi serangkaian pemadaman listrik. Argumentasi ini merupakan soft power yang mendesakkan suatu kepentingan terselubung demi mengondisikan masyarakat agar diam menerima timbulnya krisis listrik. Di sini, listrik dimengerti secara miopik oleh PLN, pemerintah dan DPR sebagai problema instrumental. Sekalipun berperan fundamental dalam dinamika kebudayaan, listrik tidak ditransendensikan sebagai salah satu pilar penting tegaknya peradaban. Dengan sendirinya, strategi pengembangan kelistrikan tak memiliki kejelasan resonansi dengan apa yang pernah dikemukakan Sudjatmoko berkenaan dengan “pembangunan sebagai masalah kebudayaan”.

Kedua, argumentasi itu berjalin kelindan dengan ambisi financial engineering berdasarkan logika formal pembangunan pembangkit dan transmisi. Itulah mengapa, dalam beberapa waktu terakhir gemuruh pembicaraan tentang listrik bernuansa komersial-kapitalistik. Baik pembangunan pembangkit maupun transmisi, lebih dideterminasi oleh pengaturan strategi demi mendapatkan kredit sindikasi dalam jumlah besar. Sekadar catatan, sumber pendanaan untuk proyek pembangkit listrik 10.000 megawatt telah mencapai 100%. Nilai total keseluruhan pendanaan mencapai US$ 5,56 miliar ditambah Rp 23,2 triliun atau sekitar Rp 78 triliun hingga Rp 79 triliun. Sementara untuk transmisi, sindikasi Bank Mandiri dan BCA untuk 26 proyek di Jawa mencapai Rp 2,6 triliun, sindikasi BNI dan BRI untuk 20 proyek di luar Jawa sebesar Rp 1,9 triliun, serta BCA yang membiayai tiga proyek gas dan kabel bawah tanah di Jawa senilai Rp 327 miliar. Semua ini tak bisa sepenuhnya dilepaskan dari financial engineering bernuansa komersial-kapitalistik.

Ketiga, argumentasi itu memiliki kaitan erat dengan kepentingan memenangkan satu jenis energi sebagai input factor pembangkit listrik. Kita tahu, sejak lama muncul upaya mendesakkan geotermal agar efektif berfungsi sebagai sumber energi pada pembangkit tenaga listrik. Kini, terbitnya Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 32 Tahun 2009 tentang Harga Patokan Pembelian Tenaga Listrik oleh PT PLN dari Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi merupakan bukti adanya dukungan politik ke arah pengedepanan peran geotermal. Peraturan ini menetapkan harga listrik tertinggi dari pembangkit listrik panas bumi sebesar US$ 9,7 atau Rp 921,5 per kilowatt hour (kWh).

Hal yang kemudian penting digarisbawahi adalah ini: muncul suatu bentuk pertarungan untuk mengeruk keuntungan besar dari sebuah upaya yang di atas permukaan dicitrakan hendak menyelamatkan listrik dari krisis. Inilah solusi semu masalah energi. Di sini, para pihak yang terlibat pemecahan masalah terjebak ke dalam logika reduksionis perburuan rente. Lantaran itu pula, mereka kesulitan mengaitkan listrik dengan peradaban. Bahkan, dipandang absurd mengaitkan listrik dengan peradaban.

Pilar Peradaban

Tanpa disertai kejelasan posisi sebagai pilar peradaban, maka berbagai strategi yang dimaksudkan untuk mengatasi krisis listrik cenderung bergeser menjadi model penyelesaian yang bersifat parsial-partikular. Pembenahan pada level internal PLN pun takkan memberikan harapan berarti jika listrik sebagai pilar peradaban belum terkristalisasi membentuk paradigma berpikir. Begitu juga halnya dengan hadirnya generasi baru kepemimpinan di PLN, takkan serta-merta mengubah haluan pengelolaan listrik di Indonesia menjadi lebih baik. Semuanya bergantung dan ditentukan oleh terbentuknya kesadaran yang utuh tentang listrik sebagai pilar peradaban.

Sebagai pilar peradaban, peran fundamental listrik terkait erat dengan dua hal. Pertama, listrik merupakan basis tercetusnya kemajuan sosial dan ekonomi selama kurun waktu peradaban industrial, yang bergulir sejak abad XVIII. Tanpa kehadiran energi listrik, sulit dibayangkan peradaban industrial mencapai tingkat kecanggihannya sebagaimana kita saksikan dewasa ini. Kedua, listrik merupakan satu jenis energi yang secara komparatif berada dalam posisi lebih tinggi dibandingkan dengan energi fosil. Jika watak energi fosil polutif, listrik justru merupakan energi ramah lingkungan. Situasi yang muncul kini bahkan digambarkan sebagai the danger of peak oil, sehingga energi listrik berkedudukan lebih tinggi dibandingkan dengan energi fosil.

Pada derajat tertentu, pemahaman akan listrik sebagai pilar peradaban melahirkan implikasi yang tak sederhana terhadap kekuasaan politik. Para pemimpin nasional di negara mana pun kini, tak mungkin lagi berpijak pada pandangan lama tentang listrik semata sebagai “penerangan”. Listrik justru harus dimengerti sebagai tulang punggung terjadinya revolusi informasi. Pada keseluruhan perkembangan informasi itu, kecepatan proses transmisi data ikut ditentukan oleh ketersediaan listrik secara memadai. Itulah mengapa, kepemimpinan nasional harus memahami satu hal, bahwa blackout energi listrik menimbulkan dampak yang jauh lebih dramatis dibandingkan dengan ketiadaan energi fosil. Blackout energi listrik menimbulkan malapetaka bagi kelanjutan masyarakat kontemporer.

Apa yang kemudian dikenal sebagai catastrophic consequences dari blackout energi listrik ialah munculnya pause for a moment dalam gerak dinamik peradaban mutakhir. Peradaban tiba-tiba memasuki titik jedah yang serius akibat terputusnya jaringan listrik. Berbagai dimensi dalam kehidupan umat manusia tiba-tiba dilanda kemandegan dalam maknanya yang serius. Kehidupan yang semula berbijak pada aglomerasi kecanggihan teknologi, tiba-tiba berakhir dalam sebuah “terminal pemberhentian” akibat punahnya energi listrik. Dengan demikian berarti, blackout energi listrik mengubah segenap realitas—sosial, ekonomi dan budaya—untuk sepenuhnya sekadar menjadi fatamorgana.

Sayangnya, di Indonesia, listrik belum memasuki ranah pemaknaan baru sebagai pilar peradaban. Listrik dengan berbagai persoalan yang mengiringinya, masih dimengerti secara miopik sekadar sebagai realitas yang sepenuhnya teknis-instrumental. Para pihak yang terkait erat dengan tata kelola listrik belum juga membangun kesadaran utuh tetang listrik dalam kedudukannya sebagai pilar peradaban. Lebih tragis lagi, tata kelola listrik di Indonesia masih terdistorsi oleh perilaku korupsi.[]

Rabu, 23 Desember 2009

Untukmu Kaum Miskin

Oleh Anwari WMK

Biaya mahal pelayanan kesehatan di rumah sakit bukanlah cerita baru. Paling tidak sejak dekade 1980-an, komersialisasi pelayanan kesehatan telah sedemikian rupa muncul ke permukaan dan sekaligus dirasakan sebagai persoalan besar. Rumah sakit memang terus mempertahankan eksistensinya di tengah kancah kehidupan masyarakat. Rumah sakit terus berupaya menjadi bagian tak terpisahkan dari masyarakat. Tetapi keberadaannya di tengah masyarakat disertai oleh sikap yang keliru dan disertai oleh pendekatan yang salah. Rumah sakit cenderung untuk hanya memandang masyarakat sebagai obyek yang absah dieksploitasi. Hubungan rumah sakit dan masyarakat pun lalu berevolusi menjadi hubungan bercorak subyek-obyek. Rumah sakit memosisikan dirinya sebagai subyek dan masyarakat disudutkan semata sebagai obyek. Dalam situasi demikian, hanya kaum kaya yang dipandang layak mendapatkan pelayanan kesehatan.

Perkembangan setelah dekade 1980-an mempertontonkan timbulnya cerita-cerita pilu. Baik pada rumah sakit pemerintah maupun pada rumah sakit swasta muncul berbagai narasi penceritaan tentang kaum miskin yang gagal mendapatkan pelayanan kesehatan secara manusiawi. Kaum miskin ditolak berobat ke rumah sakit, berdasarkan alasan ketiadaan dan ketidaktercukupan biaya. Bukan saja tiba-tiba kaum miskin menjadi saksi terhadap ganasnya komersialisasi pelayanan rumah sakit. Lebih dari itu, kaum miskin diposisikan sebagai aktor sosial yang—langsung maupun tidak langsung—teraniaya oleh praksis pelayanan kesehatan. Di sini kita lantas menyaksikan secara terang benderang, betapa sesungguhnya rumah sakit merupakan institusi sosial yang amat sangat pongah. Sejak dekade 1980-an itu, biaya mahal berobat ke rumah sakit benar-benar mengkristal menjadi narasi besar (the grand narrative) dalam konteks penyelenggaraan pelayanan kesehatan.

Pada sekitar dekade 1990-an, muncul diskursus sosial yang secara keseluruhan menggugat keberadaan rumah sakit di Tanah Air. Diskursus sosial itu secara telak berbicara tentang sesuatu yang teramat janggal: “kaum miskin dilarang sakit”. Pokok soal dalam diskursus sosial ini adalah kemustahilan orang miskin mendapatkan pelayanan secara memadai dari sebuah rumah sakit. Sekalipun penyakit dan penderitan kaum miskin mutlak disembuhkan melalui sebuah rumah sakit, ternyata tak secara otomatis membuahkan aksioma agar rumah sakit sepenuhnya peduli terhadap kaum miskin. Dengan menghamba pada pola pembiayaan yang sepenuhnya komersialistik, rumah sakit di Indonesia malah cenderung menyingkirkan kaum miskin dari skema pelayanan kesehatan.

Tragisnya, “kaum miskin dilarang sakit” bukanlah satu-satunya persoalan yang membelit keberadaan rumah sakit sejak dekade 1980-an. Dalam menjalankan fungsinya, acapkali rumah sakit justru diperhadapkan dengan masalah malpraktik. Sejak dekade 1980-an itu, malpraktik bahkan tak habis-habisnya mewarnai pemberitaan media massa. Jika segala sesuatu yang terungkap melalui media massa merupakan puncak gunung es suatu permasalahan, maka dapat dikatakan bahwa dalam realitas sesungguhnya malpraktik berlangsung secara eksesif. Apa yang aneh di sini ialah malpraktik yang menihilkan makna profesionalisme. Semestinya, dengan komersialisasi, rumah sakit memiliki kapasitas bekerja profesional, sehingga tak perlu muncul masalah malpraktik. Ternyata, kaum kaya pun merupakan pihak yang tak luput dari ancaman malpraktik.

Dengan sendirinya, rumah sakit mereproduksi persoalan kembar. Terhadap mereka yang tak mampu membayar mahal, rumah sakit melakukan upaya-upaya sistematis menihilkan keberadaan kaum miskin. Terhadap mereka yang mampu membayar mahal, rumah sakit justru terbelenggu ke dalam spiral persoalan malpraktik. Ujung dari semua ini ialah runtuhnya kewibawaan dokter. Mengingat keberadaan rumah sakit tak pernah bisa dilepaskan dari peran dokter, maka memburuknya citra rumah sakit berimbas terhadap posisi sosial kalangan dokter.

Di tengah kancah kehidupan masyarakat masih banyak dokter yang menjunjung tinggi kebajikan. Observasi hingga ke kota-kota kecil di berbagai pelosok Nusantara menunjukkan, sesungguhnya masih ada dokter yang dicintai dan dihormati masyarakat. Tak sedikit dari para dokter itu yang personalitasnya melegenda sebagai tokoh yang lebih banyak memberi ketimbang menerima. Bukan saja lantaran sang dokter menerapkan tarif murah, tetapi juga memiliki empati terhadap kaum miskin. Masalahnya, keberadaan dokter semacam ini kian tertutupi oleh komersialisasi pelayanan kesehatan. Rumah sakit telah mencetuskan atmosfer yang melabelisasi para dokter sebagai elemen komersialisasi pelayanan kesehatan.

Dengan kompleksitas persoalan semacam itu, terobosan apa yang lalu penting dipertimbangkan? Mungkinkah ditemukan suatu cara dan strategi untuk mengakhiri problema “orang miskin dilarang sakit”? Sungguh, tak ada jawaban pasti terhadap pertanyaan tersebut. Problema sosial “kaum miskin dilarang sakit” bakal terus bergulir ke masa depan. Terlebih lagi tatkala sebuah rumah sakit didirikan untuk tujuan akumulasi kapital, absurd mengharapkan lahirnya suatu model pelayanan kesehatan murah yang dapat diakses kaum miskin.

Namun demikian, masih ada setetes harap kaum miskin memiliki kesempatan dilayani dalam praksis pelayanan kesehatan. Setetes harap dimaksud terkait dengan berdirinya Rumah Sakit Umum Pendidikan (RSUP) Universitas Airlangga (Unair), Surabaya. Sejalan dengan latar belakang pendiriannya yang menghabiskan dana APBN sebesar Rp 590 miliar, maka kaum miskin merupakan subyek yang bakal diakomodasi secara luas dalam sistem pelayanan RSUP Unair.

Harapan kita kemudian, semoga dalam perjalanannya ke depan RSUP Unair tak berubah menjadi rumah sakit yang bercorak komersialistik. Sehingga dengan demikian, kaum miskin benar-benar menemukan oase dalam hal pelayanan kesehatan.[]