Minggu, 27 Januari 2008

Setelah Soeharto Wafat


Anwari WMK
Peneliti dan Penulis Buku di LP3ES, Jakarta

Mantan Presiden Soeharto akhirnya meninggal dunia pada 27 Januari 2008, dalam usia 86 tahun. Tamat sudah episode kehidupan seorang pemimpin nasional, yang kehadirannya di atas panggung kekuasaan politik berada dalam rentang atmosfer pasca-Perang Dunia II hingga berakhirnya Perang Dingin di dunia. Dengan diiringi doa semoga arwahnya diterima Tuhan Yang Maha Kuasa, kita mengucapkan selamat jalan kepada Soeharto. Sungguh pun demikian, hukum besi terus memperlihatkan kedigdayannya, bahwa perginya seorang tokoh besar tak serta-merta meniadakan jejak langkahnya bagi bangsa yang ia tinggalkan. Pada satu pihak, segenap sepak terjang Soeharto di masa hidupnya bakal tertoreh abadi sebagai narasi dalam totalitas bentangan sejarah bangsa ini. Kesadaran berbangsa di negeri ini, pada akhirnya tak bisa mengabaikan tauladan yang pernah dijejakkan Soeharto. Sementara pada lain pihak, sulit dibantah fakta dan kenyataan, bahwa Seoharto saat memimpin negeri ini mengusung corak kepemimpinan otoriter. Kantor berita Associated Press (AP) bahkan melukiskan Soeharto sebagai “the U.S. Cold War ally who led one of the 20th century’s most brutal dictatorship over 32 years that saw up to a million political opponents killed”. Warna-warni ini merupakan jejak yang juga bakal ditapaki oleh generasi pasca-Soeharto. Suka atau tidak suka, jejak langkah Soeharto itu mempengaruhi perikehidupan generasi yang ia tinggalkan.

Ketika sejak 4 Januari 2008 Soeharto memasuki fase perawatan super intensif di Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP), kita justru menyaksikan bombardir kata-kata dan ucapan kaum loyalis-Soehatois. Mereka berbicara tentang keniscayaan untuk memberikan penghormatan kepada Soeharto atas jasa-jasanya yang besar dalam konteks pembangunan ekonomi. Selama dekade 1980-an hingga 1990-an, dinamika pembangunan ekonomi di bawah orkestrasi kepemimpinan Soeharto justru mendorong Indonesia untuk tampil ke depan sebagai salah satu naga yang mutlak diperhitungkan dalam lompatan kemajuan perekonomian kawasan Asia Timur dan Asia Tenggara. Tetapi pandangan kontra terhadap pernyataan kaum loyalis-Soehatois terpatri ke dalam realisme kuasa di masa Orde Baru. Selama Soeharto berkuasa muncul gerakan etno-nasionalisme dengan mengambil pola pergolakan berdarah-darah di Aceh, Papua dan Timor Timur. Sekitar 300.000 manusia tewas dalam pergolakan itu. Dunia internasional lantas mengidentifikasi brutalitas ini sebagai pelanggaran hak asasi manusia (HAM) secara sangat masif. Bersamaan dengan itu, terjadi penahanan, penyiksakan dan penghilangan nyawa kaum oposan penentang Soeharto.

Setelah Soeharto wafat, bagaimana semua itu dimengeri? Apakah bangsa ini akan terus terjebak ke dalam silang sengketa tentang Soeharto, atau bagaimana? Apakah masalah Soeharto bakal berlalu bersama angin atau justru abadi dalam pelukan waktu hingga ke masa depan? Jawab atas pertanyaan ini dapat dijelaskan seperti berikut.

Pertama, tampilnya personalitas politik Soeharto di atas panggung kekuasaan negeri ini sesungguhnya telah mencabik-cabik makna negarawan. Sebagaimana diketahui, negarawan adalah pemimpin politik yang secara taat asas menyusun kebijaksanaan negara dengan suatu pandangan ke depan atau mengelola masalah negara dengan kebijaksanaan dan kewibawaan (lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia [Jakarta: Balai Pustaka, 1995] hlm. 686). Selama Soeharto menjalani perawatan intensif di RSPP tersingkap ke atas permukaan, bahwa makna negarawan itu didistorsi oleh persoalan “jasa” dan “kesalahan”. Suara-suara yang meminta Soeharto dihormati sebagai pemimpin bangsa mengambil titik tolak dari pandangan, bahwa jasa Soeharto lebih besar dibandingkan kesalahannya. Jasa dan kesalahan lalu berada dalam sebuah trade off. Padahal, hakikat kebaikan dan keburukan yang tak terelakkan adalah kebaikan dan keburukan dalam pengertiannya yang manusiawi, di luar spektrum negarawan. Status negarawan yang melekat pada seseorang bukan lantaran tak adanya kesalahan yang bersifat manusiawi. Seorang negarawan boleh salah sebagai manusia, tetapi tidak boleh salah sebagai pemimpin bangsa.

Jika hakikat negarawan semacam ini tak diklarifikasikan, maka ke depan bakal kian banyak pejabat korup yang merasa tak bersalah. Pesta pora korupsi dianggap benar hanya karena sang koruptor juga turut membangun negeri ini. Kesalahan-kesalahan yang by design lalu dengan mudahnya dianulir melalui pembeberan jasa-jasa. Persis seperti logika Bupati Kutai Kartanegara dalam peradilan korupsi, ia merasa tak bersalah karena praktik korupsi yang ia jalankan berjalan seiring dengan keberhasilan pembangunan di Kutai Kartanegara. Ia bahkan berucap, “saya juga berjasa, yang harus dipertimbangkan dalam peradilan ini”. Seorang negarawan tak sedang “berjual beli” semacam itu. Maka, dengan getir harus kita katakan, bahwa Soeharto bukanlah seorang negarawan dalam pengertiannya yang hakiki. Dengan mengatakan ini kita memancang harapan, bahwa ke depan, tak boleh lagi muncul pemimpin nasional semacam itu. Penghormatan terhadap Soeharto justru harus dimulai melalui adanya pengakuan tentang Soeharto yang telah melakukan kesalahan pada derajat by design, dan karena itu ia bukan negarawan. Inilah cara pandang yang sepenuhnya berpijak pada altruisme. Menafikan cara pandang ini, maka kita bakal terus terseret ke dalam silang sengketa masalah Soeharto.

Kedua, format kebangsaan pasca-Soeharto berpijak pada upaya koreksi terhadap konsepsi “negara budiman”. Selama berkuasa, Soeharto telah melakukan upaya-upaya besar penciptaan kesejahteraan. Di samping mengorkestrasi pertumbuhan dan stabilitas ekonomi, Soeharto juga memperluas pelayanan dalam bidang pendidikan dan kesehatan. Pendek cerita, Soeharto seorang protagonis dalam upaya besar terwujudnya kesejahteraan rakyat. Tetapi, konsepsi negara budiman yang mendasari semua itu justru menyeret Soeharto ke dalam pamrih yang tak berkesudahan. Ia melakukan semua prakarsa ke arah terwujudnya kesejahteataan rakyat justru demi memenuhi hasrat subyektif untuk mampu berkuasa dalam jangka panjang. Apa yang penting disimpulkan dengan demikian, prakarsa kesejahteraan rakyat tak disertai keikhlasan otentik. Maka, sangat sulit pada akhirnya menyebut keunikan dirinya sebagai seorang besar. Itu pula yang dapat menjelaskan, mengapa proses-proses super kompleks pembangunan ekonomi era Soeharto mendapatkan dukungan dari sistem kekuasaan yang represif. Elemen-elemen kebangsaan yang diidentifikasi sebagai kekuatan politik kiri dan kanan dengan mudahnya tergilas oleh sistem kekuasaan represif. Juga jelas pada akhirnya, bahwa penghormatan terhadap Seoharto mutlak untuk diterjemahkan melalui eleminasi secara tuntas konsepsi negara budiman.

Ketiga, penghormatan terhadap Soeharto mempersyaaratkan terhapusnya garda kekuasaan yang semula ditumbuhkembangkan oleh kelompok loyalis-Soehartois. Ciri paling pokok kelompok ini adalah hegemoni sumber-sumber daya produktif melalui perburuan rente. Tata kelola ekonomi lalu lebih banyak digerakkan oleh faktor eksternalitas (baca: politik kekuasaan). Bukan saja kemudian terjadi perselingkuhan antara pengusaha dan penguasa berdasarkan favoritisme, lebih dari itu rancang bangun keunggulan kompetitif perekonomian nasional justru dikacau-balaukan oleh kepentingan politik. Tak mengherakna jika trase perburuan rente yang kemudian mencetuskan lahirnya usaha-usaha konglomerasi, dalam kenyataan sesungguhnya adalah konglomerasi jagoan kandang. Apakah pola pengembangan usaha konglomerasi semacam ini yang akan terus dipertahankan hingga ke masa depan? Jika “ya”, maka kita sesungguhnya terus menghidupkan memori tentang Soeharto yang buruk.

Baik problema kenegarawanan, konsepsi negara budiman, maupun hegemoni kaum loyalis-Soehartois kini telah saling bersenyawa untuk membentuk political biosphere. Dalam derajat yang tak terperikan, semua ini malah berkerja sebagai anasir terbentuknya apa yang disebut “kultur politik warisan Soeharto”. Maka, semuanya kembali kepada para pendukung Soeharto. Jika mereka tetap mengukuhkan kultur politik warisan Soeharto, maka dengan sendirinya mereka melecehkan Soeharto. Soeharto bakal terus-menerus berada di tengah-tengah sorotan kelompok-kelompok kritis. Setelah Soeharto wafat, sejatinya lahir kearifan baru dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.·

Tidak ada komentar: