Kamis, 31 Januari 2008

Jalinan Korupsi BI-DPR

Anwari WMK
Peneliti dan Penulis Buku di LP3ES, Jakarta

Seandainya anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang terlebih dahulu ditetapkan sebagai tersangka dalam skandal aliran dana Bank Indonesia (BI) ke DPR, bagaimana lalu opini publik (public opinion) meresponsnya? Pada 28 Januari 2008, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengumumkan, bahwa Gubernur BI Burhanuddin Abdullah, Direktur Hukum BI Oey Hoeng Tiong dan mantan Kepala Biro Gubernur BI Rusli Simanjuntak, ditetapkan sebagai tersangka dalam skandal aliran dana BI ke sejumlah anggota DPR. Dasar penetapan sebagai tersangka itu ialah tindakan mengeluarkan dana BI, yang menurut KPK melawan undang-undang. Cerita ini, sesungguhnya, bermula sejak munculnya berita yang menghebohkan di media massa pada sekitar November 2006. Bahwa, Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI)—milik BI—mengeluarkan dana secara bertahap untuk keperluan dua hal yang sangat pentingg, yaitu: (1) penyelesaian kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), dan (2) diseminasi perubahan undang-undang BI. Peristiwa itu berlangsung pada 2003 dengan total dana yang dikeluarkan mencapai Rp 31,5 miliar. Anasir DPR penerima aliran dana itu adalah Panitia Khusus di Komisi IX, pada masa bakti 1999-2004.

Sayangnya, ketika pada akhirnya KPK menyebut nama-nama tersangka sebatas tokoh-tokoh BI, mencuat opini suram di media massa. Bukan saja KPK tak dipersepsi sebagai “pahlawan kebajikan”, lebih dari itu KPK dipergunjingkan tengah melecehkan keadilan. Lain halnya jika penetapan tersangka mencakup pejabat-pejabat BI dan anggota-anggota DPR sekaligus, maka kemungkinan terbesarnya KPK dimengerti publik sebagai hero. Pada pelataran lain, KPK, agaknya, menangkap munculnya opini publik yang serba nyinyir itu. Maka, pada perguliran selanjutnya, KPK berkelit di ruang publik dengan sejumlah logika. Ketua KPK Antasari Azhar lalu berbicara tentang hulu dan hilir pencuatan skandal aliran dana BI ke DPR. Hulu timbulnya skandal itu ada di BI, sedangkan hilirnya di DPR. Strategi yang dicanangkan KPK lalu seperti ini: hulu dulu yang ditangani, baru kemudian hilirnya. Inilah sebuah logika yang sesungguhnya linear dan tak sepenuhnya bisa diterima oleh akal sehat.

Berdasarkan informasi yang dilansir Wakil Ketua Bidang Penindakan KPK, Chandra M. Hamzah, menjadi jelas duduk perkaranya. Bahwa status tersangka tokoh-tokoh BI merupakan konsekuensi logis dari ditingkatkannya proses penyelidikan ke tingkat penyidikan. Tetapi yang muskil dari pernyataan Chandra M. Hamzah bersangkut paut dengan kemungkinan adanya tersangka lain di luar BI. Ada tidaknya tersangka lain di luar BI, kata Chandra M. Hamzah, bergantung pada proses penyidikan yang akan dilakukan dalam waktu singkat (Republika, 29 Januari 2008, hlm. 12). Apa yang dapat disimpulkan dengan demikian, tokoh-tokoh BI memang diposisikan sebagai antagonis dari keseluruhan cerita dalam jalinan korupsi BI-DPR. Malah, pernyataan Chandra M. Hamzah itu mempertontonkan tendensi adanya skenario bahwa anggota parlemen yang terseret skandal ini sebisa mungkin menjadi protagonis yang untouchable, alias selamat dari sentuhan hukum.

Tak dapat dinafikan, tendensi ini pula yang dapat menjelaskan, mengapa surat-surat kabar nasional pada edisi Rabu, 30 Januari 2008, memperlihatkan isyarat yang jauh lebih kritis saat harus menyimak sepak terjang KPK. Headline di harian Kompas tampil dengan tulisan besar: “Gubernur BI Tak Perlu Mundur”. Headline di harian Seputar Indonesia tampil dengan kalimat: “Gubernur BI Merasa Tertekan”. Pada edisi sore, harian Seputar Indonesia mengusung headline, “KPK Harus Jelaskan Kasus BI”. Suara Pembaruan malah tampil dengan headline yang jauh lebih menggelegar: “Kasus Gubernur BI Bernuansa Politik”. Sekali pun tak mengangkatnya sebagai headline, di halaman depan Republika menurunkan berita bertajuk: “Kebijakan BI Bersifat Kolegial”. Pembacaan secara seksama terhadap seluruh headlines itu memperlihatkan timbulnya kekecewaan kalangan media massa. Ketika isu jalinan korupsi BI-DPR bergulir sejak November 2006, mestinya penyebutan secara definitif para tersangkanya pada kurun waktu lebih dari setahun kemudian mencakup dua pihak sekaligus, yaitu pejabat BI dan anggota DPR periode 1999-2004. Penetapan tersangka dari kedua pihak ini, boleh dikata, merupakan ekspektasi yang menghablur dalam pemberitaan media massa sejak November 2006. Ternyata, ekspektasi itu terpatahkan oleh keputusan KPK yang hanya menyentuh “koruptor” di sisi hulu, tidak di sisi hilir. Pertanyaan yang lantas relevan diajukan, ke mana arah perguliran isu jalinan korupsi BI-DPR ini bergerak?

Munculnya aksentuasi spesifik dalam pemberitaan media massa bahwa kebijakan BI bersifat kolegial, tak bisa tidak, merupakan pukulan balik terhadap KPK. Itulah mengapa, pernyataan Gubernur BI Burhanuddin Abdullah berada dalam derajat lebih bermakna bagi media massa dibandingkan dengan berbagai pernyataan yang dilontarkan pimpinan KPK. Pernyataan yang berpijak pada argumentasi hukum dikemukakan Burhanuddin Abdullah dengan kalimat seperti ini: “Sesuai undang-undang, setiap kebijakan BI yang strategis dan prinsipil, ditetapkan Rapat Dewan Gubernur yang sifatnya kolegial, bukan pribadi. Kebijakan diseminasi dan bantuan hukum, dinilai perlu ketika itu, mengingat laporan keuangan BI mendapat predikat disclaimer. Ini sangat mempengaruhi rating Indonesia.”

Substansi yang termaktub ke dalam narasi kalimat ini mempertanyakan dasar-dasar moralitas dari cara kerja KPK. Jika penyaluran dana ke DPR diekplisitkan sebagai keputusan keliru yang pernah dilakukan BI, maka, sebagai konsekuensinya, KPK harus menetapkan seluruh pejabat BI yang terlibat Rapat Dewan Gubernur (RDG) sebagai tersangka. Sebagai lembaga yang berdiri di garda depan eradikasi korupsi, sejatinya KPK menelisik kecamuk korupsi di BI secara menyeluruh. Dalam konteks jalinan korupsi BI-DPR, penelisikan secara menyeluruh itu tiada lain kecuali penetapan sebagai tersangka seluruh pejabat BI yang terlibat RDG. Mengapa pada akhirnya hanya tiga pejabat BI yang ditetapkan sebagai tersangka? Ada apa dengan KPK? Mungkinkah KPK bersiteguh pada janjinya semula bahwa sisi hilir dari skandal korupsi ini juga bakal disentuh KPK? Ataukah KPK hanya tengah melontarkan retorika ke arah pemberangusan di sisi hilir? Jika pada kelembagaan BI saja KPK menilik persoalan dengan sudut pandang miopik, bagaimana mungkin KPK mampu menyimak keterlibatan anggota-anggota DPR dengan sudut pandang yang bening?

Berpijak pada perspektif yang semata common sense, jalinan korupsi BI-DPR dapat disimak ke dalam kerangka tipologi korupsi berjamaah. Tanpa harus menggunakan teori dan pendekatan yang rumit serta berbelit-belit, skandal BI-DPR dapat ditilik secara terang benderang sebagai wujud kongkret korupsi berjamaah. Penyebutan secara definitif hanya pada beberapa gelintir orang sebagai pelaku tindak korupsi, justru menegasikan hakikat korupsi berjamaah. Maka, menjadi mendesak dipertanyakan, apa sesungguhnya latar belakang penetapan tersangka hanya pada segelintir orang? Mungkinkah dengan demikian, KPK menjunjung tinggi prinsip keadilan? Jawab atas pertanyaan ini termaktub ke dalam headline harian Suara Pembaruan. Bahwa menjelang pemilihan Gubernur BI 2008-2013, KPK mempolitisasi skandal jalinan korupsi BI-DPR. Dikaitkan dengan momentum waktu 17 Februari 2008 di mana DPR harus sudah menerima nama-nama kandidat Gubernur BI dari Presiden, maka tak terelakkan mencuatnya nuansa politik penetapan tersangka skandal jalinan korupsi BI-DPR. KPK bukan tidak paham bahwa keberhasilan memimpin BI merupakan peluang bagi Burhanuddin Abdullah untuk terpilih kembali sebagai gubernur. Karena itu, teka-teki yang lantas mencuat di sini, untuk kepentingan siapa KPK bekerja?

Apa yang lalu bisa kita katakan dengan demikian adalah ini, KPK tak memiliki kejelasan misi profetik dalam upaya besar eradikasi korupsi di negeri ini. Kebeningan nurani belum memperlihatkan kesejatiannya di KPK. Sebagai elemen penting tegaknya rasionalitas dalam tata kelola negara, KPK bekerja penuh pamrih. Puih![]

1 komentar:

Data Babble mengatakan...

Very Interesting!