Kamis, 31 Januari 2008

Jalinan Korupsi BI-DPR

Anwari WMK
Peneliti dan Penulis Buku di LP3ES, Jakarta

Seandainya anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang terlebih dahulu ditetapkan sebagai tersangka dalam skandal aliran dana Bank Indonesia (BI) ke DPR, bagaimana lalu opini publik (public opinion) meresponsnya? Pada 28 Januari 2008, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengumumkan, bahwa Gubernur BI Burhanuddin Abdullah, Direktur Hukum BI Oey Hoeng Tiong dan mantan Kepala Biro Gubernur BI Rusli Simanjuntak, ditetapkan sebagai tersangka dalam skandal aliran dana BI ke sejumlah anggota DPR. Dasar penetapan sebagai tersangka itu ialah tindakan mengeluarkan dana BI, yang menurut KPK melawan undang-undang. Cerita ini, sesungguhnya, bermula sejak munculnya berita yang menghebohkan di media massa pada sekitar November 2006. Bahwa, Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI)—milik BI—mengeluarkan dana secara bertahap untuk keperluan dua hal yang sangat pentingg, yaitu: (1) penyelesaian kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), dan (2) diseminasi perubahan undang-undang BI. Peristiwa itu berlangsung pada 2003 dengan total dana yang dikeluarkan mencapai Rp 31,5 miliar. Anasir DPR penerima aliran dana itu adalah Panitia Khusus di Komisi IX, pada masa bakti 1999-2004.

Sayangnya, ketika pada akhirnya KPK menyebut nama-nama tersangka sebatas tokoh-tokoh BI, mencuat opini suram di media massa. Bukan saja KPK tak dipersepsi sebagai “pahlawan kebajikan”, lebih dari itu KPK dipergunjingkan tengah melecehkan keadilan. Lain halnya jika penetapan tersangka mencakup pejabat-pejabat BI dan anggota-anggota DPR sekaligus, maka kemungkinan terbesarnya KPK dimengerti publik sebagai hero. Pada pelataran lain, KPK, agaknya, menangkap munculnya opini publik yang serba nyinyir itu. Maka, pada perguliran selanjutnya, KPK berkelit di ruang publik dengan sejumlah logika. Ketua KPK Antasari Azhar lalu berbicara tentang hulu dan hilir pencuatan skandal aliran dana BI ke DPR. Hulu timbulnya skandal itu ada di BI, sedangkan hilirnya di DPR. Strategi yang dicanangkan KPK lalu seperti ini: hulu dulu yang ditangani, baru kemudian hilirnya. Inilah sebuah logika yang sesungguhnya linear dan tak sepenuhnya bisa diterima oleh akal sehat.

Berdasarkan informasi yang dilansir Wakil Ketua Bidang Penindakan KPK, Chandra M. Hamzah, menjadi jelas duduk perkaranya. Bahwa status tersangka tokoh-tokoh BI merupakan konsekuensi logis dari ditingkatkannya proses penyelidikan ke tingkat penyidikan. Tetapi yang muskil dari pernyataan Chandra M. Hamzah bersangkut paut dengan kemungkinan adanya tersangka lain di luar BI. Ada tidaknya tersangka lain di luar BI, kata Chandra M. Hamzah, bergantung pada proses penyidikan yang akan dilakukan dalam waktu singkat (Republika, 29 Januari 2008, hlm. 12). Apa yang dapat disimpulkan dengan demikian, tokoh-tokoh BI memang diposisikan sebagai antagonis dari keseluruhan cerita dalam jalinan korupsi BI-DPR. Malah, pernyataan Chandra M. Hamzah itu mempertontonkan tendensi adanya skenario bahwa anggota parlemen yang terseret skandal ini sebisa mungkin menjadi protagonis yang untouchable, alias selamat dari sentuhan hukum.

Tak dapat dinafikan, tendensi ini pula yang dapat menjelaskan, mengapa surat-surat kabar nasional pada edisi Rabu, 30 Januari 2008, memperlihatkan isyarat yang jauh lebih kritis saat harus menyimak sepak terjang KPK. Headline di harian Kompas tampil dengan tulisan besar: “Gubernur BI Tak Perlu Mundur”. Headline di harian Seputar Indonesia tampil dengan kalimat: “Gubernur BI Merasa Tertekan”. Pada edisi sore, harian Seputar Indonesia mengusung headline, “KPK Harus Jelaskan Kasus BI”. Suara Pembaruan malah tampil dengan headline yang jauh lebih menggelegar: “Kasus Gubernur BI Bernuansa Politik”. Sekali pun tak mengangkatnya sebagai headline, di halaman depan Republika menurunkan berita bertajuk: “Kebijakan BI Bersifat Kolegial”. Pembacaan secara seksama terhadap seluruh headlines itu memperlihatkan timbulnya kekecewaan kalangan media massa. Ketika isu jalinan korupsi BI-DPR bergulir sejak November 2006, mestinya penyebutan secara definitif para tersangkanya pada kurun waktu lebih dari setahun kemudian mencakup dua pihak sekaligus, yaitu pejabat BI dan anggota DPR periode 1999-2004. Penetapan tersangka dari kedua pihak ini, boleh dikata, merupakan ekspektasi yang menghablur dalam pemberitaan media massa sejak November 2006. Ternyata, ekspektasi itu terpatahkan oleh keputusan KPK yang hanya menyentuh “koruptor” di sisi hulu, tidak di sisi hilir. Pertanyaan yang lantas relevan diajukan, ke mana arah perguliran isu jalinan korupsi BI-DPR ini bergerak?

Munculnya aksentuasi spesifik dalam pemberitaan media massa bahwa kebijakan BI bersifat kolegial, tak bisa tidak, merupakan pukulan balik terhadap KPK. Itulah mengapa, pernyataan Gubernur BI Burhanuddin Abdullah berada dalam derajat lebih bermakna bagi media massa dibandingkan dengan berbagai pernyataan yang dilontarkan pimpinan KPK. Pernyataan yang berpijak pada argumentasi hukum dikemukakan Burhanuddin Abdullah dengan kalimat seperti ini: “Sesuai undang-undang, setiap kebijakan BI yang strategis dan prinsipil, ditetapkan Rapat Dewan Gubernur yang sifatnya kolegial, bukan pribadi. Kebijakan diseminasi dan bantuan hukum, dinilai perlu ketika itu, mengingat laporan keuangan BI mendapat predikat disclaimer. Ini sangat mempengaruhi rating Indonesia.”

Substansi yang termaktub ke dalam narasi kalimat ini mempertanyakan dasar-dasar moralitas dari cara kerja KPK. Jika penyaluran dana ke DPR diekplisitkan sebagai keputusan keliru yang pernah dilakukan BI, maka, sebagai konsekuensinya, KPK harus menetapkan seluruh pejabat BI yang terlibat Rapat Dewan Gubernur (RDG) sebagai tersangka. Sebagai lembaga yang berdiri di garda depan eradikasi korupsi, sejatinya KPK menelisik kecamuk korupsi di BI secara menyeluruh. Dalam konteks jalinan korupsi BI-DPR, penelisikan secara menyeluruh itu tiada lain kecuali penetapan sebagai tersangka seluruh pejabat BI yang terlibat RDG. Mengapa pada akhirnya hanya tiga pejabat BI yang ditetapkan sebagai tersangka? Ada apa dengan KPK? Mungkinkah KPK bersiteguh pada janjinya semula bahwa sisi hilir dari skandal korupsi ini juga bakal disentuh KPK? Ataukah KPK hanya tengah melontarkan retorika ke arah pemberangusan di sisi hilir? Jika pada kelembagaan BI saja KPK menilik persoalan dengan sudut pandang miopik, bagaimana mungkin KPK mampu menyimak keterlibatan anggota-anggota DPR dengan sudut pandang yang bening?

Berpijak pada perspektif yang semata common sense, jalinan korupsi BI-DPR dapat disimak ke dalam kerangka tipologi korupsi berjamaah. Tanpa harus menggunakan teori dan pendekatan yang rumit serta berbelit-belit, skandal BI-DPR dapat ditilik secara terang benderang sebagai wujud kongkret korupsi berjamaah. Penyebutan secara definitif hanya pada beberapa gelintir orang sebagai pelaku tindak korupsi, justru menegasikan hakikat korupsi berjamaah. Maka, menjadi mendesak dipertanyakan, apa sesungguhnya latar belakang penetapan tersangka hanya pada segelintir orang? Mungkinkah dengan demikian, KPK menjunjung tinggi prinsip keadilan? Jawab atas pertanyaan ini termaktub ke dalam headline harian Suara Pembaruan. Bahwa menjelang pemilihan Gubernur BI 2008-2013, KPK mempolitisasi skandal jalinan korupsi BI-DPR. Dikaitkan dengan momentum waktu 17 Februari 2008 di mana DPR harus sudah menerima nama-nama kandidat Gubernur BI dari Presiden, maka tak terelakkan mencuatnya nuansa politik penetapan tersangka skandal jalinan korupsi BI-DPR. KPK bukan tidak paham bahwa keberhasilan memimpin BI merupakan peluang bagi Burhanuddin Abdullah untuk terpilih kembali sebagai gubernur. Karena itu, teka-teki yang lantas mencuat di sini, untuk kepentingan siapa KPK bekerja?

Apa yang lalu bisa kita katakan dengan demikian adalah ini, KPK tak memiliki kejelasan misi profetik dalam upaya besar eradikasi korupsi di negeri ini. Kebeningan nurani belum memperlihatkan kesejatiannya di KPK. Sebagai elemen penting tegaknya rasionalitas dalam tata kelola negara, KPK bekerja penuh pamrih. Puih![]

Minggu, 27 Januari 2008

Setelah Soeharto Wafat


Anwari WMK
Peneliti dan Penulis Buku di LP3ES, Jakarta

Mantan Presiden Soeharto akhirnya meninggal dunia pada 27 Januari 2008, dalam usia 86 tahun. Tamat sudah episode kehidupan seorang pemimpin nasional, yang kehadirannya di atas panggung kekuasaan politik berada dalam rentang atmosfer pasca-Perang Dunia II hingga berakhirnya Perang Dingin di dunia. Dengan diiringi doa semoga arwahnya diterima Tuhan Yang Maha Kuasa, kita mengucapkan selamat jalan kepada Soeharto. Sungguh pun demikian, hukum besi terus memperlihatkan kedigdayannya, bahwa perginya seorang tokoh besar tak serta-merta meniadakan jejak langkahnya bagi bangsa yang ia tinggalkan. Pada satu pihak, segenap sepak terjang Soeharto di masa hidupnya bakal tertoreh abadi sebagai narasi dalam totalitas bentangan sejarah bangsa ini. Kesadaran berbangsa di negeri ini, pada akhirnya tak bisa mengabaikan tauladan yang pernah dijejakkan Soeharto. Sementara pada lain pihak, sulit dibantah fakta dan kenyataan, bahwa Seoharto saat memimpin negeri ini mengusung corak kepemimpinan otoriter. Kantor berita Associated Press (AP) bahkan melukiskan Soeharto sebagai “the U.S. Cold War ally who led one of the 20th century’s most brutal dictatorship over 32 years that saw up to a million political opponents killed”. Warna-warni ini merupakan jejak yang juga bakal ditapaki oleh generasi pasca-Soeharto. Suka atau tidak suka, jejak langkah Soeharto itu mempengaruhi perikehidupan generasi yang ia tinggalkan.

Ketika sejak 4 Januari 2008 Soeharto memasuki fase perawatan super intensif di Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP), kita justru menyaksikan bombardir kata-kata dan ucapan kaum loyalis-Soehatois. Mereka berbicara tentang keniscayaan untuk memberikan penghormatan kepada Soeharto atas jasa-jasanya yang besar dalam konteks pembangunan ekonomi. Selama dekade 1980-an hingga 1990-an, dinamika pembangunan ekonomi di bawah orkestrasi kepemimpinan Soeharto justru mendorong Indonesia untuk tampil ke depan sebagai salah satu naga yang mutlak diperhitungkan dalam lompatan kemajuan perekonomian kawasan Asia Timur dan Asia Tenggara. Tetapi pandangan kontra terhadap pernyataan kaum loyalis-Soehatois terpatri ke dalam realisme kuasa di masa Orde Baru. Selama Soeharto berkuasa muncul gerakan etno-nasionalisme dengan mengambil pola pergolakan berdarah-darah di Aceh, Papua dan Timor Timur. Sekitar 300.000 manusia tewas dalam pergolakan itu. Dunia internasional lantas mengidentifikasi brutalitas ini sebagai pelanggaran hak asasi manusia (HAM) secara sangat masif. Bersamaan dengan itu, terjadi penahanan, penyiksakan dan penghilangan nyawa kaum oposan penentang Soeharto.

Setelah Soeharto wafat, bagaimana semua itu dimengeri? Apakah bangsa ini akan terus terjebak ke dalam silang sengketa tentang Soeharto, atau bagaimana? Apakah masalah Soeharto bakal berlalu bersama angin atau justru abadi dalam pelukan waktu hingga ke masa depan? Jawab atas pertanyaan ini dapat dijelaskan seperti berikut.

Pertama, tampilnya personalitas politik Soeharto di atas panggung kekuasaan negeri ini sesungguhnya telah mencabik-cabik makna negarawan. Sebagaimana diketahui, negarawan adalah pemimpin politik yang secara taat asas menyusun kebijaksanaan negara dengan suatu pandangan ke depan atau mengelola masalah negara dengan kebijaksanaan dan kewibawaan (lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia [Jakarta: Balai Pustaka, 1995] hlm. 686). Selama Soeharto menjalani perawatan intensif di RSPP tersingkap ke atas permukaan, bahwa makna negarawan itu didistorsi oleh persoalan “jasa” dan “kesalahan”. Suara-suara yang meminta Soeharto dihormati sebagai pemimpin bangsa mengambil titik tolak dari pandangan, bahwa jasa Soeharto lebih besar dibandingkan kesalahannya. Jasa dan kesalahan lalu berada dalam sebuah trade off. Padahal, hakikat kebaikan dan keburukan yang tak terelakkan adalah kebaikan dan keburukan dalam pengertiannya yang manusiawi, di luar spektrum negarawan. Status negarawan yang melekat pada seseorang bukan lantaran tak adanya kesalahan yang bersifat manusiawi. Seorang negarawan boleh salah sebagai manusia, tetapi tidak boleh salah sebagai pemimpin bangsa.

Jika hakikat negarawan semacam ini tak diklarifikasikan, maka ke depan bakal kian banyak pejabat korup yang merasa tak bersalah. Pesta pora korupsi dianggap benar hanya karena sang koruptor juga turut membangun negeri ini. Kesalahan-kesalahan yang by design lalu dengan mudahnya dianulir melalui pembeberan jasa-jasa. Persis seperti logika Bupati Kutai Kartanegara dalam peradilan korupsi, ia merasa tak bersalah karena praktik korupsi yang ia jalankan berjalan seiring dengan keberhasilan pembangunan di Kutai Kartanegara. Ia bahkan berucap, “saya juga berjasa, yang harus dipertimbangkan dalam peradilan ini”. Seorang negarawan tak sedang “berjual beli” semacam itu. Maka, dengan getir harus kita katakan, bahwa Soeharto bukanlah seorang negarawan dalam pengertiannya yang hakiki. Dengan mengatakan ini kita memancang harapan, bahwa ke depan, tak boleh lagi muncul pemimpin nasional semacam itu. Penghormatan terhadap Soeharto justru harus dimulai melalui adanya pengakuan tentang Soeharto yang telah melakukan kesalahan pada derajat by design, dan karena itu ia bukan negarawan. Inilah cara pandang yang sepenuhnya berpijak pada altruisme. Menafikan cara pandang ini, maka kita bakal terus terseret ke dalam silang sengketa masalah Soeharto.

Kedua, format kebangsaan pasca-Soeharto berpijak pada upaya koreksi terhadap konsepsi “negara budiman”. Selama berkuasa, Soeharto telah melakukan upaya-upaya besar penciptaan kesejahteraan. Di samping mengorkestrasi pertumbuhan dan stabilitas ekonomi, Soeharto juga memperluas pelayanan dalam bidang pendidikan dan kesehatan. Pendek cerita, Soeharto seorang protagonis dalam upaya besar terwujudnya kesejahteraan rakyat. Tetapi, konsepsi negara budiman yang mendasari semua itu justru menyeret Soeharto ke dalam pamrih yang tak berkesudahan. Ia melakukan semua prakarsa ke arah terwujudnya kesejahteataan rakyat justru demi memenuhi hasrat subyektif untuk mampu berkuasa dalam jangka panjang. Apa yang penting disimpulkan dengan demikian, prakarsa kesejahteraan rakyat tak disertai keikhlasan otentik. Maka, sangat sulit pada akhirnya menyebut keunikan dirinya sebagai seorang besar. Itu pula yang dapat menjelaskan, mengapa proses-proses super kompleks pembangunan ekonomi era Soeharto mendapatkan dukungan dari sistem kekuasaan yang represif. Elemen-elemen kebangsaan yang diidentifikasi sebagai kekuatan politik kiri dan kanan dengan mudahnya tergilas oleh sistem kekuasaan represif. Juga jelas pada akhirnya, bahwa penghormatan terhadap Seoharto mutlak untuk diterjemahkan melalui eleminasi secara tuntas konsepsi negara budiman.

Ketiga, penghormatan terhadap Soeharto mempersyaaratkan terhapusnya garda kekuasaan yang semula ditumbuhkembangkan oleh kelompok loyalis-Soehartois. Ciri paling pokok kelompok ini adalah hegemoni sumber-sumber daya produktif melalui perburuan rente. Tata kelola ekonomi lalu lebih banyak digerakkan oleh faktor eksternalitas (baca: politik kekuasaan). Bukan saja kemudian terjadi perselingkuhan antara pengusaha dan penguasa berdasarkan favoritisme, lebih dari itu rancang bangun keunggulan kompetitif perekonomian nasional justru dikacau-balaukan oleh kepentingan politik. Tak mengherakna jika trase perburuan rente yang kemudian mencetuskan lahirnya usaha-usaha konglomerasi, dalam kenyataan sesungguhnya adalah konglomerasi jagoan kandang. Apakah pola pengembangan usaha konglomerasi semacam ini yang akan terus dipertahankan hingga ke masa depan? Jika “ya”, maka kita sesungguhnya terus menghidupkan memori tentang Soeharto yang buruk.

Baik problema kenegarawanan, konsepsi negara budiman, maupun hegemoni kaum loyalis-Soehartois kini telah saling bersenyawa untuk membentuk political biosphere. Dalam derajat yang tak terperikan, semua ini malah berkerja sebagai anasir terbentuknya apa yang disebut “kultur politik warisan Soeharto”. Maka, semuanya kembali kepada para pendukung Soeharto. Jika mereka tetap mengukuhkan kultur politik warisan Soeharto, maka dengan sendirinya mereka melecehkan Soeharto. Soeharto bakal terus-menerus berada di tengah-tengah sorotan kelompok-kelompok kritis. Setelah Soeharto wafat, sejatinya lahir kearifan baru dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.·

Kulminasi Harga Minyak Dunia


Anwari WMK
Peneliti dan Penulis Buku di LP3ES

Apa yang dapat disimpulkan dari kenaikan harga minyak di pasar dunia hingga menembus angka US$ 100 per barrel pada 2 Januari 2008 adalah faktor penyebab yang dapat dibaca dengan serta-merta dan implikasinya terhadap perekonomian negara [dalam kerangka APBN] di Indonesia. Dua hal ini penting dielaborasi lebih jauh untuk menemukan kejelasan rasionalitas kenaikan harga minyak dunia dan problema fiskal dalam realitas Indonesia. Terutama dalam situasi menjelang Pemilu 2009, sangat terbuka kemungkinan bahwa dampak yang sangat gawat dicetuskan oleh kenaikan harga minyak di pasar dunia tak diungkapkan secara jujur oleh pemerintah. Dengan maksud agar tak kehilangan popularitas dalam kancah Pemilu 2009, pemerintah yang tengah berkuasa kini mengabaikan rasionalias ekonomi untuk tak menaikkan patokan harga minyak dalam APBN.

Sebagaimana diketahui, ada empat sebab mengapa harga minyak dunia menembus angka psikologis US$ 100 per barrel, yaitu: (1) Ketidakjelasan informasi berkenaan dengan disparitas antara magnitude kebutuhan minyak dan pasokan minyak di Amerika Serikat, (2) Kian melemahnya nilai tukar mata uang US$ terhadap mata uang kuat lainnya di dunia, (3) Eskalasi kekerasan politik di negara atau kawasan penghasil minyak, (4) Pertumbuhan ekonomi di China dan India memperbesar permintaan terhadap pasokan minyak. Tak pelak lagi, faktor penyebab kenaikan harga minyak dunia itu tak sepenuhnya berada dalam diterminasi perkembangan industri manufaktur yang secara substansial memang membutuhkan pasokan minyak. Kenaikan harga minyak dunia hingga mencapai US$ 100 per barrel juga dipicu oleh sebab-sebab yang intangible dan spekulatif. Dari sini pula muncul sinyal peringatan. Jika pada awal tahun 2008 saja harga minyak di pasar dunia sudah bertengger pada kisaran US$ 100 per barrel, maka sesungguhnya terbuka lebar probalitas bahwa selama 2008 harga minyak bisa mencapai lebih dari US$ 100 per barrel. Inilah kenyataan yang niscaya dibaca dalam kaitan makna dengan kian sulitnya mengelak dari berbagai faktor spekulatif yang ikut serta mendikte perubahan struktur harga minyak di pasar dunia.

Hal mendasar lain yang kemudian penting ditegaskan lebih lanjut ialah membaca kenyataan ini sebagai masih dominannya posisi Amerika Serikat (AS) dalam mengorkestrasi besar kecilnya konsumsi minyak dunia. Begitu dominanya posisi AS itu tercermin secara sangat kuat pada pengaruh demand dan supply minyak terhadap inflasi. Sejak dekade 1980-an, misalnya, minyak sudah memperlihatkan "kedigdayaannya" untuk mempengaruhi tingkat inflasi di AS, yaitu ketika konsumsi energi mencapai 14% hingga 15% dalam Gross Domestic Product (GDP) AS (Republika, 4 Januari 2008, hlm. 15). Padahal, harga minyak pada kurun waktu tersebut baru berada pada kisaran US$ 38 per barrel. Bandingkan dengan outstanding harga saat ini yang mencapai US$ 100 per barrel hingga US$ 103 per barrel. Minyak yang memiliki hubungan kausalistis dengan inflasi itu mau tak mau kemudian bermetamorfosis menjadi salah satu elemen spekulasi. Celakanya, spekulasi yang terjadi di AS merupakan episentrum bagi mencuatnya spekulasi pada tingkat global. Ketika benar-benar tak ada disclosure berkenaan dengan disparitas antara kebutuhan dan pasokan minyak di AS, maka dengan sendirinya spekulasi itu kian menjadi-jadi. Apalagi, ketika ternyata AS bersikukuh pada kepentingan nasionalnya untuk tak melepaskan cadangan minyaknya ke pasar, maka kian mengkristal spekulasi menuju kulminasi harga minyak dunia.

Sulit dipungkiri munculnya kesimpulan, bahwa struktur harga minyak pada kisaran US$ 100 per barrel bukanlah harga faktual. Itulah mengapa struktur harga minyak ini melampaui nilai ekonomi produksi minyak itu sendiri. Besaran harga ini bernuansa psikologis sejalan dengan pola kerja virtual economy. Masalahnya, ini bukan spekulasi portfolio, tetapi spekulasi yang sepenuhnya berkaitan erat dengan komoditas energi yang day to day justru menentukan kontinuitas industri manufaktur, transportasi dan beragam konsumsi minyak bumi dalam cakupan yang sangat luas. Apa yang hendak dikatakan adalah ini: Kenaikan harga minyak dunia yang sedemikian rupa itu sesungguhnya merupakan ancaman yang sangat serius terhadap perekonomian setiap negara. Terutama, bagi negara yang memang memiliki ketergantungan secara sangat kuat terhadap bahan bakar minyak (BBM). Di sinilah lalu pertaruhannya, sejauhmana pemerintahan di setiap negara jernih melihat implikasi serius yang ditimbulkan oleh kenaikan harga minyak hingga mencapai US$ 100 per barrel.

Dalam konteks ini kita menjadi paham mengapa Menkeu Sri Mulyani Indrawati mengekspresikan kecemasannya terhadap kulminasi harga minyak di pasar dunia. Pada satu sisi, menurut Sri Mulyani, kenaikan harga minyak dunia berkorelasi positif dengan penerimaan Migas dalam APBN. Tetapi di lain sisi, besaran subsidi BBM berkait erat dengan kebijakan pemerintah dalam konteks konversi energi, penghematan anggaran pemerintah dan perubahan komposisi barang-barang yang disubsidi. Bagaimana semua variabel ini diperhitungkan secara seksama dengan mempertimbangkan harga minyak hingga mencapai US$ 100 per barrel. Tak bisa tidak, substansi persoalan yang dikemukakan Sri Mulyani merupakan representasi dari kegalauan membaca realisme kian besarnya persoalan minyak dalam APBN. Agar tak kelimpungan menghadapi kenaikan harga minyak pada outstanding US$ 100 per barrel, maka muncul keputusan politik yang bersifat generik. Pemerintah bakal mengadopsi apa yang disebut "sembilan langkah" pengamanan.

Sembilan langkah dimaksud mencakup: (1) Penggunaan dana cadangan Rp 6 triliun yang khusus digunakan pada saat harga rata-rata Indonesian Crude Price (ICP) berada di atas target APBN (US$ 60 per barrel), (2) Mendorong penghematan anggaran di 78 departemen dan lembaga nondepartemen hingga mencapai Rp 11,7 triliun, (3) Memanfaatkan surplus penghasilan yang melonjak di daerah penghasil minyak hingga diharapkan ada dana yang bisa digunakan untuk memperkuat APBN sekitar Rp 13,9 triliun, (4) Penajaman prioritas belanja kementerian dan lembaga nondepartemen dengan potensi Rp 10,4 triliun, (5) Memperbaiki parameter produksi dan konsumsi BBM dan listrik, di antaranya mengurangi volume BBM bersubsidi dari 38,2 juta kiloliter pada 2007 menjadi 36,3 juta kiloliter pada 2008, (6) Menekankan efisiensi Pertamina dan PLN, (7) Mengoptimalkan pendapatan negara, (8) Melonggarkan defisit melalui penambahan penerbitan obligasi negara, (9) Memberikan insentif fiskal bagi sektor riil.

Sungguh pun demikian, sembilan langkah ini bukanlah garansi untuk bebas dari kecemasan. Pertama, apa yang oleh Menteri Keuangan disebut sebagai "mekanisme politik" justru tampak sebagai antisipasi berhadapan dengan kemungkinan gagalnya implementasi "sembilan langkah" pengamanan. Mekanisme politik itu mencakup pemantauan semua dampak kenaikan harga minyak dunia hingga semester I-2008 dan Menkeu melapor ke DPR sehingga ditemukan angka defisit APBN 2008 yang dapat diterima secara politik maupun ekonomi (Kompas, 4 Januari 2008, hlm. 1, 15). Kedua, pemerintah Indonesia sesungguhgnya tak memiliki kesamaan langkah dan strategi menghadapi persoalan rumit tingginya harga minyak di pasar dunia. Secara faktual, industri manufaktur berada dalam tantangan besar lantaran ketergantungannya yang tak terelakkan pada BBM. Dalam situasi demikian Menko Perekonomian Boediono justru melontarkan pernyataan lain yang kontras dengan pernyataan Menkeu Sri Mulyani Indrawati. Substansi penting dari pernyataan Menko Perekonomian adalah “… perkembangan harga minyak global tidak terlalu mengkhawatirkan karena kecenderungannya akan menurun” (lihat editorial Media Indonesia, 4 Januari 2008).

Dalam realitas Indonesia, kulminasi harga minyak dunia berada dalam tarik menarik perspektif. Tragisnya, tarik-menarik itu muncul dalam lingkungan Kabinet Indonesia Bersatu (KIB). Tak bisa tidak, KIB lalu mempertontonkan visi ekonomi yang centang-perenang di tengah kecilnya kemungkinan terjadi kenaikan patokan harga minyak dalam APBN.●

Artikel ini semula dipublikasikan di Business News.

Revitalisasi Kereta Api


Anwari WMK
Peneliti dan Penulis Buku di LP3ES, Jakarta

Dalam realitas hidup masyarakat Indonesia, kereta api sudah dikenal sejak abad XIX. Bersama dengan kehadiran paberik gula, kereta api merupakan simbol berlangsungnya evolusi dalam perekonomian Indonesia hingga mencapai tahap industrialisasi. Tanpa kehadiran kereta api dan paberik gula sulit mengidentifikasi adanya industrialisasi sejak abad XIX. Tetapi juga seperti halnya paberik gula, kereta api di Indonesia merupakan legacy perekonomian abad XIX yang tak kompetitif manakala disimak ke dalam realitas masa kini. Tak berlebihan jika dikatakan, bahwa kereta api sesungguhnya tak bisa mengelak dari penilaian yang cukup sengak: “adanya sama dengan tidak adanya”. Itulah mengapa, pembicaraan tentang “revitalisasi kereta api” di Indonesia memiliki resonansi secara sangat kuat dengan besarnya harapan agar kereta api mampu kembali tampil sebagai simbol industrialisasi. Pertanyaan kritisnya, mungkinkah harapan itu dapat diwujudkan?

Tatkala Ciliwung Blue Line mulai beroperasi sejak 30 November 2007, sedikit banyaknya kita mulai menyaksikan munculnya tanda-tanda bakal bergulirnya revitalisasi peran kereta api. Sebagaimana diketahui, Ciliwung Blue Line adalah rangkaian kereta rel listrik yang dirancang sedemikian rupa wangi, sejuk dan bersih. Dengan kapasitas angkut sekitar 400 orang, inilah circle line spesifik metropolitan Jakarta, semacam transportasi publik yang dalam hal kenyamanan mengadopsi prototipe bus Transjakarta. Bergerak delapan kali sehari memutari rute stasiun-stasiun kecil seantero Jakarta, Ciliwung Blue Line menjangkau stasiun Manggarai, Sudirman (Dukuh Atas), Karet, Tanah Abang, Duri, Angke, Kampung Bandan, Kemayoran, Pasar Senen, Kramat dan Jatinegara. Sebuah kesaksian menyebutkan, bahwa untuk mengelilingi seantero Ibu Kota Jakarta Ciliwung Blue Line membutuhkan waktu sekitar 100 menit (Koran Tempo, 1 Desember 2007, hlm. A3).

Tentu saja, membayangkan bergulirnya revitalisasi kereta api dalam maknanya yang utuh tidaklah realistis jika semata mengacu pada variabel tunggal kehadiran Ciliwung Blue Line. Hingga saat ini, stasiun demi stasiun yang dilalui Ciliwung Blue Line belum sepenuhnya mampu memperlihatkan citra sebagai ruang publik yang terkelola secara profesional. Stasiun yang tampak awut-awutan itu seakan tak memiliki perbedaan secara signifikan dibandingkan dengan “etalase” perkampungan kumuh di sepanjang kiri-kanan rute yang dilalui Ciliwung Blue Line. Apa yang penting ditegaskan dengan demikian, revitalisasi mengambil titik tolak dari teori sosial, bahwa kemajuan maupun keterbelakangan berada dalam totalitas. Artinya, kemajuan dan atau keterbelakangan bercorak multidimensional. Agenda revitalisasi kereta api, pada akhirnya, mustahil jika semata ditumpukan pada kehadiran Ciliwung Blue Line. Lebih dari itu, harus juga dilakukan pembenahan secara menyeluruh terhadap berbagai aspek yang memang tak terelakkan bersentuhan dengan kereta api.

Manakala kita seksama memperhatikan penyikapan pemerintah, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa kereta api dikedepankan sebagai solusi masalah transportasi publik di Indonesia. Dalam hal prioritas pengembangan, kereta api berada di bawah gradasi angkutan laut. Itulah mengapa, angkutan kereta api mendapatkan porsi anggaran nomor dua—dari APBN—setelah angkutan laut (Republika, 1 Desember 2007, hlm. 10). Sungguh pun demikian, tetap tak ada jaminan bahwa besarnya anggaran yang dikucurkan untuk mempertahankan eksistensi kereta api dengan sendirinya berarti disertai oleh kejelasan agenda revitalisasi kereta api. Harapan yang terbersit pun menjadi terbatas, yaitu bagaimana Ciliwung Blue Line memberi kontribusi pada upaya mengurai simpul kemacetan Jakarta yang begitu patologis. Untuk keperluan lain pembenahan secara menyeluruh kereta api, kehadiran Ciliwung Blue Line belum disertai prasyarat tegaknya good governance pada totalitas pengelolaan.

Berpijak pada kenyataan lapangan, revitalisasi kereta api bersentuhan dengan banyak aspek dan dimensi. Penjelasan tentang berbagai aspek dan dimensi tersebut memiliki kaitan erat dengan kehadiran Ciliwung Blue Line. Jika berbagai hal dan dimensi itu merupakan diktum umum revitalisasi kereta api, maka makna penting kehadiran Ciliwung Blue Line terkait erat dengan upaya pengejawantahan diktum umum revitalisasi menjadi kenyataan. Dengan kata lain, Ciliwung Blue Line merupakan contoh kongkret pelaksanaan agenda revitalisasi. Diktum umum dimaksud mencakup solusi empat masalah berikut.

Pertama, keamanan merupakan keniscayaan yang tak sepenuhnya terakomodasi ke dalam moda angkutan kereta api. Watak kereta api sebagai angkutan umum yang membawa serta penumpang dalam jumlah banyak sesungguhnya membutuhkan desain security management secara canggih. Sejatinya, kereta api yang tengah berjalan dipersepsi sebagai domain bagi hadirnya society in moving, dan lantaran itu diskenariokan memiliki pola pengamanan secara sistematis, efektif serta dapat diandalkan lantaran mampu bergerak cepat menangkal kemungkinan timbulnya gangguan keamanan. Dalam kenyataan sesungguhnya, agenda keamanan semacam ini tak pernah berhasil diwujudkan oleh para pihak pengelola angkutan kereta api. Kehilangan barang yang begitu jamak serta aksi pencopetan merupakan nokhtah hitam buruknya jaminan kemanan di atas kereta api. Bahkan, kereta eksekutif super mewah tak sepenuhnya steril dari buruknya keamanan itu.

Kedua, dari dulu hingga kini, bahkan hingga ke masa depan, meningkatan mutu angkutan kereta api terkendala oleh tak adanya jaminan keselamatan. Jujur harus dikatakan, bahwa hingga detik ini kereta api merupakan “mesin pembunuh” yang tak habis-habisnya meminta tumbal pengorbanan jiwa manusia. Kecelakaan demi kecelakaan mempertegas kesimpulan rendahnya tingkat keselamatan kereta api. Teka-teki yang tak tersingkapkan hingga kini berkenaan dengan rendahnya jaminan keselamatan berhubungan erat dengan faktor human error. Hingga sebuah peristiwa kecelakaan kereta api berlalu ditelan waktu, tetap tak ada klarifikasi apakah kecelakaan itu dipicu oleh faktor human error atau disebabkan oleh rendahnya kapasitas teknologi. Rendahnya tingkat keselamatan bahkan tercermin secara sangat kuat pada terjadinya serangkaian tabrakan kereta api dengan kendaraan bermotor di pintu-pintu perlintasan.

Ketiga, kenyamanan di atas angkutan kereta api sejauh ini belum berkembang menjadi ikon pengelolaan transportasi publik yang menjunjung tinggi kedaulatan publik konsumen. Gerbong yang kotor, toilet yang pesing serta hal-hal lain yang mengekspresikan ketidakberesan merupakan realisme yang tak terpisahkan dari keberadaan kereta api. Ketidaknyamanan hingga menyentuh titik nadir paling rendah terpatri secara sangat kuat pada kereta api kelas bawah. Kereta api ini bukan saja kotor, gerah dan bahkan pengap, lebih dari itu para pedagang asongan, pengemis, pengamen, dan bahkan preman hadir secara bersamaan untuk mencabik tingkat kenyamanan. Tragisnya, para pengelola kereta api memandang semua ini sebagai kelaziman yang tak perlu dikoreksi.

Keempat, pelayanan awak angkutan kereta api untuk keperluan personal publik penumpang belum sepenuhnya mampu diposisikan sebagai courtesy yang patut dicatat dengan tinta emas. Kebutuhan penumpang akan makan dan minum selama dalam perjalanan, merupakan contoh paling mencolok terciptanya suatu model pelayanan yang tak menjunjung tinggi courtesy. Untuk sekadar tersenyum, para petugas restoran kereta api mampu memenuhinya. Tetapi kejujuran dalam hal pengembalian kelebihan uang pembayaran, berada dalam gradasi yang sangat buruk. Tak terhitung pengalaman publik penumpang yang justru tak pernah mendapatkan pengembalian pembayaran dari jasa penyediaan makan dan minum. Persoalan yang mecuat di sini bukan terutama terkait dengan besar kecilnya nilai nominal pengembalian kelebihan pembayaran. Masalah fundamentalnya adalah ketidakjujuran petugas restoran. Diakaui atau tidak, inilah social habit yang justru mencoreng-moreng citra kereta api.

Penyelesaian empat persoalan ini merupakan pilar revitalisasi kereta api. Itulah mengapa, KRL Ciliwung Blue Line yang digambarkan sebagai “pilihan baru publik Jakarta” (Kompas, 1 Desember 2007, hlm. 27) semestinya sejak dari awal diposisikan sebagai inspirator bagi tercetusnya revitalisasi peran kereta api secara keseluruhan. Kalau tidak, Ciliwung Blue Line—sebagai commuter rail transit—merepresentasikan perbaikan kondisi angkutan kereta api dalam maknanya yang amat sangat partikular. Sementara, angkutan kereta api yang lain tetap bobrok, dan bahkan tak manusiawi.●

Tulisan ini pernah dipublikasikan di Business News.

Sabtu, 26 Januari 2008

Dilema Guru Mogok

Anwari WMK
Peneliti dan Penulis Buku di LP3ES, Jakarta

Di tengah karut-marut dunia pendidikan, kaum guru berdiri pada titik paling lemah namun sekaligus menentukan. Dari dulu hingga kini, bahkan mungkin hingga ke masa depan, guru merupakan variabel determinan keberhasilan pendidikan. Apakah pendidikan mampu mengubah sosok Indonesia pada aras persaingan antarbangsa di dunia dalam bidang ekonomi, sains dan teknologi, sebagian terbesarnya ditentukan oleh artikulasi peran kaum guru. Apakah sebagai sebuah bangsa Indonesia mampu mengubah takdirnya dari pecundang menjadi pemenang, amat sangat ditentukan oleh ketepatan peran sosiologis kaum guru. Apa yang kemudian diidentifikasi secara terang benderang sebagai “kualitas pendidikan”, sepenuhnya harus dimengerti sebagai keberhasilan kaum guru. Sebaliknya, kaum guru diposisikan sebagai faktor krusial jika ternyata pendidikan terseret ke dalam titik nadir kehancuran. Baik pada sisi terang maupun sisi gelap pendidikan, guru berada pada outstanding pertanggungjawaban. Masalahnya, guru dalam realitas Indonesia mustahil dimengerti secara linear semata sebagai teacher education yang sepenuhnya steril dari politik kekuasaan. Tragisnya, politik kekuasan tak pernah selesai untuk terus bergolak. Penilaian terhadap tepat tidaknya artikulasi peran guru sebagai agen perubahan sosial, pada akhirnya, tak pernah bisa dilepaskan dari kacamata pandang politik kekuasaan yang dilumuri puspa ragam kepentingan parokial.

Di masa kekuasaan otoriter Orde Baru, misalnya, kaum guru diskenariokan berfungsi sebagai salah satu basis penguatan monoloyalitas politik. Terutama kalangan guru berstatus pengawai negeri sipil (PNS), diharuskan mendukung Golkar. Tak mengherankan jika di masa Orde Baru guru terus-menerus digiring melakukan aksi politik dalam cakupan konstituensi Golkar. Penentangan terhadap monoloyalitas, sama saja maknanya dengan mendedahkan diri mendapatkan penilaian buruk. Pada Pemilu 1977, begitu banyak guru meninggalkan tugas mengajar lantaran harus terlibat serangkaian kampanye Golkar. Diakui atau tidak, muncul legacy berkenaan dengan terciptanya sebuah titik singgung antara guru dan kekuasaan politik di negeri ini, pada kurun waktu kekuasaan Orde Baru. Dengan demikian, apa lalu yang dapat dimengerti dari mogok kaum guru di masa kini? Tatkala kekuasaan politik di negeri ini terbebaskan dari kungkungan otoritarianisme, bagaimana memaknai aksi mogok kaum guru dalam framework demokrasi?

Sebuah headline di harian Kompas (24 Januari 2008) tampil dengan judul “Guru Mogok, Puluhan Ribu Siswa Terlantar”. Secara substansial, headline ini merupakan narasi berkenaan dengan peristiwa unjuk rasa kaum guru selama dua hari berturut-turut (21-22 Januari 2008) di halaman Gedung DPRD Merangin, Jambi. Inilah unjuk rasa yang dipicu oleh terjadinya pemotongan anggaran pendidikan Kabupaten Merangin. Jika pada 2007 anggaran pendidikan itu mencapai Rp 28 miliar dari total APBD sebesar Rp 412 miliar, maka pada 2008 menjadi Rp 23 miliar dari total APBD sebesar Rp 503 miliar. Sekali pun tak mencakup gaji guru, anggaran pendidikan sebesar Rp 23 miliar itu terlalu kecil (lihat “Pelajaran dari Mogok Guru”, editorial Koran Tempo, 25 Januari 2008, hlm. A2). Ini berarti, anggaran pendidikan yang semula mencapai 6,80%, pada akhirnya anjlok menjadi 4,57%. Atas dasar ini muncul dua dampak negatif. Pertama, kegiatan belajar siswa buta aksara, pelatihan kepala sekolah dan guru, lomba Porseni serta lomba MIPA dihapuskan. Kedua, tunjangan yang kemudian tidak dibayar mencakup uang lauk pauk setiap guru PNS sebesar Rp 10.000 per hari yang diberlakukan sejak 2007 serta kelebihan jam mengajar rata-rata Rp 250.000 – Rp 300.000 per bulan untuk setiap guru yang telah berjalan selama kurang lebih tiga tahun.

Boleh dikata, unjuk rasa di halaman Gedung DPRD Kabupaten Merangin itu sekaligus ekspresi kemarahan kaum guru terhadap otoritas politik penentu anggaran pendidikan. Ternyata, dua hari unjuk rasa berjalan, tak ada respons proporsional baik dari DPRD maupun dari Pemkab Merangin. Maka, 6.200 guru se-Kabupaten Merangin lalu merangsak dengan aksi yang lebih serius manakala ditilik dari perspektif etis, yakni mogok mengajar secara kolektif. Para guru juga menggembok sekolah tempat mereka mengajar. Tak cukup sampai di situ, para guru menyerahkan sekitar 400 kunci gembok kepada DPRD. Pada titik inilah serta-merta eksistensi pendidikan berada dalam ancaman serius. Tak kurang dari 62.900 siswa menjadi tumbal pengorbanan tergelarnya aksi mogok itu. Panorama yang sama sekali tak menghibur ini digambarkan dengan kalimat “siswa resah, persiapan Ujian Nasional dan les tambahan terganggu” (Kompas, 24 Januari 2008, hlm. 1 dan 15).

Pembacaan secara seksama terhadap gelombang aksi mogok kaum guru di Kabupaten Merangin sesungguhnya bermuara pada kesimpulan “perjuangan luhur yang disertai oleh munculnya problema etis”. Inilah dilema mogok kerja kaum guru itu. Pada satu pihak, kebebasan sipil (civil liberties) memosisikan mogok kerja memiliki keabsahan untuk dipergunakan sebagai teknikalitas demi mendesakkan terjadinya akomodasi terhadap sebuah aspirasi. Terlebih ketika pelaksanaan aspirasi terkendala rigiditas struktur akibat bersimaharajalelanya kekuasaan kaum medioker, maka mogok kerja kian menemukan relevansinya. Namun di lain pihak, guru merupakan profesi dalam kaitan makna dengan pencerdasan anak-anak bangsa, kini maupun di masa depan. Ketika mogok kerja tampil sebagai opsi bercorak monolitik demi mendesakkan aspirasi, maka seketika itu pula siswa terpojokkan sebagai pihak yang harus menanggung beban kerugian. Bagaimana pun, guru merupakan aktor sentral pada keseluruhan relasi kuasa dalam dunia pendidikan. Mogok kerja kaum guru hanya mengondisikan dunia pendidikan berada dalam sebuah vakum yang tak perlu. Tanpa bisa dielakkan, mogok kerja kaum guru kontraproduktif manakala disimak ke dalam konteks penyelamatan siswa sebagai subyek didik. Maka, pertanyaan etisnya, apakah kaum guru mempertimbangkan eksistensi siswa tatkala mengambil opsi mogok kerja sebagai menifestasi protes terhadap kuasa politik yang pongah?

Dengan mengusung spirit heroisme, editorial surat-surat kabar nasional menarasikan pembelaan terhadap mogok kerja kaum guru. Editorial Koran Tempo (25 Januari 2008) membentangkan kalimat seperti ini: “Tapi kita juga tidak bisa menyalahkan para guru lantaran aksi mogok itu bertujuan mulia. Mereka menuntut kenaikan anggaran pendidikan demi memajukan pengajaran di sana.” Editorial Koran Tempo juga menulis seperti ini: “Pemerintah daerah Merangin mungkin sulit menyusun APBD karena banyak keperluan lain yang mesti dianggarkan. Misalnya perhelatan pemilihan kepala daerah yang akan digelar pertengahan tahun ini. Tapi seharusnya dana pendidikan tidak dikorbankan. Apalagi konstitusi telah menggariskan anggaran pendidikan minimal 20% dari APBN, juga anggaran daerah. Ditegaskan pula dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, persentase itu tidak termasuk anggaran untuk menggaji para guru.” Hampir senada dengan itu editorial Kompas (25 Januari 2008) mengusung narasi kalimat: “Unjuk rasa yang kemudian mogok kerja merupakan cetusan rasa prihatin terhadap masa depan negeri ini”. Tanpa tedeng aling-aling editorial dua surat kabar ini berbicara tentang “perjuangan” kaum guru yang tanpa pretensi pamrih.

Sulit dinafikan, bahwa buruknya fasilitas pendidikan di Kabupaten Merangin tipikal buruknya pendidikan daerah pemekaran. Merangin semula bagian dari Kabupaten Sarolangun Bangko (Sarko). Kini, Merangin menghadapi masalah rendahnya kesejahteraan penduduk. Perikehidupan tenaga kependidikan berada dalam titik nadir keterpurukan. Tak mengherankan jika rendahnya pendapatan mendorong kaum guru nyambi sebagai tukang ojek dan atau penyadap karet (Kompas, 26 Januari 2008, hlm. 1 dan 15). Hanya saja, realitas ini tak berarti membenarkan kita menutup mata terhadap impak negatif mogok kerja kaum guru. Jika artikulasi aspirasi berubah menjadi mogok kerja, maka perjuangan kaum guru terperosok ke wilayah esensi, bukan eksistensi. Ini merupakan format protes yang sama sekali tak elegan. Terlebih lagi jika ternyata kaum guru masih menghadapi problema rendahnya kompetensi, mogok kerja lalu tak mungkin dimengerti sebagai jalan yang mulia. Sebab, apa lalu bedanya kaum guru dengan politikus busuk?[]

Minggu, 20 Januari 2008


Kaum Marjinal Era Demokrasi

Anwari WMK
Peneliti & Penulis Buku di LP3ES, Jakarta

Kaum marjinal terus-menerus diperhadapkan dengan bahaya keganasan negara. Tragisnya lagi, tendensi barbarian yang melekat pada perilaku aparat pemerintah tumbuh secara vegetatif sebagai basis timbulnya keganasan negara terhadap kaum marginal. Kapan saja dan di mana saja, kaum marjinal berada dalam “kutukan abadi”, yakni dengan sangat telak diposisikan sebagai musuh laten negara. Sebagai konsekuensinya, negara merasa absah meluluhlantakkan eksistensi kaum marjinal hingga ke akar-akarnya. Dari waktu ke waktu, begitulah nestapa kaum marjinal di berbagai penjuru Tanah Air. Maka, dengan nada getir harus dikatakan, kaum marginal tersudutkan ke pojok-pojok sejarah sosial dan ekonomi bangsa ini. Tak mengherankan jika segenap artikulasi tentang pembelaan negara terhadap masyarakat tak lain dan tak bukan hanyalah omong kosong belaka. Terutama, omong kosong itu sangat terasakan manakala ditilik dari perpektif massa politik kaum marjinal. Namun dari sini pula menyeruak pertanyaan penting dan mendasar: Bagaimana nasib kaum marjinal pada era demokrasi dewasa ini?

Selama kurun waktu Orde Baru, muncul kesimpulan yang tak kepalang tanggung. Bahwa, kaum marjinal di Indonesia hadir sebagai masalah dan sekaligus dampak dari pelaksanaan pembangunan. Apa yang menarik disimak dalam konteks ini adalah posisi kaum marjinal itu sendiri dalam atmosfer sosial-politik otoritarian. Kaum marjinal merupakan salah satu nokhtah pada orbit kekuasaan otoriter Orde Baru. Sebagai “masalah”, kaum marjinal memiliki keterbatasan sepak terjang untuk sepenuhnya mampu masuk ke dalam proses super-kompleks pembangunan sosial dan ekonomi. Keterbatasan pada banyak aspek—seperti modal, pendidikan dan keterampilan—benar-benar mendedahkan kaum marjinal sebagai masalah dalam pembangunan. Sebagai “dampak”, kaum marjinal hadir oleh kristalisasi besarnya pamrih para pengelola negara dalam praksis pembangunan. Itulah mengapa, pembangunan hadir sebagai kelanjutan logis dari dominasi dan hegemoni rezim politik yang tengah berkuasa. Namun, telaah secara lebih canggih terhadap masalah ini di kemudian hari justru menyingkapkan kesimpulan mencegangkan, bahwa sesungguhnya kaum marjinal merupakan dampak yang tak terelakkan dari pelaksanaan pembangunan (lihat Prisma, No. 3, Tahun XIV, 1985).

Tatkala rezim Orde Baru runtuh pada Mei 1998, mendadak sontak muncul harapan besar agar penistaan negara terhadap kaum marjinal benar-benar memasuki fase epilog. Mencuat impian sejak saat itu, kaum marjinal bukan lagi sekumpulan manusia yang diperlakukan sebagai musuh negara. Maka, runtuhnya Orde Baru disertai obsesi pembersihan negara dari cara pandang yang keliru. Orde Reformasi, dengan demikian, diimpikan mampu membangun jembatan penghubung antara negara dan kaum marjinal. Inilah sebuah fase historis yang disertai oleh visi baru kemanusiaan dalam tata kelola negara. Namun, realisme yang lantas bergulir justru memperlihatkan terjadinya distorsi antara cita dan fakta. Besarnya kehendak untuk membebaskan negara dari spiral kekerasan melawan kaum marjinal ternyata tak terbuktikan dalam kenyataan. Kaum marjinal tersuruk di berbagai penjuru negeri lantaran terus-menerus diperhadapkan pada problema kekerasan negara. Di kota-kota besar, misalnya, episode penggusuran kaum marjinal tak mengenal titik jedah. Itulah mengapa, Orde Reformasi tak memiliki perbedaan signifikan dibandingkan Orde Baru.

Serangkaian penggusuran yang terus berlangsung pada zaman Orde Reformasi mengambil tipologi yang sama dengan penggusuran kaum marjinal di masa Orde Baru. Penggusuran pedagang kaki lima di sebuah sudut pada kawasan perkotaan, misalnya, tetap tak disertai alternatif solusi masalah pengangguran. Di satu sisi, usaha kaki lima kian kukuh berfungsi sebagai bamper pengaman ledakan pengangguran, bahkan tatkala negara kian rapuh saat diharapkan mampu memperluas lapangan kerja. Di lain sisi, rezim kekuasaan era Orde Reformasi tak habis-habisnya menjalankan aksi juggernaut demi mempertegas posisi kaum marjinal sebagai masyarakat periferal menurut takaran ekonomi maupun politik. Celakanya, seperti pada era Orde Baru, pemerintahan kota di masa Orde Reformasi tak memiliki alternatif jalan keluar bagaimana menampung sumber daya manusia yang sebelumnya terserap sebagai penggerak dinamika usaha kaki lima. Apa yang kemudian penting dikatakan adalah ini: Pemerintahan kota tak pernah mencanangkan agenda formalisasi sektor informal dalam konteks usaha kaki lima.

Ketika pada Jumat pagi, 18 Januari 2008, lima bolduser, tiga backhoe, dan 850 petugas Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) dikerahkan oleh Pemerintahan Kota Jakarta Selatan untuk menggusur ratusan kios bunga dan ikan hias di Jalan Barito (Republika, 19 Januari 2008, hlm. 1 dan 11), maka sekali lagi terpampang kenyataan betapa sulitnya membedakan Orde Reformasi dan Orde Baru. Negara tetap tak beringsut dari watak alamiahnya yang barbar untuk hanya menjadikan kaum marjinal sebagai musuh. Republika lantas menulis kesaksian seperti ini: “Satu per satu pedagang yang mencoba menghadang, dipukuli dengan pentungan. Alat-alat berat pun terus menggaruk ke 107 kios yang ada. Para pedagang hanya bisa meratap melihat kiosnya rata dengan tanah”. Berlandaskan beberapa alasan, porsi terbesar pemberitaan media massa lalu berpihak pada pedagangan kaki lima.

Pertama, penggusuran di Jalan Barito serta-merta meniadakan salah satu sudut Ibu Kota yang menyimpan memorabilia. Bukan saja lantaran kawasan Barito pernah diangkat ke dalam setting cerita novel Ali Topan Anak Jalanan karya Teguh Esha (ibid), lebih dari itu komoditas yang diperdagangkan pada kawasan ini telah sejak lama dikenal publik manca negara. Kawasan yang kesohor sebagai Taman Ayodia itu juga merupakan tempat belanja ikan hias dan penak-perniknya bagi kalangan pejabat, pengusaha dan diplomat-diplomat asing (Kompas, 19 Januari 2008, hlm. 15). Tergusurnya kawasan ini bermakna hilangnya sebuah memorabilia Jakarta yang berdimensi kultural. Kedua, pemerintahan kota gagal menawarkan solusi cerdas pasca-penggusuran Jalan Barito. Kios-kios pengganti yang disediakan pemerintahan kota—berukuran 2 meter X 2 meter—di kawasan Radio Dalam secara teknis justru tak memadai untuk keperluan display akuarium-akuarium ikan hias (ibid). Apa yang bisa dikatakan dengan kenyataan ini terkait erat dengan punahnya kewirausahaan masyarakat oleh tercetusnya spirit pragmatisme pemerintahan kota. Persis seperti kemudian ditulis harian Kompas (19 Januari 2008, hlm. 25), “….kios-kios baru di kawasan radio Dalam, Jaksel, baru 25 persen yang sudah dilengkapi pintu gulung (rolling door). Lubang-lubang sakelar listrik juga baru mulai dipasang. Jumlah kios 104 dan masing-masing berukuran 2 meter X 2 meter.”

Penafsiran terhadap pesan yang tersembul dalam pemberitaan media massa adalah keniscayaan untuk melakukan pemaknaan akan hakikat demokrasi dalam aras hubungan antara negara dan kaum marjinal. Sejatinya, penggusuran di Jalan Barito dijadikan cermin mengubah tabiat aparat negara agar lebih peduli akan nasib kaum marjinal. Kalau tidak, terus-menerus tata kelola negara hanya melahirkan resultante sumbang berupa ketakbermaknaan demokrasi. Karut-marut demokrasi, pada akhirnya, kian tak dapat dilepaskan dari tata kelola negara. Seperti tak disadari, negara mendedahkan dirinya sebagai musuh demokrasi.·

Rabu, 16 Januari 2008

Dalam Pusaran Sensasi Soeharto

Anwari WMK
Peneliti & Penulis Buku di LP3ES, Jakarta

Terhitung sejak 4 Januari 2008, Soeharto masuk Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP), untuk kembali dirawat intensif lantaran menderita berbagai macam penyakit pada usia tua. Serta-merta, muncul apa yang disebut “sensasi Soeharto” di media massa. Tatkala perawatan mantan presiden era Orde Baru itu berjalan lebih dari satu minggu lamanya, maka seluruh televisi yang memancarkan siarannya dari Jakarta tiba-tiba terseret ke dalam persaingan sengit. Sakitnya Soeharto di RSPP lalu menjadi obyek timbulnya kehebohan dalam pemberitaan televisi, bahkan melampaui heboh pemberitaan tentang banjir di sepanjang aliran Sungai Bengawan Solo—yang meminta tumbal pengorbanan manusia—pada permulaan Januari 2008. Breaking news, headline news dan pemberitaan televisi yang berjalan secara reguler pada akhirnya benar-benar tersentak ke dalam pusaran sensasi Soeharto. Sekali lagi berlaku diktum di sini, bahwa orang besar dengan lilitan masalah besar melahirkan berita besar. Lebih-lebih ketika Tim Dokter Kepresidenan berbicara tentang kesehatan Soeharto dengan nomenklatur “sangat menurun”, “sempat kritis” dan “peluang untuk sembuh kembali hanya 50%” (lihat editorial “Pak Harto”, Republika, 7 Januari 2008) maka tak bisa dielakkan jika kemudian televisi-televisi nasional benar-benar terseret ke dalam pusaran sensasi Soeharto. Seakan, dengan teknikalitas pemberitaan televisi yang sedemikian rupa itu, Soeharto digambarkan secara implisit tengah berada dalam hitungan mundur menjemput ajal. Maka, televisi melakukan upaya conditioning melalui pemberitaan, bahwa tak ada lagi masalah penting dan mendasar di negeri ini selain berita sakitnya Soeharto.

Dari sini tak terelakkan munculnya pertanyaan, apakah media massa bertindak adil lantaran telah membetotkan diri pada fokus secara luar biasa terhadap realisme di seputar kesehatan Soeharto? Apakah persoalan-persoalan pelik yang dihadapi bangsa ini berada dalam derajat lebih rendah dibandingkan dengan sakitnya Soeharto? Atau bagaimana sebenarnya?

Kita tahu, Soeharto benar-benar tengah berada dalam gelombang naik turun yang teramat labil antara sadar dan kritis secara klinis. Perawatan Soeharto di RSPP, dengan sendirinya, merupakan sebuah ruang waktu yang menyerupai drama hidup mati pada diri seorang tokoh nasional yang despotis serta pernah menjadi pemimpin besar di negeri ini selama kurang lebih tiga dekade. Hanya saja, apakah dengan latar belakang sebagai pemimpin besar yang despotis berarti televisi memiliki keabsahan untuk mempertontonkan hingga aspek yang sangat detail peristiwa sakitnya Soeharto? Apa perlunya pembeberan sosok Soeharto yang teramat payah di tempat tidur? Ternyata, jawab atas pertanyaan ini seluruhnya negatif. Televisi terlampau berlebihan menyiarkan drama sakit Soeharto dari RSPP. Bukan saja lantaran televisi tumpul saat diharapkan mampu memberikan solusi secara medasar terhadap masalah Soeharto selama hampir satu dekade berjalan, lebih dari itu pemberitaan tentang Soeharto dari RSPP hanyalah mengambil titik tolak dari persaingan sengit antar-stasiun televisi. Tak lebih dan tak kurang.

Seandainya tak sedemikian obsesif televisi merilis pemberitaan dari RSPP, mungkinkah terbentuk gelombang simpati terhadap Soeharto? Sebagaimana diketahui, beberapa kelompok masyarakat di berbagai penjuru Nusantara menyelenggarakan ritual doa untuk kesembuhan Soeharto. Inilah spontanitas yang sedikit banyaknya dipicu oleh realisme sakitnya Soeharto dari RSPP berdasarkan kerangka dramaturgi pemberitaan televisi. Tanpa bisa dielakkan, televisi telah memancing timbulnya simpati terhadap Soeharto. Barangkali, inilah simpati yang bersemayam di bawah permukaan kesadaran publik dan lalu menemukan momentumnya untuk tampil ke permukaan. Jajak pendapat yang lantas dirilis harian Kompas edisi 14 Januari 2008 menyebutkan, bahwa mereka yang bersimpati kepada Soeharto adalah kelompok masyarakat berpendidikan rendah, berusia antara 30 hingga 50 tahun. Pada tataran lain, gelombang simpati publik turut serta mendorong munculnya pernyataan arogan dari para kroni Soeharto. Para kroni yang datang menjengut sang patron di RSPP secara keseluruhan berbicara tentang Soeharto yang tak pernah berbuat salah. Kalau pun tersembul catatan tentang kesalahan, Soeharto harus tetap dimengerti sebagai tokoh berjasa besar pada bangsa ini dalam konteks pembangunan ekonomi. Kita melihat di sini, sensasi pemberitaan televisi telah dimanfaatkan sedemikian rupa oleh para kroni untuk berbicara tentang Soeharto yang can do no wrong.

Refleksi kritis terhadap kuasa otoriter Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto sesungguhnya membuahkan kesimpulan yang menarik. Pertama, hakikat dan logika otoritarianisme Orde Baru tidak berada dalam bentangan total kekuasaan Soeharto. Konsolidasi kekuasaan otoriter Orde Baru bermula sejak paruh terakhir dekade 1980-an, yakni tatkala anak-anak Soeharto mulai terlibat pengelolaan korporasi. Kedua, konsepsi “negara budiman” diimplementasikan ke dalam konteks pembangunan ekonomi dan sosial. Pada titik ini masyarakat bawah merasakan adanya kemudahan mendapatkan bahan bakar minyak (BBM), sembako murah, akses pendidikan yang semakin baik, pelayanan kesehatan melalui Posyandu maupun Puskesmas dan sebagainya. Ketiga, stabilitas politik dicapai melalui kontrol ketat media massa, kampus perguruan tinggi, LSM dan penyederhanaan sistem kepartaian. Dengan ini semua, tak mengherankan jika dukungan terhadap otoritarianisme Soeharto datang dari: (i) masyarakat bawah yang secara gradual merasakan adanya peningkatan kemakmuran, dan (ii) para elite politik di seputar lingkar kekuasaan Soeharto, (iii) aktor ekonomi yang mendapatkan dukungan dari anak-anak Soeharto. Sementara, penentangan terhadap otoritarianisme Soeharto datang dari kalangan kelas menengah independen yang sangat kritis dan pro-demokrasi. Kelompok terakhir inilah yang dalam jajak pendapat Kompas diidentifikasi sebagai “berusia muda dan berpendidikan tinggi”.

Dengan konstalasi semacam itu tak mengherankan jika pada akhirnya kita benar-benar menyaksikan lontaran opini kaum royalis-Soehartois berkenaan dengan keniscayaan untuk melupakan kesalahan-kesalahan Soeharto. Juga melalui siaran televisi, kaum royalis-Soehartois berbicara tentang lebih besarnya jasa Soeharto dibandingkan dengan kesalahannya. Dari lontaran opini itu kita benar-benar menyaksikan munculnya kekacauan logika berpikir, terutama jika diteropong ke dalam konteks kebangsaan. Bagaimana pun, Soeharto harus ditimang eksistensi dirinya sebagai negarawan, yang niscaya berkarya tanpa pamrih. Karena itu, ia tak boleh melakukan kesalahan substansial. Di sinilah letak persoalannya. Kesalahan substansial Soeharto selama berkuasa terkait erat dengan runtuhnya keadilan ekonomi dan masifnya pelanggaran HAM. Kemunculan usaha-usaha konglomerasi pada era Orde Baru merupakan kelanjutan logis besarnya privilege anak-anak dan kroni Soeharto. Dari sini terjadi penguatan terhadap gejala dan tendensi nepotisme, kolusi dan korupsi. Sementara masifnya pelanggaran HAM, mengejawantah pada kekerasan aparat terhadap rakyat. Hal yang tipikal pada Soeharto adalah berkarya dengan pamrih. Semua itu dikamuflase dengan kemakmuran semu.

Retorika tentang Soeharto sebagai “manusia biasa, tak luput dari salah dan dosa” sesungguhnya tak relevan dikemukakan di sini. Sebab, kita tak sedang berbicara tentang kesalahan aksidental seorang manusia. Kesalahan Soeharto bersifat sistemik dan terencana, sehingga mengkristal menjadi kesalahan yang bersifat substansial. Celakanya, melalui siaran televisi, kesalahan yang bersifat substansial itu dijungkirbalikkan menjadi kesalahan aksidental. Televisi benar-benar terjebak ke dalam pusaran sensasi Soeharto.·

Jakarta, 17 Januari 2008