Minggu, 27 Januari 2008

Kulminasi Harga Minyak Dunia


Anwari WMK
Peneliti dan Penulis Buku di LP3ES

Apa yang dapat disimpulkan dari kenaikan harga minyak di pasar dunia hingga menembus angka US$ 100 per barrel pada 2 Januari 2008 adalah faktor penyebab yang dapat dibaca dengan serta-merta dan implikasinya terhadap perekonomian negara [dalam kerangka APBN] di Indonesia. Dua hal ini penting dielaborasi lebih jauh untuk menemukan kejelasan rasionalitas kenaikan harga minyak dunia dan problema fiskal dalam realitas Indonesia. Terutama dalam situasi menjelang Pemilu 2009, sangat terbuka kemungkinan bahwa dampak yang sangat gawat dicetuskan oleh kenaikan harga minyak di pasar dunia tak diungkapkan secara jujur oleh pemerintah. Dengan maksud agar tak kehilangan popularitas dalam kancah Pemilu 2009, pemerintah yang tengah berkuasa kini mengabaikan rasionalias ekonomi untuk tak menaikkan patokan harga minyak dalam APBN.

Sebagaimana diketahui, ada empat sebab mengapa harga minyak dunia menembus angka psikologis US$ 100 per barrel, yaitu: (1) Ketidakjelasan informasi berkenaan dengan disparitas antara magnitude kebutuhan minyak dan pasokan minyak di Amerika Serikat, (2) Kian melemahnya nilai tukar mata uang US$ terhadap mata uang kuat lainnya di dunia, (3) Eskalasi kekerasan politik di negara atau kawasan penghasil minyak, (4) Pertumbuhan ekonomi di China dan India memperbesar permintaan terhadap pasokan minyak. Tak pelak lagi, faktor penyebab kenaikan harga minyak dunia itu tak sepenuhnya berada dalam diterminasi perkembangan industri manufaktur yang secara substansial memang membutuhkan pasokan minyak. Kenaikan harga minyak dunia hingga mencapai US$ 100 per barrel juga dipicu oleh sebab-sebab yang intangible dan spekulatif. Dari sini pula muncul sinyal peringatan. Jika pada awal tahun 2008 saja harga minyak di pasar dunia sudah bertengger pada kisaran US$ 100 per barrel, maka sesungguhnya terbuka lebar probalitas bahwa selama 2008 harga minyak bisa mencapai lebih dari US$ 100 per barrel. Inilah kenyataan yang niscaya dibaca dalam kaitan makna dengan kian sulitnya mengelak dari berbagai faktor spekulatif yang ikut serta mendikte perubahan struktur harga minyak di pasar dunia.

Hal mendasar lain yang kemudian penting ditegaskan lebih lanjut ialah membaca kenyataan ini sebagai masih dominannya posisi Amerika Serikat (AS) dalam mengorkestrasi besar kecilnya konsumsi minyak dunia. Begitu dominanya posisi AS itu tercermin secara sangat kuat pada pengaruh demand dan supply minyak terhadap inflasi. Sejak dekade 1980-an, misalnya, minyak sudah memperlihatkan "kedigdayaannya" untuk mempengaruhi tingkat inflasi di AS, yaitu ketika konsumsi energi mencapai 14% hingga 15% dalam Gross Domestic Product (GDP) AS (Republika, 4 Januari 2008, hlm. 15). Padahal, harga minyak pada kurun waktu tersebut baru berada pada kisaran US$ 38 per barrel. Bandingkan dengan outstanding harga saat ini yang mencapai US$ 100 per barrel hingga US$ 103 per barrel. Minyak yang memiliki hubungan kausalistis dengan inflasi itu mau tak mau kemudian bermetamorfosis menjadi salah satu elemen spekulasi. Celakanya, spekulasi yang terjadi di AS merupakan episentrum bagi mencuatnya spekulasi pada tingkat global. Ketika benar-benar tak ada disclosure berkenaan dengan disparitas antara kebutuhan dan pasokan minyak di AS, maka dengan sendirinya spekulasi itu kian menjadi-jadi. Apalagi, ketika ternyata AS bersikukuh pada kepentingan nasionalnya untuk tak melepaskan cadangan minyaknya ke pasar, maka kian mengkristal spekulasi menuju kulminasi harga minyak dunia.

Sulit dipungkiri munculnya kesimpulan, bahwa struktur harga minyak pada kisaran US$ 100 per barrel bukanlah harga faktual. Itulah mengapa struktur harga minyak ini melampaui nilai ekonomi produksi minyak itu sendiri. Besaran harga ini bernuansa psikologis sejalan dengan pola kerja virtual economy. Masalahnya, ini bukan spekulasi portfolio, tetapi spekulasi yang sepenuhnya berkaitan erat dengan komoditas energi yang day to day justru menentukan kontinuitas industri manufaktur, transportasi dan beragam konsumsi minyak bumi dalam cakupan yang sangat luas. Apa yang hendak dikatakan adalah ini: Kenaikan harga minyak dunia yang sedemikian rupa itu sesungguhnya merupakan ancaman yang sangat serius terhadap perekonomian setiap negara. Terutama, bagi negara yang memang memiliki ketergantungan secara sangat kuat terhadap bahan bakar minyak (BBM). Di sinilah lalu pertaruhannya, sejauhmana pemerintahan di setiap negara jernih melihat implikasi serius yang ditimbulkan oleh kenaikan harga minyak hingga mencapai US$ 100 per barrel.

Dalam konteks ini kita menjadi paham mengapa Menkeu Sri Mulyani Indrawati mengekspresikan kecemasannya terhadap kulminasi harga minyak di pasar dunia. Pada satu sisi, menurut Sri Mulyani, kenaikan harga minyak dunia berkorelasi positif dengan penerimaan Migas dalam APBN. Tetapi di lain sisi, besaran subsidi BBM berkait erat dengan kebijakan pemerintah dalam konteks konversi energi, penghematan anggaran pemerintah dan perubahan komposisi barang-barang yang disubsidi. Bagaimana semua variabel ini diperhitungkan secara seksama dengan mempertimbangkan harga minyak hingga mencapai US$ 100 per barrel. Tak bisa tidak, substansi persoalan yang dikemukakan Sri Mulyani merupakan representasi dari kegalauan membaca realisme kian besarnya persoalan minyak dalam APBN. Agar tak kelimpungan menghadapi kenaikan harga minyak pada outstanding US$ 100 per barrel, maka muncul keputusan politik yang bersifat generik. Pemerintah bakal mengadopsi apa yang disebut "sembilan langkah" pengamanan.

Sembilan langkah dimaksud mencakup: (1) Penggunaan dana cadangan Rp 6 triliun yang khusus digunakan pada saat harga rata-rata Indonesian Crude Price (ICP) berada di atas target APBN (US$ 60 per barrel), (2) Mendorong penghematan anggaran di 78 departemen dan lembaga nondepartemen hingga mencapai Rp 11,7 triliun, (3) Memanfaatkan surplus penghasilan yang melonjak di daerah penghasil minyak hingga diharapkan ada dana yang bisa digunakan untuk memperkuat APBN sekitar Rp 13,9 triliun, (4) Penajaman prioritas belanja kementerian dan lembaga nondepartemen dengan potensi Rp 10,4 triliun, (5) Memperbaiki parameter produksi dan konsumsi BBM dan listrik, di antaranya mengurangi volume BBM bersubsidi dari 38,2 juta kiloliter pada 2007 menjadi 36,3 juta kiloliter pada 2008, (6) Menekankan efisiensi Pertamina dan PLN, (7) Mengoptimalkan pendapatan negara, (8) Melonggarkan defisit melalui penambahan penerbitan obligasi negara, (9) Memberikan insentif fiskal bagi sektor riil.

Sungguh pun demikian, sembilan langkah ini bukanlah garansi untuk bebas dari kecemasan. Pertama, apa yang oleh Menteri Keuangan disebut sebagai "mekanisme politik" justru tampak sebagai antisipasi berhadapan dengan kemungkinan gagalnya implementasi "sembilan langkah" pengamanan. Mekanisme politik itu mencakup pemantauan semua dampak kenaikan harga minyak dunia hingga semester I-2008 dan Menkeu melapor ke DPR sehingga ditemukan angka defisit APBN 2008 yang dapat diterima secara politik maupun ekonomi (Kompas, 4 Januari 2008, hlm. 1, 15). Kedua, pemerintah Indonesia sesungguhgnya tak memiliki kesamaan langkah dan strategi menghadapi persoalan rumit tingginya harga minyak di pasar dunia. Secara faktual, industri manufaktur berada dalam tantangan besar lantaran ketergantungannya yang tak terelakkan pada BBM. Dalam situasi demikian Menko Perekonomian Boediono justru melontarkan pernyataan lain yang kontras dengan pernyataan Menkeu Sri Mulyani Indrawati. Substansi penting dari pernyataan Menko Perekonomian adalah “… perkembangan harga minyak global tidak terlalu mengkhawatirkan karena kecenderungannya akan menurun” (lihat editorial Media Indonesia, 4 Januari 2008).

Dalam realitas Indonesia, kulminasi harga minyak dunia berada dalam tarik menarik perspektif. Tragisnya, tarik-menarik itu muncul dalam lingkungan Kabinet Indonesia Bersatu (KIB). Tak bisa tidak, KIB lalu mempertontonkan visi ekonomi yang centang-perenang di tengah kecilnya kemungkinan terjadi kenaikan patokan harga minyak dalam APBN.●

Artikel ini semula dipublikasikan di Business News.

Tidak ada komentar: