Minggu, 27 Januari 2008

Revitalisasi Kereta Api


Anwari WMK
Peneliti dan Penulis Buku di LP3ES, Jakarta

Dalam realitas hidup masyarakat Indonesia, kereta api sudah dikenal sejak abad XIX. Bersama dengan kehadiran paberik gula, kereta api merupakan simbol berlangsungnya evolusi dalam perekonomian Indonesia hingga mencapai tahap industrialisasi. Tanpa kehadiran kereta api dan paberik gula sulit mengidentifikasi adanya industrialisasi sejak abad XIX. Tetapi juga seperti halnya paberik gula, kereta api di Indonesia merupakan legacy perekonomian abad XIX yang tak kompetitif manakala disimak ke dalam realitas masa kini. Tak berlebihan jika dikatakan, bahwa kereta api sesungguhnya tak bisa mengelak dari penilaian yang cukup sengak: “adanya sama dengan tidak adanya”. Itulah mengapa, pembicaraan tentang “revitalisasi kereta api” di Indonesia memiliki resonansi secara sangat kuat dengan besarnya harapan agar kereta api mampu kembali tampil sebagai simbol industrialisasi. Pertanyaan kritisnya, mungkinkah harapan itu dapat diwujudkan?

Tatkala Ciliwung Blue Line mulai beroperasi sejak 30 November 2007, sedikit banyaknya kita mulai menyaksikan munculnya tanda-tanda bakal bergulirnya revitalisasi peran kereta api. Sebagaimana diketahui, Ciliwung Blue Line adalah rangkaian kereta rel listrik yang dirancang sedemikian rupa wangi, sejuk dan bersih. Dengan kapasitas angkut sekitar 400 orang, inilah circle line spesifik metropolitan Jakarta, semacam transportasi publik yang dalam hal kenyamanan mengadopsi prototipe bus Transjakarta. Bergerak delapan kali sehari memutari rute stasiun-stasiun kecil seantero Jakarta, Ciliwung Blue Line menjangkau stasiun Manggarai, Sudirman (Dukuh Atas), Karet, Tanah Abang, Duri, Angke, Kampung Bandan, Kemayoran, Pasar Senen, Kramat dan Jatinegara. Sebuah kesaksian menyebutkan, bahwa untuk mengelilingi seantero Ibu Kota Jakarta Ciliwung Blue Line membutuhkan waktu sekitar 100 menit (Koran Tempo, 1 Desember 2007, hlm. A3).

Tentu saja, membayangkan bergulirnya revitalisasi kereta api dalam maknanya yang utuh tidaklah realistis jika semata mengacu pada variabel tunggal kehadiran Ciliwung Blue Line. Hingga saat ini, stasiun demi stasiun yang dilalui Ciliwung Blue Line belum sepenuhnya mampu memperlihatkan citra sebagai ruang publik yang terkelola secara profesional. Stasiun yang tampak awut-awutan itu seakan tak memiliki perbedaan secara signifikan dibandingkan dengan “etalase” perkampungan kumuh di sepanjang kiri-kanan rute yang dilalui Ciliwung Blue Line. Apa yang penting ditegaskan dengan demikian, revitalisasi mengambil titik tolak dari teori sosial, bahwa kemajuan maupun keterbelakangan berada dalam totalitas. Artinya, kemajuan dan atau keterbelakangan bercorak multidimensional. Agenda revitalisasi kereta api, pada akhirnya, mustahil jika semata ditumpukan pada kehadiran Ciliwung Blue Line. Lebih dari itu, harus juga dilakukan pembenahan secara menyeluruh terhadap berbagai aspek yang memang tak terelakkan bersentuhan dengan kereta api.

Manakala kita seksama memperhatikan penyikapan pemerintah, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa kereta api dikedepankan sebagai solusi masalah transportasi publik di Indonesia. Dalam hal prioritas pengembangan, kereta api berada di bawah gradasi angkutan laut. Itulah mengapa, angkutan kereta api mendapatkan porsi anggaran nomor dua—dari APBN—setelah angkutan laut (Republika, 1 Desember 2007, hlm. 10). Sungguh pun demikian, tetap tak ada jaminan bahwa besarnya anggaran yang dikucurkan untuk mempertahankan eksistensi kereta api dengan sendirinya berarti disertai oleh kejelasan agenda revitalisasi kereta api. Harapan yang terbersit pun menjadi terbatas, yaitu bagaimana Ciliwung Blue Line memberi kontribusi pada upaya mengurai simpul kemacetan Jakarta yang begitu patologis. Untuk keperluan lain pembenahan secara menyeluruh kereta api, kehadiran Ciliwung Blue Line belum disertai prasyarat tegaknya good governance pada totalitas pengelolaan.

Berpijak pada kenyataan lapangan, revitalisasi kereta api bersentuhan dengan banyak aspek dan dimensi. Penjelasan tentang berbagai aspek dan dimensi tersebut memiliki kaitan erat dengan kehadiran Ciliwung Blue Line. Jika berbagai hal dan dimensi itu merupakan diktum umum revitalisasi kereta api, maka makna penting kehadiran Ciliwung Blue Line terkait erat dengan upaya pengejawantahan diktum umum revitalisasi menjadi kenyataan. Dengan kata lain, Ciliwung Blue Line merupakan contoh kongkret pelaksanaan agenda revitalisasi. Diktum umum dimaksud mencakup solusi empat masalah berikut.

Pertama, keamanan merupakan keniscayaan yang tak sepenuhnya terakomodasi ke dalam moda angkutan kereta api. Watak kereta api sebagai angkutan umum yang membawa serta penumpang dalam jumlah banyak sesungguhnya membutuhkan desain security management secara canggih. Sejatinya, kereta api yang tengah berjalan dipersepsi sebagai domain bagi hadirnya society in moving, dan lantaran itu diskenariokan memiliki pola pengamanan secara sistematis, efektif serta dapat diandalkan lantaran mampu bergerak cepat menangkal kemungkinan timbulnya gangguan keamanan. Dalam kenyataan sesungguhnya, agenda keamanan semacam ini tak pernah berhasil diwujudkan oleh para pihak pengelola angkutan kereta api. Kehilangan barang yang begitu jamak serta aksi pencopetan merupakan nokhtah hitam buruknya jaminan kemanan di atas kereta api. Bahkan, kereta eksekutif super mewah tak sepenuhnya steril dari buruknya keamanan itu.

Kedua, dari dulu hingga kini, bahkan hingga ke masa depan, meningkatan mutu angkutan kereta api terkendala oleh tak adanya jaminan keselamatan. Jujur harus dikatakan, bahwa hingga detik ini kereta api merupakan “mesin pembunuh” yang tak habis-habisnya meminta tumbal pengorbanan jiwa manusia. Kecelakaan demi kecelakaan mempertegas kesimpulan rendahnya tingkat keselamatan kereta api. Teka-teki yang tak tersingkapkan hingga kini berkenaan dengan rendahnya jaminan keselamatan berhubungan erat dengan faktor human error. Hingga sebuah peristiwa kecelakaan kereta api berlalu ditelan waktu, tetap tak ada klarifikasi apakah kecelakaan itu dipicu oleh faktor human error atau disebabkan oleh rendahnya kapasitas teknologi. Rendahnya tingkat keselamatan bahkan tercermin secara sangat kuat pada terjadinya serangkaian tabrakan kereta api dengan kendaraan bermotor di pintu-pintu perlintasan.

Ketiga, kenyamanan di atas angkutan kereta api sejauh ini belum berkembang menjadi ikon pengelolaan transportasi publik yang menjunjung tinggi kedaulatan publik konsumen. Gerbong yang kotor, toilet yang pesing serta hal-hal lain yang mengekspresikan ketidakberesan merupakan realisme yang tak terpisahkan dari keberadaan kereta api. Ketidaknyamanan hingga menyentuh titik nadir paling rendah terpatri secara sangat kuat pada kereta api kelas bawah. Kereta api ini bukan saja kotor, gerah dan bahkan pengap, lebih dari itu para pedagang asongan, pengemis, pengamen, dan bahkan preman hadir secara bersamaan untuk mencabik tingkat kenyamanan. Tragisnya, para pengelola kereta api memandang semua ini sebagai kelaziman yang tak perlu dikoreksi.

Keempat, pelayanan awak angkutan kereta api untuk keperluan personal publik penumpang belum sepenuhnya mampu diposisikan sebagai courtesy yang patut dicatat dengan tinta emas. Kebutuhan penumpang akan makan dan minum selama dalam perjalanan, merupakan contoh paling mencolok terciptanya suatu model pelayanan yang tak menjunjung tinggi courtesy. Untuk sekadar tersenyum, para petugas restoran kereta api mampu memenuhinya. Tetapi kejujuran dalam hal pengembalian kelebihan uang pembayaran, berada dalam gradasi yang sangat buruk. Tak terhitung pengalaman publik penumpang yang justru tak pernah mendapatkan pengembalian pembayaran dari jasa penyediaan makan dan minum. Persoalan yang mecuat di sini bukan terutama terkait dengan besar kecilnya nilai nominal pengembalian kelebihan pembayaran. Masalah fundamentalnya adalah ketidakjujuran petugas restoran. Diakaui atau tidak, inilah social habit yang justru mencoreng-moreng citra kereta api.

Penyelesaian empat persoalan ini merupakan pilar revitalisasi kereta api. Itulah mengapa, KRL Ciliwung Blue Line yang digambarkan sebagai “pilihan baru publik Jakarta” (Kompas, 1 Desember 2007, hlm. 27) semestinya sejak dari awal diposisikan sebagai inspirator bagi tercetusnya revitalisasi peran kereta api secara keseluruhan. Kalau tidak, Ciliwung Blue Line—sebagai commuter rail transit—merepresentasikan perbaikan kondisi angkutan kereta api dalam maknanya yang amat sangat partikular. Sementara, angkutan kereta api yang lain tetap bobrok, dan bahkan tak manusiawi.●

Tulisan ini pernah dipublikasikan di Business News.

Tidak ada komentar: