Rabu, 16 Januari 2008

Dalam Pusaran Sensasi Soeharto

Anwari WMK
Peneliti & Penulis Buku di LP3ES, Jakarta

Terhitung sejak 4 Januari 2008, Soeharto masuk Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP), untuk kembali dirawat intensif lantaran menderita berbagai macam penyakit pada usia tua. Serta-merta, muncul apa yang disebut “sensasi Soeharto” di media massa. Tatkala perawatan mantan presiden era Orde Baru itu berjalan lebih dari satu minggu lamanya, maka seluruh televisi yang memancarkan siarannya dari Jakarta tiba-tiba terseret ke dalam persaingan sengit. Sakitnya Soeharto di RSPP lalu menjadi obyek timbulnya kehebohan dalam pemberitaan televisi, bahkan melampaui heboh pemberitaan tentang banjir di sepanjang aliran Sungai Bengawan Solo—yang meminta tumbal pengorbanan manusia—pada permulaan Januari 2008. Breaking news, headline news dan pemberitaan televisi yang berjalan secara reguler pada akhirnya benar-benar tersentak ke dalam pusaran sensasi Soeharto. Sekali lagi berlaku diktum di sini, bahwa orang besar dengan lilitan masalah besar melahirkan berita besar. Lebih-lebih ketika Tim Dokter Kepresidenan berbicara tentang kesehatan Soeharto dengan nomenklatur “sangat menurun”, “sempat kritis” dan “peluang untuk sembuh kembali hanya 50%” (lihat editorial “Pak Harto”, Republika, 7 Januari 2008) maka tak bisa dielakkan jika kemudian televisi-televisi nasional benar-benar terseret ke dalam pusaran sensasi Soeharto. Seakan, dengan teknikalitas pemberitaan televisi yang sedemikian rupa itu, Soeharto digambarkan secara implisit tengah berada dalam hitungan mundur menjemput ajal. Maka, televisi melakukan upaya conditioning melalui pemberitaan, bahwa tak ada lagi masalah penting dan mendasar di negeri ini selain berita sakitnya Soeharto.

Dari sini tak terelakkan munculnya pertanyaan, apakah media massa bertindak adil lantaran telah membetotkan diri pada fokus secara luar biasa terhadap realisme di seputar kesehatan Soeharto? Apakah persoalan-persoalan pelik yang dihadapi bangsa ini berada dalam derajat lebih rendah dibandingkan dengan sakitnya Soeharto? Atau bagaimana sebenarnya?

Kita tahu, Soeharto benar-benar tengah berada dalam gelombang naik turun yang teramat labil antara sadar dan kritis secara klinis. Perawatan Soeharto di RSPP, dengan sendirinya, merupakan sebuah ruang waktu yang menyerupai drama hidup mati pada diri seorang tokoh nasional yang despotis serta pernah menjadi pemimpin besar di negeri ini selama kurang lebih tiga dekade. Hanya saja, apakah dengan latar belakang sebagai pemimpin besar yang despotis berarti televisi memiliki keabsahan untuk mempertontonkan hingga aspek yang sangat detail peristiwa sakitnya Soeharto? Apa perlunya pembeberan sosok Soeharto yang teramat payah di tempat tidur? Ternyata, jawab atas pertanyaan ini seluruhnya negatif. Televisi terlampau berlebihan menyiarkan drama sakit Soeharto dari RSPP. Bukan saja lantaran televisi tumpul saat diharapkan mampu memberikan solusi secara medasar terhadap masalah Soeharto selama hampir satu dekade berjalan, lebih dari itu pemberitaan tentang Soeharto dari RSPP hanyalah mengambil titik tolak dari persaingan sengit antar-stasiun televisi. Tak lebih dan tak kurang.

Seandainya tak sedemikian obsesif televisi merilis pemberitaan dari RSPP, mungkinkah terbentuk gelombang simpati terhadap Soeharto? Sebagaimana diketahui, beberapa kelompok masyarakat di berbagai penjuru Nusantara menyelenggarakan ritual doa untuk kesembuhan Soeharto. Inilah spontanitas yang sedikit banyaknya dipicu oleh realisme sakitnya Soeharto dari RSPP berdasarkan kerangka dramaturgi pemberitaan televisi. Tanpa bisa dielakkan, televisi telah memancing timbulnya simpati terhadap Soeharto. Barangkali, inilah simpati yang bersemayam di bawah permukaan kesadaran publik dan lalu menemukan momentumnya untuk tampil ke permukaan. Jajak pendapat yang lantas dirilis harian Kompas edisi 14 Januari 2008 menyebutkan, bahwa mereka yang bersimpati kepada Soeharto adalah kelompok masyarakat berpendidikan rendah, berusia antara 30 hingga 50 tahun. Pada tataran lain, gelombang simpati publik turut serta mendorong munculnya pernyataan arogan dari para kroni Soeharto. Para kroni yang datang menjengut sang patron di RSPP secara keseluruhan berbicara tentang Soeharto yang tak pernah berbuat salah. Kalau pun tersembul catatan tentang kesalahan, Soeharto harus tetap dimengerti sebagai tokoh berjasa besar pada bangsa ini dalam konteks pembangunan ekonomi. Kita melihat di sini, sensasi pemberitaan televisi telah dimanfaatkan sedemikian rupa oleh para kroni untuk berbicara tentang Soeharto yang can do no wrong.

Refleksi kritis terhadap kuasa otoriter Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto sesungguhnya membuahkan kesimpulan yang menarik. Pertama, hakikat dan logika otoritarianisme Orde Baru tidak berada dalam bentangan total kekuasaan Soeharto. Konsolidasi kekuasaan otoriter Orde Baru bermula sejak paruh terakhir dekade 1980-an, yakni tatkala anak-anak Soeharto mulai terlibat pengelolaan korporasi. Kedua, konsepsi “negara budiman” diimplementasikan ke dalam konteks pembangunan ekonomi dan sosial. Pada titik ini masyarakat bawah merasakan adanya kemudahan mendapatkan bahan bakar minyak (BBM), sembako murah, akses pendidikan yang semakin baik, pelayanan kesehatan melalui Posyandu maupun Puskesmas dan sebagainya. Ketiga, stabilitas politik dicapai melalui kontrol ketat media massa, kampus perguruan tinggi, LSM dan penyederhanaan sistem kepartaian. Dengan ini semua, tak mengherankan jika dukungan terhadap otoritarianisme Soeharto datang dari: (i) masyarakat bawah yang secara gradual merasakan adanya peningkatan kemakmuran, dan (ii) para elite politik di seputar lingkar kekuasaan Soeharto, (iii) aktor ekonomi yang mendapatkan dukungan dari anak-anak Soeharto. Sementara, penentangan terhadap otoritarianisme Soeharto datang dari kalangan kelas menengah independen yang sangat kritis dan pro-demokrasi. Kelompok terakhir inilah yang dalam jajak pendapat Kompas diidentifikasi sebagai “berusia muda dan berpendidikan tinggi”.

Dengan konstalasi semacam itu tak mengherankan jika pada akhirnya kita benar-benar menyaksikan lontaran opini kaum royalis-Soehartois berkenaan dengan keniscayaan untuk melupakan kesalahan-kesalahan Soeharto. Juga melalui siaran televisi, kaum royalis-Soehartois berbicara tentang lebih besarnya jasa Soeharto dibandingkan dengan kesalahannya. Dari lontaran opini itu kita benar-benar menyaksikan munculnya kekacauan logika berpikir, terutama jika diteropong ke dalam konteks kebangsaan. Bagaimana pun, Soeharto harus ditimang eksistensi dirinya sebagai negarawan, yang niscaya berkarya tanpa pamrih. Karena itu, ia tak boleh melakukan kesalahan substansial. Di sinilah letak persoalannya. Kesalahan substansial Soeharto selama berkuasa terkait erat dengan runtuhnya keadilan ekonomi dan masifnya pelanggaran HAM. Kemunculan usaha-usaha konglomerasi pada era Orde Baru merupakan kelanjutan logis besarnya privilege anak-anak dan kroni Soeharto. Dari sini terjadi penguatan terhadap gejala dan tendensi nepotisme, kolusi dan korupsi. Sementara masifnya pelanggaran HAM, mengejawantah pada kekerasan aparat terhadap rakyat. Hal yang tipikal pada Soeharto adalah berkarya dengan pamrih. Semua itu dikamuflase dengan kemakmuran semu.

Retorika tentang Soeharto sebagai “manusia biasa, tak luput dari salah dan dosa” sesungguhnya tak relevan dikemukakan di sini. Sebab, kita tak sedang berbicara tentang kesalahan aksidental seorang manusia. Kesalahan Soeharto bersifat sistemik dan terencana, sehingga mengkristal menjadi kesalahan yang bersifat substansial. Celakanya, melalui siaran televisi, kesalahan yang bersifat substansial itu dijungkirbalikkan menjadi kesalahan aksidental. Televisi benar-benar terjebak ke dalam pusaran sensasi Soeharto.·

Jakarta, 17 Januari 2008

Tidak ada komentar: